Bab 9
***
(Mira. Kenapa semalam kamu nggak datang? Bukannya memenuhi kehadiran malah membolos. Besok sudah pertemuan ketiga, tahu nggak. Kamu tuh beneran niat minta diajari? Kamu ada masalah apa sampai menghindar begitu, hah? Aku telepon berkali-kali, kamu nggak angkat. Awas aja ya kalau sampai aku tahu kamu cuma main-main!)
Di meja kubikelnya, Firman terdiam dengan kegelisahan yang menderanya. Isi pesannya ke Mira menunjukkan amarah, namun saat ini dia menunjukkan rasa khawatirnya lebih dalam. Sembari memegang bibir bawah, Firman tampak sibuk memutar otak, mencari jawaban atas pertanyaan yang mengganggunya. Terlebih, Mira tak memberikan kabar apa-apa padanya.
"Tuh anak kenapa sih? Kenapa waktu kutelepon sehari lalu, dia seperti tergesa-gesa begitu?" gumam Firman pelan, seakan mencoba merenungkan situasi yang tak kunjung terpecahkan.
Di tengah lamunannya, sebuah tangan tiba-tiba menepuk pundaknya. Membuat Firman terkejut.
"Hei! Ngapain melamun?" sapa Gio, rekan kerjanya. "Ada satu meeting lagi nih. Ayo kita ke ruang rapat."
Firman hampir saja terjatuh dari kursinya, ketika Gio tiba-tiba datang ke mejanya dan menyapa tanpa memberi aba-aba. Gelagapan merasuki dirinya setelah disadarkan oleh temannya tersebut. Dia berusaha mengatasi perasaan kacau di dalam hatinya, dan mengikuti Gio ke ruang rapat dengan pikiran yang masih terbayang pada Mira.
"Kamu lagi mikirin setelah pulang mau makan apa?" goda Gio sambil tersenyum. "Kita ada rapat tentang strategi optimisasi website serta pengaturan budgeting untuk sosial media perusahaan. Ayo, kalau mau FoodBeary lebih baik lagi, berikan semua idemu di ruang rapat. Ayo, ayo."
Begitu antusiasnya Gio sampai harus menyoraki Firman yang tampak lemas di kursi putar. Gio tak butuh waktu lama untuk membujuk rekannya hingga mulai memapah Firman seraya membantunya berdiri dari kursi.
"Bro, nggak usah mikirin yang lain-lain. Nggak boleh sia-siain kesempatan," pinta Gio terus memberikan semangat.
Meskipun merasa tidak nyaman dengan perhatian berlebihan, Firman meminta Gio untuk melepaskan papahannya dari leher. "Sudah. Aku bisa jalan sendiri, jangan membopongku kayak gitu. Takut pinggangmu encok nanti karena aku ini tinggi."
Firman mengangkat tubuhnya dan dengan mantap memutuskan untuk menuju ruang rapat sendirian. Meskipun ada perasaan cemas yang mengganggunya, dia berusaha untuk fokus pada urusan kantor dan memberikan kontribusinya untuk mengoptimalkan FoodBeary. Langkahnya mantap mendahului Gio menuju ruang rapat yang jaraknya dekat dengan ruang kerja.
Beberapa menit berlalu, diivisi digital marketing melaksanakan rapat untuk mengatur budgeting campaign selanjutnya. Di ruang rapat, Firman menyusun beberapa dokumen dan dimasukkan ke dalam map bening. Firman mengecek jam di ponselnya. Kurang 10 menit jam 5 sore. Padahal rapat barusan dimulai jam 4 sore lebih 20 menit. Dan membahas strategi optimisasi untuk meningkatkan pelayanan juga sekitar 30 menit.
"Duh, itu anak kenapa nggak beri kabar kek atau apa gitu. Malah ngilang," gumam Firman tanpa menyadari Gio mendengarnya ketika sedang menutup tirai jendela.
Gio penasaran dan mendekati Firman. "Anak? Siapa?"
Firman cepat-cepat menggeleng. "Ah, nggak. Bukan siapa-siapa, kok."
"Kamu khawatirin seseorang sampai marah-marah nggak jelas begitu?" tanya Gio berusaha membuat Firman menjawab pertanyaan tadi.
"Nggaklah! Males tahu aku ladeni kamu yang gaje gini! Mending langsung pulang," sahut Firman meninggikan suaranya, ingin menghindari pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut.
Dia berdiri dari kursi dan berencana meninggalkan ruang rapat, namun Gio menahan lengan Firman saat hendak membuka pintu.
