Bab 84
***
Sesuai janji Mira, dia menceritakan semuanya mulai dari permasalahan yang dia alami sampai berada pada titik ikhlas. Shinta yang mendengarkan serta meresapi cerita sang kakak pun hanya bermanggut-manggut, seraya kedua mata mengawasi Arka yang tertidur di box kayu kamar Mira. Jangan lupakan mereka berdua yang duduk di pinggir ranjang sambil tetap mengawasi Arka.
Mira sendiri butuh waktu untuk beri tahu ke adiknya sekitar hampir tiga hari, dan di tiga hari kemudian, Mira pun mengungkapkan masalah yang dialaminya. Termasuk kejadian Firman koma serta kebencian Firman terhadap Mira.
"Aku tahu sih, kakak dulu nge-bully Kak Firman waktu SMA. Ayah sendiri yang cerita ke aku," tutur Shinta lalu melipat kedua tangannya sambil tatapannya terus tertuju pada Arka. "Bagaimanapun, Kak Firman adalah orang yang paling menderita. Kak Firman juga, mengalami trauma akibat perundungan.
"Aku punya teman kampus yang anti sosial banget, dia kalau dideketin selalu menghindar. Dan begitu aku minta dia bicara lebih dalam tentang kondisinya, dia bilang dia korban bully."
"Cuman, Kakak salut loh lihat Firman yang tetap berada pada kondisinya seperti orang-orang normal lainnya, tidak anti sosial, dan tidak menghindar saat Kakak ajak bicara." Mira mengungkapkan rasa bangganya terhadap Firman seraya mengulum senyum. "Cuman ya, Firman udah telanjur benci sama Kakak. Sebab dia memandang Kakak sebagai gadis terburuk. Gadis brutal, yang menyakiti Firman berkali-kali."
"Tapi memang benar kan, Kak? Kakak nyakitin Kak Firman waktu kelas 11 SMA?" Shinta berusaha memastikan cerita panjang Mira barusan, yang telah dia dengar selama kurang sejam.
"Iya. Hanya saja, Kakak kan udah berubah. Kakak udah nebus semua kesalahan Kakak waktu kami menikah. Kakak yang melayani Firman semenjak awal, lalu membersihkan apartemen setiap saat, memasak untuknya, juga membawakan pakaian kotornya ke laundry apartemen. Apalagi yang harus Kakak tebus?"
"Kalau Kak Firman ingin pisah cuma karena Kakak berbuat kesalahan di masa lalu, seharusnya sih nggak jadi patokan ya." Shinta menggigit bibir bawahnya sembari berpikir.
"Ah, lagipula itu cuman masa lalu. Kakak juga udah sadar, kan? Harusnya Kak Firman nggak perlu berbuat nekat lagi," kata Shinta tegas.
Lalu spontan, Mira menundukkan kepala dan mulai mengeluarkan tangisannya dan tak lama pun tersedu-sedu.
"Kak. Kak Mira, kenapa nangis lagi? Kakak kenapa belakangan ini suka banget nitikkan air mata?" tanya Shinta heran, kemudian inisiatif merangkul tubuh kakaknya dan menyapu-nyapu lengan Mira agar sang kakak tenang dari tangisan yang agak bergemuruh. Memang selama beberapa hari setelah kepulangannya dari Surabaya, dia sering sekali melihat kakaknya menangis. Entah itu di ruang tamu, atau di ruang utama ketika nonton televisi bersama Arka, atau bahkan di ruang makan. Shinta benar-benar harus menjadi adikk yang siaga bila kakaknya harus mengeluarkan tangisan untuk kesekian kalinya.
"Oh iya, Kak. Kalau saja nih, kakak terus tahan-tahan Arka untuk tidak ketemu papanya. Apa itu nggak keterlaluan, Kak?" Shinta melemparkan pertanyaan setelah menenangkan Mira barusan. Terlihat mereka berdua melepaskan rangkulan. "Maksudku gini. Arka dari lahir sampai sekarang tidak merasakan sosok seorang papa. Nah, bagaimana nanti Arka ketemu papanya dan tiba-tiba Arka kebingungan? 'Siapa om itu?' atau 'Siapa om yang di samping mama?' pasti Arka akan tanya begitu, bila nanti Arka udah gede."
Jawaban di atas semua itu hanyalah helaan napas. Bagaimanapun Mira tidak menyiapkan kata-kata untuk dijawab secara spesifik, karena sejatinya pertanyaan tersebut bakal dihindari Mira dan tidak akan dia respon. Apa pun itu. Baik adiknya, orang tuanya ataupun sahabatnya–Lexi. Dia memilih memendamnya daripada mengungkap.
"Kak. Kakak harus berusaha lagi membuat Kak Firman berubah. Efek dari koma itu nggak jangka panjang, kok. Pasti kalau kita kasih bukti bahwa Kakak adalah istri berbakti, yakin dan percaya Kak Firman bakal berpikir dua kali dengan keputusannya pisah dari Kakak. Aku jamin itu."
Entah bagaimana caranya dia meladeni sikap ambisi Shinta agar membuat dirinya serta Firman bersatu. Lagipula percuma. Firman benar-benar membencinya. Meski dicekoki bukti pun, Firman bakal kekeuh bahwa Mira adalah orang yang buruk.
Dipanggil benalu saja sudah konkrit kalau Firman sungguh tidak menyukai Mira. Apalagi yang perlu diusahakan, selain ikhlas menerima keputusan Firman?
"Bagaimanapun juga, Kak. Kak Firman itu tetap papanya Arka. Kak Firman bapaknya, dan dia berhak atas anaknya. Sebenci-bencinya Kak Firman terhadap Kakak, pasti dia akan sayang anaknya, Kak."
