Reset (Our) Life

***

Sudah dua hari Mira bekerja di SMA Sentosa. Sejauh ini tidak ada masalah apa pun yang dialaminya. Justru, dia tengah mencoba berbaur dengan beberapa guru yang telah lama bekerja.

Jangan lupa, dia tak mau melewatkan interaksi dengan Yudha Pratama, guru baru yang merupakan kembaran mendiang suaminya. Dia penasaran, apa yang melatarbelakangi Yudha untuk bekerja di SMA Sentosa? Alasan klise bila menyebutkan ingin menambah pengalaman kerja. Pasti ada alasan tertentu. Mira harus cari tahu semuanya.

Setelah mengajar satu kelas, Mira memanggil Yudha dan mengajaknya ke rooftop gedung baru yang berada di paling belakang. Jaraknya agak jauh sehingga diharuskan berjalan kaki dari ruang guru ke gedung baru sekitar nyaris tiga menit. Gedung baru itu berisi anak-anak kelas 10. Rooftop berada di lantai empat.

Mereka berdua berhasil melewati pagar pembatas dan pertama kali dilihat adalah tanaman serta bangku yang tersedia di sisi kiri dan kanan bila mereka membelah jalanan akses menuju gedung baru khusus kelas 10.

Seperti biasa, Mira berdecak kagum kala mengitari sekitar gedung tersebut. Saat diperkenalkan gedung baru oleh tantenya, dia belum berani masuk dan cuma melihat sekilas dari depan. Namun, Mira merasakan kebanggaan dalam diri sebagai alumni SMA Sentosa. Walau sejatinya dia tak ingat, tempat apakah dulu sebelum gedung baru dibangun?

Sejujurnya, Mira banyak tahu rooftop dari tantenya. Tetapi, dia ingin mencoba rooftop di gedung baru yang katanya lebih bagus dibanding rooftop-rooftop lainnya. SMA Sentosa sendiri juga bertaraf swasta dan kini sedang dalam pengajuan untuk menjadi taraf internasional. Sudah pasti, fasilitas-fasilitas yang ada pada SMA Sentosa harus ditunjang penuh agar murid ataupun guru dapat merasakan manfaatnya.

Rooftop gedung baru bisa diakses oleh siapa saja, itu kata Daniar, guru Bahasa Indonesia kelas 10 ketika Mira bertanya lebih lanjut pada rekan barunya itu.

Sembari menaiki beberapa anak tangga, Yudha di samping kiri Mira berceletuk. "Gedung barunya sangat terawat. Pasti baru diresmikan saat tahun ajaran baru masuk tahun ini."

"Kata Bu Nisa sih, gedungnya selesai dibangun awal tahun ini dan berencana ditempati siswa baru. Sudah seharusnya kan terawat? Agar siswa baru juga nyaman menempati gedung barunya?"

Yudha tampak mengangguk sambil terus memijak anak tangga dengan sepatu sneakers miliknya. "Ibu beruntung. Saya malah tidak diajak tour singkat oleh Bu Nisa tentang sekolah ini. Sementara Ibu? Hari pertama langsung keliling sekolah."

"Itu kan ..." Mira mencoba membalas, namun Yudha cepat-cepat menyela sehingga mulutnya spontan mengatup rapat-rapat.

"Saya baru ingat. Ibu kan ... alumni sekolah ini. Bu Nisa bilang sama saya."

Sontak saja langkah Mira terhenti hingga akhirnya menolehkan pandangan ke arah Yudha. Mereka masih sedang menaiki anak tangga menuju lantai tiga, namun Mira seakan terkejut dari apa yang diucapkan Yudha padanya. Padahal Mira tak banyak memberitahu hal-hal terkait dirinya ke Nisa, pun harusnya Nisa merahasiakan tentang dia yang jadi alumnus SMA Sentosa.

"Kenapa kaget?" tanya Yudha heran. "Itu Bu Nisa yang kasih tahu, karena saya tanya ke beliau tentang Ibu yang dispesialkan oleh beliau."

Mira mengerjap sejenak, kemudian menghela napas ringan dan meneguk ludahnya, ingin mengatur diri.

"Lalu kalau Bapak sudah tahu, kenapa Bapak malah mengungkap rasa iri ketika Bapak tidak dikenalkan sekolah ini oleh Bu Nisa?" Giliran Mira yang bertanya, sembari mendelik curiga pada Yudha atas pernyataan aneh tersebut.

