[2/10]
Bukan rencanaku...
_____________________
"Gak mau!"
[Name] menggebrak meja, membuat semua orang yang hadir terkejut sampai sang ayah menarik tangannya melotot. "[Name]!" [Name] melirik ayahnya tidak terima. "Ayah yang harusnya dengerin [Name]! Please, Ayah. Ayah tahu [Name] gak pernah rencana mau nikah."
[Name] melirik ayahnya, memelas, memohon tidak mau melakukan perjodohan sialan yang dibuat oleh generasi sang ayah sebelumnya. "Ini wasiat kakek, [Name]. Tolong ngerti."
[Name] menggeleng kuat, tidak mau. Apa-apaan kakeknya itu membuat perjanjian dengan seorang teman yang tidak [Name] ketahui. Perjanjian untuk menikahkan kedua cucu mereka setelah menginjak usia dewasa. [Name] melirik ke samping di mana terdapat Frostfire-- sialan lagi bukan? Setelah kelulusan tiga tahun lalu dia sudah senang tidak bertemu pria ini lagi. Tapi, apa yang dia dapat? Setelah tiga tahun akhirnya mereka bertemu karena wasiat dua orang yang sudah mati untuk melakukan perjodohan.
"[Name]."
[Name] melirik Frostfire, bahkan suaranya masih terdengar menyebalkan. Samar-samar memori masa lalu terbesit membuat dia kesal. Bahkan jika melakukan pernikahan setidaknya dia tidak mau dengan orang ini! Dia tidak bisa membayangkan neraka yang akan menantinya.
"Apa?"
Frostfire untuk sekarang terlihat tenang, setelah beberapa tahun gaya pemuda ini mulai berubah terlihat lebih dewasa. Terlebih gayanya sekarang yang formal mengenakan kemeja. Para orang tua akhirnya meninggalkan dua orang dewasa ini berbicara untuk melakukan keputusan.
"Aku gak bisa ngelepas perjodohan ini. Ini wasiat dari kakek kita."
"Terus? Aku harus ikut gitu aja?"
Frostfire menghembuskan napas pelan, mengusap wajahnya menatap [Name] yang jelas-jelas akan menolak semua kata-kata dari mulutnya. Melihat Frostfire yang diam membuat [Name] tidak nyaman. "Kamu bakal kehilangan apa kalau gak lakuin perjodohan ini?"
Frostfire yang menunduk perlahan tersenyum, mengangkat kepalanya berusaha terlihat ramah. Tentu saja, [Name] tidak banyak berubah. Gadis ini.. dia masih sama seperti ingatannya semenjak tiga tahun yang lalu. Tidak berubah. "Separuh harta warisan termasuk posisi di Perusahaan Kokotiam di bagian pemasaran. Ya, aku cuman bisa ngasih tahu itu."
[Name] ikut menghela napas menyenderkan tubuhnya pada sofa menutup wajah. Perlahan Frostfire bangkit duduk di sebelah [Name]. Sejujurnya [Name] juga akan kehilangan sesuatu jika melepaskan perjodohan ini. Yakni, rumah kaca warisan sang kakek. Di mana dia menjalankan bisnis bunga dengan tempat itu sebagai satu-satunya penghasilan pribadi. Terlebih.. tempat itu memiliki banyak kenangan. Posisi mereka sama-sama tidak diuntungkan.
"Apaan sih, gak usah deket-deket." [Name] menarik posisinya ke ujung sofa ketika Frostfire duduk di sebelahnya. Frostfire yang melihatnya hanya tertawa kecil menatapnya, sudah lama [Name] tidak mendengar tawa jahil itu. "Kenapa? Kamu takut aku apa-apain? Padahal keluarga kita aja masih ada lho di ruang sebelah. Atau jangan-jangan kamu gak sabar pengen-"
Buk!
Dan menyebalkan pria ini masih saja, tarik kembali kata-kata jika Frostfire terlihat lebih dewasa. "Kamu masih nyebelin banget ya." Frostfire tertawa makin lepas ketika [Name] menumbuk lengannya dengan keras. Percayalah, ini masih kategori ringan dibanding yang lainnya. "Kenapa? Kangen?"
"Bisa serius gak sih?"
"Okey, jadi gimana keputusan kamu?"
[Name] menghela napas sebelum memejamkan mata, berpikir matang-matang. Sementara Frostfire yang menatapnya dari samping menutup mulutnya yang mengukir senyum. [Name] masih saja imut. "Okay. Okay. Aku juga gak mau kehilangan rumah kaca dan lahan aku."
"Pilihan bijak."
"He- hey!"
[Name] terpojok ketika tubuhnya terbaring di atas sofa dengan Frostfire di atasnya yang menyeringai mencium rambut panjang [Name] dengan tawa kecil. "Jadi.. calon istriku? Menurutmu gimana? Mau mulai lebih awal?"
____________
Bonus
____________
"Anak muda jaman sekarang pada gak sabaran ya."
Amato berdecak tidak paham, mengintip dari lantai dua melihat posisi meresahkan keduanya di atas sofa. Ayah [Name] terlihat ingin mengamuk sebelum ditahan oleh saudara Frostfire yang lain.
"Yang sabar aja ya, Pak. Anak saya rada-rada emang. Harap maklum."
Amato berbicara tanpa rasa bersalah menepuk bahu Ayah [Name] yang menatapnya kesal. "Kamu masih saja menyebalkan." Amato tertawa mendengar nada kesal sahabat masa kecilnya itu.
"Biarin mereka berdikari. Tahan dia anak-anak."
"Woy! Amato!"
_________________
... untuk membuatmu menjadi milikku secepat ini.
19 Januari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top