Bab 69

***

Meskipun Firman telah lama sadar dari komanya, Firman masih harus menjalani serangkaian pengobatan agar dirinya bisa pulih sepenuhnya. Tak terkecuali di bagian lengan sebelah kiri serta kakinya yang terluka cukup parah. Tentu membutuhkan waktu lama untuk sembuh.

Tiap hari, Firman tak dapat menghindari rasa sakit di area yang terkena luka. Selalu saja dia meringis bahkan setiap saat. Firman berusaha menggerakkan lengan dan kakinya walau begitu pelan, namun tidak berhasil. Firman berada di antara ikhlas atau tidak rela dirinya mengalami luka dan tak mampu menggerakkan bagian anggota tubuhnya. Belum lagi dia cuma berada di ranjang rumah sakit, dan kalau mau buang air kecil dan besar perlu dibantu oleh perawat tanpa tongkat atau kruk.

Aku bosan di rumah sakit. Aku ingin pulang, aku ingin menenangkan diri. Sambil mencari sebagian ingatan atau momen yang tiba-tiba lenyap di kepalaku.

Pintu ruang perawatan terbuka, menampilkan sosok wanita anggun berpakaian blazer warna ungu serta riasan natural yang tak terlalu mentereng. Tak lupa rambutnya dicepol agak ke atas agar menampilkan kesan tangguh.

"Kak Andini? Kok kakak nggak ke kantor malah ke rumah sakit?" tanya Firman tanpa basa-basi. Firman sungguh lebih cepat ingat tentang keluarganya dan menanyakan kesibukan Andini sebagai general manager di perusahaan ibunya.

"Iya. Mau bawain makanan buat adikku tercinta. Apa salahnya sih?" Andini menanggapi disertai senyuman kecil yang menghiasi wajahnya. "Ayam gulai kesukaan kamu. Beli di warteg dekat kantor kamu. Kata rekan kantormu, kamu suka beli ini pas makan siang."

Firman tertawa pelan sebagai balasan, lalu meraih pemberian Andini saat sang kakak merentangkan tangan.

"Kakak sampai tanya ke anak-anak kantor apa kesukaanku. Benar-benar Kak Andini effort banget untuk memuaskan rasa lapar adiknya," puji Firman kemudian mengambil piring yang diberikan kakaknya dan bersemangat kala menaruh bungkusan cokelat besar di atas piring.

"Jelas dong. Kamu juga masih dalam pemulihan, jadi kamu perlu istirahat yang banyak."

Meski penampilan Andini yang terkesan mewah, apalagi cincin platinum serta kalung perak sebagai penunjang penampilan, justru tak ragu membantu buka bungkusan cokelat berisi nasi dan lauk ayam gulai sesuai kesukaan sang adik. Apalagi yang dia tahu, adiknya masih terluka di bagian lengan.

"Kamu bisa makan pakai tangan kanan, kan?" tanya Andini memastikan. "Di situ nggak merasa sakit, kan?"

Firman menengok area yang dimaksud sang kakak lalu menjawab spontan. "Iya, kak. Beruntung cuma lengan kiri yang sakit dan butuh di-gips. Untuk makan dengan tangan kanan, aku bisa, kak."

"Syukurlah kalau begitu." Andini melepaskan blazer yang melekat di tubuh dan kini menyisakan kemeja ruffle warna putih polos serta celana pensil warna krem. Wanita tersebut juga membawakan piring kecil berisikan kue brownis yang kebetulan dibelinya barusan.

"Makanlah. Jangan buru-buru makannya ya, takut kesedak loh." Andini mengingatkan diikuti kekehan kecil.

Firman membalas sambil tersenyum hangat. "Iya, kak. Kakak juga harus makan. Pasti capek mengantri di warung cuma buat beliin aku makan. Lagipula sebagai GM yang kerja di perusahaan internasional punya Ibu, tenaganya harus ekstra untuk bekerja. Betul kan, kak?"

"Betul banget, dek." Andini membenarkan seraya menjentikkan jarinya. Langkahnya yang anggun mengiringinya sampai di sofa. Lalu Andini juga ikut menyiapkan makanannya, sama seperti sang adik. Kemudian mulai menyendok nasi ayam gulai miliknya meski harus agak membungkuk karena ukuran mejanya yang terbilang rendah dari posisi duduk.

"Oh iya dek. Kenapa nggak ajakin Mira ke sini? Mira kan nggak terlalu sakit tuh, apalagi kakak lihat, dia sehat-sehat aja."

Membahas Mira atau si wanita benalu membuat Firman seketika berubah ekspresi. Bukan tidak mungkin, mengetahui fakta bahwa dia masih suami Mira adalah hal paling memilukan buatnya. Firman saja masih belum ingat sepenuhnya terkait situasi terkini, terlebih lagi dia belum tahu siapa yang membuatnya jadi terluka sampai tidak bisa menggerakkan lengan dan kakinya. Sungguh rumit. Cuma masa lalu sebagai anak SMA saja yang diingatnya.