Bukan lagi, banyak hal yang patut Mira curigai. Termasuk bagaimana caranya Yudha bisa kembar atau sama persis dengan mendiang Firman? Bahkan dari suaranya pun mirip. Kadang orang memiliki suara yang sama pasti ada keterkaitan keluarga. Mungkinkah, Firman punya saudara kembar namun terpisah di masa kecil?

Mira sungguh tidak sabar ingin melontarkan banyak pertanyaan pada Yudha.

"Ayo. Bukannya Bapak ada jadwal mengajar setengah jam lagi?" desak Mira langsung mendahului Yudha untuk naik ke lantai berikutnya. Mira tak peduli dengan pertanyaan barusan, pun dia juga harus memerhatikan waktu.

Yudha ikut berjalan mengekori Mira hingga sampai ke tempat yang dimaksud. Rooftop gedung baru. Bila masuk, Yudha disuguhkan dengan langit biru yang cantik dipandang. Jangan lupa di setiap sudut ada pot tanaman dan ternyata di sebelah kiri tempatnya berdiri, ada tenant yang menjadi salah satu fasilitas untuk siswa baru SMA Sentosa. Tenant itu menjual makanan dan minuman harga terjangkau. Yang menjadi sorotan ialah rice bowl dengan patokan harga 10 ribu.

"Sekolah berasa mal," celetuk Yudha menyindir. "Pantas aja waktu kita naik sampai sini, banyak banget siswa-siswa lalu lalang. Rupanya ini?"

"Mereka jadi nggak perlu ke kantin bawah, apalagi jaraknya yang jauh," timpal Mira. "Tapi Bu Daniar nggak kasih tahu kalau ada kantin di rooftop. Apa sengaja kali ya nggak kasih tahu supaya saya penasaran?"

"Entahlah, Bu. Saya juga nggak tahu ada fasilitas ini."

Banyak rahasia yang terpecahkan, pun mereka baru mengetahuinya. Termasuk Mira. Mungkin saja Mira sungguh tak memerlukan kakinya untuk berjalan hampir empat menit ke kantin yang berada dekat dengan ruang BK. Fasilitas buat siswa baru sungguh menunjang murid dan guru, pun tenant tersebut menyediakan berbagai macam hidangan. Jadi palugada, semuanya pasti ada.

"Ayo, Bu Mira. Kita ngobrol di sisi kanan, sekalian lihat pemandangan dari atas sini. Kita bisa menjangkau lapangan basket di sekolah ini."

Yudha berbalik dan memilih untuk berada di area yang lebih tenang dan membebaskannya untuk menghirup udara bebas. Meskipun sejatinya dikelilingi oleh tanaman di sudut-sudut, namun di sebelah kanan tempatnya berdiri barusan, ada lapang luas yang mungkin belum terisi oleh apa pun.

Sembari berdiri di depan pagar pembatas, Yudha diam. Menunggu Mira membuka mulut. Dia bahkan tak punya topik obrolan untuk dibahas lebih dulu. Lagipula Mira sendiri yang mengajak, jadi harusnya Mira-lah yang inisiatif berbicara ketimbang dirinya.

"Saya ingin ... memastikan satu hal dari Bapak." Beruntunglah Yudha tak perlu menunggu, Mira akhirnya bersuara. Yang mana Yudha langsung membalas dengan tarikan napas pelan.

"Memastikan apa?" tanya Yudha dengan suara beratnya yang rendah.

"Kok bisa ini kebetulan?" Mira melempar pertanyaan sangat serius, bahkan kini tubuhnya memutar yang tadinya menghadap pagar pembatas lalu berpindah arah menatap Yudha. "Kenapa bisa? Bapak mirip sama mendiang suami saya? Firman?"

Yudha berdecak pelan sambil menggaruk keningnya menggunakan telunjuk. "Ibu kenapa pula, selalu nganggap saya ini adalah Firman? Padahal jelas-jelas saya ini bukan Firman?"

"Bisa nggak sih, jawab aja pertanyaan saya tadi?" Mira tak terima Yudha membahas jhal lain. Dia melipat kedua tangannya dan bersedekap, lalu memasang raut kesal. "Saya bukannya mau membingungkan Bapak. Tapi wajah Bapak itu, terlebih di struktur wajah Bapak, mirip sekali dengan suami saya. Apalagi di bagian mata."

