Bab 88 #1
***
Firman mengeluarkan isi perutnya sekali lagi karena sempat merasa sesak napas dan mengalami pusing kepala. Hingga ketika malam mulai tiba, Firman pun mengistirahatkan dirinya seraya menyandarkan kepala tempat tidur.
Untuk masa lalu, tampaknya benar-benar jelas bahwa Mira adalah otak perundungan. Lalu lelaki yang sampai sekarang belum terpecahkan dalam kepala. Namun, alasan kenapa Mira dulu menikah dengannya, itu merupakan alasan yang sulit dicerna.
Pernikahan kontrak? Pernikahan kontrak? Apa yang dimaksud itu ya?
Kata-kata tersebut keluar begitu saja dari otaknya. Firman menikah kontrak dengan Mira. Terus kenapa Mira tidak mengungkitnya saja dari awal?
"Kita menikah atas dasar perjanjian."
"Perjanjian apa? Ngapain kamu bikin-bikin perjanjian seolah kita ada kesepakatan yang mengikat, hah? Apa ada sesuatu yang mengharuskan kita menikah? Buat apa ada perjanjian? Kita menikah kontrak atau gimana?"
"Iya, kita menikah kontrak. Kesepakatannya hanya enam bulan, dan masa pernikahan kontrak kita sudah habis. Dan ... kita masih belum berpisah karena cuma kamu yang bisa memutuskan apa meneruskan pernikahan atau menyudahinya."
Rasanya kepala Firman mau pecah. Banyak sekali hal-hal yang baru terungkap. Dan dia perlahan mengingat ketika dirinya terbangun dari koma, Mira sempat berlutut dan berkata jujur tentang hubungannya.
Lalu, soal Mira yang jadi asistennya, apa yang mendasari demikian? Firman mencoba untuk memejamkan mata lalu menarik napas dalam-dalam, seakan ingin memanggil ingatannya yang terhambur entah ke mana. Semoga saja dalam satu kali tarikan napas, bisa memperjelas semuanya. Mungkin saja setidaknya momen tersebut dapat diingatnya tanpa perlu terhambat oleh waktu.
"Mulai sekarang, walau kamu nggak minta pun, aku yang bakal buatkan kamu bekal untuk ke kantor. Memasakkan kamu sesuatu, jadi kamu tidak perlu repot-repot bikin makanan."
"Jadi asisten maksudnya?" tanya Firman mulai menangkap maksud Mira.
"Iya."
"Tunggu, tunggu. Apa itu artinya kamu mau berlagak seperti istri yang baik buatku?" Firman berusaha memastikan ucapan Mira barusan.
"Aku tahu sih, ini akan melenceng dari apa yang sudah kita sepakati dulu. Tapi, dari waktu enam bulan, tersisa lima bulan lagi. Bukan berarti aku mau dekat sama kamu. Aku cuma ingin bantu meringankan. Kamu pekerja kantoran dan banyak tugas yang diberikan atasan. Aku takut saja kamu tidak bisa mengurus dirimu sendiri dan mementngkan pekerjaan dibanding lainnya."
Mira melanjutkan. "Aku tuh begini bukan karena peduli sama kamu, Man. Jadi tolong jangan mengajukan keberatan kalau aku bikinin kamu bekal setiap hari dan memasakkan kamu sesuatu, mencuci pakaianmu dan semuanya. Aku melakukan semua itu biar kamu juga fokus bekerja."
"Apa itu semua, awal aku jatuh cinta sama Mira?" tanya Firman membatin.
Lagi dan lagi Firman teringat bahwa dirinya sempat membalas semua perbuatan Mira di masa lalu dengan menjadikannya asisten. Bukan sekadar asisten, melainkan pembantu di apartemennya. Membuat Mira membersihkan unitnya setiap hari, memasak, bahkan mencuci pakaian formal. Tak lupa Mira yang mengepel manual menggunakan kedua tangan agar unitnya benar-benar bersih.
