Bab 62
***
Setelah dua bulan lamanya Firman dirawat di ruang ICU, kondisinya mulai stabil dan pihak medis mengizinkan untuk dipindahkan ke ruang perawatan. Tentu kesadarannya belum pulih, Firman tetap harus diawasi walau tidak sesering saat berada di ruang sebelumnya.
Untuk biaya rumah sakit, Lexi rutin membayarkannya. Beruntung buat Lexi, dia bisa mendapat uang banyak dari klien meski risiko dalam pekerjaannya menjadi taruhannya. Meskipun begitu, Lexi tetap bersyukur memiliki skill mumpuni sejak SMA, sehingga memenuhi permintaan klien juga dipermudah. Tentu ada alasan tersendiri melakukan hal itu, karena dia adalah pahlawan yang menyelamatkan Firman dari ambang kematian. Keluarga Firman mengapresiasi keuletan Lexi, setelah Lexi memberitahukan kejadian sebenarnya ke mereka. Makanya Lexi dipercayakan mengurus administrasi rumah sakit.
Urusan kamar, diserahkan pihak keluarga. Lexi-lah yang mengurusnya, melalui perantara Mira yang mengatakan Firman ingin dirawat di ruang VIP.
Seusai berurusan dengan bagian administrasi serta kamar perawatan, Lexi mengajak Mira untuk makan sesuatu di kantin rumah sakit. Meski di malam hari, suasana di sana tampak ramai karena banyak keluarga pasien yang menghabiskan waktu untuk menjaga salah satu anggota keluarga mereka.
Lexi duduk berhadapan dengan Mira, yang kini menampakkan wajah sedih. Lexi heran, kenapa Mira tiba-tiba membuat ekspresi murung? Padahal itu adalah peluang bagi Mira untuk menjenguk sang suami tanpa perlu menggunakan baju protektif lagi. Bahkan yang Lexi tahu, Mira belum memeriksakan diri ke dokter terkait kehamilan sang sahabat.
"Kamu kenapa, Mir? Ada sesuatu?" tanya Lexi menaruh iba. "Kamu sedih aja terus. Mikirin Firman kah?"
Mira tampak ogah membuka mulut. Lagi dan lagi, dia memikirkan sesuatu buruk bakal terjadi. Tentu, masa lalunya yang belum terungkap sama sekali ke anggota keluarga Firman. Dia takut, jika saja mertuanya juga kakak iparnya memasang tatapan sinis. Dia belum siap dibenci, meski dalam hatinya ikhlas menerima semuanya.
"Aku ingin jenguk Firman, cuma entah kenapa aku ... kayak nggak mau aja. Aku sungguh nggak pantas untuk bertahan lama jadi istrinya. Aku, aku ..."
Getaran hebat terasa di dalam diri, Mira mengeluarkan air matanya secara spontan. Efek murung sepanjang waktu membuat Mira mudah menangis, dan kali ini, Lexi berinisiatif menenangkan kemudian langsung menyodorkan tisu pada sahabatnya.
"Aku tahu, kok. Kamu sedih karena memikirkan masa lalu kamu. Tapi yang harus kamu prioritaskan adalah, bayi kamu. Bayi yang ada dalam kandungan kamu. Kalau kamu sedih terus, bisa-bisa anak kamu juga ikut sedih. Tolong ya, Mir. Jangan tertekan, jangan stress. Pikirin janin di perut kamu." Lexi memberikan pesan menyentuh, yang setidaknya jadi penghibur Mira di kala sedih.
Mira mengusap air matanya secara perlahan, begitu Lexi menyinggung bayinya. Dia tentu menyayangi calon buah hatinya, dia berusaha agar menjaga si bayi agar tidak terjadi apa pun. Harap saja, bayinya bisa sehat sampai dia melahirkan.
"Aku tahu kamu belum bisa menerima kenyataan bahwa kamulah yang paling disalahkan dalam kejadian itu. Tapi ingatlah sekali lagi. Kamu berkontribusi dalam hidupnya Firman. Yang artinya apa? Kamu menjaga dia, kamu merawat dia, itu sudah lebih dari cukup." Lexi mempertegas ucapannya. "Kamu harus ingat hal itu, Mira. Pun, Firman pasti nggak akan dendam sama kita berdua. Kalau akhirnya dia tahu, ya kemungkinan besar Firman akan melupakan dan memaafkan kita."
"Itu cuma ekspektasi kamu, Lex." Mira spontan menatap lekat Lexi, mulai menaikkan amarahnya. "Yang Firman tahu selama ini adalah, seorang Mira yang ikut-ikutan merundung Firman. Yang memulai duluan adalah teman-teman lain, bukan aku.
"Jika Firman tahu kebenarannya entah dari mana, apa kita masih layak dimaafkan?" Mira meninggikan nada bicaranya. "Tentu nggak. Firman nggak bakal memaafkan kita."