Mira melanjutkan setelah dirinya dalam posisi tegap. "Apa jangan-jangan, Bapak ini ... saudara kembar suami saya? Yang terpisah jauh dari sejak kecil?"

Yudha terdiam lalu menarik napas pelan seakan mencari jawaban tepat atas pertanyaan tidak masuk akal dari Mira. Sungguh mengherankan, apalagi dirinya baru saja diterima kerja di SMA Sentosa dua pekan lalu sebagai guru pemasaran di kelas peminatan. Bagaimana bisa guru baru lainnya malah berceletuk tentang kembaran, mirip dengan suaminya lah dan sebagainya? Tidak ada topik lain? Yudha bahkan merasa muak mendengar Mira terus dicurigai sebagai kembaran suaminya. Bahkan suami Mira saja dia tidak kenal. Siapa pula Firman? Firman siapa?

"Kalau Bapak tidak percaya, silakan lihat dulu foto-foto suami saya. Dan perhatikan baik-baik juga wajahnya."

Mira mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan mencari foto-foto Firman yang sekiranya itu dari dua tahun lalu. Foto tersebut masih disimpan di galeri ponsel, dan tidak ada lagi foto-foto terbaru setelahnya. Mengingat Firman koma dan saling menjauh, Mira jadi tidak punya interaksi intens dengan suaminya.

"Coba Bapak lihat dulu baik-baik," pinta Mira tegas. "Bapak bisa ambil kesimpulan, kalau suami saya memang kembaran Bapak? Saudara kembar Bapak yang lama terpisah?"

Yudha menuruti perintah tadi kemudian dua pasang mata menatap lekat foto-foto suami Mira yang diduga wanita tersebut sebagai kembarannya.

Memang, dia melihat wajah seorang Firman agak mirip dengan dirinya. Paling mencolok di bagian mata. Namun satu hal yang sangat berbeda ialah, badannya yang berisi. Bukan gemuk, tapi otot yang dimiliki terbilang besar. Kedua pipi ikut berisi sehingga terkesan punya pipi tembem. Itu yang dia teliti selama hampir dua menit.

"Memang mirip, tapi sangat berbeda." Yudha menanggapi terlalu biasa, bahkan intonasi terdengar datar. "Tadi Ibu bilang suami Ibu adalah saudara kembar saya yang lama terpisah?" Selanjutnya Yudha menggelengkan kepala kuat seakan menolak anggapan Mira barusan. "Nggak. Suami Ibu saja saya nggak kenal. Firman? Siapa itu Firman? Ibu mungkin cuma lihat saya sekilas mirip sama suami Ibu. Tapi .."

Sadar bahwa mereka saling berhadapan, jadi kesempatan Yudha untuk lebih mendekati Mira dengan mengikis jarak pandangan di antara mereka.

"Setiap orang di dunia ini setidaknya punya tujuh kembaran. Itu yang saya tahu," ujar Yudha merendahkan suaranya. "Mungkin ini ya ... semacam kebetulan aja saya mirip sama suami Ibu. Dan saya minta tolong sekali lagi sama Ibu ...

"Ibu ... nggak usah latah nyebut saya Firman. Karena saya bukan Firman. Saya ... Yudha Pratama. Dan sekali lagi ..." Telunjuk Yudha teracung sampai nyaris menyentuh pucuk hidung Mira. "Saya bukan Firman. Intinya Ibu jangan latah. Atau saya bakal marah besar sama Ibu."

Sebegitu sensitifnya Yudha sampai dia tidak mau dianggap Firman oleh Mira? Iya, Mira akui terlalu berlebihan terhadap tindakannya. Apalagi Mira masih belum menerima kematian Firman sampai saat ini. Hanya saja, bila Yudha sudah mengambil tindakan tegas, Mira tak perlu berbuat hal yang bisa membuat Yudha naik pitam? Meskipun Yudha mirip dengan Firman, sifatnya saja berbeda.

Ah, entah apa yang harus Mira deskripsikan terkait sifat alamiah suaminya itu. Yang jelas, pertemuan pertama Mira dengan Firman dulu, kurang lebih sama seperti sekarang. Firman yang bersikap dingin dan ketus. Untuk Yudha, mungkin juga demikian. Yudha yang awalnya ramah namun saat mengobrol lebih lanjut, Yudha memiliki kesan cuek dan tidak peduli.

