Bab 91 #2
***
Dua pekan kemudian
Mira mengangkat satu koper kabin untuk dibawa keluar. Sementara satu tas besar yang berisi baju-baju Arka serta baju terusan Mira dibiarkan di dalam ruang tamu, sembari menunggu Surya menjemput dengan mobil pribadi. Nantinya mobil pribadi milik Surya itu bakal dititip di rumah Adrian, omnya.
Fitri dan Shinta sendiri sudah lebih dulu berada di rumah Adrian, karena mereka akan berangkat dari sana nantinya langsung menuju bandara. Untuk putranya, Arka kebetulan tertidur di stroller, sangat nyenyak. Pas sekali stroller tersebut bersampingan dengan koper dan barang bawaan lainnya di ruang tamu.
Mira rasanya ingin merebahkan tubuhnya di sofa panjang miliknya, untuk terakhir kali, sebelum benar-benar pindah ke Surabaya. Jika dipikir-pikir, Mira masih belum rela untuk pindah. Terlebih lagi dia tak dapat konfirmasi apa pun dari Firman dan keluarganya.
Sebelumnya, Mira berniat menelepon mertuanya hanya sekadar mengucapkan selamat tinggal karena akan tinggal berjauhan, namun yang didapat adalah tidak ada respon sama sekali dari mereka. Mereka bahkan tidak mengaktifkan nomor telepon, sehingga susah dihubungi.
Mengenai hal itu membuat Mira berpikiran buruk, bahwa pasti dengan memberikan isyarat seperti itu, sudah jelas mereka benar-benar akan berpisah. Mira tentu bakal mengikhlaskan, apa pun keputusan Firman nantinya.
"Firman sudah mempengaruhi mereka agar tidak menghubungiku," gumam Mira pelan sambil menatap barang-barang bawaannya. "Aku berharap yang terbaik buat Firman. Kalau Firman bisa mencari orang lain sebagai penggantiku."
Mira beralih pandangan ke Arka, yang mana bayi kecil itu tengah terlelap dengan posisi kepala sebelah kanan. Kemudian Mira mengulum senyum seraya tak menyadari bahwa air mata tergenang di pelupuk hingga merembes membasahi pipinya.
"Maafkan mama ya, nak. Kalau kamu tidak bisa bertemu dengan papa kandung kamu. Mama janji, bila mama bisa membuka hati mama ke orang lain dan bisa baik sama kamu, maka kamu bisa punya papa walau cuma seorang papa sambung."
Meskipun hal itu tidak ingin terjadi, namun lagi dan lagi Mira harus menguatkan diri dan melihat realita bahwa Firman tidak bakal membutuhkannya sebagai seorang istri. Dia rela, Arka diurus oleh orang tua baru bila Mira ikhlas menerima seseorang yang mencintainya kelak.
"Mira? Ayo kita berangkat. Ibu sama Shinta sudah menunggu, tinggal dua jam lagi dari estimasi keberangkatan kita."
Surya buru-buru mengangkat koper kabin milik Mira dan dibawa keluar untuk dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Sementara Mira cuma mendorong stroller dan Surya lanjut membawa tas besar sebagai barang satu-satunya yang ada di rumah.
Setelah itu, Mira menggendong Arka dan masuk ke dalam jok belakang pengemudi. Dia mengguncang Arka yang tiba-tiba terbangun dan mengelus pundak putra kecilnya.
"Ayah titip kunci nanti ke Om Adrian?" tanya Mira memastikan, ketika Surya ikut masuk dalam mobil dan menyalakan mesin.
"Iya. Adrian sekalian jaga rumah dan dia boleh gunakan rumah kalau Adrian punya tamu dari luar kota," jelas Surya tanpa menoleh ke belakang.
"Hush, hush. Iya, nak. Mama di sini, nak. Jangan nangis ya." Mira terus menenangkan Arka yang mulai tak tenang. Mungkin saja kepanasan. Segera Mira menyalakan pendingin mobil agar nantinya Arka merasa sejuk.
"Semoga Arka tidurnya nyenyak kalau dibawa ke dalam pesawat. Pertama kalinya kamu bawa Arka, ikut bersama kita di Surabaya," celetuk Surya pelan, melihat keadaan belakang dengan kaca tengah.
"Iya, ayah. Aku cemas dengan Arka yang nanti akan merasa nggak nyaman," tutur Mira tidak enak akan situasi ke depan.
"Kamu bisa andalin adek kamu. Dia bisa tenangin dia, kan kamu duduk bersampingan, kan?"
Mira mengangguk. "Iya, yah. Kalaupun Arka tidurnya nyenyak dalam gendongannya Mira, nggak bakal Mira kasih ke Shinta."
"Baiklah kalau begitu. Kita langsung berangkat saja ya."
