Bab 79

***

Pemeriksaan USG sedang berjalan, Mira tengah menunggu dokter mengoles gel dingin di atas perutnya yang terlihat menonjol. Lalu dokter wanita itu menggerakkan transduser USG agar janin dalam perut Mira terlihat di layar monitor.

Bersama Lexi, dia membuat tatapan intens pada layar di sebelah kanannya–lebih tepat ke arah jam 2 dari tempatnya berbaring. Kemudian dokter Lea berdecak kagum sambil memperlihatkan gambar hitam putih yang menunjukkan janinnya yang sedang bergerak aktif.

"Wah, bayinya aktif sekali," kata dokter Lea sambil menunjukkan bagian-bagian tubuh janin di layar. "Ini kepalanya, ini tangannya, ini kakinya ..."

Mira mengamati gambar janinnya seraya tersenyum pelan. Setidaknya dia sudah tahu bahwa kondisi anaknya baik-baik saja, bahkan terlihat sempurna. Dokter Lea menjelaskan janinnya berkembang dengan baik dan sesuai dengan usia kehamilan Mira saat ini.

"Detak jantungnya juga normal," lanjut dokter Lea. "Semuanya baik-baik saja, Bu Mira."

"Jenis kelaminnya sudah terdeteksi?" tanya Lexi antusias. Dari awal pemeriksaan sampai usia kehamilan Mira yang menginjak lima bulan, justru belum adanya tanda apa bayinya Mira laki-laki atau perempuan. Karena suatu masalah yang mengakibatkan dokter Lea sulit mendeteksi janin Mira. Posisi kelamin si bayi juga tertutup. Itu saat pemeriksaan hampir sebulan yang lalu.

"Emm, biar saya lihat dulu ya." Dokter Lea membuat fokus dan mengecek apa yang seharusnya jadi permintaan si calon ibu.

Tidak lama kemudian, dokter Lea berdecak. "Nanti saya kasih tahu setelah selesai pemeriksaan."

Baik Lexi maupun Mira membalas dengan anggukan secara serempak. Kemudian sesi kontrol dilanjutkan dengan Mira yang bertanya seputar keluhannya. Dokter Lea menjawab dengan lugas dan harapnya dapat dipahami Mira.

Selesai pemeriksaan kurang lebih setengah jam, Mira dan Lexi kini duduk di hadapan dokter Lea. Sesuai janji, dokter Lea ingin membocorkan jenis kelamin anak Mira. Yang ditunggu-tunggu oleh keduanya.

"Sebelumnya, apa Ibu Mira mau adain acara gender reveal?" tanya dokter Lea sedikit berhati-hati.

"Gender reveal?" Mira sempat kebingungan sebentar mengenai hal itu, namun sekejap kemudian dia tersadar bahwa dokter Lea melempar pertanyaan barusan karena setiap calon orang tua mengadakan syukuran atau mengungkapkan jenis kelamin anaknya di hadapan keluarga. Mira kadang melihatnya di beranda sosmednya, lalu setelah itu dia memberikan tanggapannya agak santai.

"Emm, suami saya sibuk. Kemungkinan nggak ada acara itu."

Dokter Lea bermanggut memahami. "Baiklah. Tapi, saya minta tolong Ibu Mira simpan foto USG ini dan nanti masukkan di buku pink ya, Bu."

Mira mengambil pemberian dokter Lea dan memasukkannya ke dalam tas tangan kecilnya.

"Saya ingin ucapkan selamat pada Ibu Mira, karena bayi Ibu jenis kelaminnya laki-laki."

Mata Mira membulat sempurna, entah karena terkejut atas ungkapan yang dituturkan oleh dokter Lea tadi. Namun lagi dan lagi, dia mengharapkan agar anaknya dapat meneruskan kebaikan dari kedua orang tuanya. Terlebih dia tahu jenis kelamin si bayi adalah laki-laki. 

"Ada penerusnya Firman," celetuk Lexi ikut merasakan kebahagiaan.

