Bab 7

***

Pertemuan pertama sesi belajar semalam hanya diisi materi dasar tentang digital marketing. Tak lupa Firman menceritakan sedikit pengalamannya saat pertama kali melamar di FoodBeary sebagai content marketer.

Hingga pada hari berikutnya, Mira tak sengaja tidur di unit 20-6 milik sang guru. Mira berbaring di atas sofa panjang seraya mendengkur cukup kuat.

Pria dengan kaos oblong putih biasa keluar dari kamar. Niat ingin membasuh wajah justru urung melihat seorang wanita yang sedang molor di sofa panjangnya dengan hoodie sebagai selimut.

Ini anak nggak dengar apa? Kusuruh pulang malah tidur di unit orang. Pikirku setelah masuk kamar jadi tenang. Malah dia ikutan tidur di sini. Firman menggerutu dalam hati.

Firman reflek mengecek jam di ponsel, kebetulan dipegangnya. Baru menunjukkan pukul 7 pagi. Mira masih saja tertidur tanpa bergerak sama sekali. Padahal dia harus bersiap menuju kantor, setidaknya sebelum jam kerja dimulai.

Firman melenggang dari depan kamar dan cepat menghampiri wanita yang sedang mendengkur, kemudian menepuk pundak Mira berulang kali.

"Mira. Bangun. Ngapain kamu tidur di sini? Aku harus masuk kantor."

Firman berseloroh hingga terdengar oleh Mira yang setengah sadar.

Mira mulai terbangun dan mengucek mata terlebih dahulu, menatap langit-langit yang tampak berbeda dari biasa dilihatnya.

"Loh, kok aku bisa di sini, sih?" tanya Mira dengan suara serak. Terkejut sambil tubuhnya menegak. Pandangan mengelilingi sekitar. Pantas saja terasa asing. Jarang sekali dia tidur di sofa, paling di ranjang besar miliknya di kosan.

"Justru aku yang tanya sama kamu. Kenapa kamu bisa ada di sini? Malah tidur di unit orang lain pula, tidak ingat tempat tinggal sendiri."

Omelan demi omelan mulai memenuhi pendengarannya. Di posisi seperti ini, Mira tidak bisa mengelak. Sekejap saja dia menyadari kesalahannya sebab terlalu nyaman berada di tempat yang jauh lebih enak dibanding kosannya. Meskipun banyak hal menarik, tetap saja unit apartemen membuatnya terperdaya. Hingga saat malam itu, dia mulai meluruskan tubuhnya di sofa dan berakhir ditegur oleh si empunya unit.

Tanpa merespon apa-apa, Mira cepat-cepat membereskan kekacauan di meja bulat putih. Lalu hoodie miliknya dimasukkan ke dalam tas.

Meski keadaan sempoyongan, Mira tetap berjalan menuju pintu keluar sambil mengangkut tasnya. Mira justru tidak enak sebab merepotkan gurunya.

"Saya ... pulang dulu ya, pak. Maaf kalau saya mengganggu waktu Anda." Tubuh Mira membungkuk, berusaha memberikan hormat pada Firman. Kemudian duduk di lantai kayu untuk menggunakan sepatunya.

Begitu Mira mulai memegang kenop pintu, spontan saja tangannya ditarik Firman kembali masuk dalam unit.

"Jangan langsung pulang. Sarapan dulu. Cuci muka, dan lain-lain," pinta Firman dengan tegas. "Kalau kamu pingsan saat turun dari gedung ini gimana? Bisa-bisa aku yang repot nanti."

Firman lanjut menarik tangan Mira dan menyuruhnya duduk di meja makan, sembari Firman langsung memasang apron.

"Aku buatkan roti toast," kata Firman sambil membelakangi meja makan, mulai dengan aksinya mengambil dua lembar roti dan bahan-bahan lainnya di kulkas.

"Pak, nggak usah. Jangan repot-repot."

"Sudah. Jangan membantah gurumu ini," tegas Firman mengangkat telunjuknya lalu menggerakkan kedua tangan membuka lemari atas dapur.