Apa benar begitu? Tidak mungkin, Firman pasti akan berpikir aneh-aneh bila saja dia ingin mempertemukan Arka dengan sang papa. Itu tidak bakal terjadi, Mira tetap ingin menahan Arka dari Firman.
Begitu hening, tiba-tiba suara tangisan pelan dari sang bayi di dalam box pun menggema. Spontan Mira mencolek lengan Shinta untuk bertugas menenangkan anaknya.
"Cepat gendong, siapa tahu dia butuh susu," pinta Mira cepat segera diiyakan oleh adiknya.
***
Firman mencari tahu tentang sekolahnya yaitu SMA Sentosa. Lagi dan lagi, dia mencari tahu banyak tentang Mira juga kasus perundungan yang dialami. Selama tiga hari, Firman terus dengan niatnya mencari informasi banyak-banyak.
Seperti biasa, Firman berada dalam kamarnya yang minimalis, hanya berbekal meja belajar, nakas di samping kanan tempat tidur, lantai berbahan vinyl kayu, serta jendela yang berada di pojok kanan kamarnya. Serta tak lupa pendingin ruangan menyebar ke seluruh kamar.
Firman sedang menyandar dipan tempat tidurnya, sembari mencatat apa yang barusan ditemukannya. SMA Sentosa. Sekolah bertaraf swasta yang mana dikenal sebagai sekolah yang melahirkan siswa dan siswi pintar-pintar. Bahkan di antara mereka, ada yang mengikuti lomba serta olimpiade tingkat internasional. Namun rata-ratanya, mereka ikut olimpiade tingkat nasional.
Lihatlah piala yang berhasil dikumpulkan dalam satu lemari kaca besar, dan itu terpasang di sosial media SMA Sentosa, di-pin sehingga berada di postingan paling pertama. Bahkan dari pengikut Instagram, mencapai 90 ribu lebih. Betapa populernya sekolah itu.
Sedikit demi sedikit, Firman perlahan mengembalikan kewarasannya. Meskipun begitu, semua hal tentang Mira juga perundungannya belum selesai dia temukan. Masih banyak komponen yang harus dia cari, termasuk media yang memberitakan perundungan di sekolah tersebut pada tahun 2006.
Benar, dia ingat tahun di mana dirinya berada di kelas 11. Dia pun mencari dengan kata kunci 'perundungan tahun 2006 SMA Sentosa'. Begitu menekan tombol 'Telusuri', keluar berbagai macam artikel. Namun artikel paling pertama membahas perundungan sekolah lain. Dia menggulirkan layarnya, mencari artikel yang sesuai.
"Perundungan SMA Sentosa. Korbannya adalah siswa terpintar dan sempat mengikuti olimpiade fisika dan kimia." Firman menggumam pelan, membaca highlight dari artikel yang kini dia temukan. "Apa benar ini? Apa aku dulu pernah ikut olimpiade fisika dan kimia?"
Firman membuka artikel tersebut dan membaca sekilas hingga selesai. Dia mencari-cari namanya dan ternyata dia menemukan sebuah inisial.
"F? FAS? Firman Akbar Setiawan?"
Firman menghafal nama lengkapnya dan seperti inisial pada artikel barusan, tentu merujuk ke dirinya.
"Korban diduga dipukuli botol kaca, oleh seseorang?" Firman sempat termangu membaca kalimat selanjutnya. "Seseorang? Bukankah jelas-jelas itu Mira? Kenapa tertulisnya seseorang? Bahkan tidak ada ciri-cirinya lagi."
Firman menebak pihak sekolah pasti menutupi kasus perundungan itu. Jelas, tidak ada nama pelaku di situ. Apakah ini menandakan bahwa SMA Sentosa memutuskan untuk menyudahi kasus perundungan dan berubah menjadi damai antara pelaku dan korban?
Firman salah fokus melihat artikel di sebelah kanan layarnya. SMA Sentosa. Lagi dan lagi SMA Sentosa masuk dalam berita. Tetapi anehnya bukanlah prestasi yang menjadi pembahasan. Melainkan pembahasan yang membuat Firman terkejut–sekali lagi.
"Perundungan?" Satu kata yang berhasil meluncur dari mulut Firman, menyimpulkan apa yang telah dia lihat. "Memang sekarang masih ada perundungan?"
Firman membuka artikel yang mengejutkan dirinya, kemudian fokus membaca kalimat per kalimat dari artikel tersebut.
"Perundungan? Permainan? Permainan apa?" Firman makin membingungkan kata setelah perundungan itu. Apa yang dimaksud permainan? Bukankah highlight-nya perundungan?
"Korban yang tidak ingin disebutkan namanya adalah siswa yang sering mengikuti perlombaan fashion show dan ... tiba-tiba ... si korban masuk dalam suatu 'permainan' yang dibuat teman-teman mereka, dan membuatnya dirundung? Pihak sekolah menduga, teman-temannya iri terhadap si korban dan sengaja membuat jebakan agar korban tersebut dirundung habis-habisan?"
Firman membulatkan kedua matanya, lagi dan lagi terkejut atas apa yang ditemukannya. "Kejadiannya sebulan lalu? Sementara pihak sekolah tidak bertindak apa-apa?"
Firman mengusap layarnya sampai di atas, melanjutkan bacaannya.
"Korban sementara ini cuti dan tidak mengikuti proses pembelajaran."
Helaan napas menjadi reaksi Firman kini. Dia menutup ponselnya dan memegang dadanya dengan satu tangan, berusaha mengatur napasnya. Firman sempat merasakan sesak melihat berita tersebut. Sungguh mengherankan, padahal dia juga korban perundungan tapi pihak sekolah menutupi si pelaku. Seakan-akan, mereka enggan menyebutkan nama pelaku.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan sekolah itu?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top