Bab 58
***
Firman terbaring tenang di sebuah ranjang brankar. Tubuhnya kelihatan lemah dan rentan. Alat-alat medis terpasang di beberapa anggota tubuh sebagai penunjang hidupnya. Tak lupa sebuah alat bantu napas berupa nebulizer terpasang menutupi mulut dan hidung, membantu pernapasannya yang melemah. Kedua mata tertutup, tidak ada gerakan selain napas yang teratur dan bantuan dari alat tersebut. Suara monitor jantung berdetak pelan menjadi satu-satunya bunyi yang mengisi ruangan itu.
Seperti yang sudah diketahui, Firman dalam keadaan koma. Tentu tak ada respons terhadap apa pun yang terjadi di sekitarnya. Selama dua hari, Firman menjalani perawatan intensif di ruang ICU. Luka-luka di tubuhnya masih terbungkus rapat dengan perban elastis.
Selagi Firman tidak sadarkan diri, Mira–sang istri– merasa khawatir atas kondisi Firman yang masih sangat lemah. Meskipun demikian, Mira tak senantiasa selalu berada di samping Firman. Tentu karena perubahan kondisi tubuhnya serta harus berpakaian khusus bila ingin masuk di dalam ruang ICU. Maka ketimbang tidak memiliki kegiatan di rumah sakit, di hari kedua Firman dirawat, Mira pun diantar pulang oleh Lexi ke apartemen miliknya. Maklum dia harus istirahat demi menjaga kesehatan.
Sebagai gantinya, Heru, ayah Firman, datang ke rumah sakit untuk memastikan keadaan Firman. Di ruang ganti, Heru tampak kewalahan menggunakan gaun protektif biru. Kacamata miliknya dilepas untuk memudahkan. Wajah berkerut serta raut cemas sangat jelas. Tentu ketika sampai di rumah sakit lebih awal, dia sempat berkonsultasi dengan tenaga medis yang merawat putranya. Begitu diizinkan untuk menengok anak bungsunya, dia diberikan baju protektif tersebut serta waktu yang terbatas.
Heru melangkah dengan hati-hati, begitu mulai masuk ke dalam ruang ICU. Heru perlahan mendekati ranjang brankar dan melihat anaknya yang terbaring lemah.. Wajah Heru penuh prihatin. Mulutnya mulai terbuka, ingin berkomunikasi dengan Firman.
"Siapa lagi yang menyakiti kamu, nak?" tanya Heru pelan sambil sedikit terisak. "Ayah nggak heran, kamu terus saja disakiti oleh teman-teman kamu waktu SMA. Terus kini, kamu terluka dan ... terbaring koma seperti ini."
Sebagai informasi, Heru mendapatkan kabar buruk tersebut dari Lexi. Tentu Lexi memberitahu bahwa Firman dipukuli oleh seseorang dan menyebabkan beberapa memar tercipta di tubuh sang putra. Heru pun menduga bahwa masih ada yang membenci Firman, terutama berkaitan dengan masa lalu anaknya yang menjadi korban bully.
Heru mengamati wajah Firman dengan penuh kekhawatiran, tangan besar memegang pergelangan tangan Firman dengan lembut, meski harus berhati-hati.
"Apa si pelaku rundungan itu menyakiti kamu?" Heru bertanya, masih berkomunikasi dengan sang anak. "Kalau iya, ayah akan cari tahu sendiri siapa pelakunya. Ayah nggak akan mengampuni siapapun yang membuat kamu terbaring koma seperti ini."
Heru merutuki penyebab Firman koma. Dalam hati, dia merasa amarahnya memantik dan geram terhadap siapa pun yang berani menyakiti Firman, bahkan setelah anaknya lulus dari sekolah menengah atas. Heru tahu betapa kuat Firman, dan dia menebak ada musuh lama yang tak pernah benar-benar mereda walau semuanya berlalu.
Heru beringsut menjauh dari ranjang brankar dan membalikkan badan untuk keluar dari ruang ICU, merasa bahwa waktunya terlalu lama buat berada di dekat putranya. Sementara Firman tentu masih terus dipantau kondisinya oleh dokter atau perawat.