"Jadi aku udah bikin dia sengsara dulu?" Firman menebak dari hasil menyelam dalam ingatan yang baru muncul.
"Heh, bersihin kerak panci ini. Kamu pasti bisa kan membersihkannya?" Firman melempar begitu saja panci berukuran kecil yang mana bagian bawahnya sudah tertimbul noda warna cokelat gelap. "Tinggal beli baking soda sama garam, pasti kamu bisa."
"Ini kan ... keraknya mana bisa pakai itu." Mira tahu noda kerak dari panci saucepan warna silver tersebut tidak akan bersih total bila cuma menggunakan baking soda dan garam. "Harus ada lemon."
"Ya makanya. Beli sana. Bersihkan dalam waktu satu jam. Kalau nggak bersih, aku suruh kamu gosok-gosok sampai ilang nodanya."
"Mana bisa, Man? Kan kita bisa beli panci baru. Ini pancinya nggak layak pakai loh."
"Itu panci yang ibuku beli. Mana bisa diganti? Pokoknya kamu bersihin, nggak pake lama! Ngerti?"
Firman menghela napas. Akhirnya dia ingat bahwa dulu pernah memberikan pelajaran pada si benalu itu. Meski tidak di waktu sekarang, tapi melihat wajah Mira yang pasrah itu, sudah cukup membuatnya puas.
"Lalu kapan aku jatuh cinta ya?" Firman bertanya, sembari menyinggung sekali lagi apa yang membuat keluarganya jadi baik pada Mira.
"Mira. Aku ingatkan sekali lagi. Kumohon, cobalah untuk melupakan semua itu dan memulai menata masa depan. Aku tahu, kita berdua terjalin ikatan pernikahan berdasarkan kesepakatan bersama. Hanya saja, aku ingin membuat momen yang membahagiakan supaya aku tak perlu lagi mengingat hal-hal buruk."
"Apa kamu ... sungguh yakin dengan keputusan kamu?"
"Kamu di sini sebagai penolongku. Kamu di sampingku aja udah bikin aku tenang. Kita jalani semuanya bersama. Aku sangat ingin membuat momen bahagia dengan kamu, Mira."
Selanjutnya, yang Firman ingat setelahnya, mereka berbuat hal-hal seperti suami-istri pada umumnya. Firman mencium Mira, lalu membelai lembut Mira, dan berbagi kasih sayang pada Mira. Intinya Firman memperlakukan Mira bak barang berharga miliknya.
Hingga perlahan dia terus mengingat momen manis tersebut, lalu terhenti kepada Firman yang dulu dalam keadaan berdarah-darah. Jelas sekali ada dalam bayangannya meski kedua mata kini terpejam.
"Kalau aku tahu ... kamu adalah otak perundungan itu ... tidak apa. Yang penting aku sudah paham masa lalumu. Juga ... aku senang bertemu dengan ... orang jujur seperti kamu, Mir. Orang yang ... selalu memikirkan kesalahannya dan setiap saat merenunginya."
Selanjutnya, Firman tak menyadari bahwa pipinya basah karena air mata yang jatuh. Firman kini menangis, mendengar jeritan histeris Mira walau samar-samar.
"Nggak. Kamu nggak boleh mati, Firman. Bagaimana dengan ayah dan ibu? Juga Kak Andini? Bagaimana dengan mereka kalau tahu hal itu, Man?"
Mira memeluk kuat tubuh Firman yang bersimbah darah, tak menghentikan tangisannya yang makin tersedu-sedu.
"Walau aku juga berharap ... aku nggak mau mati. Rasa sakitnya ... menjalar ke seluruh tubuh. Aku ... nggak bisa ... menahannya."
"Nggak. Aku mohon. Kamu tetap bertahan. Ya?"
Tangisan Mira yang kencang membuat Firman ikut menangis. Kepalanya tertunduk, membiarkan air matanya membasahi selimut.