"Mira-nya aja yang nggak mau ke sini," jawab Firman tanpa mengalihkan pandangannya dari makanan di hadapan. "Aku bilang kok sama dia 'ayo temani aku ke rumah sakit', eh dia langsung menghindar."

Andini berdeham sebentar sebelum memberikan tanggapannya. "Apa dia tidak enak badan ya?"

Firman mengerling ke arah kakaknya. Atas dasar apa sampai si benalu itu dianggap sakit oleh keluarganya? Mungkinkan Mira 'benalu' lagi-lagi mencari perhatian agar banyak yang peduli padanya?

Dasar. Dia pasti merencanakan sesuatu supaya Kak Andini, ayah, atau ibu merasa iba pada si sampah itu.

"Gini loh dek. Mira itu sempat bilang ke kakak kalau belakangan ini dia tidak enak badan. Cuma ya Mira bilang kalau dia cuma masuk angin aja, nggak ke hal-hal lain." Andini mengernyit kening kebingungan. "Mira juga nggak mau dirawat di rumah sakit, pas kakak mau tawari Mira agar dirawat intensif–"

"Kak." Firman memanggil dengan tenang. "Mira baik-baik saja, kok. Dia nggak sakit, dan dia pun sempat WA kalau kondisinya baik-baik saja, mana mungkin dia sakit terus-menerus?"

Walau semua yang dia katakan itu bohong, dia berusaha agar anggota keluarganya tidak mengungkit si benalu. Bisa panas telinganya bila kakaknya terus menyebut-nyebut nama Mira.

"Bagus deh kalau begitu. Berarti Mira sungguh baik-baik saja." Andini menghela napas lega kemudian melanjutkan lagi aktivitas makannya yang sempat terhenti.

Sementara Firman, tiba-tiba pernapasannya jadi tidak teratur saat nama Mira mengudara sampai di telinga. Entah kenapa, bayangan Mira remaja serta seringainya ketika akan memukulinya di masa lalu tergambar jelas, justru membuat Firman nyaris kehabisan oksigen dan penglihatannya kini memudar seiring keluhan sakit kepala yang dialami hingga nyaris jatuh di atas kasur. Beruntung dia dapat mengendalikan diri setelahnya.

"Kak. Bisa minta tolong belikan air minum? Yang ukuran satu liter," pinta Firman diikuti helaan napas yang terus tidak teratur.

"Kamu kenapa? Ada sesuatu?" tanya Andini spontan panik, sambil berusaha berdiri dari sofa setelah duduk dengan tenang menikmati makanan.

"Nggak. Aku cuma, ingin air minum aja," jawabnya agak terbata-bata karena rasa cemas yang barusan melanda dirinya.

"Kamu gugup?" Andini berjalan menghampiri Firman dan memegang bahu adiknya. "Kamu keringatan loh. Kamu kepikiran sesuatu?"

Firman enggan menjawabnya, dia merasa bahwa hal tentang Mira harus dia simpan rapat-rapat daripada harus mengatakannya secara gamblang pada kakaknya.

"Nggak. Aku hanya merasa haus," jawab Firman seadanya kemudian membuat tatapan pada Andini. "Minta tolong ya, Kak. Beliin."

Andini membalas dengan anggukan dan mulai menuruti permintaan adiknya, lalu berjalan ke sofa untuk mengambil dompetnya di tas tangan. Barulah dia langsung keluar dari ruang perawatan, dan berjalan ke sebelah kanan menuju tempat di mana dia harus membeli air minum.

Frman masih belum bisa mengendalikan diri. Demi apa pun, dia sungguh merasa sesak apabila mengingat Mira. Terlebih wajah seringai yang dia hafal betul, dan ancaman buruk dari Mira yang buat kehidupannya jadi terancam.

Entah bagaimana harus membalas kejahatan Mira di masa lalu. Perlukah dia mengadukan semuanya ke ayah dan ibunya? Dia belum bisa menceritakan dengan betul karena satu pekan lalu terbangun dari koma dan mengakibatnya dirinya berbicara asal-asalan pada mereka.

Dia tinggal menunggu waktu, kapan memberitahukannya?

***

Beberapa hari lalu, Mira mendapat gertakan hebat dari Firman. Tak menyangka, Firman bisa mengingat cepat terkait masa lalunya. Mira kini tidak bisa berbuat apa-apa. Satu per satu, perlahan terkuak. Mira hanya menunggu kapan semuanya bakal terungkap.

Mira mengistirahatkan dirinya di unit 20-7. Tentu dia tidak sendirian, dia ditemani Lexi, yang sangat setia terhadapnya. Lexi bahkan harus mengatur ulang jadwal pertemuan dengan klien demi bisa menjaga Mira.

