Bab 8

***

Sehari setelah memotret pria yang diduga adalah Adit, Mira berusaha memastikan lagi kebenarannya kepada Lexi.

(Lex. Foto yang kukirimkan sama kamu, sudah kamu pertajam kan? Apa pria itu sungguh Adit? Atau pria yang cuma mirip Adit?)

Mira harapnya bukan pacarnya, itu yang harus dia tanamkan. Banyak pikiran membuat aktivitas kerja remote-nya jadi terbengkalai. Bahkan dia membiarkan semua brief atau masukan dari klien menumpuk di aplikasi perpesanan, tanpa dia buka sama sekali.

Kini Mira duduk di kursi putar seraya menunggu kabar dari Lexi. Beruntung tidak lama, ponselnya berdenting. Itu pesan dari Lexi. Dia langsung memajukan kursi putar miliknya, kemudian mendekatkan jarak ke meja kerjanya dan meraih benda petakan tersebut dengan cepat.

(Radar mulai menyala, Mir. Sepertinya Adit sudah menggunakan tasnya. Adit menuju suatu tempat, pokoknya beda tempatnya dari saat pertama melacaknya.)

Jadi Adit benar-benar berbohong tentang perjalanan dinas? Mira sungguh tak dapat mengendalikan kesabarannya. Terlebih lagi, foto hasil editan Lexi menunjukkan ciri-ciri yang merujuk pada Adit.

Alih-alih membalas, Mira langsung menekan kontak dan menelepon Lexi. Lama menunggu, akhirnya si penerima mengangkat.

"Gimana perkembangan, Lex? Adit ada di mana sebenarnya?" tanya Mira seperti mendesak sang sahabat untuk memberikan informasi yang sudah didapatkan.

" Tunggu, kamu harus sabar. Anak-anak juga sudah kukerahkan untuk mengintainya. "

Lexi menyulut emosi di seberang telepon, napasnya juga memburu ketika Mira mendengarnya. Si penelepon terdiam beberapa saat. Namun setelah itu, Lexi bersuara beberapa detik. Memberikan komunikasi kepada Mira.

" Mir. Sepertinya ... aku sudah mendapatkan info terbaru. Pokoknya ini ... sungguh di luar dugaan aku. "

Selanjutnya, suara bergetar sahabatnya memenuhi pendengaran Mira.

" Aku mohon setelah kamu mendengar ini, kendalikan emosimu. Kamu akan kaget bila mendengar ini. "

Mira terus mendengar tarikan napas Lexi. Dia menggigit bibir bawahnya, cemas akan sesuatu yang terjadi.

" Pacarmu sedang berduaan dengan wanita lain di sebuah kafe. Anak buahku sendiri melihatnya. "

Bola mata Mira membesar, giginya menggertak. "Jadi ... benar ..."

" Tolong kamu jangan gegabah ya, Mir. " Lexi memberikan saran. " Sebaiknya kamu ke tempat di mana Adit sedang berada di sana, lalu coba lihat dengan mata kepala kamu sendiri."

Mira tidak menjawab hanya termangu, entah apa dia masih bisa mendengar penjelasan dari Lexi di telepon atau justru sengaja tidak ingin mendengar apa pun.

" Mira. Pelacak yang aku pasang di tasnya itu nggak pernah salah. Adit benar-benar ada di sebuah kafe, bahkan foto yang dikirim anak buahku juga nggak salah. "

"Lexi. Bisa kirimkan foto-foto yang sudah kamu dapatkan sekarang?" Mira meminta cepat.

"Baiklah. Tutup teleponnya dulu, aku kirimkan semuanya ke ruang obrolan pribadi."

Mira menutup telepon dengan kuat, wajahnya tampak tegang. Dia meletakkan ponsel di atas meja, merasa kesal dan kecewa. Dengan napas yang berat, Mira berusaha mengendalikan emosinya. Dia merasa dorongan kuat untuk melepaskan segala frustrasi yang memenuhi dirinya. Perlahan, Mira menutup kedua telinganya, mencoba menenangkan pikiran yang kacau.