Sembari menunggu, Mira menyempatkan mencuci muka di kamar mandi dekat dapur, lalu kembali duduk dan terdiam di meja makan.

"Terasa seperti rumah," ucap Mira begitu mencium aroma yang keluar dari teflon saat Firman memasukkan butter.

"Kamu merindukan ayah dan ibumu?" tanya Firman iseng, hanya sekadar mengajak ngobrol.

"Tentu saja. Aku ngekos beberapa bulan dan nggak sempat kembali ke rumah. Meski aku hanya pindah tempat, setidaknya nggak sampai ke luar kota. Biar ke rumah cuma naik transportasi darat."

Firman berdeham. "Begitu? Lalu gimana Adit? Hubunganmu sama dia lancar, kan?"

"Yah ... lancar sih," jawab Mira memelas. "Adit lagi ada urusan ke luar kota. Katanya perjalanan dinas gitu."

Firman tidak lagi bertanya, fokus membalikkan rotinya di wajan. Seraya menyisihkan bahan-bahan lain.

Tidak sampai beberapa menit, roti toast beserta isian menumpuk pun matang. Sarapan yang menurutnya sangat gampang, tinggal memanaskan roti lalu menambahkan bahan yang ada di kulkas.

Firman menaruh piring bertatakan roti di meja, kemudian duduk sejajar dengan Mira.

"Makanlah," pinta Firman lalu menambahkan saos di piring kecil miliknya.

"Kenapa kamu terus bersikap baik kepadaku, Man?" tanya Mira berceletuk. "Aku sadar aku nggak tahu diri tidur di unit orang lain, bukankah kamu seharusnya membiarkanku diusir dari unit ini tanpa memberikan sarapan?"

"Aku nggak mau masalah jadi rumit hanya gara-gara kamu pingsan saat menuruni gedung ini," jawab Firman sembari mengunyah roti sandwich-nya.

"Kamu tahu nggak, Man? Aku teringat pernah suruh-suruh kamu waktu SMA. Minta beliin aku semangkuk bakso terus membersihkan tempat dudukku. Bahkan aku nggak membalas apa-apa padamu sama sekali."

Apa akhirnya kamu menyadari itu, Mir?

"Tapi kini, kamu memberikan sarapan untukku tanpa sadar aku banyak salah sama kamu." Mira memberi jeda dengan menggigit rotinya. "Apa jangan-jangan, tentang syarat aneh itu, kamu pasti melakukan itu karena mau balas dendam bukan?"

Diamnya Firman adalah jawaban. Pandangannya beralih pada roti yang tinggal setengah. Membiarkan Mira dan dugaannya yang mana Mira bisa memecahkan pertanyaan yang dia ajukan sendiri tanpa Firman yang jawab.

"Mir. Mending nggak usah berpikir omong kosong. Mana mungkin aku balas dendam atas apa yang kamu lakukan di masa lalu?" ketus Firman pada akhirnya.

"Daripada berpikir yang bukan-bukan, mending makanlah rotimu. Aku harus masuk kantor jam 9 pagi," pinta Firman kemudian menghabiskan roti miliknya dalam sekali gigit. "Minum juga tehnya."

Firman berdiri dari kursi, membiarkan Mira sendirian menyantap roti buatannya. Pria itu melenggang menuju kamar untuk mengambil handuk kecil.

Setelah rotinya habis, Mira ikut berdiri dari kursinya dan mengambil tas punggung yang ditaruh di sofa panjang.

"Saya duluan, Pak Firman."

Orang yang disebutnya menghentikan langkahnya ke kamar mandi, kemudian membalikkan tubuh hanya sekadar melihat Mira berucap pamit padanya.

"Ya sudah. Kamu hati-hati," balas Firman dengan nada biasa.

Merasa tidak ada obrolan, Mira pun menggunakan sepatunya dan lekas keluar dari unit milik Firman.

Si empunya unit hanya menggaruk kepala begitu menyadari Mira berlalu secepat itu.

"Buru-buru sekali," gumam Firman kemudian.

