私のツアーガイドは妖怪です

Pemanduku adalah Youkai

#AuthorNote :If you reading this story on any other platform OTHER THAN WATTPAD, You're very likely to be at risk of a MALWARE ATTACK. If you wish to read this story in it's ORIGINAL, SAFE, FORM, PLEASE GO TO :

http://wattpad.com/noveloper

Copyright ©️ 2021 noveloper

◐●◑

Aku ingin pulang. Itu saja. Apakah aku masih bisa hidup sampai besok pagi? Apapun itu, adakah yang bisa menolongku?

Sebelum ini terjadi, ekspektasiku begitu luar biasa. Berada di tengah padatnya ibukota. Bagaimana cantiknya aku saat memakai pakaian musim dingin. Makan makanan yang enak-enak. Membeli aksesori lucu dan berfoto di tempat-tempat keren. Seberapa serukah, itu? Akan tetapi saat aku menginjakkan kaki pertama kali di tanah Jepang, keadaannya berbalik sampai 360 derajat.

"Kenapa kita ada di sini?" Sejauh mata memandang, yang ada hanyalah pohon-pohon, kayu mati, lumut, rumput, batu, dan burung gagak. Di mana gedung-gedungnya? Di mana jalanan bersih nan estetiknya? Di mana nuansa Kota Tokyo yang maju dan berbudaya? Orang-orangnya? Yang kurasakan hanyalah merinding karena suara burung gagak itu!

"Ini memang bagian dari daftar perjalanan kita." Atris menghadap papan penunjuk arah.

Dalam diam aku mengurai kembali apa yang terjadi sejak pertama kami tiba di bandara. Beristirahat di Shinjuku. Lalu Atris dan Haru mengatakan, mereka akan mengajakku ke suatu tempat.

"Udah gue kasih tahu, kok," komentar Haru di sisi saudarinya itu. "Dengar, Reni. Kita bakal ada di Jepang selama dua hari untuk eksplore lokasi horor."

"Aku tahu. Kalian, kan, mau membuat konten."

"Baguslah kalau kamu ngerti."

Aku mengerti. Namun tidak pernah terbayangkan di benakku bahwa tempat horor yang mereka maksud adalah Hutan Aokigahara. Ya, bukan salah mereka, sih. Tempat ini betulan horor. Malah sepuluh kali lebih horor dari yang aku kira.

Mengeluh saja tidak akan menyelesaikan masalah. Aku yang salah. Seharusnya aku tanya-tanya dulu sebelum berangkat. Kecintaanku pada Jepang yang membuatku lupa berpikir jernih dan langsung mengiyakan ajakan mereka. Memang sesuatu yang berlebihan itu tidak pernah baik. Berlaku juga dalam kondisi 'terlalu senang'. Dan kini ekspektasku hancur berkeping-keping.

Jalan setapak panjang ada di hadapan kami. Mungkin hutan yang sunyi dan dalam mampu membuat kecamuk di kepalaku terdengar. Dekat dengan alam seharusnya membuat jiwa terasa nyaman. Namun hutan ini, meskipun cukup indah untuk sebuah hutan yang masuk predikat paling menyeramakan di dunia, tidak ada yang tahu apa yang akan kami temui nanti. Aku tidak ingin melihat sesuatu yang tak seharusnya dilihat.

Angin berhembus terlalu tenang. Aku yang cukup berpengalaman dengan suasana horor, tidak suka keadaan ini. Kiri, kanan, kiri, kanan. Semakin jauh semakin sempit. Krek, krek, krek. Sepatuku terhenti di batu yang tertutupi daun kering. Atau aku berhalusinasi karena tidak ada batu sama sekali di situ. Jalanannya kering, rata dan sedikit berkabut. Kulit pipiku mendingin.

"Reni, cepatlah! Kau terlalu lambat."

"I-iya," Siapa itu yang berbicara? Atris atau Haru? Seperti bukan suara mereka. Ah, rasanya aku sedikit linglung. Istirahat sebentar saja mungkin bisa membantu. Di sisi dua pohon tinggi besar yang berpasangan. Aku dapat mendengar napasku sendiri, saat punggungku sepenuhnya menyentuh pohon. Ketenangan ini terasa ganjil.