Mira mulai memperbaiki posisi duduknya yang tadinya menurun ke bawah, lalu menegakkan tubuhnya dan menaruh sikunya di meja. "Firman kemungkinan besar akan menceraikan aku. Jika itu terjadi, maka aku ikhlas. Aku nggak egois seperti dulu-dulu. Aku rela bila berpisah dengan dia. Aku akan jadi orang tua tunggal buat anakku nanti."
"Mira, kamu jangan ngomong kayak gitu. Kita bisa bicarakan semuanya baik-baik pada keluarga Firman nanti. Ingat, selagi masih ada sisi baik yang kita bahas, maka sisi buruk itu akan tertutup rapat-rapat." Lexi memberikan pesan menohok sekali lagi, agar Mira tidak berpikiran aneh terhadap hal apa pun.
"Aku merasa bersalah pada Firman. Iya, aku merasa bersalah," tegas Mira. "Tapi kalau Firman berhak tahu kebenarannya, berarti kita tidak bisa menutup-nutupinya lagi. Firman akan pisah dariku, itu sudah bagus. Firman tidak menanggung beban berat ke depannya."
Mira pun berdiri dari kursi dan menjauh dari Lexi, tanpa mengindahkan sahabatnya yang mulai memanggil namanya berulang kali.
Mira tahu, Firman mungkin tidak akan memaafkannya. Pasti Firman akan marah besar bila mengetahui kebenarannya. Dan Mira siap dengan konsekuensi yang didapatkannya.
Sebelum dia benar-benar berpisah dari Firman, mungkin dia perlu membuat momen indah lainnya. Tentu dengan menengok Firman di ruang perawatan. Lalu membimbing tangan Firman untuk memegang perutnya. Setidaknya Firman perlu merasakan bahwa dirinya mengandung anak atau buah cinta darinya bersama Firman.
Benar, dia harus menjenguk Firman, mumpung hatinya mulai membaik perlahan-lahan.
***
Mira langsung menaiki lantai lima gedung rumah sakit untuk mengunjungi ruang perawatan Firman. Tentu selain atas dasar permintaannya, Mira juga merasakan bawaan dari janinnya yang membawa dirinya. Lagi-lagi Mira baru mendapat hal baru selama hamil. Bawaan bayi. Ya, itu pertama kali baginya.
Mira terus melangkah dan menaikkan kecepatan kakinya. Bawaan bayi begitu berpengaruh, dia ingin melihat wajah tampan suaminya yang masih memejamkan mata di ranjang brankar. Usia kehamilan Mira nyaris berada di trimester kedua. Pun Mira sudah melewati waktu berhari-hari, bahkan sejak Firman dibawa ke rumah sakit setelah insiden berdarah itu.
Dengan pelan, Mira menggeser pintu ruang perawatan dan mendapati Firman terlelap tenang dengan alat bantu nebulizer beserta balutan luka di beberapa area tubuh, termasuk di bagian kepala. Jelas ada plester melingkari keningnya, untuk menutupi luka akibat ulah Yudi.
"Firman. Aku datang. Sudah lama sekali nggak mengunjungimu," sapa Mira pelan seraya mendekati ranjang brankar Firman. "Gimana ... kabar kamu sekarang? Apa kamu masih bermimpi?" Kini dia berada dekat sekali dengan ranjang brankar itu. "Sebenarnya besok aku mau ke sini, tapi anak kita yang minta."
Mira terkekeh sejenak, lalu membuat tatapan intens pada Firman, kemudian mengabsen pahatan wajah yang terukir indah dan memanjakan matanya.
"Man. Meski tahu kita akan berpisah suatu saat, setidaknya kamu harus membuka pikiran kamu bahwa kini aku merasa kasihan terhadapmu." Mira berucap seakan-akan telah mengakui kesalahan besar pada Firman. "Aku mau kamu tetap memberikan perhatian lebih kepada anak kita, meskipun kamu bakal memandangku sebagai orang yang memberikan kesengsaraan dalam hidup kamu."
Sembari demikian, Mira mencoba mengangkat tangan Firman yang terpasang infus lalu perlahan mengarahkannya ke bagian perutnya.
"Kamu ... bisa merasakannya?" tanya Mira memastikan. "Ini anak kita. Walau ini terjadi secara tiba-tiba, tapi aku akan berjanji agar merawatnya dengan baik saat lahir nanti."
Tak ada reaksi apa pun. Firman tetaplah pada kondisi biasanya. Alat nebulizer yang terus bekerja, memberikan oksigen sebagai bantuan agar Firman bisa hidup.
"Waktu sebulan lalu, Lexi sering mengajakku untuk mengontrol kandungan dan untungnya aku ikut." Mira bercerita setelah mengembalikan tangan Firman seperti semula. "Sudah lama aku nggak periksa kondisiku lagi. Cuma pas saat itu, anak kita baik-baik saja, kok. Tapi untuk sekarang, belum bisa diperlihatkan foto USG-nya karena usia kandunganku juga belum cukup lama."