"Jangan pergi dulu!" pinta Gio dengan tegas. "Kamu lupa kita dikasih tugas sama Kak Hardi barusan? Jangan main pulang begitu saja dong."
Firman mendengus sebagai balasan, namun urusan Mira masih menghantui pikirannya. Dia merasa sulit untuk berkonsentrasi dan melanjutkan pekerjaannya dengan perasaan yang belum terselesaikan.
"Ayo kita ke Kafe Brilliant di Heitz," tawar Gio mendadak. Sepertinya ingin mencairkan suasana. "Sepertinya kamu beneran marah. Kita beli minuman sekalian beli dessert-nya."
Firman tetap tidak mendengar. Gagang pintu sudah digenggamnya. Pria itu spontan mendorong daun pintu, melepaskan cengkraman tangan sahabatnya.
"Firman. Kamu sungguh ..."
"Ayo. Ngapain ngikutin? Aku mau, kok." Firman cepat-cepat berbalik mengiyakan tawaran tersebut. Dia hanya iseng meninggalkan Gio barusan. Firman pun menarik punggung tangan Gio menuju area lift kantornya.
***
Api yang membakar foto-foto serta beberapa hadiah dari Adit, menciptakan sinar menyilaukan yang memantulkan emosi Mira. Teriakan dari wanita muda itu, membelah heningnya tempat pembakaran, menjadi untaian ekspresi amarah dan kekecewaan yang meluap dari dalam dirinya.
"Dasar jahat! Benar-benar tidak berguna! Seenaknya kamu mengkhianati aku seperti itu! Dasar Adit sialan!" Jeritan Mira memenuhi udara, meserap ke setiap sudut ruang terbuka. Dia tak tahan lagi, dia meluapkan semua marahnya. Kobaran api yang membesar seolah terwakilkan oleh amukan Mira barusan.
Wanita berpakaian hoodie itu berdiri di tengah-tengah api yang berkobar, memandangi objek yang dia lemparkan agar semuanya terbakar tanpa sisa. Dia seakan-akan memberi ruang bagi emosinya untuk menyusur dan menemukan pembebasan.
Satu per satu, Mira membuang semua pemberian hadiah Adit, termasuk boneka, bunga, cokelat, dan lainnya. Setiap lemparan barang ke tempat pembakaran dikuti tawa getir yang tercampur dengan dentingan api.
"Semua nggak ada gunanya! Hadiah yang kamu kasih ke aku, semua nggak ada gunanya!" seru Mira tegas, seolah berusaha mengeluarkan racun yang terpendam dalam diri. Dia tak peduli reaksi orang-orang yang mungkin mendengar teriakannya.
Beberapa menit Mira membakar barang-barang yang dikeluarkannya susah payah dari dalam kos. Hingga, semua hadiah tersebut kini tinggal abu. Mira merasakan beban terlepas dalam dirinya. Dia tak perlu lagi memikirkan mantan pacarnya itu. Kenangannya sirna, bahkan di dalam pikirannya pun.
"Kenapa sih Adit harus bohong padaku tentang perjalanan dinas? Terus apa? Dia bakal menikah dalam waktu dekat?" Hahahaha ..." Mira tertawa kencang, tapi tawa tersebut lebih dari sekadar ekspresi gembira. Lebih dari itu, tawa tersebut merupakan bentuk dari pembebasan diri dari rasa sakit dan kecewa yang pernah melingkari hatinya.
"Dia pikir aku bakal panas lihat mereka, dan buat aku makin jatuh? Nggak! Aku nggak akan panas. Aku bakal buktikan ke mereka bahwa aku juga bisa move on. Mereka nggak akan meledekku lagi!" ucap Mira dengan tekad.
Tak ragu Mira menginjak-injak pigura foto dirinya bersama Adit dengan keras, menyebabkan pecahan kaca berhamburan di sekitarnya. Dia merasa perlu menghapus semua jejak kenangan bersama Adit, membuangnya jauh-jauh agar tak lagi mengganggu hatinya.
Meskipun masih ada banyak barang lain yang harus dibakar, Mira merasa kelelahan karena emosi yang meledak-ledak. "Apa yang perlu disesali saat putus dari Adit?" gumamnya dengan suara sendu. "Tetap aja, aku masih marah. Beruntung ada Lexi. Kalau bukan karena Lexi, aku nggak bakal tahu Adit selingkuh begini. Aku pasti bakal berdiri di atas panggung sandiwara yang dibuat Adit."