Begitu melangkah seraya melepas baju protektifnya, Heru terkejut ketika mendapati wanita paruh baya dengan duffle coat krem sedang berdiri di dekat ruang ICU. Heru langsung mengenali istrinya, spontan memanggil dengan nama.
"Nindya? Bukannya kamu masih punya pekerjaan di kantormu? Siapa yang memberitahu tempat Firman dirawat?" tanya Heru heran.
Nindya sempat menunduk sedih seraya melipat kedua tangannya, lalu menghela napas untuk mengatur kondisi.
"Andini yang kasih tahu rumah sakitnya. Maaf, Mas. Baru ke sini setelah tahu kabar anak kita," ucap Nindya merasa tidak enak.
Heru terdiam, meresapi tindakan istrinya barusan. Memang, cuma Heru yang tahu soal Firman koma. Sementara Nindya? Dari sehari lalu, Nindya sibuk dengan urusannya di perusahaan. Bahkan lebih mementingkan klien serta kolega dari luar negeri, dibandingkan putranya sendiri yang sedang dalam perawatan. Padahal Heru ingin beri tahu kabar buruk itu secepatnya ke istrinya.
Rasanya Heru ingin marah pada Nindya atas tidak becus sebagai seorang ibu. Namun Heru tahan sebab masih di rumah sakit.
"Naik apa kamu ke sini?" Heru bertanya sekadar basa-basi.
"Aku naik taksi daring. Andini nggak bisa antar soalnya ada acara makan malam yang harus dihadirinya," jawab Nindya masih ada sisa-sisa tangisan melalui suaranya.
Heru membuang napas pelan, berusaha untuk menahan amarahnya sekali lagi. "Mau kuantar pulang?"
Tawaran Heru spontan disetujui oleh Nindya. Terbukti Nindya mulai mengapit tubuh Heru dan mengangguk sebagai tanda mengiyakan.
"Ya sudah. Aku kembalikan dulu bajunya, habis itu kita pulang."
Heru meminta untuk menunggu di depan ruang ICU, sementara Heru melangkah maju untuk mengembalikan baju yang digunakannya barusan. Begitu selesai, Heru memegang satu tangan Nindya untuk jalan bersama, keluar dari rumah sakit.
Sampai di parkiran, mereka berdua masuk dalam mobil, dan Heru menyalakan mesin mobil kemudian memutar kemudinya agar menjauh dari wilayah parkir rumah sakit.
Di perjalanan, tidak ada obrolan sama sekali di antara mereka. Nindya juga diam tanpa sepatah kata apa pun.
"Kenapa kamu sedih?" tanya Heru membuka mulutnya, terlihat ingin memancing Nindya. "Apa kamu menyesal karena nggak tahu kabar bahwa Firman dalam keadaan koma?"
Nindya terdiam, hanya helaan napas kencang yang menjadi balasan.
"Kenapa kamu nggak jawab, hmm?" Heru makin memancing istrinya untuk menjawab pertanyaannya. "Kamu sadar nggak? Selama beberapa hari belakangan, kamu nggak pernah perhatiin keluarga, nggak pernah perhatiin rumah, nggak pernah perhatiin putra kamu sendiri? Apa segitu pentingnya perusahaan untuk kamu? Sedikit saja waktu kamu buat Firman aja nggak bisa?"
"Kamu – kenapa, Mas?" Nindya terkejut dengan nada tinggi suaminya yang mendadak menggema di telinganya.
"Aku bicara fakta!" Heru mulai berseru di dalam mobil, masih dengan kedua tangannya memutar kemudi. "Baiklah, kamu pasti nggak peduli karena Firman bisa jaga diri. Firman bisa mandiri, Firman udah punya istri, dan sebagainya. Tapi kamu sebagai seorang ibu harusnya berperan penting dalam penyembuhan traumanya Firman! Bahkan kutelepon buat ngecek kondisinya Firman, kamu bilang 'Aku sibuk' 'Aku sibuk'. Cuma beberapa menit aja, sisihkan waktumu buat Firman. Urusan perusahaan kamu nggak bakal lari!"
