Bab 77
***
"Aku cuma mengingat Mira. Harusnya aku ingat Mira, tapi kenapa ... kenapa ada sosok laki-laki yang menggangguku?"
Firman kini menceritakan semua yang dialami kepada Andini. Beruntunglah, Andini berinisiatif membawa Firman ke psikiater dan selama hampir sejam konsultasi, Firman mendapatkan obatnya dan harus diminum rutin
Firman diantar oleh Andini menggunakan mobil, bahkan Andini pula yang mengemudi. Sepanjang perjalanan mereka dari rumah sakit, Firman terus menerus berceloteh tentang dirinya yang aturan bermimpi tentang Mira namun ada sosok lain yang berada dalam bayangannya.
"Itu namanya proses dek." Andini menanggapi. "Kamu kan baru habis koma. Bayang-bayang masa lalu itu bakal terus berproses dan membentuk suatu ingatan. Gejalanya hampir sama waktu kamu mengalami trauma hampir setahun lalu."
Setahun lalu? Bagaimana bisa? Kenapa semua kejadian-kejadian penting tidak diingatnya? Sejenak Firman merasakan pening yang amat sangat dirasakan, namun dia tahan sebab enggan membuat Andini khawatir jadi disembunyikan meski sedikit meringis.
Cuma terbangun dari koma aja malah bikin ribet semua orang. Kejadian apalagi sih yang menimpaku? Apa ada keterkaitannya dengan si benalu?
"Obatnya jangan lupa kamu minum." Andini memberikan pesan, fokusnya tetap ke depan sembari memegang kemudi. "Ah, besok kita ke fisioterapi untuk menggerakkan kaki kamu di sebelah kanan. Di situ udah hampir sembuh loh, tinggal dilatih buat digerakin aja."
Firman membalas dengan melas. "Iya, kak."
"Ayah udah mau pulang dari kampus ke rumah. Kamu dijaga ayah ya. Aku harus ke kantor setelah mengantarmu."
Firman tidak mengharapkan Andini sebab memaklumi kesibukan sang kakak. Firman hanya ingin semua jelas terkait mimpinya. Sebab di rumah sakit, dia cuma diminta menceritakan hal-hal yang sempat membuat napasnya tersengal. Firman menjawab bahwa ada sesosok lelaki yang tak tampak wajah serta rupanya. Hanya menyerupai bayangan, dan itu sungguh mengganggunya karena lelaki itu terlihat akan menyerangnya.
Barulah setelah itu, dia diresepkan obat demi meringankan mimpi buruk. Apa sekelam itukah masa lalunya saat SMA sehingga bikin dia trauma?
Sementara itu, Mira dan Lexi sedang jalan-jalan di taman kompleks. Hanya berkeliling memutari pohon besar, pun di sekitar mereka ada yang melakukan aktivitas lain seperti peregangan atau lari di tempat. Semacam olahraga bagi mereka.
Lexi sengaja mengajak Mira cari udara segar karena baik buat si ibu juga calon bayi dalam janin. Menghirup oksigen dapat membantu menghasilkan energi dalam tubuh, sehingga sangat cocok bagi Mira agar tidak lemas sepanjang hari sebab kehamilannya.
"Ada beban yang masih menumpu?" tanya Lexi di sela berjalan mereka. "Kalau kamu masih merasa lesu atau ada hal-hal yang menjadi keluhanmu, bilang sama aku. Kita ubah metode."
Mira terdiam, tanpa reaksi. Bahkan dia tak menoleh sama sekali, padahal ada Lexi di sampingnya.
"Atau kamu mau makan? Kita makan di luar, cari-cari makanan khusus buat kamu." Lexi kemudian menawarkan, agar Mira mau merespon perkataannya.
Namun lagi, Mira hanya diam. Mulutnya mengatup sempurna. Membuat Lexi menghela napas berat.
"Sungguh kamu ada masalah?" Lexi balik ke topik awal. "Jika kamu nggak suka jalan-jalan, atau kamu bosan karena cuma berkeliling pohon dan bunga-bunga, kita cari cara lain biar kamu senang."