Ada sesuatu menyita perhatian. Dari sudut mataku tampak sesuatu yang berkilauan. Sinar di balik bebatuan muncul begitu saja. Seperti memanggil-manggil. Aku menyanggupinya, melewati dua pohon berdampingan itu. Cahayanya samar, tetapi enggan meredup.

Semakin kudekati, semakin terlihat dengan jelas; sebuah batu permata. Batu yang kini ada dalam genggamanku.

"Atris, Haru." Aku menengadah tepat pada burung gagak yang terbang berputar.

"Atris! Haru!"

Dua kali, tiga kali, sepuluh kali kupanggil. Hanya ada burung-burung yang menyahut. Apakah mereka menghilang atau akulah yang hilang?

Segera aku berbalik ke arah di mana aku datang. Berlari sejauh yang aku mampu. Namun jalanannya terlihat kembar di mana pun aku menoleh. Langit menjadi gelap dan burung-burung beterbangan di bawah gerimis. Ponselku kehabisan daya secara misterius.

Berkali-kali kuhapus air mata tetapi tetap jatuh juga. Berusaha tetap berjalan walau tak tentu arah dan tujuan. Mengapa seperti aku berputar-putar di jalan yang sama? Tidak tahu apakah aku masih bisa keluar dari tempat ini. Aku linglung. Panik dan linglung. Saat aku disentakkan oleh suara yang bertiup tepat di telingaku. Begitu dekatnya, sampai aku mengira suara itu telah menyatu ke dalam ragaku.

"Nande soko ni tatteru no?"[Mengapa kau berdiri di sana]. Suara halus itu bertanya.

"Hah, Siapa itu!"

Ada siluet badan yang bersembunyi di balik pepohonan.

"Siapa itu! Toloooong!"

"Nihonjin desuka?"

"Iii-ie, Indonesia sushin desu."

"O, Nusantara."

Orang ini ... siapa?

Bunyi ranting yang diinjak mengentakkan jantungku.

"Nihong e youkoso." [Selamat datang di Jepang].

Kuarahkan senter yang pencahayaannya minim ke depan. Tangan dan kakiku bergetar. Telah tampak tubuh tinggi besar yang ditutupi sejenis jubah marun. Rambut panjang dan terurai berwarna oranye. Kuku panjang meruncing, di samping aku dapat melihat taring ketika ia menyeringai. Ekornya yang besar dan panjang ada lebih dari satu jumlahnya. Ketika ekornya bergoyang, bulu kudukku naik seluruhnya. Dia memiliki telinga aneh, seperti telinga kucing.

"Si-siluman kucing!"

Dia bergeming. Lalu suara halusnya berubah menjadi raungan monster yang memekakkan telinga. "Boku wa kitsune ja!" [Aku ini rubah, tahu!]

"Maaf, maafkan aku, kitsune?"

"Berani-beraninya menyamakan aku dengan kucing. Kau mau aku makan?" Matanya melotot.

Inilah yang dinamakan petaka. Otot-ototku bisa mati lemas di sini. Siluman rubah memainkan lidahnya yang panjang meliuk dan penuh liur di gigi-giginya yang runcing.

"Kalau kau berani memakanku, kau makhluk terkutuk!"

"Apa yang harus aku lakukan padamu, kalau bukan untuk mengenyangkan perutku?"

"Biarkan saja aku pergi."

"Ie, ie. Kau tidak bisa pergi semudah itu dari dunia Youkai. Kecuali kau punya sesuatu yang bisa ditawarkan."

Menyedihkan. Sesungguhnya manusia tidak boleh bersujud di hadapan siluman. Namun, mungkin hanya ini yang dapat menyelamatkan nyawaku. Meski memungkinannya juga sangat kecil.

Sesuatu keluar dari saku mantelku saat aku mulai merunduk. Permata yang aku dapatkan di tumpukan batu tadi menggelinding, juga bersinar bak api biru yang tak pernah padam. Aku menggenggamnya, dan secara ajaib siluman itu berhenti mendengkur.

"Hoshi no tama," lirihnya. Mungkin hanya perasaanku saja, tetapi dia terlihat lebih jinak. "Berikan itu padaku."

"Kau mau ini? A-aku tidak mau. Batu ini punyaku."

"Punyamu, heh! Batu itu adalah milikku yang hilang!" ujarnya meledak-ledak.