Satu pertanyaan yang terbersit di kepalanya. Kenapa pria yang selama ini dia kira setia, tiba-tiba dengan mudahnya menghancurkan kepercayaan yang mereka buat? Perasaan sedih dan marahnya bercampur aduk dalam diri, menciptakan kekacauan emosi yang meluap.

Air mata tak tertahankan mulai menetes dan mengalir di pipi Mira. Dia merasa lemah, namun juga marah atas apa yang terjadi. Jika saja dia lebih peka terhadap kebohongan Adit, mungkin dia bisa menghindari rasa sakit seperti ini. Mira mengusap rambutnya dengan frustrasi, merasakan keputusasaan.

Tiba-tiba, satu teriakan kencang melepaskan diri dari bibirnya. Mira tidak peduli dengan tetangga-tetangganya yang mungkin terganggu. Melampiaskan amarahnya dengan teriakan membuat hatinya sedikit lega, daripada terus memendam perasaan yang membuatnya tak tenang.

Ponselnya bergetar. Mira begitu semangat meraihnya.

Layar ponsel bertuliskan 'Pak Firman'. Bukan dari sahabatnya. Mira spontan mengendur.

Oh iya, aku ada jadwal belajar untuk pertemuan kedua. Gimana ini? Aku harus pergi ke tempat Adit, tapi gimana sesi belajar? Batin Mira terkejut.

Mira memilih mengusap tombol hijau lalu bagian depan ponsel ditempelkan ke telinga.

" Mira? Gimana materi malam ini? Kamu sudah baca-baca, kan? "

"Maaf, Pak." Tiba-tiba Mira menyela. "Malam ini saya nggak bisa datang ke unit. Apa bisa saya izin hari ini?"

Hening dirasakan Mira sejenak.

" Loh? Kenapa tidak datang? " tanya Firman heran di seberang telepon. "Baru juga pertemuan kedua. Kamu mencoba untuk membolos? Awas ya kalau sampai tidak hadir sesi belajar. "

Mira seakan tak dapat berkeputusan, dia justru panik di saat genting.

"Tapi, urusan saya mendadak soalnya. Maaf sekali lagi." Hanya ucapan itu yang harapnya bisa membuat Firman maklum.

" Nggak bisa!" seru Firman. "Kamu tetap harus datang, mau tidak mau. Jangan sesekali menghindar atau cuma buat percandaan dari apa yang sudah kita sepakati."

Seolah tidak punya cara lain, Mira spontan mematikan telepon yang masih tersambung lalu memblokir kontak Firman agar tidak menghubunginya lagi.

Deru napas lega mulai menghiasi. Mira menyapu dadanya mengusir rasa takut.

Maafkan aku, Firman. Hanya ini yang bisa kulakukan. Ada hal yang lebih penting dibanding sesi belajar.

Tak lama kemudian, pesan dari Lexi pun muncul di notifikasi.

Lexi melampirkan gambar berupa alat radar yang telah melacak keberadaan Adit. Beserta foto Adit terkini.

(Dia ada di Kafe Brilliant, gedung Heitz. Kamu ke sana aja. Mereka saling merangkul, sesuai foto yang aku kirimkan barusan.)

Mira mulai menarik tudung hoodie-nya, tanda bahwa dia sudah siap melabrak Adit.

Sebelum meninggalkan kosannya, Mira membalas pesan dari Lexi.

(Baiklah. Terima kasih atas bantuannya. Begitu aku menyelesaikan masalahku dengan Adit, aku akan transfer kamu.)

***

Napas Mira terengah-engah saat dirinya menghentakkan kakinya lebih cepat. Isakan sedih mencuat dari dadanya. Langkah-langkah berat menghantarnya melalui keheningan di sore hari. Adit, pria yang selama ini dia percayai dan dia sayangi, sekarang seperti mengkhianatinya dengan begitu licik. Mira merasa bodoh telah percaya pada skenario yang dia sangka nyata.