Mira menggerakkan bola mata, cuma memandang orang-orang sekitar yang lalu lalang sedang jogging. Mira bahkan tidak merespon sama sekali pembicaraan Lexi, seolah dia tidak mendengarkan orang di sebelah kanannya.
"Gimana kalau Firman minta pisah sama aku? Caranya seperti apa nantinya?" Tiba-tiba Mira bersuara, memberikan suatu pertanyaan.
Lexi cepat peka mendengar pertanyaan yang meluncur dari mulut sahabatnya. "Maksudnya?"
"Nggak, aku cuma mikir, gimana caranya Firman mau minta pisah? Sementara aku nggak tinggal di apartemen lagi dan memilih di rumah. Firman kan dikendalikan sama keluarganya karena dia hilang ingatan. Apa dia, meminta Kak Andini jadi perantara atau ayah dan ibunya?"
Lexi berdeham sebentar sambil memikirkan jawabannya.
Kemudian Lexi membuka mulut, menuturkan pendapatnya. "Kamu kan sempat cerita, Firman menganggap kamu benalu. Berarti jelas, kamu bakal sungguh pisah darinya. Dan sudah pasti, dia bakal minta sama kakaknya buat urus semuanya. Mana mungkin Firman melakukannya sendirian, apalagi lengan dan kakinya masih terluka."
"Betul sih. Cuma kalau secara tiba-tiba dia mengurus sendiri tanpa bala bantuan keluarganya, yah ... itu bikin aku takut. Terlebih di kondisiku yang sekarang ini." Mira memberi iba ke dirinya sendiri, lalu tangan sebelah kiri mengusap perut yang menonjol sepenuhnya.
"Kalau Firman peka aku pakai gaun terusan, apa dia bakal nebak aku hamil?" tanya Mira sekali lagi. "Padahal aku ingin menyembunyikan kehamilanku darinya."
"Loh, kenapa?" Lexi terkejut bahkan barusan dia tercengang sebentar. "Jika Firman tahu kan bakal lebih bagus. Bisa jadi pertimbangan buat kamu."
"Aku nggak mau kasih beban buat Firman cuma karena aku hamil. Aku nggak tahan lihat Firman marah atau ngamuk di depanku. Bisa-bisa dia nganggap aku 'penggoda' karena jadi pancingan buatnya agar dia menyentuhku. Memanggilku benalu aja sudah nyaris bikin aku sakit hati. Gimana kalau dia manggil aku 'pemancing' atau 'penggoda'? Nggak, aku nggak bisa bayangin hal itu terjadi."
Selanjutnya Mira menghela napas. Pandangannya tetap ke depan, melihat orang-orang sekitar yang sedang menikmati peregangan di sela olahraga mereka. Sementara keduanya, masih jalan mengelilingi taman kota.
"Yah, kalau itu maumu, no problem. Kita kan ingat Firman masih belum pada jati dirinya. Jadi ya kamu berhak buat menyembunyikannya."
"Tapi mertuaku tahu, bahkan kakak iparku juga tahu, kalau aku lagi hamil. Apa mereka bakal kasih tahu ke Firman nggak ya?" Mira mulai khawatir.
"Dua kemungkinan. Bisa jadi ngasih tahu–jika mereka keceplosan, atau nggak ngasih tahu, karena peka terhadap kondisi Firman yang tidak bisa mengatur diri." Lexi memberikan spekulasinya.
"Mungkin mereka menyembunyikannya juga karena paham Firman bakal 'memberontak' jika tahu hal itu." Mira juga ikut memberikan dugaannya. "Semoga aja sih. Semoga aja."
Alih-alih membalas, Lexi mengelus lengan sahabatnya agar tenang. Setidaknya Mira tidak boleh khawatir berlebihan, bisa berujung stress bila terus-menerus mengeluh.
"Lex. Ayo kita makan di luar. Aku lapar soalnya." Mira meminta sahabatnya menghentikan jalan dan memberikan satu permintaan pada Lexi.
"Kamunya yang lapar atau bayi kamu yang lapar?" Lexi iseng bertanya, agar menghidupkan suasana.