Mira tersenyum kecut, rasanya mengungkit Firman agak lain. Benar, anak yang ada dalam kandungannya juga darah dagingnya Firman. Tapi mengingat Firman yang benci dan marah padanya membuat Mira harus menunggu waktu lebih lama untuk memberitahu kebenaran terkait anaknya.

Harap saja suatu saat Firman sadar betapa Mira tulus mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan banyak hal. Mira yang ingin mempertahankan pernikahan, berusaha keras agar mereka tidak berpisah. Firman bisa menilai bagaimana usaha Mira dalam berbuat demikian.

***

"Bagaimanapun, jika kamu tetap bertahan dan anak itu lahir dengan sehat, maka prioritas kamu mulai berubah. Yang artinya apa, Mir? Kamu akan lebih banyak mengurus anak kamu dibanding memikirkan Firman."

Mira membenarkan ucapan Lexi padanya. Kemungkinan Mira tidak bakal membayangkan Firman begitu anaknya lahir. Prioritasnya akan berbelok pada sang anak, bukan lagi Firman. Karena merepotkan bila memikirkan masalah tak berujung.

Usai konsultasi serta pemeriksaan USG, Mira dan Lexi berjalan pelan di sekitar lorong rumah sakit, tak jauh dari ruang dokter Lea.

"Kamu, udah siap jadi ibu?" tanya Lexi sekali lagi, memastikan kesiapan Mira.

"Iya," jawab Mira semangat. "Lagipula aku nggak mau ngelakuin hal buruk, sama seperti yang kulakukan kepada bapaknya si bayi. Aku nggak mau."

"Memang seharusnya begitu. Sifat kasih sayangmu yang harusnya kamu lampiaskan ke Firman, kamu tumpahkan semuanya pada anak kamu."

"Pun itu inisiatif dariku juga, sih. Karena suatu kesalahan besar, bikin aku jadi sadar bahwa mereka menghentikan perbuatan kejiku dan mereka–di mana adalah orang yang aku rugikan, justru mudah memaafkan kesalahanku. Seperti ayah mertuaku, cuma karena aku berbakti pada Firman, malah beliau baik sama aku. Kak Andini juga, dia langsung bujuk aku buat berdiri karena aku sempat berlutut di depannya."

Lexi bermanggut beberapa kali. "Seenggaknya dari awal kamu menikah dengan Firman, kamu udah banyak usaha buat menebus kesalahan kamu. Toh, tujuan kamu menikah juga ingin buat Firman sadar bahwa kamu benar-benar tulus. Begitu Firman sadar, ada cobaan lagi. Si Yudi, malah karena perbuatannya dia justru bikin Firman jadi seperti orang lain. Gimana tuh?"

"Nunggu waktu aja deh, Lex." Mira berucap pasrah. "Yang penting sekarang, aku nggak mau tertekan oleh Firman. Aku nggak mau mikir gimana Firman bertindak. Kalau kami berpisah dengan cepat, tidak masalah. Intinya masalah sudah beres, dia nggak akan ganggu kita lagi."

Lexi merasa kagum dengan perubahan Mira, yang untungnya dapat rela melepaskan Firman. Terlebih setelah pertemuan Mira dengan Firman di taman kota sepekan lalu, Lexi seakan menjadi penghibur kala Mira bersedih. Lexi terus menguatkan Mira dan meminta Mira agar tetap memikirkan buah hati dalam perut sahabatnya.

"Kalaupun mertua dan kakak iparku mau berbuat baik, nggak masalah juga. Aku akan hargai sebagaimana Firman yang dulu menghargai semua kebaikanku padanya."

"Bagus. Itu yang harus kamu lakuin, Mir." Lexi mulai memegangi Mira dengan merangkul lengan. Begitu sampai di apotik untuk menebus obat, Lexi spontan meraih kertas resep yang dipegang Mira di tangan sebelah kanan.

Selesai menebus obat, Mira diminta menunggu di depan lobby. Lexi ingin mengambil mobilnya yang terparkir jauh. Lexi enggan membuat Mira berjalan bermeter-meter, tidak baik juga bila Mira kecapean.