"Batu itu, kalau kau simpan juga tidak akan berguna sama sekali. Kau tidak bisa menggunakannya meskipun batu itu menyimpan kekuatan sihir yang amat dasyat. Sedangkan bagiku, batu itu adalah segala-galanya. Jika kau mau memberikannya padaku, aku akan menjadi pelindungmu. Tapi jika kau tidak mau, aku akan menjadi musuhmu," katanya santai, "dan otomatis kau akan mati membusuk di sini." Dia mengelus-elus perut ketika mengucapkan kata yang terakhir.

Dalam sekejap sebuah batu permata menentukan nasib hidup dan mati seorang gadis tak berdaya ini. Mana bisa aku mempercayai perkataan siluman? Mereka perusak, licik, suka merasuki tubuh manusia dan membuatnya sakit-sakitan sampai meninggal. Kalau rubah itu mau, dia bisa merasukiku sekarang. Benar. Khusus yang satu ini, aku tidak punya pilihan lain.

"Baik. Janji adalah utang yang harus harus dibayar sampai mati. Kau harus berjanji tidak akan menyakitku. Setelah aku menyerahkan batu ini, kau akan menjadi pelindungku."

"Aku tidak akan menyakitimu dan akan menjadi pelindungmu. Itu janjiku. Puas?"

Traksaksi pun terjadi. Nyawa ditukar dengan batu permata. Kedua tangannya terbuka. Dia menyeringai dengan begitu bengisnya. Tubuhnya mulai melayang ke atas. Tawanya bergema ke seluruh penjuru hutan. Batu itu semakin bertambah terangnya. Aku mata dan telinga. Entah apa yang terjadi. Namun saat aku membuka mata, dia telah berubah menjadi sosok binatang rubah yang sangat besar. Sebagian bulunya berwarna oranye dan di bagian bawahnya berwarna putih. Kelima ekornya bergoyang, sedang seluruh tubuhnya diliputi cahaya. Cantik tetapi menyeramkan.

"Kemari. Naiklah di atasku."

Aku masih bergeming. Jika aku mempercayainya, apakah aku akan selamat? Jika aku melangkah padanya, apakah dia akan menepati janji? Dan dia mendekat. Saat sudah tiada jarak lagi, aku bisa menghidu bau rubah. Bersentuhan dengan bulu oranye--yang di luar dugaan--sangat lembut. Kuusap hangat punggungnya dan dia bereaksi ketus, "Aku bukan hewan peliharaanmu." Tak kupungkiri, dia mengingatkanku pada kucing kesayanganku di Indonesia.

"Ki-kita sudah berdamai, kan?" tanyaku. Dia mendengkur, lalu merunduk sampai aku bisa naik ke punggunya dan berpegangan.

"Berpeganganlah yang erat." Dia mulai berlari kencang. Mungkin secepat shinkansen tanpa pernah menabrak pohon. Terus berlari sampai kakinya dapat mengayuh udara. Naik lebih tinggi dari pohon-pohon tertinggi di Hutan Aokigahara. Angin menyapu wajahku kencang, seluruh rambutku berkibar hingga dapat kulihat seluruh kota yang menyala. Aku berseru di tengah adrenalin yang memuncak. Si rubah terbang melintasi danau, deretan lampu, jembatan, menara, dan keindahan. Utsukushii. Seperti di dalam mimpi. Belum pernah aku melihat pemandangan seindah itu secara langsung. Tak lama kemudian, si rubah terbang lebih rendah. Lalu mendarat tak jauh dari bangunan Pagoda.

"Kau gila, ya?" Aku marah karena dia hampir menabrak Pagoda itu.

"Heh? Tidak sama sekali."

"Sudah kubilang bawa aku pulang"

"Aku tidak tahu kau tinggal di mana."

"Shinjuku."

"Aku perlu istirahat," Dia rebah di tanah sambil menutup mata. "Karena lama terpisah dari hoshi no tama. Aku perlu memulihkan diri dulu."

"Hah. Kita ini ada di mana, sih? Sekarang jam berapa?" Aku duduk di sisinya. "By the way, aku baru saja naik rubah terbang. Wow, gila banget!"

Si rubah tiba-tiba bertanya. "Kenapa kau datang jauh-jauh dari negerimu? Apa yang kau cari?"

"Apa yang aku cari? Sebenarnya tidak ada hal khusus yang mau dicari. Kebetulan ada dua orang tolol yang memberiku tiket pesawat gratis. Aku diminta membantu mereka membuat konten horor. Mereka percaya aku dapat melihat makhluk gaib. Tapi bukan itu alasan aku datang. Aku datang karena Negara Jepang adalah negara impianku. Aku suka Jepang dan ingin sekali datang kemari."