Beruntung Mira masih bisa mengandalkan Lexi, walau mereka lama tidak bertemu. Yang dia tahu Lexi terampil melakukan pelacakan, apalagi dia dengar Lexi membuka jasa minta bantuan orang lain dengan kemampuan handalnya itu. Makanya Mira berusaha menghubungi Lexi dan tak ragu pula memberikan uang sebagai imbalan atas bantuan memata-matai Adit.

Sesampainya di gedung yang pernah dia kunjungi sebelumnya, Mira melihat dari matanya secara langsung, adegan yang tak terbayangkan. Pria berkacamata dengan rambut belah pinggir, serta wanita dengan blush on yang mencolok, duduk berdua dalam suasana romantis di pojok dekat jendela. Mira merasa hatinya semakin memanas ketika memandang pria itu dengan mesranya merangkul wanita di sisinya. Adit telah mengingkari semua janji yang pernah dibuatnya.

Nggak sia-sia aku menenangkan diri di atas bus barusan. Rupanya ini ya permainan kalian. Aku justru terperdaya oleh Adit dan bujuk rayunya itu.

Sembari membatin, dia mengepalkan satu tangannya lalu menggigit bawah bibirnya, berusaha menahan amarah. Tentu, Mira merutuki dirinya sendiri sebab tak peka terhadap perilaku Adit, meskipun awalnya sudah ada kecurigaan. Dia merasa telah dibutakan oleh kepercayaannya pada Adit. Namun, sekali lagi, dia merasa berterima kasih pada Lexi karena telah membantunya melacak dan mengungkap kebenaran tentang Adit.

Dengan langkah yang keras dan tegas, Mira pun memasuki kafe. Raut wajahnya menyiratkan kemarahan yang menyala-nyala, dan dia tidak dapat menahan diri untuk tidak berteriak. Suaranya bergema di ruangan, menarik perhatian semua orang di sekitarnya.

"Oh, jadi begini kelakuan kamu di belakangku?" pekik Mira, langkahnya membawanya menuju meja bentuk booth di dekat jendela, di mana sepasang pria dan wanita sedang saling merangkul.

Pria itu selalu memakai kacamata ketika pergi. Dan dengan cepat, Mira menyadari bahwa dia adalah Adit, pacarnya sendiri. Wajahnya pun berkobar-kobar. Dia tidak salah lihat, dan kenyataan yang pahit itu membuatnya memicu amarah yang berlebih.

"Katanya kamu ada perjalanan dinas, tapi apa ini? Selingkuh di belakangku? Dasar pria tidak tahu diri!" bentak Mira dengan suara yang bergema di ruangan.

Tanpa ragu, Mira menarik kerah pakaian Adit, memaksa pria itu untuk berdiri. Kemudian, dengan tangan yang gemetar oleh amarah, Mira mulai memukuli dada Adit berulang kali penuh kekecewaan dan kesedihan.

"Terus, bos yang katanya meneleponmu? Bos mana? Dia?" Mira menunjuk wanita di samping Adit, yang juga mulai berdiri di tengah-tengah perkelahian mereka.

"Ma-maaf, bukan itu maksudku, Mir," gumam Adit dengan suara yang lirih, mencoba menjelaskan diri di tengah-tengah kekacauan emosional yang sedang terjadi.

Wajah Mira memerah karena amarah yang membakar dalam dirinya. Dia berdiri di depan Adit dengan tatapan tajam, menyampaikan kekecewaan dan kekhawatiran yang berkecamuk di hatinya. "Kamu benar-benar sudah gila. Apa yang ada dalam pikiranmu sampai bisa mengkhianati aku seperti ini, hah? Apa?" bentaknya dengan penuh emosi.

Tangannya sungguh gemetar karena amarah yang meledak-ledak. Mira tak dapat menahan diri lagi, dia merasa dugaannya selama ini telah terbukti. Setiap kali mereka berkencan, Adit selalu menerima telepon dari seseorang dengan gelagat mencurigakan. Sekarang dia tahu, Adit telah bermain di belakangnya.

