Extra Chapter #1

***

"Berapa lama ASI Ibu nggak keluar?" tanya seorang wanita muda yang menggunakan jas putih seraya mengecek sesuatu pada layar komputer di arah jam 10. Wanita yang menjadi psikolog itu sedang menangani pasien bernama Mira Utami Hartono, dan wanita tersebut sedang menanyakan hal-hal yang menjadi pemicu Mira tertekan berat.

Mira dengan pakaian sederhana berupa blouse warna biru cuma menarik napas panjang sambil mengumpulkan kata-kata untuk dijawab.

"Bukan nggak keluar, tapi ..." Mira meneguk salivanya mengusir kegugupan. "Keluarnya sedikit. Semenjak suami saya meninggal, saya mengalami tekanan yang cukup berpengaruh hingga ASI saya langsung seret. Anak saya menangis berhari-hari karena sempat saya telantarkan."

"Kenapa ... Ibu telantarkan?" tanya psikolog wanita berambut pendek sebahu itu.

"Karena ... saya seperti merasa tidak berguna sebagai Ibu. Saya tidak bisa melindungi suami saya, dan saya harusnya lebih berinisiatif untuk menelepon keluarga suami saya. Saya bodoh. Saya nggak punya pegangan apa pun, malah saya mendapatkan kabar buruk yang saya tidak duga-duga."

"Wajar, Bu." Psikolog tersebut menaruh kedua tumpuan lengannya di atas meja. "Kejadian tak terduga bisa dialami kapan saja, dan tidak bisa kita prediksikan. Termasuk kematian suami Ibu. Katanya suami Ibu meninggal karena kecelakaan, kan?"

Mira mengangguk kaku, menjawab pertanyaan psikolog tadi.

"Karena Ibu sangat mencintai suami Ibu, sampai Ibu tidak rela dengan kabar yang disampaikan oleh teman terdekat Ibu. Dan Ibu mengalami stress berkepanjangan sampai membuat Ibu menelantarkan anak Ibu sendiri."

"Maaf kalau saya nyela." Mira bersuara meski terdengar serak. "Anak saya minum susfor, selama ASI saya masih seret. Saya nggak benar-benar menelantarkan anak saya. Cuma sehari aja hingga buat anak saya menangis tak henti-henti."

"Ibu sebaiknya ambil istirahat lebih banyak," tutur psikolog tersebut sangat lembut. "Beruntunglah Ibu bisa secepatnya berobat, daripada Ibu mengalami depresi."

Bagus juga buat Mira, meskipun awalnya Mira enggan ke mana pun. Termasuk disuruh ke psikolog agar menangani mentalnya. Syukur dipaksa oleh Lexi hingga Mira mau mengambil pengobatan.

"Semoga Ibu cepat sembuh ya." Psikolog itu memegang satu tangan Mira dengan erat. "Oh iya. Ibu nggak ... ingat saya?"

Sekejap Mira menatap intens psikolog wanita di depannya. Ingat? Apa psikolog tersebut sempat mengenal Mira di masa lalu?

"Siapa ya ..."

Dengan sumringah, psikolog tersebut menjawab sangat semangat. "Saya Adinda. Teman kampus waktu semester satu. Saya sempat ambil jurusan Teknologi Informasi dua semester, lalu pindah kampus dan mengambil jurusan yang berbeda."

Adinda? Mendengar nama itu, Mira spontan mengingat seorang gadis yang ceria dan social butterfly. Saat masa kuliah, cuma Adinda yang mengajak Mira bersahabat dan menjadi teman sebangku selama dua semester. Mira kala itu cuma bisa beradaptasi dengan Adinda, belum dengan yang lain. Sebelum akhirnya Mira punya banyak teman di semester tiga karena Adinda telah pindah dan katanya mengambil jurusan psikologi.

"Anda ... Adinda yang buat saya cepat akrab sama Anda, ya?" tebak Mira masih bicara formal, membuat Adinda hanya merespon dengan tawa pelan.

"Kita sempat satu kampus di universitas di Kota Surabaya. Terus saya pindah dan mendalami jurusan psikologi, hingga seperti inilah saya sekarang."

Beruntung sekali Mira mendapatkan teman lama. Setidaknya Mira menemukan koneksi dan relasi jika nanti Mira butuh sesuatu. Entah itu semacam pertemuan yang berujung saling mengobrol, atau hal apa pun yang mungkin bakal merajut tali persahabatan.

"Karena sesi konsul sudah selesai, Ibu boleh bicara informal sama saya. Tidak apa-apa." Adinda mempersilakan, tidak keberatan bila Mira mengubah situasi.

"Apa ... boleh?" Mira menunjukkan rasa malunya sambil tertawa ringan.

"Tidak apa-apa, kok. Toh kita sempat sahabat selama setahun."