Heru melanjutkan, seraya mobilnya mengarah ke sisi kiri. "Bahkan sejak Firman lahir, kamu cuma kadang-kadang aja perhatiin dia. Kasih ASI bila Firman butuh, terus mandiin Firman dan lain-lain, aku yang lakuin. Semenjak kamu mulai merintis perusahaan sendiri dibantu teman-teman kamu, malahan kamu mementingkan pekerjaan dibanding keluarga. Sama seperti sekarang."
"Mas!" Nindya membalas tak kalah kerasnya. "Aku melakukan semua itu juga ingin menghidupi keluarga kita. Ingat, Andini dan Firman jadi kerja keras karena siapa? Karena didikanku. Mereka dapat jabatan lumayan, terutama Firman. Apalagi Firman ada turunan pintar dari kita berdua. Harusnya kamu bersyukur dong! Kamu jangan terus nyalahin aku cuma karena aku lalai memerhatikan keluarga!"
"Kalau kamu lebih memilih ambisi dan impian kamu, mending kita nggak usah membentuk keluarga!" jerit Heru dengan kencang. "Kamu cuma lalai jagain Firman, terus kamu lebih mementingkan Andini. Tentu aku nggak bakal maafkan kalau Firman sampai terjadi sesuatu padanya, terutama kalau dia ingin ibunya."
"Mas juga bodoh!" teriak Nindya agak melengking. "Usaha percetakan yang kita bangun sama-sama, kenapa malah serahin ke pegawai kamu yang loyal itu? Siapa lagi? Si Surya? Kamu juga sama tuh, punya ambisi kuat untuk jadi dosen. Sampai kamu relain usaha percetakan kita dan milih orang lain yang kelola. Mending sejak awal kamu nggak usah buka percetakan, padahal peluang kita ada di situ semua."
Heru memutuskan untuk menepi, meredakan amarahnya yang memuncak. Daripada terjadi apa-apa di jalan, lebih baik mencegah hal buruk.
"Dan satu lagi." Nindya masih bersuara, mengarahkan telunjuknya. "Aku peduli Firman juga, asal kamu tahu. Kamu lebih sayang terhadap anak laki-lakimu dibandingkan perasaan istrinya dan anak perempuannya?"
Heru menghela napas, setelah barusan merasa terengah-engah akibat teriakan kencang pada istrinya.
"Mas. Aku bicara fakta." Nindya menekankan nada bicaranya. "Aku juga sering lihat kamu lebih sayang sama Firman, nggak marahin dia. Terus ke Andini apa? Kamu malah sering marahin Andini begitu dia buat salah. Apa itu artinya kita impas?"
Heru seakan tak memiliki kekuatan buat membalas. Dia memilih menenangkan dirinya. Setelah dia berusaha membuka pikiran istrinya, mungkin rasanya itu bakal sia-sia. Nindya tetap memilih denial terhadap sikapnya.
Heru berpikir sejenak, mengingat-ingat bagaimana penerapan pola asuh kepada kedua anaknya. Kata-kata 'impas' seperti menampar dirinya bahwa dirinya maupun sang istri memiliki pola asuh yang buruk. Buktinya, Heru cuma sayang pada Firman. Sementara kasih sayangnya pada Andini hanya sedikit.
Heru bahkan enggan untuk bersikap denial, seperti Nindya. Kepalanya perlahan terbuka, bahwa sejatinya dia cuma lebih mementingkan anak bungsunya dibanding hal lain. Bagi Heru, putra satu-satunya adalah barang berharga. Bahkan tak ragu, dia berteriak di samping istrinya dan berusaha membela Firman.
Aku ... keterlaluan. Batinnya mulai menyadarkan diri.
Heru memutuskan keluar dari mobil dan duduk di pinggir trotoar. Selagi mobilnya masih menyala, Heru menangkup wajahnya lalu berteriak di dalamnya.
"Kenapa aku harus berbuat seperti ini? Kenapa???!!!" Heru menjerit campur tangisan. Kedua tangannya terus mengusap wajah, berniat menyeka air mata yang keluar.
