Bab 57

***

Lexi merasa lega dan berterima kasih saat beberapa anak buahnya dengan cepat mengambil inisiatif membawa Firman ke rumah sakit yang berjarak hampir 30 menit dari perkotaan.

Selama perjalanan menuju rumah sakit, Lexi bersyukur Firman masih belum menunjukkan tanda-tanda aneh, yang artinya Firman dalam keadaan tidak sadarkan diri. Beruntunglah Firman hanya pingsan dan tidak meninggal di tempat itu.

Setelah Firman dimasukkan di ruang UGD, Mira dan Lexi duduk di kursi tunggu depan ruangan tersebut. Mereka menunggu informasi terbaru terkait keadaan Firman. Wanita berjaket hitam itu memandang Mira. Kepalanya tertoleh ke sebelah kiri. Bisa dilihat mata Mira sembab, dan masih ada sisa-sisa air mata yang mengering di bagian pipi.

Tentu Lexi paham, karena ambisi Yudi yang belum kunjung habis, membuat Mira jadi tak dapat membendung kesedihannya. Belum lagi rahasia Mira, di mana Mira memulai lebih dulu perundungan terhadap Firman. Kekhawatiran Lexi terasa begitu nasib rumah tangga Mira dan Firman berada di ujung tanduk, saat rahasia itu perlahan terbongkar. Apa yang terjadi ketika Yudi menyebarkan rahasia tersebut ke anggota keluarga Firman?

Membayangkannya saja sungguh rumit. Lexi segera menggelengkan kepalanya, menjauhi pikiran buruk yang berada dalam kepala. Lexi tahu Yudi pasti tidak sadarkan diri habis dipukuli Firman, dan dia enggan tahu lebih detail tentang kondisi Yudi sekarang. Prioritasnya kini adalah Mira. Mengetahui betapa terpukulnya Mira atas kejadian itu, Lexi seakan ingin melindungi Mira seraya mencari cara bagaimana memberitahukan masa lalu Mira juga dirinya kepada Firman saat terbangun nanti.

"Lexi." Mira memanggil, memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Suaranya penuh keraguan.

"Kenapa, Mir?" Lexi menjawab dengan lembut, suaranya hampir seperti bisikan.

"Apa aku istri yang buruk?" tanya Mira lirih. "Aku merasa bodoh sebab terlalu menyembunyikan rahasiaku padanya. Nggak cukup aku yang merusak hidupnya, aku merasa seperti terancam bahwa perpisahan antara aku dan Firman makin di depan mata. Aku memang nggak pantas jadi seorang istri. Aku bodoh, ceroboh, karena aku terus sembunyikan hal-hal darinya."

Lexi segera meraih bahu Mira perlahan-lahan, mencoba memberikan sedikit hiburan serta kekuatan. "Mira. Kamu jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Yang terpenting sekarang adalah Firman dalam kondisi baik-baik saja. Pun dia masih hidup. Beruntung loh kita bisa bawa dia ke rumah sakit dengan cepat. Juga, kita sudah beri tahu ayah dan ibunya agar segera datang ke rumah sakit. Ingat juga, Mir. Firman tak dengar apa yang kita bicarakan di rumah itu tadi."

Mira menepis tangan sahabatnya dari bahunya, seperti merasa tidak puas dengan jawaban Lexi. "Kamu tuh nggak bakal paham gimana perasaanku, Lex. Aku sudah terlalu banyak khawatir, dan ancaman bahwa rumah tanggaku akan hancur, ditambah rahasia masa lalu yang bakal terbongkar bikin aku makin kewalahan. Kamu ... lebih peduli gitu terhadap Firman yang selamat daripada perasaanku?"

"Mira, aku nggak bermaksud bilang seperti itu." Lexi berusaha menjelaskan, ingin Mira tidak terlalu membebani dirinya sendiri.

Mira melanjutkan ucapan, suaranya penuh dengan ketakutan. "Aku takut kalau saja ... Firman mungkin mencari tahu tentang masa lalu kita. Dan jika dia tahu, dia mungkin akan menceraikanku. Aku nggak mau dia menceraikanku, Lex. Aku nggak mau."

Dengan kedua kakinya digelung, Mira merasa hancur. Mira memilih untuk menangis meraung-raung di dekat sahabatnya, wajahnya tersembunyi di antara kedua lengan.

Meskipun Lexi mulai kehabisan kata-kata, tetap Lexi bertekad untuk mendampingi Mira dan menghadapi masalah tersebut dengan kepala dingin.

Lexi yakin Firman belum sepenuhnya mengingat semua hal, termasuk siapa yang sebenarnya menjadi otak di balik perundungan masa lalu. Terlebih Mira belum menjelaskannya secara gamblang.

Pintu ruang UGD terbuka, menampilkan seorang pria dengan jas putih diikuti beberapa tenaga medis lainnya di belakang. Mira dan Lexi sama-sama berdiri dari kursi dan mereka saling berhadapan.

"Anda istrinya Pak Firman Setiawan?" Dokter dengan nama Sandi menanyakan, menunjuk Mira.

Mira mengangguk cepat. "Ya, saya istrinya. Bagaimana keadaan suami saya? Apa dia baik-baik saja atau ada sesuatu terjadi padanya?"