Surya mulai menginjak gas lalu memutar kemudi, benar-benar menjauh dari rumah tempatnya tinggal selama di Jakarta. Sementara Mira menoleh ke belakang, sekali lagi melihat rumah miliknya.
Saat berada di jalan, Surya mendapati Mira terus mendesah gelisah. Surya ingin bertanya sesuatu namun matanya terus menerus ke depan dan tangannya memutar kemudi agar hati dan pikirannya sinkron.
Begitu menepikan mobil karena ada lampu merah, Surya pun melempar pertanyaan.
"Nak. Kamu kenapa gelisah terus?" tanya Surya lembut, mengarahkan pandangan pada kaca tengah mobil "Kamu mikirin apa, nak?"
Mira sempat termangu beberapa menit namun setelah itu memanggil kesadarannya setelah ayahnya bersuara. "Nggak. Mira nggak berpikir apa pun."
Selagi menyesuaikan posisi menggendong Arka, dia mengambil napas agar leluasa membuatnya rileks.
"Ayah tahu kamu pasti memikirkan Firman, kan?" tebak Surya. "Ayah pun sudah menduganya dari awal kalau keluarganya ingin kamu untuk pisah. Buktinya, ayah mau telepon Pak Heru, malah tidak aktif. Ke Bu Nindya juga sama. Nak Andini sama juga. Artinya, mereka benar-benar menutup dirinya buat kamu."
Mira tak ingin menjawab atau bereaksi apa pun tentang tanggapan ayahnya. Lebih baik diam dan mengosongkan pikiran. Alangkah bagusnya seperti itu.
"Biarkan Arka mendapatkan kasih sayang dari kamu, sebagai mamanya, juga kakek dan neneknya, dan tantenya. Ayah yakin, Arka tetap menjadi anak yang bahagia karena Arka dikelilingi orang-orang yang sayang sama dia."
Mira hanya berdeham kecil sebagai jawaban. Memang seharusnya, Mira memastikan Arka tidak terguncang akibat cuma memiliki satu orang tua yaitu ibu. Mira harus menjamin kehidupan Arka sampai besar, dan harapannya, Arka tidak menanyakan sosok bapak. Kalaupun demikian, semoga Mira mendapatkan tambatan hati setelahnya.
Begitu merasa jauh, Mira menoleh pandangan pada jendela sebentar untuk menikmati pemandangan siang menuju sore. Setidaknya pikiran-pikiran negatif luruh dari dalam kepala, saat melihat awan-awan indah di langit.
Saat merasa jauh lebih tenang, dia ingin membuka ponsel sebentar, hanya sekadar mengecek sosial media. Namun sedetik kemudian, ada satu notifikasi pesan yang mengalihkan atensinya. Hingga membuat Mira menekan aplikasi pesan dan menampilkan riwayat pesan terbaru dari Lexi.
Ada satu foto terlampir? Mira penasaran lalu memencet kolom chat pribadi Lexi.
(Mira. Maaf aku memberitahu ini, sangat terlambat aku kasih tahunya.)
(Firman ...)
(Firman meninggal. Karena mengalami kecelakaan tunggal. Ini foto mobilnya dan aku harap kamu jangan membukanya. Kamu bisa terluka nanti.)
Tunggu. Seketika jantungnya berpacu cepat melihat kata-kata tadi. Dia memastikan dan mendekatkan layar ponsel miliknya.
"Fi--Firman? Meninggal?" gumam Mira pelan yang untungnya tak didengar Surya.
Selanjutnya, Mira membaca satu pesan yang baru-baru ini dikirim Lexi.
(Pemakamannya sudah selesai, itu alasannya Om Heru dan Tante Nindya tidak memberitahumu. Karena kata mereka, kematian Firman harus dirahasiakan dan letak makamnya juga rahasia. Maaf, Mira. Harus memberitahu kabar duka ini ke kamu.)
Seketika itu pula, Mira merasa terguncang. Di dalam hati rasanya remuk. Yang menjadi pertanyaannya adalah, bagaimana bisa? Bagaimana bisa hal itu terjadi?
Mungkin rasa cemas yang dia alami dua pekan lalu memang benar adanya. Firman sungguh mengalami kejadian yang tak disangka.
Kini, kepala Mira seakan kosong. Entah bagaimana lagi dia harus mengendalikan diri. Bila harus memberitahu kabar tersebut ke keluarganya, pasti mereka akan menunda keberangkatan mereka ke Surabaya. Tidak, jangan sampai mereka ikut tahu. Biarkan saja dia pendam sendiri.
Lebih baik untuk menyembunyikannya terlebih dahulu daripada masalah makin panjang. Biarkan pula dia menanggung kesedihannya seorang diri.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top