Mira membalas dengan tawaan pelan, lalu menjawab. "Ini dari kata hatiku, Lex. Aku benar-benar lapar."
"Hehe, ya udah. Aku ambil mobil dulu ya, nggak lama kok."
Lexi berlari ke arah jam 3 menuju lorong rumah Mira. Sementara Mira dibiarkan berdiri di sekitar pohon, menunggu Lexi datang dengan mobilnya.
Selagi luang, Mira mengusap-usap perutnya seakan memberikan ketenangan pada bayinya di dalam perut. Sembari bersenandung pelan agar si anak mendengar.
Dalam beberapa menit dia melakukannya, tiba-tiba nada dering ponselnya berbunyi nyaring hingga konsentrasinya buyar. Ponsel miliknya ada dalam tas tangan, dan tas tersebut ada di bangku yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Segera Mira menghampirinya dan merogoh isinya.
Dari Firman, terlihat nama si penerima. Mira memang tak menghapus nama Firman dari daftar kontaknya. Toh sewaktu-waktu Firman membutuhkannya bila jati diri pria itu pulih, maka dia bisa tahu Firman meneleponnya suatu saat.
Namun, merujuk pada situasi sekarang, kenapa Firman mendadak menghubunginya? Apa yang terjadi?
Mira langsung mengangkatnya tanpa basa-basi, lalu menyapa ramah Firman tanpa menunggu Firman lebih dulu.
"Benalu. Akhirnya kamu ngangkat teleponku juga." Firman membuka obrolan, alih-alih membalas sapaan Mira di telepon. "Tadinya aku nggak mau nelepon kamu, cuma karena mengingat status kita jadi kepikiran terus. Makanya aku langsung ke topik utama, biar nggak lama."
Mendengar niat Firman barusan, membuat Mira mengingat sesuatu. Apakah Firman sungguh ingin berpisah dari Mira?
"Besok, kita ketemu di taman kota. Sekitaran Gambir. Kamu tahu kan?"
Mira termangu, bahkan enggan merespon kata-kata Firman. Pendengarannya seakan tertutup. Benarkah Firman melakukannya sendirian? Apa Firman tidak mempertimbangkan sekali lagi? Bahkan bukti sudah lebih dari cukup diperlihatkan ke ayah mertuanya. Tidak adakah suatu pemicu yang membuat Firman berubah?
"Heh! Balas! Jangan diam aja di telepon!" Firman berseru kencang yang membuat Mira terkejut.
"I–Iya. Kamu shareloc aja. Aku nggak hafal tempat soalnya."
Firman menghela napas berat–mungkin sebal karena Mira tidak tahu taman kota yang dimaksudnya. "Iya deh. Ku-shareloc nanti. Tapi awas ya, kamu harus datang. Karena ini penting pembicaraannya."
Mira ingin mengiyakan namun Firman keburu mematikan telepon. Mira mengelus dadanya sebentar, hanya untuk menenangkan hatinya.
Mira sungguh dapat menebak apa yang ingin mereka bicarakan besok. Tentu, tidak jauh-jauh dari kata perpisahan. Makanya Mira diminta Firman buat bertemu, untuk membahas lebih dalam terkait hal tersebut.
Mira harus menguatkan hatinya. Mau bagaimanapun, Firman tak bisa ditolong lagi. Pun, sejak awal niat mereka menikah bersifat sementara, hanya membuat mantannya kepanasan sekaligus memenuhi syarat untuk mengikuti sesi belajar.
Mengingat sesi belajar, lama sekali tidak dilakukan Firman semenjak kejadian itu. Mira sungguh salah langkah dalam menghadapi Firman saat itu, sehingga membuat dirinya dihadapkan oleh berbagai banyak masalah. Terutama soal masa lalu.
Mira bukanlah Mira yang dulu, dia siap–bahkan sangat siap untuk berpisah dari Firman. Masalah anaknya, dia bisa mengurusnya sendirian dan mungkin tanpa ikut campur tangan dari Firman. Meskipun Firman adalah ayah dari anak yang dikandungnya sekarang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top