Sandi mengambil napas dalam-dalam sebelum mulai menjelaskan detail mengenai kondisi Firman setelah pemeriksaan medisnya. Dia berbicara tentang benturan kuat di kepala dan memar yang muncul di beberapa anggota tubuh Firman akibat pukulan keras. Juga lengan dan kaki yang mengeluarkan darah sangat banyak, membuat Mira yang mendengarnya makin gelisah. Sehingga Lexi berinisiatif memberikan dukungan dengan menggenggam tangan sahabatnya, menghindarkan Mira dari jatuh ke lantai.

"Jadi kesimpulannya ..." Lexi akhirnya bersuara, menggantikan Mira yang tampak begitu terpukul. "Firman dalam kondisi koma?"

Sandi mengangguk membenarkan. "Benar. Jadi Pak Firman harus dirawat secara intensif di ruang ICU. Mengenai kapan Pak Firman akan sadar, saat ini masih sulit untuk dipastikan. Pak Firman memerlukan perawatan lebih lanjut, dan saya harus terus memantau perkembangannya."

Seakan tak dapat menerima kabar tersebut, Mira akhirnya terjatuh ke lantai dan menubrukkan betisnya dengan keras. Sementara Lexi berusaha untuk menenangkannya. Mira pun menangis dengan keras, suaranya bergetar saat dia mulai bicara.

"Nggak. Ini nggak mungkin. Ada kemungkinan besar Firman bisa pulih, bukan? Melihatnya dalam keadaan koma ..."

Mira berkali-kali menguatkan penolakannya, dengan suara yang menggema, sambil terus menangis.

"Saya permisi." Sandi dan yang lainnya berjalan meninggalkan kedua wanita yang sedang terduduk.

Lexi membantu Mira berdiri dan membimbingnya ke kursi panjang. Sambil menjaga ketenangan, Lexi terus menghibur Mira dan mencoba meredakan suara tangisnya yang tak tertahankan.

"Kamu duduk di sini dulu. Aku harus ke bagian administrasi," kata Lexi sambil menepuk bahu Mira, terus mencoba untuk menenangkan sahabatnya.

Mira yang terlihat kaget mendengar Lexi bicara tentang biaya rumah sakit, mengangkat wajahnya setelah barusan menundukkan kepala. "Kamu mau bayar biaya rumah sakit?" tanya Mira dengan ekspresi kebingungan. "Kamu nggak perlu repot-repot, Lex. Aku masih punya banyak tabungan yang bisa kugunakan untuk membayar semua biaya. Pun itu uang dari hasil pekerjaan desainku dan nafkah dari Firman."

Lexi mengusap lembut pundak Mira dan memberikan penjelasan. "Aku ngelakuin itu buat menebus kesalahan. Aku akan bayar biaya perawatan di awal. Jadi kamu nggak perlu khawatir."

Lexi yang mengenakan celana denim itu pun berlalu meninggalkan Mira sendirian di kursi panjang. Selagi melihat Lexi yang berjalan pergi, Mira memberikan kesempatan untuk melamun di kursi panjang. Dia memutuskan untuk menunda pikiran dan emosinya. Dia sadar betapa besar rasa sayangnya terhadap Firman. Dia enggan melepaskan berlian sempurna miliknya.

Mira mulai menurunkan kedua kakinya dengan perlahan, justru merasa lega. Namun tiba-tiba, seperti sebuah semburan tak terduga, dia merasakan ketidaknyamanan melanda seluruh tubuhnya.

"Tiba-tiba aku merasa pusing, dan badanku rasanya sangat tidak nyaman," bisik Mira pada dirinya sendiri.

Dengan langkah tergesa-gesa, Mira berlari melewati koridor menuju sebelah kanan, mengarah ke pintu kamar mandi. Begitu tiba di sana, dia membuka penutup kloset toilet, siap untuk muntah dan melepaskan rasa tak nyaman yang melanda. Namun, apa yang terjadi selanjutnya tak sesuai dengan ekspektasinya.

Kok, aku nggak muntah? Padahal barusan aku merasa pusing dan ingin mual. Apa yang terjadi? Batin Mira heran.

Sejenak, Mira duduk merenung, mencermati situasi yang tengah dihadapinya. Mira perlahan sadar bahwa dirinya mulai telat menstruasi. Bukan hanya itu saja, nafsu makannya juga berangsur berkurang, serta mual-mual yang kerap datang seperti barusan dialaminya.

Selama lebih dari sebulan, Mira telah mengalami gejala-gejala tersebut. Mira benar-benar mengingat hal itu. Pikirnya cuma masuk angin jadi dia sengaja tidak memeriksakan diri ke dokter.

Mira memandang hampa, berusaha mengingat semua yang terjadi dalam hidupnya selama beberapa bulan berlalu. Pertanyaan besar terus menghantuinya: apakah permainan intim yang dia lakukan bersama Firman akhirnya membuahkan hasil? Dua bulan belakangan, mereka sering melakukannya, meskipun hanya dalam rentang waktu seminggu sekali.

"Apa jangan-jangan ... aku hamil?" tanya Mira pada dirinya sendiri.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top