Perlahan-lahan, Mira mulai mengemas barang-barang yang tersisa. Dia merenung apakah akan membiarkan barang-barang tersebut berada di kamar kosnya atau memberikannya kepada orang lain. Tentu Mira masih bimbang dan perasaannya juga sedang campur aduk.
Setelah meninggalkan tempat pembakaran, Mira sadar tubuhnya tercium bau asap sebab lama berdiri di depan kobaran api yang membakar beberapa barang tadi. Meskipun begitu, Mira tidak peduli dengan kondisinya yang kotor dan berbau asap karena amarahnya masih belum mereda. Dia memutuskan untuk merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit, dan mencoba merenungkan apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
Mira terdiam, merenungkan tentang Adit yang menyembunyikan pernikahannya. Pikirannya melayang ke foto yang sempat dia perlihatkan pada mereka.
Tunggu, aku kan sempat menunjukkan sebuah foto ke Adit. Foto itu ...
Spontan saja, Mira tercengang sambil menutup mulutnya yang membulat sempurna. Lalu setelah itu, dia mulai menjerit dan mengacak-acak rambut panjangnya, memikirkan hal bodoh yang dilakukannya sehari lalu.
"Kenapa aku bilang ke Adit kalau calon suamiku Firman?" keluh Mira sambil memukul kepalanya berulang kali. "Malah ini begitu mendadak. Tak tahu lagi harus gimana."
Tubuh Mira berguling ke kiri dan ke kanan, seperti mencari jawaban di setiap sudut pikirannya. Jeritannya semakin kuat, dan akhirnya, dia memilih menelungkupkan wajah di antara lengannya yang gemetar.
Lalu apa yang harus aku lakukan? Menikah dengan Firman sebagai pembuktian bahwa aku sudah move on? Supaya Adit tidak mengolok-olokku lagi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menghantui Mira, dan dia merasa terjebak dalam perasaan kebingungan yang menggerogoti pikirannya.
***
Pada malam hari, Mira memutuskan bekerja di kafe Briliant. Bukan sekadar melakukan pekerjaan sebagai freelance. Dia ingin mencari ketenangan dalam keriuhan kota. Mengenakan hoodie pink yang khas, dia memilih tempat duduk di sudut ternyaman yaitu bagian booth & benches.
Meja tersebut, Mira pun meletakkan laptop abu-abu serta tablet di atas meja. Kemudian Mira membuka laptopnya terlebih dahulu, untuk mengecek surel dari klien. Apakah mereka kirim content brief atau tidak?
Cuma satu?
Dengan mata yang fokus menatap layar, Mira menyadari hanya ada satu klien yang masih setia menggunakan jasanya. Seutas senyuman kaku terlintas di wajahnya, tetapi sebenarnya hatinya memendam keraguan.
Sudah kuduga, kan? Kalau aku fokus ke bidang desain, pasti bakal susah prosesnya. Apa dengan belajar marketing, semuanya bakal mudah?
Mira memandang lekat layar laptop, dan melihat satu buah surel yang ter-highlight paling atas. Benar, satu klien setia yang menggunakan jasa Mira. Pun hanya sebatas menggambar desain konten. Urusan copy dan lain-lainnya, itu orang lain yang kerjakan, bukanlah Mira.
Lebih baik, fokuslah kejar impianku sendiri untuk kerja kantoran. Atau mengeksplor skill biar lebih mateng lagi. Batin Mira.
Baru juga ingin memulai kerja, tiba-tiba saja ancaman Firman pada Mira muncul dalam benaknya.
'Awas ya kalau sampai tidak hadir sesi belajar. Jangan berani menghindar.'
Mira tertunduk sekejap, merenungi keputusannya yang bodoh.
Ah, kenapa aku harus blokir nomornya? Kenapa? Kalau Firman tahu ini, bisa-bisa dia marah besar. Batinnya berkata demikian sebab tersadar akan perbuatannya. Ditambah lagi, dia mematikan ponselnya sepanjang hari setelah pertengkarannya dengan Adit.
Apa jangan-jangan, Firman meneleponku terus ya? Bahkan ketika aku memblokir nomornya? Mira lanjut membatin, bertanya pada dirinya sendiri terkait apa yang sudah terjadi.
Daripada urusan jadi panjang, Mira mulai mengaktifkan ponselnya guna agar Firman tidak khawatir. Pasti gurunya berulang kali menelepon, dia tahu itu.
Perangkatnya mulai menyala, Mira langsung membuka aplikasi perpesanan. Tanpa lama-lama, dia membuka blokiran kontak Firman kemudian mengetik sesuatu di ruang obrolan.