***

Rasa lelah dan penat masih menyergapnya, tubuh terasa berat, dan pikirannya menjadi labil. Setelah seharian beraktivitas, MIra memutuskan untuk merenungkan diri di atas ranjang yang empuk. Dengan senyum kecil, dia merebahkan diri dan menyesap kenyamanan tempat tidurnya.

Saat berbaring, Mira meraih ponselnya dan membuka media sosial untuk mengetahui berita terbaru. Namun, tiba-tiba, bayangan Adit muncul di pikirannya, memicu pertanyaan tentang keberadaannya saat ini.

"Sebaiknya aku telepon Adit saja," gumam Mira, berpikir tentang saran dari temannya, Lexi, yang menyebut bahwa Adit sedang dalam perjalanan dinas dan tak dapat dihubungi setelah mengirimkan foto. Meskipun Lexi memiliki kemampuan meretas yang masih terbatas, Mira tidak ingin terus mengasumsi hal-hal negatif.

Lupakan kecurigaan, Mira merasa kangen dan ingin mendengar suara Adit. Tanpa ragu, dia menekan ikon telepon berwarna hijau dan membawa ponselnya ke telinga. Namun, panggilannya terputus begitu saja, membuat hatinya agak kecewa.

Tetapi Mira tak menyerah begitu saja, dia mencoba menelepon Adit sekali lagi. Menunggu hampir semenit terasa seperti waktu yang cukup panjang, namun panggilannya kembali tidak diangkat.

"Mungkin dia sedang sibuk," gumam Mira, mencoba mencari pembenaran atas ketidakhadiran Adit.

Biasanya Adit selalu merespons panggilan Mira dengan cepat. Namun hari ini, suara 'tut' berdering berkali-kali tanpa jawaban. Mira merasa keheranan, menyimpulkan bahwa perjalanan dinas Adit mungkin membuatnya sibuk, sehingga dia tak punya waktu untuk mengecek ponselnya.

Tanpa ingin larut dalam kekhawatiran yang tak pasti, Mira memutuskan untuk istirahat. Dengan hoodie merah muda masih melekat di tubuhnya, dia merebahkan diri di atas kasur dan merasakan kenyamanan menyelimuti tubuhnya, membiarkan mimpi-mimpinya membawa dia ke dunia yang berbeda.

Mendadak Mira terbangun. Sore hari telah tiba, dan dia ingat bahwa ada beberapa kebutuhan yang harus dibeli di supermarket. Tanpa berlama-lama, dia segera mencuci wajahnya dan memoles wajah dengan ringan. Tak lupa, dia menyemprotkan parfum lembut ke seluruh tubuhnya sebelum melangkah ke luar kamar kos.

Dengan langkah ringan, Mira berjalan menuju pagar untuk menunggu taksi yang telah dipesannya. Hoodie merah muda yang masih ia kenakan memberikan kesan santai namun tetap modis. Dia merasa beruntung telah memilih sandal tutup, yang tidak mengurangi kesan penampilannya.

Sesampainya di supermarket, Mira merasa agak bingung. Dia tidak mencatat daftar belanjaan, jadi dia hanya mengambil keranjang belanjaan dan berjalan melewati berbagai etalase yang menarik perhatian.

Tanpa tergesa-gesa, Mira berkeliling dan perlahan ingatan akan apa yang dibutuhkan mulai kembali. Dengan spontan, tangannya mulai mengambil beberapa barang dan meletakkannya dalam keranjang belanjaan. Begitu seterusnya, dia terus mengisi keranjang dengan berbagai item yang menarik perhatiannya.

Namun, seiring berjalannya waktu, keranjangnya semakin penuh dan Mira menyadari bahwa dia mungkin mengambil terlalu banyak barang. Meskipun niatnya berhemat, dia harus mengakui bahwa sekarang terlalu berlebihan.

Tidak apa-apalah, tadi juga aku dapat transferan dari klien yang lebih besar dari sebelumnya. Batin Mira bangga.

