Bab 81
***
Firman saat ini sedang menjalani hidup normal, seperti orang-orang pada umumnya. Beruntunglah serangkaian pengobatan yang dia jalani membuatnya sembuh meskipun tongkat tidak pernah terlepas dari tubuhnya. Kaki sebelah kanan masih diperban kuat sehingga kesusahan untuk berjalan. Syukur bagian lengan baik-baik saja.
Firman tengah mengisi amunisi buat langsung ke kantor. Dia ingat tempat kerjanya, FoodBeary. Serta cuti sakitnya yang dua kali diperpanjang, tentu surat dari rumah sakit mendukung bukti sehingga ketidakhadirannya di FoodBeary tetap tertulis sakit.
Kini Firman berada di minimarket, menempati meja bar yang mengarah langsung ke jendela kaca. Firman menyeruput mie cup miliknya dengan semangat. Tak lupa menyertakan teman makan mie yaitu onigiri dan susu pisang. Sungguh hal yang praktis daripada masak. Ngomong-ngomong soal demikian, dia jadi lupa dengan cara memasak. Padahal dia sering mengeksplor bahan makanan saat SMA dulu. Namun semua itu hanyalah kenangan yang cuma dapat diingat sepanjang waktu.
Lengan kanan bergerak aktif sementara lengan kiri tetap diam. Dokter menganjurkan untuk tidak terlalu banyak mengayunkan tangan sebelah kiri. Masih tahap pemulihan, Firman harus lebih menjaga dirinya.
Mengetahui kedatangannya ke kantor disambut antusias oleh beberapa rekannya. Bahkan grup obrolan terus mengalir tanpa henti. Firman harus mematikan notifikasi untuk beberapa jam, agar tidak mengganggu konsentrasinya. Dalam hati, dia bahagia karena mendapatkan teman-teman yang loyal. Itu pertama kali baginya.
Setiap hari Jumat, kamu harus konsultasi demi menyembuhkan ingatanmu. Bagus kamu ingat-ingat sebagian tentang kehidupan kamu sekarang, namun demi menyusun puzzle yang terhambur, kamu perlu rutin menjalani pengobatan. Kakak akan sering dampingi kamu, jangan khawatir.
Teringat saran Andini semalam, ketika Firman mempersiapkan diri dengan amunisi berangkat kantor pada esok hari. Andini tentu tak ingin melepaskan Firman begitu saja, selagi pemulihan belum selesai. Firman masih diawasi keluarganya sebab fisik dan mental yang membutuhkan waktu untuk sembuh.
Ngomong-ngomong soal Mira, dia enggan memikirkan akar permasalahan utama. Mira memang sumber masalah, hanya saja itu sungguh membuang waktu serta menguras tenaga. Firman memutuskan menunda niatnya, sampai dirinya sembuh total baru bisa menjalankannya. Dia anggap saja Mira sudah tidak ada, lebih baik begitu. Daripada mengkhawatirkan gadis benalu itu.
Beberapa bulan cuma berbaring atas tempat tidur kamarnya sungguh membosankan. Untung Firman bersabar mengikuti alur, hingga beginilah sekarang. Duduk di kursi, menikmati mie instan serta onigiri. Lama sekali tidak menjalani kehidupan luar, jiwa pekerja kerasnya seakan terisi dan memenuhi dirinya.
Sukses mengisi amunisi, Firman pun merapikan sampah-sampah miliknya dan membuangnya ke tempat yang tersedia di sebelah kanan. Barulah setelah itu, Firman meraih kruk, berusaha untuk menjauhkan kursi bar agar dapat berdiri dengan leluasa. Firman spontan mengendalikan diri dan langsung menaruh ketiaknya pada karet atas kruk.
Mengingat hanya satu kaki yang bermasalah, jadi Firman bisa menggunakan kaki sebelahnya untuk menginjak gas serta rem. Firman mengemudi mobil sendirian, pun secara inisiatif. Daripada menyusahkan orang lain nantinya. Dia enggan menyuruh sekretaris kakaknya untuk antar jemput, lebih baik melakukannya secara mandiri.
Begitu masuk dalam kendaraan roda empatnya, Firman menaruh balik kruknya di sebelah dan mulailah Firman menyalakan mesin mobil. Firman memegang kemudi dengan kedua tangan, meski harus merasa perih di sebelah kanannya. Namun lagi dan lagi, Firman dapat mengendalikan dirinya. Toh dia sudah janji untuk masuk kantor hari ini, dia tak boleh menunda apa pun yang sudah direncanakan.
Firman langsung menginjak gas dan memutar kemudi mobil secara perlahan. Beruntung tidak ada masalah selama melakukan itu. Firman merasa santai dan sepanjang perjalanan, pikirannya tenang. Sudah seharusnya begitu, daripada memikirkan hal-hal omong kosong dan berujung dengan kepala yang pening. Dia harus mengatur ulang produktivitasnya setelah sembuh dari sakit.