Mira menunduk seraya membuang napas pelan. "Andai saja ... kamu nggak usah terima ajakan Yudi buat bertarung dengannya. Kamu nggak bakal kayak gini, Man."
Napas Firman yang ada pada alat nebulizer terus berhembus. Berulang-ulang, bahkan Mira menyadari hal itu. Setidaknya Firman mendengarkan omongannya. Mira tidak menganggap dirinya berbicara sendiri, dia bersikeras kalau dirinya sedang mengobrol dengan Firman.
"Man. Jika kamu bisa memilih, kamu mau membenci siapa antara aku atau Yudi? Mending kamu bencilah aku." Mira tiba-tiba mengucapkan hal di luar kontrol. Bukan tidak mungkin, pernikahannya terancam. Kehidupannya juga terancam. Dia bisa saja siap dengan tatapan benci yang diciptakan oleh keluarga Firman nantinya.
"Aku yang pertama mencetuskan untuk merundung kamu. Pada awalnya, banyak teman-teman yang nggak mau kena masalah cuma karena mengganggu anak kesayangannya guru. Hanya saja kala itu, aku nggak tahan. Aku ... nggak tahan ingin sekali menghajar kamu, Man. Karena kamu jadi bahan perbandingan dari kedua orang tuaku."
Tak sadar, air matanya menetes lagi dan mengaliri sebagian pipinya. Mira belakangan ini jadi suka menangis, bahkan tanpa diminta pun. Entah sisi lain dari Mira mendadak bangkit dan terus menguasai dirinya kala mengingat perbuatannya dengan Firman.
"Jika kamu berpikir kamu dirundung disebabkan karena teman-teman lain, kamu salah, Man. Aku yang mempengaruhi mereka untuk merundung kamu. Bahkan saat kamu dilempari tepung di koridor sekolah kala itu. Aku yang punya ide itu, dibantu Lexi dan anggota gengnya. Kemudian setelah itu, aku ikut merundung kamu. Dengan dalih hanya ikut-ikutan teman. Itulah yang sebenarnya terjadi."
Mira bisa mengungkapkan semuanya kepada Firman, tanpa hambatan sama sekali. Meski Firman kini masih memejamkan mata, tapi setidaknya Mira bernapas lega karena tak ada lagi beban yang menumpu dirinya.
"Man, jika kamu menyuruh aku untuk jujur, aku bisa, kok." Mira berkata dengan percaya diri. "Kalau suatu saat kamu bangun, aku akan mengatakan semuanya. Tapi ..."
Mira yang barusan bersemangat tiba-tiba mengendur, disusul kepalanya yang kini menunduk ke bawah. "Aku belum siap, kalau kamu nantinya bakal marah kepadaku. Benci kepadaku."
Sial, padahal Mira berusaha membuat dirinya tidak egois dengan status pernikahannya. Karena Mira sangat mencintai Firman, dia seolah enggan berpisah dari Firman. Kini dia mulai merasakannya lagi.
"Tapi kamu nggak usah khawatir," ucap Mira seakan ikhlas dengan situasi yang bakal diterimanya. "Aku akan tetap pada pendirianku untuk siap berpisah dari kamu. Lagipula, pernikahan kontrak kita sudah selesai. Enam bulan terlewati begitu saja, dan sekarang sudah memasuki delapan bulan sejak kita menikah."
Mira mulai mengulum senyum pelan. "Aku akan jadi diriku yang lebih baik, dan aku nggak bakal ganggu kamu. Kalau itu yang terbaik buat diri kita masing-masing."
Benar, dia harus membuat perjanjian seperti itu pada dirinya. Dia tidak mau menjadi egois, hanya karena tidak rela dibenci Firman beserta keluarganya. Bagaimanapun, dialah yang paling bersalah.
Ngomong-ngomong soal Yudi, apa rekaman tentang dirinya yang mencetuskan merundung Firman, mungkinkah Yudi memberikan rekaman itu lebih dulu pada Firman? Sehingga Firman sempat menanyakan hal yang membuat napasnya tercekat kala itu.
Tentang perundungan yang terjadi ... kamu yakin cuma ikut teman-teman? Atau, kamu dalang perundungannya?
Teringat Firman memberikan pertanyaan seperti itu pada Mira. Beruntunglah Mira menjawab hal-hal yang dapat memercayai Firman. Tetapi dengan membohongi Firman, sama saja meruntuhkan kepercayaan yang dia bangun.
Namun Mira berjanji dalam dirinya–sekali lagi– bahwa dia akan berkata jujur pada Firman dan harapnya itu dapat melepaskan beban berat dalam dirinya.
"Kamu ... boleh membenciku sesuka hati kamu, Man," kata Mira pelan dengan penuh tekad.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top