***

Setelah sempat mengobrol di kafe dekat klinik milik Adinda, Mira tahu banyak tentang sahabat lamanya itu. Adinda menikah dengan seorang polisi, dan hidup bahagia di Surabaya. Namun sayang, suaminya kini berdinas di Jakarta dan membuat mereka jadi LDM. Adinda kekeh ingin menjalani profesinya di Surabaya dan itu tidak masalah baginya. Selama Adinda dan suaminya sering bertukar kabar. Toh kata Adinda, suaminya juga pulang setiap dua pekan sekali.

Mira pulang dari klinik Adinda, menuju rumah miliknya yang berada sangat dekat dengan perbatasan kota Sidoarjo. Begitu memasuki lingkungan rumah, tiba-tiba ada mobil hitam yang menepi depan pagar putih besi. Siapa mobil itu?

Mira melepas sandal dan menemukan seorang pria dengan postur tubuh yang atletis dengan kemeja lengan panjang yang digelung, tengah memeriksa suatu dokumen di sofa singel ruang tamu.

"Om Adrian?" panggil Mira terkejut.

Adrian spontan mendongakkan kepala. Tahu-tahu dirinya sendirian duduk di ruang tamu dan disapa keponakannya dengan nada agak nyaring.

"Eh, Mira? Udah pulang kamu?" Adrian merespon tanpa menoleh, masih terfokus pada dokumen.

"Kenapa om ... ke Surabaya? Apa ada pekerjaan atau ... mau ketemu ayah?" Mira perlahan duduk di sofa singel yang berhadapan langsung dengan omnya. "Tante Nisa? Alesha, nggak ikut sama om?"

Sambil menggunakan kacamatanya, Adrian menjawab pertanyaan Mira. "Om sendirian ke Surabaya, selain mau ketemu Bang Surya, om juga ada urusan bisnis di sini. Makanya om pesan hotel di dekat Tunjungan Plaza."

Mira mengangguk paham dengan jawaban omnya.

Belum sempat Mira menyela, Adrian bersuara lagi. "Sekalian om ingin bicara sesuatu sama kamu. Lagipula sebelumnya om sudah bilang ke Bang Surya kalau om ingin datang menemui kamu."

"Menemui ... saya? Om mau bicara apa?" tanya Mira penasaran.

"Om-mu prihatin dengan kesehatan mental kamu yang terguncang." Surya yang mengenakan kaos biru muda serta celana kain pendek sedang membawa nampan yang berisi minuman sirup cocopandan untuk sang adik.

"Oh, terima kasih, bang." Adrian spontan mengambil gelas miliknya yang tertata di atas nampan.

"Om-mu tahu kalau kamu mengalami depresi akibat tekanan yang kamu alami waktu kepergian Firman." Surya memberitahu sambil duduk di sofa panjang. "Sekalian om-mu memberikan tawaran bagus buat kamu, biar kamu nggak perlu terpaku untuk termenung."

"Ish, abang ini." Adrian agak menggertak, tahu-tahu kakaknya malah memberitahu sesuatu yang seharusnya dia kasih tahu lebih dulu ke Mira.

"Tawaran ... apa itu, Om?"

Alih-alih menjawab, Adrian langsung mengangkat tote bag besar berjumlah dua dan memberikannya cepat pada Surya.

"Sebelumnya om belikan susu formula buat anak kamu. Untung Bang Surya tahu Arka suka minum susu formula jenis apa. Daripada kamu buang uang untuk memenuhi kebutuhan anak kamu, lebih baik om beli untuk Arka."

"Tapi ... susu formulanya Arka kan agak mahal, om. Kenapa om harus repot-repot begini?" Mira merasa kurang enak atas kebaikan pamannya. Namun Adrian seakan tidak keberatan dan berbuat apa pun demi menyenangkan sang keponakan.

"Sekalian om ingin kasih ini ke kamu." Adrian selanjutnya memberikan secarik kertas yang entah isinya apa, tiba-tiba saja disodorkan tepat di hadapan Mira.

Mira tak perlu lama-lama untuk mengambil pemberian omnya. Lalu membaca headline yang tertulis jelas di bagian atas.

"Lowongan kerja SMA Sentosa? Maksudnya apa ini, om?" tanya Mira sungguh kurang paham. Apa yang membuat omnya jadi memberikan informasi lowongan kerja pada Mira?

"Tante Nisa, atau istrinya om, jadi kepala sekolah di sana, dan katanya guru di SMA Sentosa sedang kurang-kurangnya. Kamu kan alumni jurusan Teknologi Informasi, dan guru Teknologi Informasi juga sedang kosong. Kamu mau ... kerja di sana? Sebagai guru?"

Mira termangu sebentar. Guru? Mira tidak pernah memikirkan barang sedetikpun untuk menjadi guru. Tentu impian terbesar Mira adalah bekerja di perusahaan. Tapi, kenapa harus guru? Apakah ada hal menarik yang seakan membawanya untuk masuk dalam sekolah lamanya?