***
Beberapa waktu menjalani kehidupan sebagai ibu hamil, akhirnya Mira telah melahirkan seorang bayi laki-laki. Hal berbeda tentu dirasakan Mira. Ketidakhadiran Firman di rumah sakit, serta peran Surya untuk mengganti Firman yang mana harus bertugas untuk mengazani bayi tersebut. Mira sempat merasakan dilema. Akan tetapi Mira dapat melewati masa-masa dengan baik hingga bayinya pun mulai menginjak dua bulan.
Mira masih berada di tempat tinggalnya dan keperluan sang anak diurus sepenuhnya oleh Fitri. Walau terasa merepotkan, namun Mira tetap senang karena ada yang membantunya selama menjalani peran sebagai seorang ibu.
Kini si bayi tertidur lelap di box berbahan kayu serta ada mainan yang menggantung. Mira menatap lamat-lamat putranya seraya mengulum senyum. Tak menyangka bahwa menjadi seorang ibu adalah hal yang patut dia syukuri. Meskipun sejak awal dia tidak menginginkan kehamilan sebab kurangnya persiapan, orang-orang di sekitarnya-lah yang mendorong dirinya agar meneruskan kehamilan dan pastinya faktor dari Firman juga yang memotivasi untuk menjaga janin dalam perut.
Ekspektasi tak selalu sama dengan realita, Mira berpikir jika mengungkapkan kehamilannya kepada Firman, maka Firman bakal mengubah keputusan. Namun semua itu salah, Firman berbeda. Firman seperti dirasuki 'roh' masa mudanya sehingga Firman berubah menjadi orang lain. Bukanlah suami yang memberikan kasih sayang lebih.
Memang seharusnya, seiring rahasia yang terbongkar, maka wajar Firman marah pada Mira. Lagipula Firman mengalami koma dan ingatan-ingatan di masa lalu tercerahkan sepenuhnya, sehingga Firman menyalahkan Mira habis-habisan.
Mira berpisah dengan Firman, dalam artian mereka jaga jarak. Entah kapan terakhir kali Mira bertemu Firman. Intinya, sejak Firman keluar dari rumah sakit, Mira tak pernah membuat pertemuan yang intens. Kecuali saat Firman meminta Mira ketemu di taman kota, dalam kondisi hamil besar kala itu. Mira cuma mengingat satu momen tersebut.
"Kamu pasti sedih kan, nak? Dari saat kamu lahir, kamu nggak ditemani sosok papa." Mira bergumam pelan, berinteraksi dengan putranya yang terlelap. "Maafin mama, nak. Mama harus begini karena papa kamu sangat marah sama mama. Mama punya kesalahan besar, mama menyembunyikan kejahatan mama kepada papa kamu. Sampai buat papa kamu menderita. Maaf ya, jika kamu harus terus berada di pengawasan mama.
"Tapi mama janji, mama akan pertemukan kamu dengan papa bila situasi membaik. Mama sungguh-sungguh janji."
Satu bulir air mata lolos hingga merembes ke pipinya. Beruntung Mira peka sepenuhnya, langsung menyeka bagian wajah secepat mungkin. Rasanya Mira kurang mood untuk bersedih. Apalagi secara spontanitas, mengingat dilema kehidupannya yang teramat perih. Mira enggan membuang energi hanya sekadar menangis, dia harus lebih memperhatikan prioritas untuk menjaga sang putra. Satu-satunya buah hati yang dia miliki sekarang.
Saat Mira ingin berdiri–niat untuk mengecek ketersediaan ASI di kulkas, tiba-tiba ponselnya bergetar di atas tempat tidur. Sukses menghentikan langkahnya menuju ambang pintu kamarnya. Rasanya beberapa hari belakangan Mira tidak menerima telepon dari seseorang. Namun baru kali ini sejak lahiran sampai pasca pemulihan melahirkan, dia ditelepon orang terdekat.
Jangan-jangan, Lexi? Mira sudah menduga, karena cuma Lexi yang masih dijangkau. Beda dari kontak lain, termasuk kliennya. Mira sedang mengurus bayi yang artinya urusan freelance sementara ini ditangguhkan sampai Mira siap menerima pekerjaan lagi dari klien.
Jempol Mira kontan mengusap ke sebelah kanan, menjawab panggilan yang sedari tadi menggema setengah menit lalu.
"Iya, Lex? Lama banget nggak menelepon, ada apa?" Mira menyapa Lexi dengan ramah dan bersemangat.
"Kamu di rumah, kan? Aku jemput kamu, kita ngobrol di taman kota Gambir. Mau?"
Mendadak minta ketemu? Pikiran Mira lantas buntu. Di satu sisi, dia ada anak yang harus dijaga. Terlebih masih bayi, dan butuh pengawasan tinggi.
Untuk ayahnya, dia tidak bisa mengandalkannya kali ini sebab lebih sibuk di percetakan. Mana mungkin dia harus memaksa?
"Ibu pulang!" Seruan seseorang dari luar kamarnya langsung membuat kepala Mira mendongak setelah menunduk barusan.
Fitri kebetulan sudah pulang, apakah bakal jadi peluang untuk menerima tawaran bertemu Lexi sore ini?
"Halo, Mir? Mau apa nggak?" Lexi mendesak dari dalam telepon.
Secepat mungkin Mira menjawab. "Iya, mau. Tunggu ya, aku siap-siap dulu."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top