"Heh," Wajahnya berkerut. "Kenapa bisa suka?"

Aku menengadah pada titik-titik bintang di langit. "Pemandangan alamnya menakjubkan. Orang-orangnya teratur, bersih, dan sangat menjaga tata krama. Budayanya tetap terjaga meskipun dari waktu ke waktu negara ini semakin maju. Selain itu, banyak hal-hal unik yang hanya ada di Jepang. Bagaimana aku tidak tertarik?"

"Souka." jawabnya singkat, padahal aku sudah berbicara panjang lebar. Kemudian dia kembali menutup mata.

◐●◑

"Ohayou." Saat membuka mata, aku disambut oleh senyuman manis dari seorang kakek tua yang tidak kukenal. Sungguh sebuah pagi yang mencenangkan. Aku hendak bertanya, kau siapa? Tetapi yang keluar dari mulutku adalah, "Aku di mana?"

"Arakurayama Sangan Park."

Telingaku berkedut. Di sekitar ada banyak Pohon Sakura, meski baru sebagian kecil yang mekar. Udaranya dingin, tetapi menyegarkan. Mulutku terbuka saat menatap pemandangan langit dan Gunung Fuji, berdampingan dengan Pagoda berwarna merah di hadapan kami. Persis seperti apa yang aku lihat di internet. Aku bergegas mengambil kamera dari dalam ransel. Turun melewati burung yang hinggap di atas lampu taman berwarna merah. Melalui tangga menuju Pagoda lima susun untuk melihatnya dari dekat. Terdapat kolam kecil dengan patung naga. Aku menjangkau gerbang menuju sebuah kuil. Tempat itu hampir membuatku lupa pada setan alas yang hampir memakanku hidup-hidup.

"Di mana dia?" Mataku berkeliling, tetapi yang kudapati hanya Kakek tua yang tadi.

"Kamu mencariku?"

"Bukan. Um, Oji-san, apakah tidak melihat makhluk aneh di sekitar sini?"

"Apa maksudmu makhluk aneh?" Keriput di wajahnya semakin menjadi-jadi. "Semalam kau bilang, kau menyukai negara ini, kan? Nah, bagaimana kalau aku temani kau berjalan-jalan? Aku sudah hidup di tempat ini selama ratusan tahun. Aku tahu banyak tempat-tempat menarik yang perlu kau datangi."Suara seraknya terdengar bersemangat. "Aku akan jadi pemandumu. Bagaimana? Kau setuju?"

Seketika mulutku tak bisa berkata-kata.

◑●◐


Kami berjalan meninggalkan Arakuyama Sangen Park. Si Kakek ada di hadapanku. Rambut kelabu lepek, cambang dan janggut tidak dicukur, pakaian seperti tidak pernah diganti.

"Jadi itukah wujud aslimu?" sindirku.

"Aku hanya meniru manusia yang tidak sengaja kulihat."

"Lihat baliho itu." Aku menunjuk sisi sebelah kiri. "Bisakah kau menyerupai cowok yang ada di baliho."

"Tidak mau. Aku pemandumu, bukan budak yang bisa diperintah sesuka hati."

"Terserah kalau kau mau dipandang seperti kakek kurang terurus."

Pada akhirnya dia menyelinap masuk ke semak-semak dan keluar dengan bentuk baru. Mirip Yamazaki Kento, tetapi dengan sedikit modifikasi visual.

"Kau tahu, aku sudah tinggal di negara ini selama 500 tahun."

"Mencenangkan, tapi aku tidak tanya."

"Karena itu aku tahu tempat-tempat terbaik di Jepang. Ikutlah denganku, o namae wa?"

"Reni."

"Reni-sama. Asal kau tahu saja, kaumku dikenal sebagai pelindung yang setia."

"Ha ha ha. Oh, ya? Lalu, namamu siapa?"

"Aku tidak punya nama."

"Yang benar saja. Kalau begitu, aku panggil Oren saja, ya?"

"Tidak suka. Seperti nama hewan peliharaan."

"Lihat!" Aku menunjuk Bus yang berhenti di halte. "Aku harus segera pulang. Atris dan Haru pasti sangat khawatir."

Dia menarik tanganku. "Kita tidak harus naik itu."