Setelah merasa puas dengan belanjaannya, Mira mengambil tempat di antrean di depan bagian kasir. Keranjang belanja penuh dengan barang-barang yang diperlukan diletakkan di atas meja kasir, dan seorang pegawai wanita dengan sigap melayani transaksi. Salah satunya dengan cekatan memindai kode barang, sementara yang lain dengan gesit mengemas belanjaan ke dalam kantong.

Mira menyerahkan kartu debitnya untuk pembayaran. Proses transaksi berlangsung lancar, dengan gerakan cepat dari pegawai kasir tersebut. Si pegawai itu tersenyum hangat pada Mira, sambil memberikan struk belanjaan.

"Ini, ya Kak. Terima kasih sudah berbelanja," ucapnya dengan ramah.

Mira membalas senyuman itu, merasa dihargai oleh pelayanan yang baik. Lalu dengan mantap, wanita ber-hoodie merah muda itu meninggalkan supermarket, mendorong keranjang berisi belanjaannya dengan penuh semangat.

"Loh, mana mobilnya ya? Bukannya menuju kemari?"

Mira menggaruk kepalanya sambil pandangannya beralih pada layar ponsel. Harusnya titik pengemudi bergerak menuju lokasinya. Tapi ketika baru keluar dan menunggu, dia mendapat pesan. Belum sampai kata sopirnya. Mira diminta bersabar selama kurang lebih semenit dari estimasi waktu.

Sudahlah, lebih baik berdiri memegangi trolley sembari terus memandang ponselnya memantau pergerakan taksi pesanannya.

Mira mendongak untuk memastikan taksi yang telah dipesannya sudah sampai di depan. Namun, pandangannya tiba-tiba tertarik pada sepasang pria dan wanita yang sedang berjalan bersama. Pria itu tinggi dan kurus, mengenakan kacamata, dan paling mencolok adalah ketika pria tersebut merangkul erat wanita yang berjalan di sampingnya.

Detak jantung Mira mulai berdegup lebih cepat. Matanya mulai memicing, mencoba memastikan apakah pria itu adalah Adit, kekasihnya. Tapi tidak mungkin, bukankah Adit sedang dalam perjalanan dinas? Dan nomornya tidak aktif, bukan?

Tanpa ingin melewatkan kesempatan, Mira segera membuka kamera ponselnya. Dengan hati-hati, dia memotret pria itu dari jauh, memastikan gambar terlihat jelas dan tajam. Dia merasa beruntung memiliki ponsel canggih yang memungkinkannya untuk mengambil foto dengan baik meskipun dari jarak jauh.

Setelah berhasil mengambil foto, tanpa ragu Mira segera mengirimkan hasil fotonya kepada Lexi, temannya yang dikenal memiliki kemampuan detektif yang handal. Mira ingin memastikan apakah pria itu benar-benar Adit atau hanya sekadar kesamaan.

(Lexi. Tolong telusuri pria ini. Dia beneran Adit atau bukan? Tajamkan juga fotonya, biar aku bisa memastikan.)

Tak lama kemudian Lexi membalas pesan Mira.

(Aku tuh curiga ya kalau Adit tahu dia dilacak. Aku memang taruh alat pelacak supaya bisa lihat titiknya di radar. Itu selama beberapa hari, namun setelah itu apa? Dia malah tidak terlacak. Titiknya jadi nggak ada.)

Mira hanya memandang layar ponsel tanpa bereaksi sama sekali.

Lexi membalas pesan beberapa menit kemudian.

(Bisa jadi ... pria itu beneran Adit. Atau karena dia tidak menggunakan tas, ya?)

Dugaan Lexi selanjutnya memperkuat apa yang Mira pikirkan. Tas adalah barang wajib jika melakukan perjalanan dinas.

(Aku sudah tajamkan fotonya dan kubandingkan dengan foto-foto yang sudah aku ambil. Hasilnya mencengangkan.)

Mira membuka lampiran yang dikirim Lexi di aplikasi perpesanan. Ciri-ciri berupa rambut belah pinggir dan poni yang menyerupai tanda koma. Persis seperti yang biasa dia lihat.

"Jangan bilang ... dugaanku benar selama ini ..."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top