"Hubungan yang telah kita bangun selama ini bukan main-main, Adit! Kita hampir mencapai tahap serius, dan harusnya kamu sadari itu!" teriaknya dengan lantang.

"Tolong jangan sakiti bebeb-ku!"

Kekacauan makin bertambah, ketika wanita berambut cokelat itu mencoba mencegat Mira. Wanita tersebut memanggil Adit dengan panggilan sayang yang sama persis dengan panggilan sayang yang biasa Mira gunakan. Mira tercengang mendengar panggilan itu dari mulut wanita tersebut.

"Apa? Bebeb?" desis Mira terkejut. "Aku yang manggil Adit bebeb juga. Kamu tidak berhak memanggil dia seperti itu!"

Akan tetapi, Mira tidak bisa lagi mengendalikan dirinya. Jeritan marah melengking dari bibirnya saat dia berusaha untuk menjambak rambut wanita tersebut. Adit mencoba melerai mereka berdua, berseru dengan keras agar mereka menyudahi pertengkaran itu.

"Sudah cukup!"

Adit melepaskan cengkraman tangannya pada Mira dan mencoba untuk mengatur napas. Dia ingin mengklarifikasi apa yang terjadi, namun amarah Mira tampak begitu kuat hingga membuatnya naik pitam. Semua perasaan campur aduk, membuat situasi makin tegang.

"Baiklah, aku beneran salah. Aku khilaf, aku melakukan kesalahan besar." Suara Adit gemetar saat mengakui kesalahannya pada Mira.

Dia berbicara dengan hati yang hancur dan bibir yang gemetar. Namun, kata-katanya berangsur jujur, mencoba membuka hati yang telah tertutup selama ini.

"Tapi jujur, Mir. Hubungan kita selama hampir setahun, rasanya memang hambar. Sangat hambar. Harusnya kamu juga tahu itu," sambungnya dengan suara ragu.

Mendengar kata-kata tersebut membuat hati Mira merasa teriris. Tetapi, dia memilih untuk bertanya, mencoba mengungkapkan apa yang tengah menyelimuti pikirannya. "Jangan bilang, kamu sudah bosan?" tanya Mira berusaha melembutkan suaranya.

"Iya, aku sudah bosan!" tegas Adit tanpa ragu. "Dibandingkan Rani, kamu tuh nggak ada apa-apanya. Rani memberiku kebahagiaan, sementara kamu ... cuma banyak omong. Aku bosan mendengarmu membahas pekerjaanmu yang tidak berguna itu."

Kata-kata Adit menusuk hati Mira seperti tusukan pedang. Matanya meneliti sosok wanita bernama Rani yang berdiri sejajar di sampingnya. Adit memuji kecantikan Rani, menyatakan bahwa dia lebih nyambung dan memiliki banyak kelebihan daripada Mira.

Walaupun hatinya terluka, Mira tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Dia merasa marah dan terhina. "Jadi kamu berusaha sisihkan aku dan memilih wanita itu sebagai gantinya, hah?"

Tanpa memberi kesempatan Adit untuk menjawab, Mira melangkah maju  kemudian melayangkan tangannya dengan penuh emosi tepat di wajah Adit.

Plak!

Tamparan itu sangat keras, dan ekspresi penuh kepuasan terpancar dari wajah Mira. Dia menatap pria di depannya dengan pandangan yang bengis, mengekspresikan kemarahan dan kekecewaannya dengan tegas.

Adit tertawa kecil sambil memegang pipi yang baru saja ditampar oleh Mira. Tatapannya penuh senyuman, seolah menganggap insiden tersebut sebagai hal yang menarik. "Wow, sebuah perkembangan," ucapnya santai. "Kupikir kamu bakal nangis kencang begitu melihat ini. Tapi yah ... kuakui kamu sudah ikhlas menerima semuanya."

Mira merasa bingung dengan ujung kalimat yang diucapkan oleh Adit. "Terima ... apa?"

Adit menggelengkan kepala sambil tertawa. "Duh, Mira, Mira. Aku dan Rani akan menikah dalam waktu dekat."