Kehamilannya yang hampir menginjak usia lima bulan itu pun begitu berpengaruh pada tubuh Mira. Meskipun perutnya belum menonjol sepenuhnya, namun Mira tetap perlu menjaga kondisinya agar dirinya dan si bayi sehat sampai lahiran.

"Besok kita cek ke dokter ya, tentang kamu yang tiba-tiba kram dan mual-mual. Kita udah lama loh nggak ke dokter." Lexi memberikan saran, sambil dirinya beraktivitas di dapur, membuatkan makanan khusus untuk Mira.

"Apa mungkin, karena Firman mengingat semuanya?" tebak Lexi. "Iya, aku tahu. Rahasiamu terungkap begitu saja, sebab Firman yang sempat bilang dia bermimpi terkait masa SMA. Terus, Firman yang memarahi kamu dan mengusirmu dari ruang perawatan. Berarti dia ingat kamu sebagai otak perundungan. Bisa aja kan? Kepingan-kepingan yang terhambur justru menyatu dalam kepalanya."

Mira membenarkan ucapan Lexi kemudian menegakkan tubuhnya di atas sofa seraya meluruskan kedua kaki. "Tapi kenapa harus sekarang? Kenapa mesti dia mengingat itu?"

"Tuh, mulai lagi kebiasaan buruk kamu," rutuk Lexi, kemudian memberikan beberapa bumbu di masakannya. "Aku kan sudah tanya ke kamu tentang dua rencana. Dan kamu memilih apa? Tergantung situasi. Aku tanya kesiapan kamu buat jujur, dan kamu jawab apa? Kamu bakal siap. Kamu benar-benar tidak rela ya, berpisah dari Firman, bahkan setelah anak kamu lahir?"

"Aku nggak tahu lagi." Mira mulai melirih. "Di satu sisi, aku siap banget buat pisah dari Firman. Tapi sisi lainku bilang, aku nggak siap. Aku ingin lama berada di sampingnya, hanya saja ..."

"Mungkin lebih baik, kamu nggak usah keluar-keluar dulu, Mir." Lexi menanggapi tekanan besar yang dialami Mira. "Kamu sepertinya tidak bisa mengendalikan dirimu, apalagi menyangkut masalah Firman. Aku takut jika kamu stress, maka akan berpengaruh pada bayi kamu. Kasihan loh anak kamu menanggung dilema mamanya. Mending kamu istirahat aja, aku akan temani kok."

Mira tampak kehabisan kata-kata, setelah mencoba buat bersikeras terhadap keputusannya. Benar, lagi dan lagi dia plin-plan tentang kesiapannya untuk jujur. Meskipun telah mengutarakan semuanya, Mira tetap enggan berpisah dari Firman. Lebih tepatnya adalah, untuk saat ini, dia tidak mau pisah dari Firman. Begitu kejujurannya telah terungkap semua, barulah dia bisa menyanggupinya.

"Setelah makan, istirahat. Aku juga harus telepon dokter kamu, menanyakan jadwal beliau besok." Lexi menaruh sajian sayur di atas meja makan. "Sekarnag kamu makan dulu, Mir. Berikan nutrisi buat bayi kamu."

Mira menuruti dengan langkah risi, menuju meja makan. Rasanya berat buat memasukkan makanan ke tubuhnya. Namun seketika dia berpikir, ada anaknya di dalam perut dan harus diberi makan juga. Mau tidak mau, dia memasukkan beberapa sendok ke mulut agar si janin tetap terjaga nutrisinya.

Tak lupa, Lexi menyiapkan susu formula khusus ibu hamil kepada Mira. Lexi begitu telaten menyiapkan berbagai kebutuhan Mira. Tentu, Lexi masih memegang posisi sebagai suami pengganti, selagi Firman belum balik pada jati dirinya.

"Pokoknya selama 24 jam ke depan, aku akan menemani kamu," kata Lexi bertekad, kemudian cepat-cepat melepas celemek kemudian mengambil alat penyedot debu buat membersihkan keseluruhan apartemen.

"Unit 20-6 nggak usah dibersihin?" tanya Lexi memastikan, lalu dibalas Mira dengan gelengan.

"Baiklah. Aku nginap di sini sampai malam, dan kalau butuh apa-apa, panggil saja aku."

Mira berdeham, lanjut melakukan aktivitas makan, walau merasa sungguh malas. Tetapi beberapa waktu, nafsu makannya justru perlahan naik. Hingga piringnya habis tak bersisa hanya dalam waktu hampir 20 menit.

Untuk sekarang, Mira memang membutuhkan banyak istirahat, setelah mendapatkan banyak tekanan. Terutama dari Firman. Dia harus lebih bersabar dalam menunggu waktu, harap saja keberuntungan berpihak pada dirinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top