[Maafkan saya, Pak Firman. Saya sempat memblok Anda dan mematikan ponsel saya. Jika Anda bertanya-tanya kenapa saya tidak datang, itu karena saya ada masalah yang serius. Saya janji nggak akan menghindar lagi. Jangan suruh saya membayar. Apa pun syarat yang ingin Anda limpahkan, akan saya penuhi.]
Mira mengetik pesan tersebut dengan situasi formal. Mira gelisah saat membalasnya, harap-harap Firman dapat memaklumi.
Si empunya ponsel terkejut melihat layar. Hanya centang biru, berarti Firman membacanya.
"Tunggu, tunggu. Kenapa dia tidak balas pesanku?" gumam Mira penasaran. Pandangannya masih terpaku pada layar, menampilkan riwayat pesan dari Firman.
Mira memilih mematikan ponsel hanya sekadar fokus melakukan pekerjaannya. Namun suara denting memenuhi pendengaran. Tentu itu adalah suara notifikasi pesan masuk. Mira segera membuka ponselnya, dan benar Firman membalas pesan.
(Kamu ada di mana?)
Mira mengerutkan kening. Kenapa tiba-tiba menanyakan dirinya di mana? Apa jangan-jangan Firman sungguh khawatir?
Jempolnya pun mengetik balasan.
(Aku ada di kosan.)
Semoga dia tidak tahu aku ada di luar.
(Bohong.)
Balasan dari Firman spontan membuat Mira menoleh ke belakang. Mungkinkah Firman memata-matainya? Kenapa bisa tahu Mira bohong? Jangan-jangan gurunya sedang menguntitnya?
(Bapak ada di mana sih?)
Mira mengetik pesan untuk bertanya. Tak lama, muncul balasan.
(Hei, ngapain bilang di kosan kalau kamu ternyata di Kafe Brilliant, hah? Mau mencoba menghindariku lagi? Aku lihat kamu mengenakan hoodie pink dan celana tidur kotak-kotak. Jangan mengelak. Aku di kafe ini juga dan kebetulan lihat kamu sedang kerja.)
Lagi-lagi Mira menoleh ke belakang, mencari keberadaan Firman. Sungguh, Mira malah kebingungan.
Firman mana sih?
Apa karena posisi Mira yang kurang dijangkau oleh beberapa orang? Tapi bagaimana bisa Firman tahu dia ada di kedai kopi gedung Heitz?
"Nah, ini dia nih orangnya. Membolos di pertemuan kedua."
Suara berat yang terdengar mengudara di telinga Mira pun langsung menolehkan kepala, begitu melihat Firman yang sedang menggunakan kacamata bulat datang menghampiri mejanya. Tak lupa omelan khasnya menusuk pendengarannya sekarang.
"Kamu ini, sepertinya perlu diberi pelajaran dulu biar nggak kapok," tambahnya lalu duduk di hadapan Mira seraya menaruh laptop dan minumannya.
"Kamu tuh gimana sih? Aku sudah tegas loh minta kamu datang jam 7. Tapi nyatanya, kamu malah menghindar. Mau seriusin di bidang digital marketing, tapi niatnya kamu malah main-main. Sengaja ya, bikin aku marah kayak gini, hah?"
Mira sadari kesalahannya, yang bisa dilakukannya hanyalah menunduk. Berbagai omelan bahkan luapan amarah Firman padanya diterima dengan lapang dada.
Harusnya aku nggak perlu blokir Firman, malah menambah beban lagi. Aku diomeli lagi sama pak guru di depanku ini.
"Aku tuh pengen kasih hukuman padamu, tahu." Sangking gemesnya, Firman mempersiapkan jari telunjuk serta ibu jari membentuk huruf O untuk menjitak kepala Mira. Namun sayangnya, Firman menahannya dan hanya menyapukan kening Mira satu kali.
"Aku ingin menjitakmu, tapi nggak bisa." Firman memilih tidak peduli dan ikut membuka laptop miliknya untuk menyelesaikan pekerjaan.
"Tapi aku serius, Mir. Kenapa kamu menghindar?" Rasa penasaran Firman menggebu-gebu dan memilih menyingkirkan laptopnya di sisi kanan sambil menatap lawan bicaranya. "Masalah apa yang membuat kamu jadi begini? Dan kenapa tidak bilang dulu supaya aku tidak berkali-kali meneleponmu?