"Untuk sertifikasi pendidikan dan lain-lain, om akan uruskan semuanya untuk kamu. Asal kamu bisa melengkapi persyaratan yang ada," imbuh Adrian sangat serius, seraya matanya menatap intens Mira di depan.

"Tapi, SMA Sentosa itu kan lokasinya di Jakarta. Apa perlu saya harus terbang ke Jakarta buat mengurus semuanya?" tanya Mira ragu.

"Kamu kan sebelumnya sempat terbang ke Jakarta. Dan om menemukan kamu waktu kamu pergi dari rumah dan ayah kamu khawatir?" Adrian mengungkit perbuatan nekat yang dilakukan Mira sebulan lalu. Lebih tepatnya satu bulan setelah kematian Firman.

Mira memang tiba-tiba berniat untuk lari dari rumah dan dengan berbekal uang hampir dua juta dari hasil pekerja lepas, dia memesan tiket saat itu juga dan pergi ke Jakarta untuk menghampiri keluarga Firman.

Di situ Mira berlutut seraya memohon agar mertuanya memberitahu letak makam Firman. Namun sayang mereka masih merahasiakannya. Mereka seperti menutupi semuanya dari Mira, sampai Adrian menemukan Mira dan membawa Mira pulang ke rumahnya di Jakarta.

Sungguh miris sampai harus berbuat nekat seperti itu. Mira jadi ingin melupakan hal yang telah dilakukannya hingga membuat ayah, ibu, serta adiknya khawatir.

"Om sebelumnya udah menawarkan tapi kayaknya kamu udah lupa, karena mental kamu yang terguncang." Adrian mengungkit agar Mira ingat-ingat apa yang pernah Adrian katakan ke Mira waktu Mira menginap di rumah Adrian selama dua hari.

Mira memang lupa ucapan om-nya kala dirinya ke Jakarta. Pengaruh dari tekanan kuat itulah yang membuat isi kepalanya jadi runyam. Dan sekarang dia mengumpulkan ingatannya dan akhirnya paham kenapa omnya sangat bersikeras. Karena efek kasihan akibat Mira yang sangat stress setelah mengetahui kabar tentang Firman.

"Ini demi Arka. Kamu harus produktif, Mira. Kamu nggak boleh buat diri kamu depresi. Kamu harus pandang realita ke depan bahwa kebutuhan anak kamu makin meningkat."

Pesan dari omnya seakan menampar Mira bahwa tidak perlu terpaku pada harapan bahwa Firman belumlah mati. Mira harus sadar bahwa tumbuh kembang anaknya lebih penting. Pun Mira sampai saat ini belum bisa bekerja secara bebas karena sengaja menutupi akses dari klien-klien yang meminta dirinya untuk mengerjakan sesuatu.

Mungkinkah dengan menjadi guru, bisa membuat Mira move on sepenuhnya? Atau dalam artian, dia bisa mengeksplor lagi kemampuannya dalam bekerja?

"Selagi om bicara dengan ayah kamu, putuskan saja. Sebelum saya pulang dari sini," peringat Adrian lalu sekejap kemudian mengalihkan interaksinya pada sang kakak. Mereka spontan berbicara tentang bisnis, dan hal lainnya.

Lantas Mira langsung berdiri dari kursi dan masuk ke dalam kamarnya untuk menimbang sesuatu. Kalaupun Mira ingin buka jasa freelance-nya lagi, mungkin membutuhkan waktu cukup lama. Tidak ada yang instan, terlebih dia sempat berkabung.

Perlukah dengan bekerja di sekolah tempatnya menimba ilmu dulu, benar-benar membuat dirinya move on? Lagipula seharusnya dia beruntung mendapat koneksi berupa tantenya yang jadi kepala sekolah. Dia bisa terus berkomunikasi dengan tantenya, pun Mira sangat akrab dengan keluarga Adrian. Terutama Alesha.

"Baiklah. Mungkin untuk saat ini, aku akan menerima tawaran Om Adrian. Bisa aja luka lama akan terbuka bila mengingat perbuatan burukku semasa sekolah, tapi ... aku harus menepis semuanya. Demi Arka."

Belum cukup beberapa menit, Mira keluar dari kamarnya kemudian menyela pembicaraaan ayahnya dengan sang paman.

"Om. Aku terima tawaran om. Hanya saja, om bisa urus semuanya, kan? Termasuk sertifikasi pendidik dan berkas-berkas lain yang mendukung."

Adrian langsung tersenyum hangat kala mendengar Mira yang akhirnya setuju. Kemudian Adrian menjawab keraguan Mira barusan.

"Iya, om akan urus semuanya. Tidak ada hambatan," kata Adrian bertekad. "Kamu jangan khawatir."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top