Ketika mendengar pengakuan langsung dari Adit, hati Mira terasa hancur. Lebih daripada sebelumnya, dan tubuhnya terasa beku, dan dia berjuang untuk menahan emosinya.

Nggak. Aku nggak boleh berharap lagi sama Adit. Toh aku juga sudah menamparnya, buat apa aku sedih? Batin Mira dengan tekad yang kuat.

"Padahal aku mau kasih undangan buat kamu," ujar Adit, mendekatkan wajahnya dengan sikap yang mengganggu. "Lebih baik kukasih undangan digital aja ya."

Rani menyenggol lengan Adit dan memberikan undangan fisik yang dibungkus plastik dari dalam tas merahnya. Kemudian dia memberikannya kepada Mira. Mira membaca nama "Adit dan Rani" yang tertera di bagian atas undangan, dan di bawahnya tertulis namanya, Mira, yang ikut diundang ke pernikahan mereka.

Baru saat itu, Mira menyadari bahwa Adit dan Rani telah merencanakan semuanya dari jauh-jauh hari. Air matanya mulai mengalir, tanpa bisa dia tahan lagi. Dia merasa tersakiti dan terluka.

"Berarti kita sudah putus, ya," Mira menyimpulkan, suaranya terisak. Air mata terus mengalir tak terbendung, membasahi pipinya. "Baiklah, aku juga tidak berharap apa-apa padamu. Harusnya kalau memang kamu tidak cinta lagi, bilang saja. Aku nggak akan marah."

Emosi Mira masih memuncak. Tanpa canggung, dia memperlihatkan undangan yang dia genggam secara erat. "Aku nggak akan buang-buang waktuku untuk sakit hati! Ngapain juga?"

Dengan penuh amarah, Mira melempar undangan tersebut ke bawah dan menginjak-injaknya sampai puas.

Mira merasa semakin tertantang dan tidak akan kalah. "Masih mending kamu mau nikah dalam waktu dekat, aku juga mau nikah, tahu nggak!" seru Mira penuh semangat.

Adit hanya tertawa remeh, seolah meremehkan pernyataan dari mantan pacarnya barusan. "Memang kamu punya calon? Baru putus aja udah mimpinya ketinggian," ejeknya.

Namun, Mira tidak gentar. "Oh, masih nggak percaya? Tunggu, aku perlihatkan kepada kalian," ucapnya dengan penuh keyakinan.

Mira merogoh ponsel dari kantong hoodie-nya dan menyalakannya dengan sigap. Dia membuka galeri dan mencari sebuah foto khusus. Dengan antusias, dia menunjukkan layar ponselnya kepada mereka.

"Nih orangnya," kata Mira sambil menunjuk pada foto candid seorang pria yang sedang menoleh ke arah lain. "Namanya Firman Akbar Setiawan. Calon suami aku!"

Adit dan Rani memperhatikan foto itu dengan seksama. Meskipun melihatnya hanya sebentar, Adit memilih untuk tetap bersikap biasa dan tidak memberikan reaksi berlebihan.

"Wah, lihatlah wanita halu ini, tidak aku sangka ya," ejek Adit sambil bertepuk tangan dengan sinis.

Akan tetapi Mira tidak mau ambil pusing. Dia memantapkan pilihannya dan enggan buang-buang waktu berurusan dengan ejekan Adit.

"Sorry ye, aku nggak mau ada urusan dengan wanita tukang khayal sepertimu," lanjut Adit dengan tegas.

Adit memamerkan senyuman miring dan mulai mengajak Rani untuk pergi. Dia mengambil tas punggungnya dari kursi sofa dan meninggalkan Mira yang berdiri terpaku tanpa memperdulikannya.

Mira tidak menunjukkan kekalahan. Dalam hatinya, dia bertekad untuk membalas perlakuan Adit. "Kamu mau memulai perang dingin padaku? Baiklah, aku akan berbuat lebih jauh supaya kamu menyesal," batin Mira dengan tekad yang bulat.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top