"Kalau tidak mau ikut, tidak usah."

"Untuk apa naik Bus kalau bisa terbang? Baka na no!"

◑●◐

Bus melewati jalan tol. Siluman rubah di sampingku terus berkomat kamit, mengucapkan bahasa yang belum pernah kudengar. Namun dari ekspresinya, dan caranya mengucapkan kata 'osoi', aku berharap dia tidak membantai seluruh penumpang di Bus ini.

"Untungnya Bus ini menyediakan charger. Aku sudah menghubungi Atris. Akhirnya aku bisa pulang."

Dia menoleh. "Kau yakin mau pulang sekarang?"

Aku mengangguk.

"Padahal Bus ini sampai ke Asakusa, lho. Kau sudah pernah melihat kuil Sensoji?"

Aku menggeleng.

"Setiap tahun jutaan orang datang ke sana. Kapan lagi kau bisa melihat kuil tertua di Tokyo?"

"Aku tahu kuil terkenal itu."

Sebut saja aku lemah dengan godaan setan. Dalam satu setengah jam, kami benar-benar sampai di Asakusa. Di depan lentera merah raksasa. Di belakang lentera itu ada lebih banyak wisatawan. Deretan tokoh berjejer ke depan. Serta bau manis yang mendorongku untuk menjelajah lebih dalam.

"Inilah Nakasime-dori."

Si rubah bertolak pinggang dan entah mengapa aku bertepuk tangan.

"Sudah kubilang aku paling tahu tempat yang—dengarkan dulu aku bicara!" Si rubah berteriak. Sementara aku berlari ke arah sebuah kedai. "Gomenasai. Ada stroberi dibalut mochi."

"Cih. Tahu aburage masih lebih enak"

"Kue melon ini porsinya sangat besar."

"Tahu aburage tetap nomor satu."

"Makan di saat lapar memang paling nikmat rasanya. Tapi isi dompetku memprihatinkan. Aku hanya boleh membeli satu makanan lagi. Eh, apa yang kau makan itu?"

"Inarizushi," jawabnya disela-sela lahapan.

"Semacam sushi, ya. Kau beli di mana?"

Tangannya menunjuk ke suatu arah. "Aku mencurinya di sana."

"Cu-curiii?" Aku terbelalak.

"Tidak. Kau tidak boleh mencuri. Aku akan membayarnya," ujarku, lantas bergegas menuju kedai di seberang jalan.

◑●◐

"Lain kali jangan mencuri lagi, oke? Kasian pedagang yang menjual makanan itu."

"Aksiku tadi tidak ketahuan. Sekarang uangmu berkurang, salahmu sendiri," ujarnya sambil mengupil. Aku menghela napas.

Terlihat asap mengepul di depan Kuil Sensoji. Asap itu keluar dari tembikar besar berisi dupa yang dibakar. Kata Si rubah, tempat itu disebut Jokoro. Orang Jepang percaya asap yang keluar dari Jokoro dapat memberikan manfaat yang baik bagi tubuh.

"Semoga kau tidak bodoh lagi." Dia mengipasiku dengan asap itu. Aku hampir menoyor kepalanya.

Setelah lama berkeliling, hari semakin sore. Ada belasan panggilan tak terjawab dari Atris. "Agh! Aku lupa mengubah mode silent ke mode dering."

"Sudah mau pulang?"

Aku mengangguk. " Teman-temanku menunggu."

"Begitu, ya. Padahal Tokyo Skytree tidak jauh dari sini, lho. Sudah pernah melihat Tokyo Skytree?"

Aku menggeleng.

"Jauh-jauh datang ke Tokyo, tapi tidak melihat Tokyo Skytree rasanya percuma."

Apakah dia menggunakan sedikit sihir? Sebab dia selalu berhasil membujukku. Dia penghasut yang berbahaya.

Kalau dilihat dari peta, Kuil Sensoji menuju Tokyo Skytree memang lumayan dekat. Hanya butuh waktu belasan menit untuk sampai. Aku mengikuti si rubah dari belakang. Makhluk dari golongan iblis yang menjadi pemandu perjalanan. Ini bukan pertamakalinya aku berjumpa dengan siluman. Namun baru kali ini aku melihat siluman yang berjalan-jalan dengan santainya di antara manusia. Hanya siluman yang memiliki ilmu tingkat tinggi yang bisa melakukan hal seperti itu.

