[10/10]
Selamat datang...
__________________
PADA fase awal kehamilan, [Name] amat yakin rasanya tubuh ini mati rasa, mual-mual yang tidak berhenti, selera makan yang buruk juga berbagai ngidam lainnya. [Name] tahu hamil itu bukan hal yang mudah. Tapi, dia tidak tahu rasanya seberat ini.
Gempa kini mengusap punggung dan leher [Name] dengan lembut, kali ini sudah tengah malam. Tapi, [Name] muntah di kamar mandi hampir sudah seperempat jam, terjongkok di depan toilet.
"Gapapa, gapapa. Nanti juga bakal mendingan. Gapapa, semuanya bakal baik-baik aja."
[Name] tertunduk dengan napas tersengal-sengal, dia sangat lelah, pikirannya tidak bisa dia kondisikan ketika akhirnya dia bersender pada Gempa dengan lemah.
"Shh.. semua bakal baik-baik aja. Ayo, kita tidur lagi." Gempa mengecup dahi [Name] penuh kasih segera menggendong [Name] kembali ke atas kasur. Gempa keluar sebentar, sementara [Name] terbaring dengan pikiran-pikiran yang berterbangan bising.
"Ini minum dulu, ya. Biar badan kamu anget."
[Name] melirik Gempa yang membangunnya duduk. Dia bisa merasakan, perlahan Gempa meminumkannya teh manis hangat, untuk sesaat [Name] terenyuh, sebelum meminumnya. "Padahal gak usah juga gapapa."
Gempa tertawa kecil, bahkan sikap istrinya saat sedang sakit tidak berubah. Gempa menyeka wajah istrinya dengan sapu tangan yang direndam air hangat, mencium puncak kepala [Name] sebelum memeluk istrinya lagi. "Maaf, ya. Kamu harus ngerasain hal ini. Kalau bisa, aku lebih milih kamu gak sakit kaya gini."
[Name] bisa merasakan nada rasa bersalah dan sedih dari suara sang suami. Dia kemudian menghembuskan napas dan menatap suaminya dengan sedikit perhatian, walau begitu kata-katanya tak bisa lepas dari kata-kata tajam. "Kenapa sih kamu masang wajah gitu? Lagian juga ini bukan salah kamu, kita yang pengen berdua. Jadi gak usah masang wajah jelek gitu."
Gempa mengerti, sejujurnya [Name] mengatakan agar dia tidak merasa bersalah pada wanitanya. Gempa yang menyadari itu tertawa lembut sebelum mulai tidur, memeluk istrinya yang sedikit gelisah dipeluk seperti itu. "Baik, aku janji gak bakal masang wajah gitu. Jadi kamu gak perlu khawatir."
"Aku gak khawatir!"
"Iya.. iya.. aku ngerti kok."
.
.
.
Bulan demi bulan berlalu, usia kandungan [Name] menginjak 6 bulan. Perutnya sudah membesar, saat itu hari liburan Gempa. Ketika [Name] yang berjalan di ruang keluarga tiba-tiba berhenti, terdiam berdiri di tempat. Membuat Gempa khawatir karena ekspresi [Name] terlihat kaku dan terkejut.
"[Name], semuanya baik-baik aja kan? Kamu gak papa?" Gempa menghampiri [Name] khawatir sebelum samar-samar dia bisa mendengar gumaman [Name]. "Menendang.. bayinya menendang.."
Gempa yang mendengarnya langsung berjongkok menempelkan kepala ke perut [Name], tangannya menyentuh perut buncit tersebut sebelum dia akhirnya dia bisa merasakan tendangan dari dalam sana. Gempa terlihat menatap perut dan wajah [Name] bergantian dengan takjub, terlihat ekspresi bahagia di wajah Gempa yang tidak terbendung.
"Halo.. sayang. Papa ada di sini, kalian sudah tidak sabar untuk keluar ya? Papa juga, menanti kalian di sini."
[Name] kini terdiam melirik Gempa yang berbicara hati-hati penuh kelembutan, ciuman kecil mendarat di perutnya, kemudian Gempa mencium keningnya dan mulai memeluk [Name]. Gempa pasti akan mengatakan terima kasih untuk sekian kalinya dan mengatakan dia benar-benar bersyukur.
[Name] menyentuh perutnya tersenyum kecil. Menyembunyikan ekspresinya yang bahagia dia menunduk, ketika sang suami memeluknya. Dia juga... Dia juga mau tidak mau mengakui bahwa dia bahagia bisa memiliki suami seperti Gempa, juga mengandung anak dari suaminya yang penuh kasih sayang.
.
.
.
"Ahhh!"
[Name] berseru kesakitan, setelah 9 bulan mengandung dia akhirnya merasakan tanda-tanda kelahiran. Karena itu, pada pagi buta, Gempa membawanya ke rumah sakit terdekat dengan cemas.
Kini [Name] ada di ruang bersalin. Gempa meremas tangan [Name] liat dengan cemas. Tubuh [Name] berkeringat juga basah kuyup, dia sekuat tenaga mulai mengejan dengan napas memburu. "Hhh.. hhh.. ngghhh!"
"Sayang. Kamu pasti bisa. Kamu pasti bisa." Gempa berbisik di sampingnya, [Name] terus berusaha sekuat tenaga, hingga akhirnya ketika dorongan terakhir dia mulai terkapar lemas. Sebelum tangisan bayi menyusul, menggema ke seluruh ruangan.
Gempa tersenyum lembut, senyum yang lebih lembut dari apapun. Mata pria itu berkaca-kaca mulai mencium istrinya sebelum menangis kecil. "Syukurlah.. syukurlah kamu baik-baik saja.. makasih sayang. Makasih.."
[Name] tanpa sadar tersenyum, dia tidak bisa menolaknya lagi. Dia sungguh mencintai suaminya hingga saat ini. Gempa. Pria yang menjadi orang paling penting dalam hidupnya.
_______________
Bonus
_______________
"Oaak! Oaakk!"
Gempa meraih buah hatinya dari sang dokter dengan tangan gemetar, pria itu sangat berhati-hati sebelum menyenandungkan azan. Suaranya sedikit gemetar sebelum akhirnya membawa bayi mungil itu pada sang istri.
"Selamat datang permata kami..."
[Name] tersenyum mendengarnya, dia mulai mencium buah hatinya yang kini mulai berhenti menangis dalam pelukannya. "Selamat datang malaikat kami..." Keduanya tersenyum bahagia, berpelukan dengan sang buah hati. Kini mereka sudah menjadi lebih dari sekedar pasangan. Menjadi orang tua dengan buah hati yang berharga.
.
.
.
_______________
... permata dan malaikat kami yang berharga.
31 Desember 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top