"Nak? Kamu nangis? Kamu udah muntah?" Heru masuk dalam kamar Firman, kemudian menaruh segelas susu di atas nakas dan menyentuh pundak anaknya.
"Jadi ... yang bikin aku koma itu ... karena aku disiksa sama seseorang?" tanya Firman memastikan ucapan ayahnya sejam yang lalu, di mana Heru mengungkap penyebab koma Firman karena dipukuli habis-habisan di sebuah rumah.
Heru mengangguk pelan. "Iya. Orang itu ayah tidak tahu siapa. Yang jelas itu juga ada kaitannya dengan pelaku lain di masa lalu."
Firman masih harus mencari siapa pelaku itu. Otaknya susah bekerja sekarang. Malahan ingatannya terus menerus mengucur tentang Mira.
Ah, mengingat Mira. Firman malah merasa bersalah karena membuat Mira menangis. Juga tindakan kasarnya terhadap Mira. Kini Firman menaruh belas kasihan pada wanita itu. Wanita yang masih jadi istri sahnya itu.
"Ayah." Firman memanggil lalu mendongakkan kepala. "Mira ... kabarnya baik-baik aja, kan?"
Balasan Heru ialah senyuman yang hangat lalu mengelus kepala putranya. "Jadi kamu sudah ingat sekarang? Kamu sudah ingat tentang Mira? Kamu nggak marah lagi sama dia?"
"Buat apa aku marah? Toh aku masih suaminya. Aku nggak layak memarahi Mira. Secara dia istri aku, ayah. Seorang suami nggak pantas membentak istrinya. Dia bakal sakit hati nanti."
"Nah, itu kamu tahu." Heru menunjuk sambil mencolek hidung mancung Firman. "Lagipula Mira udah minta maaf, bahkan dari jauh-jauh hari. Mira menjalani perannya sebagai istri yang berbakti buat kamu. Dia berusaha keras agar menebus kesalahannya. Mira udah banyak sekali mengerahkan usahanya. Jadi kamu sepantasnya membalas dia. Dengan memberikan kasih sayangmu padanya."
Firman merasa, dari hasil kurang enaknya itu membuatnya rindu terhadap sosok wanita mungil itu. Wanita yang selalu menemaninya di kala melawan traumanya. Wanita yang tidak rela dirinya meninggal di hari di mana dia terluka sangat parah. Wanita yang menumpahkan rasa cintanya pada Firman. Semua itu Firman telah ingat dan kini dia sungguh ingin Mira berada di sampingnya sekarang dan memeluknya erat-erat.
"Apa aku ... boleh izin keluar ketemu Mira?" Firman memohon, kali ini matanya berbinar seolah ingin mendapat lampu hijau dari Heru.
"Nggak sekarang, nak," larang Heru seraya memegang kedua lengan Firman. "Kamu masih sakit loh. Kaki kamu masih pincang buat jalan. Istirahat dulu ya."
"Tapi aku mau ketemu dengan dia. Aku sangat rindu dengan dia, yah."
Bukan tanpa alasan Firman berkeinginan seperti itu. Firman sungguh merasa bersalah karena memanggil Mira dengan sebutan benalu. Begitu dia telah ingat semua hal, membuat Firman ingin segera melepas kangen dengan Mira. Firman benar-benar berada pada jati dirinya. Bukanlah Firman yang terjebak di masa SMA.
"Nanti ya. Nanti." Heru perlahan membimbing tubuh anaknya untuk ditaruh di dadanya, kemudian mengelus pucuk kepala Firman berkali-kali. "Kalau sudah fisioterapi pekan depan, baru boleh ketemu Mira."
Heru mengecup kening Firman lalu menatap intens putra bungsunya. "Kamu istirahat ya, ayah nggak mau kamu muntah-muntah lagi. Ambil waktu istirahat kamu. Ya?"
Firman hanya membalas dengan anggukan. "Iya, ayah."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top