"Kau melamunkan apa?" tanya si rubah.

"Ano." Kususul dia lebih dekat. "Penasaran, apa kau sering berbaur dengan manusia?"

"Kalau ada urusan saja."

"Ah, aku hampir luma menanyakan ini. Kenapa ekormu hanya lima? Setahuku, siluman rubah ekornya ada sembilan. Apa kau masih bisa disebut kyuubi?"

Tatapan matanya berubah menjadi tajam. "Tentu saja. Aku masih muda. Tidak ada rubah seusiaku yang memiliki sembilan ekor. Ekor rubah tumbuh dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya usia." Dia melanjutkan. "Sekarang memang belum, tapi suatu saat nanti aku akan menjadi kyuubi sejati."

"Sugoooi."

"Pada saat itu tiba, aku akan menjadi rubah yang tak terkalahkan."

"Apa kau akan menjadi rubah yang baik?"

"Tergantung situasi."

Jawabannya membuatku keseleo.

"Berjanjilah kau akan menjadi rubah yang baik."

"Aku tidak mau janji. Kalau aku berjanji, sama saja seperti utang yang harus dibayar, kan?" Dia berkedip.

Tanpa sadar kami sudah berada di tengah-tengah persimpangan yang begitu padat. Di antara banyaknya manusia, tiada satu pun yang menyadari keberadaan siluman di tengah-tengah mereka.

Setelah melewatinya, kami mencapai taman di dekat jembatan yang dibangun di atas sungai. Tokyo Skytree terlihat dari kejauhan. Bahkan dari jauh pun kelihatan megah. Mau tidak mau senyumku merekah. Kami masih berdiri di jembatan, saat aku berkata, "Sudah cukup untuk hari ini."

Si rubah menoleh. "Kita belum sampai."

"Yang penting aku sudah melihatnya."

"Kau yakin?"

Aku mengangguk dengan pasti.

"Tidakkah kau mau singgah di Harajuku? Tidak jauh dari tempat tinggalmu."

"Tidak."

"Kapan lagi kau bisa melihat Haraju—"

"Aku tidak tahu kapan. Aku bisa sampai di sini saja karena keberuntungan."

Dia terdiam dan bersandar pada pegangan jembatan. Bersamanya di bawah langit berwarna oranye berpadu gelap kebiruan.

"Semua yang terjadi hari ini akan selalu kuingat." Angin berhembus menerpa rambutku.

"Musim ini," kata si rubah pelan, "Nanohana tengah mekar. Seandainya kau mau, kau bisa melihatnya."

"Apa kau mencoba membujukku lagi?"

Dia terkekeh.

"Dasar licik." Namun aku juga tertawa. "Aku tidak ingin membuat teman-temanku semakin khawatir dan mengira yang bukan-bukan. Lagipula, besok aku sudah harus pulang ke negeriku."

"Apa kau akan kembali nanti?"

"Tentu saja. Masih banyak tempat yang belum aku datangi, kan?"

"Aku menganggap itu janji."

"Eeh, aku jadi sekarang aku yang berutang?"

Dia menyeringai. "Jika kau ingin bertemu denganku, datanglah ke tempat di mana kita bertemu. Tapi, omong-omong, ada yang ingin kukatakan."

"Apa?"

"Malam itu sebenarnya aku hanya berpura-pura."

"Maksudnya?"

"Aku tidak pernah makan manusia. Aku menakutimu hanya karena ingin merebut hoshi no tama. Malam itu ... wajahmu ... jelek sekali waktu kau menangis. Aw!"

Kali ini tinjuku mendarat di kepalanya.

"Dengarkan dulu! Bukannya aku jahat. Tapi hoshi no tama adalah nyawaku. Kalau sampai jatuh di tangan yang salah, aku yang dalam bahaya."

Huft. Sampai di saat terakhir pun dia tetap menyebalkan. Sifatnya licik tetapi suka menepati janji. Tidak tahu tata krama tetapi pelindung yang setia. Terkadang menakutkan tetapi sebenarnya baik hati. Dasar aneh. Dia si rubah, makhluk dari golongan youkai yang menjadi pemanduku selama berada di Jepang. Dia adalah siluman paling tengil yang pernah aku kenal.

Gambar hanya pemanis. Source: https://images.app.goo.gl/mWG1Xr5yEdjrXLRo6

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top