Firman memberikan pertanyaan bertubi-tubi yang membuat Mira makin tak dapat menjawabnya. Mira hanya bisa memilin kedua ibu jarinya, bingung merangkai kata.
Gimana ini? Aku harus jawab apa? Kalau mengenai kebodohanku, aku nggak mau sampai Adit tahu cuma haluku doang. Aku mau ajak Firman menikah, tapi nggak gampang caranya. Tapi ... di sisi lain keluarganya Firman membuatku nyaman. Aku jadi bimbang.
"Kenapa kamu diam?" Firman menegur Mira yang melamun di hadapannya sambil menatap serius. "Masalah apa yang terjadi padamu, sampai kamu tidak datang ke sesi belajar? Apalagi kamu sempat memblokir nomorku. Takutnya malah serius. Apa yang sebenarnya terjadi, hah?"
"Aku sudah putus dengan Adit!" seru Mira namun refleks menutup mulutnya merasa keceplosan.
"Hah? Apa maksudmu? Kamu putus dengan Adit?" tanya Firman sempat terkejut kemudian bingung.
"Pokoknya aku sudah putus," jawab Mira pasrah.
"Setidaknya kasih tahu alasannya kenapa. Kalian putus juga pasti ada sebabnya, kan?" desak Firman.
"Aku memergokinya bersama wanita lain. Juga, dia bohong tentang perjalanan dinas. Aku suruh temanku memata-matai Adit, dan ternyata benar. Adit malah ke kafe bersama wanita lain," lirih Mira.
"Sialan Adit itu!" Spontan Firman merutuk sambil memukul meja, setelah mendengar apa yang dialami Mira. "Jadi kenapa Adit bisa sampai main di belakangmu? Ada masalah dengan hubungan kalian? Atau jangan-jangan, Adit tahu kita pernah pura-pura menjalin hubungan?"
Mira menggeleng cepat, ekspresinya menunjukkan ketegasan. "Bukan karena itu. Tapi kata Adit, dia bosan dengan hubungan kami."
Sempat ragu untuk menceritakannya, Mira membuang napas kemudian lanjut mengutarakan semua hal yang dialaminya. "Hubungan kami tidak berkembang apa-apa. Kencan kami jadi monoton, dan itu salah satu alasan dia mencari yang lain. Padahal dulu, saat awal-awal pacaran, Adit selalu memberikan hadiah kejutan padaku. Aku tak pernah memintanya, dia dengan senang hati membelikannya untukku. Tapi entah bagaimana, dia berubah sekarang, hanya karena merasa bosan."
Firman mendengus kesal, tangannya menghantam meja dengan amarah yang tertahan. "Benar-benar Adit, ya? Dia membuangmu begitu saja dan memilih wanita lain."
"Ada satu lagi alasan putus yang bukan dari kemauanku sendiri. Aku sebenarnya tidak ingin putus setelah melabraknya, tapi Adit ..." Mira mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Dia berkata bahwa aku adalah wanita yang tidak berharga dan tidak ada lelaki yang akan tertarik padaku. Katanya, dia menyesal pernah pacaran denganku dan tahu kepribadian burukku. Saat itu pula dia ... memutuskan hubungan kami."
"Huft! Memang ya Adit sungguh mencampakkan kamu. Adit itu bisa-bisa aku pukuli," gerutu Firman, menegangkan otot tangannya. "Kasih tahu di mana rumahnya! Biar aku pukul si Adit!"
"Buat apa?" Mira mencoba menenangkan sahabatnya dan meredakan amarahnya. "Menghadapi Adit dengan kekerasan tidak akan selesaikan masalah. Aku nggak punya perasaan apa-apa lagi padanya. Juga, kamu bakal dapat masalah loh kalau sampai memukulnya. Sudah, mending jangan marah ya, Man."
Mira paham niat baik Firman untuk melindunginya, tapi dia tahu bahwa kekerasan bukanlah cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Mira meminta Firman untuk duduk di kursi, berusaha mengalihkan pikiran sahabatnya dari niat balas dendam yang berbahaya.
"Sejujurnya, ada sesuatu yang mau aku omongin," ucap Mira ragu-ragu.
"Ngomongin apa lagi sih? Bukankah sudah jelas kamu diselingkuhi sama Adit?"
"Aku nggak mau bilang ini kepadamu. Sangat jijik bila kuucapkan, tapi ... aku harus mengatakannya demi kebaikan kita sendiri."
Firman tak membalas melainkan menatap Mira serius.
"Aku mau kita menikah. Dalam waktu dekat ini."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top