Mira memaklumi lalu membiarkan dirinya berdiri dekat pintu masuk rumah sakit. Selagi menunggu, Mira melakukan rutinitasnya mengusap perut. Itu yang selalu dia terapkan ketika ingin menghibur sang anak. Lalu bersenandung agar si buah hati dapat tenang.

Selang beberapa menit, Mira dikejutkan dengan satu nada dering yang membuat konsentrasinya buyar. Siapa yang menelepon siang-siang?

Segera Mira merogoh ponsel miliknya dari dalam tas tangan dan mengecek si penerima.

Firman. Sudah pasti, Firman menelepon artinya adalah ingin membahas tentang perpisahan mereka.

"Iya, Man?" Mira menyapa seperti yang dulu biasa dilakukan.

"Man, men, man. Kamu pikir namaku Maman? Panggil yang bener!"

Mira menarik napas sekejap lalu meralat panggilan sesuai permintaan Firman. "Iya, Firman. Kenapa menelepon?"

"Aku sekarang ada di pengadilan agama. Yah mau limpahin berkas-berkas, sekalian nyiapin surat perceraian kita."

"Lalu, apa hubungannya sama aku?" tanya Mira mulai berani.

"Kamu lupa? Kita harus kerja sama, buat memberikan bukti yang kuat. Setidaknya, ada satu bukti yang menunjukkan bahwa kamu adalah istri yang buruk."

"Gimana caranya? Apa perlu aku berbuat aneh, supaya kita bisa resmi pisah?" Mira seakan menantang Firman.

"Apa maksudmu bilang begitu?"

"Kalau kita pisah cuma karena aku sempat menyerang kamu waktu SMA, itu bukan jadi acuan. Itu masa lalu, lagian aku nggak pernah melakukan hal buruk, selama kita menikah," elak Mira. "Bukti apa yang perlu aku kasih?"

"Berani kamu ya. Jangan bilang kamu sengaja diam-diaman supaya kita tidak jadi pisah, begitu?"

Mira enggan melanjutkan debatnya dengan Firman. Dia harus lebih memerhatikan bayinya. Jika dia ikut meladeni amarah Firman, maka tekanan makin memicunya dan parahnya bisa berdampak pada janinnya. Lebih baik Mira abaikan daripada berbuah masalah nanti.

"Kamu mau datang? Aku bisa nunggu kok."

Diminta buat datang ke pengadilan agama? Di saat kondisinya sedang hamil besar? Mira tidak bisa membiarkan hal itu. Mungkin dia harus cari alasan agar Firman dapat memaklumi.

"Aku nggak bisa. Aku lagi nggak enak badan. Maaf," balas Mira tenang.

"Cih, itu cuma alasan kamu nggak enak badan. Bilang aja kamu mau menghindar, kan?"

"Dek, udah. Mira-nya lagi sakit loh, masa kamu maksa dia untuk datang?"

Terdengar suara Andini dari seberang telepon. Mungkinkah, Firman datang ke sana bersama satu keluarganya? Terlebih selanjutnya dia mendengar suara sang ayah mertua juga turut melarang Firman mendesak Mira.

"Baiklah kalau begitu. Semoga cepat sembuh," kata Firman dengan nada menyebalkan. "Semoga kamu bisa diberikan kekuatan buat ke sini. Aku mau cepat-cepat pisah dari kamu, nggak sudi dekat-dekat sama kamu."

Baru setelahnya, telepon terputus. Mira menjauhkan ponselnya dari telinga kemudian memasukkanya ke dalam tas tangan.

Sungguh tidak ada harapan bagi Mira dan Firman untuk bersatu. Tinggal menunggu proses, apakah mereka benar-benar akan berpisah?

Mira tak menduga akan tindakan Firman yang dinilai terlalu jauh. Segitu jijiknya Firman terhadap Mira sampai bertekad untuk pisah darinya?

Mira enggan ambil pusing. Balik ke niat awal, dia ingin lebih memerhatikan kesehatan bayinya dibanding hal lain. Semoga, sampai seterusnya, akan terus seperti itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top