Nindya ikut keluar dan berusaha mendekati suaminya yang mana emosinya tidak terkendali. Nindya berhak untuk menenangkan sang suami, daripada tidak peduli. Nindya juga mulai membuka pikiran bahwa dia lebih mementingkan urusan perusahaan dibanding keluarga. Nindya merasa keterlaluan dan membuang waktu buat keluarga, itu sangat terasa sia-sia.
"Mas." Nindya memegang bahu sang suami dengan lembut. "Aku tahu kamu semarah ini ke aku cuma karena nggak memperhatikan Firman. Tapi, bukankah seharusnya kita menyadari kesalahan masing-masing bahwa pola asuh kedua anak kita masih jauh di bawah kata 'baik'?"
Heru memang akui bahwa dia lebih banyak memerhatikan Firman dibandingkan Andini. Bahkan untuk memarahi pun, didominasi Andini. Terlebih saat Andini lalai menjaga sang adik. Heru tidak akan denial pada masalah ini.
Apa yang perlu diharapkan dari teguran Heru pada Nindya? Tentu tidak berarti apa-apa, kesalahan tersebut makin menamparnya dan menyadari bahwa dia lebih memihak Firman Walaupun Heru masih tetap menyayangkan Nindya yang terus memperhatikan perusahaan. Setidaknya ada sesuatu hal yang dapat mematikan api yang berkobar dalam diri.
Duduk berdekatan membuat Heru leluasa merangkul lengan Nindya dari samping dan membuat kepala istrinya berada di dadanya.
"Maafkan aku ya, sayang. Maaf karena aku kasar barusan sama kamu. Aku cuma ingin kamu lebih nyisihin waktu kamu buat Firman, hanya saja aku nggak sadar aku punya salah juga terhadap Andini juga kamu." Isakan pelan Heru tidak terhindarkan lagi. Nindya pun bersuara, masih dalam pelukan Heru.
"Kita yang salah, Mas. Kita." Nindya mengoreksi. "Harusnya kita lebih benar lagi dalam mengurus Andini dan Firman. Aku juga sadar bahwa waktuku dengan Firman terbilang sedikit. Lebih mementingkan perusahaan adalah kesalahan besar."
"Sudah, Nind. Yang penting kita cari cara agar memperbaiki semuanya." Heru mengelus lengan Nindya, mencoba menenangkan. "Jangan saling lempar kesalahan, intinya kita berdua sudah tahu. Jangan diungkit lagi, ya."
Nindya mengangguk sebagai balasan. Dia lebih menenggelamkan wajahnya di dada suaminya.
Sementara Heru langsung menopang dagunya di atas kepala istrinya. Kedua mata terpejam, baik Heru maupun Nindya, tanda mereka terhanyut dalam pelukan itu.
Sepasang suami istri itu saling memberikan kehangatan masing-masing, setelah merenungkan kesalahan yang mereka lakukan. Mereka belum ingin masuk dalam mobil, justru Heru mengeratkan pelukannya pada Nindya. Heru pun mengecup kepala Nindya sambil menyapukan lengan Nindya berulang kali agar Nindya tenang.
Sementara itu di seberang, Mira melihat mertuanya berada di trotoar. Mira peka terhadap raut wajah mereka yang sedih. Hingga Mira tahu bahwa mereka pasti sedang memikirkan kondisi Firman sekaligus hal yang membuatnya cemas berkepanjangan.
Mira membawa sekantong belanjaan kecil dan dia rupanya belum pulang ke apartemennya. Dia meminta Lexi singgah di minimarket untuk membeli sesuatu. Namun setelah keluar dari tempatnya belanja, dia malah mendapati Heru serta Nindya duduk atas trotoar serta mobil yang lampu depannya masih menyala.
Sekilas Mira merenung bahwa rahasianya akan terungkap, mau tidak mau. Tentu dia masih belum mempertimbangkan apa perlu menerima nasibnya atau masih dalam pendiriannya mempertahankan pernikahan.
Melalui tangan kirinya, Mira mengusap perut kecilnya, mencoba berinteraksi dengan calon buah hatinya. Mira mulai terisak ketika melakukannya.
"Maafin mama ya, kalau saja mama bakal menyusahkan kamu suatu saat. Mama akan berusaha jadi orang tua baik buat kamu."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top