Lagi dan lagi, aku teringat Firman bila sifat kamu seperti itu, Yud.

"Kalau Ibu penasaran, kenapa saya ada di sini sebagai guru?" Yudha akhirnya mengalih topik obrolan, sekaligus ingin memperkenalkan diri lebih lanjut bila nantinya Mira bertanya alasan dirinya mengajar di SMA Sentosa. "Karena selain ingin menambah pengalaman kerja, ya saya punya karir cemerlang di bidang bisnis digital. Harusnya Ibu tahu, saya alumni jurusan bisnis digital dan mendapat IPK sempurna dan cumlaude. Makanya, saya beruntung diterima di sekolah bergengsi ini. Yang selalu menoreh banyak prestasi, saya ingin jadi bagian dari keluarga besar SMA Sentosa."

Alasan yang menurut Mira klise. Bahkan sudah terlalu klise. Dia masih punya banyak hal untuk dicurigai. Tentang keberadaan Yudha dan latar belakang Yudha. Apakah Yudha punya keluarga? Atau setidaknya punya ayah atau ibu? Atau mungkin punya kakak atau adik? Mira masih penasaran terkait demikian.

"Saya mau kita ... tetap menjadi rekan kerja seperti orang-orang pada umumnya. Dan saya nggak mau ada masalah di antara kita. Saya minta tolong, Ibu jaga sikap."

Yudha menekan ucapannya seolah Mira ingin mendengarkan tanpa numpang lewat di telinga.

"Iya, saya paham, kok." Mira membalas dengan nada lembut. "Mungkin saya yang keterlaluan menyebut Bapak sebagai suami saya. Asal Bapak tahu. suami saya sudah 'nggak ada'. Yah Bapak pasti mengertilah. Saya juga, nggak mau membuka pikiran akan realita ini. Makanya saya sempat berharap Bapak adalah suami saya. Cuman, karena Bapak udah mengingatkan saya, jadi saya mungkin harus menjaga batasan."

Mira pun mengulum senyum hangatnya. "Terima kasih, Bapak sudah ngingetin saya."

Yudha lama menatap Mira, yang cocok dengan cardigan biru muda di tubuh mungil wanita itu. Bagaimanapun, Mira adalah rekan baru Yudha yang patut diantisipasi. Entah kenapa, dia melihat sesuatu dari Mira yang dia anggap cukup mencurigakan. Dari instingnya saja seperti itu. 

"Baiklah kalau begitu. Kita sepakat untuk tetap berteman." Yudha langsung mengulurkan tangan dan akhirnya mereka berjabat tangan sampai mereka mulai mengulum senyum, meski hanya intesitas ringan.

"Saya duluan kalau begitu. Saya ingin cek rencana pembelajaran, untuk hafal apa yang mau saya ajarkan ke anak-anak." Mira berucap pamit kemudian tanpa menunggu balasan dari Yudha, wanita itu beringsut menjauh lalu melangkah pergi dari lapang luas tersebut.

Sementara itu, Yudha yang terus membidik tatapan pada punggung Mira, spontan menghela napas kasar kemudian memasukkan kedua tangannya di saku celana.

Hal aneh masih dirasakan Yudha begitu Mira terus-terus menganggap dirinya Firman. Apa yang buat Mira jadi yakin bahwa dirinya adalah Firman? Bahkan sekali lagi, Yudha tak punya keterkaitan sama sekali dengan Firman. Meskipun Yudha mengakui bahwa dia punya wajah yang sama persis dengan suami rekan kerjanya.

Guru baru SMA Sentosa. Mira Utami Hartono.

Apa yang bikin dia langsung berceletuk tentang Firman di depanku? Walau punya wajah mirip, tapi aku nggak kenal sama sekali suami Mira itu.

Rasanya ... aku ingin tahu tentang kehidupannya. 





TAMAT

***

Last chapter di cerita My Temporary Teacher dan pekan depan tidak ada update lagi ^^

Thank you semua sudah baca cerita ini, walaupun jumlah bab yang cukup banyak karena permasalahan di cerita ini juga cukup kompleks.

Yang ingin menunggu season 2, harap sabar ya. Mungkin rilis secepatnya di Wattpad bulan depan atau bulan depan berikutnya. Nanti aku infokan di lapak ini, biar kalian juga tahu update-nya.

See you

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top