Bab 56
***
Mengetahui bahwa Firman melepaskan diri, membuat segerombolan pria di belakang Yudi pun bergemuruh menyerang beberapa anak buah Lexi. Hingga terjadi penyerangan yang tak terhindarkan. Anak buah Lexi dan anak buah Yudi saling beradu fisik bahkan pukulan mereka begitu kuat sampai ada yang berdarah di wajah.
Firman masih bisa berdiri tegak setelah sempat bangkit dan memukuli tengkuk Yudi dengan segenap kekuatan. Meski tahu dirinya terluka sangat parah, namun Firman tidak dapat menahan api amarah begitu melihat istrinya dicekik sangat kencang oleh Yudi.
"Aku ... nggak tahan ..." Suara Firman mulai melemah, spontan memegangi lengannya yang terluka sambil meringis kesakitan. Mira dan Lexi segera melompat ke sampingnya, menahan tubuh Firman yang sempoyongan akibat rasa sakit yang dia alami.
Teriakan kesakitan pun bergema saat Firman menekuk kakinya ketika mencoba menurunkan badannya ke lantai.
"Sakit! AARRHH!!!" Teriakan itu terdengar begitu nyaring, mencerminkan penderitaan yang luar biasa.
"Kita harus bawa Firman keluar," pinta Mira, suaranya penuh kekhawatiran. Lexi segera mengiyakan permintaannya.
Selagi pertarungan sengit terus berlanjut di dalam rumah kuning tersebut, Mira dan Lexi dengan hati-hati menyeret Firman keluar, mencoba menyelamatkannya dari kekacauan yang tengah terjadi.
Bau anyir darah menusuk penciuman mereka, juga terdengar jelas Firman yang batuk-batuk dengan cairan merah yang keluar dari mulut.
Lexi mulai menyandarkan tubuh Firman ke tembok sebelah kanan rumah. Penerangan di sekitar teras membantunya melihat kondisi Firman dengan lebih jelas.
"Firman. Bisa lihat jariku? Ini berapa?" Lexi cuma ingin memastikan apakah penglihatan pria berkaos lengan panjang itu masih berfungsi. Dengan lembut, dia menegakkan jari telunjuknya dekat mata Firman. Namun, Firman hanya memejamkan mata sambil menghela napas dalam-dalam, membuat Lexi merasa khawatir.
"Dia sungguh nggak bisa melihat," tutur Lexi khawatir. "Sepertinya kondisi Firman benar-benar parah, bahkan pandangannya kini mengabur."
"Aku ... aku ..." Suara lemah Firman terdengar, mengalihkan atensi kedua wanita itu. "Aku ... baik-baik saja."
"Firman. Kamu masih bisa kenal aku, kan?" Giliran Mira yang berinteraksi, memastikan Firman peka terhadap sekitar.
"Mira ... Mira ..." Firman menyebut nama itu berulang kali di mulutnya.
"Keadaannya sungguh parah. Kita tunggu anak buahku telepon ambulans atau siapapun yang bisa membawanya ke rumah sakit. Serta mobilnya juga," jelas Lexi tenang. "Kamu tetap kendalikan dirimu ya, Mir."
Lexi menepuk punggung tangan Mira dengan lembut, merasakan getaran tubuh sahabatnya yang gemetar. Bahkan ada tangisan yang mulai terdengar, meskipun hanya samar-samar.
"Mi... Mi ... Ra. Mira."
Kepala Lexi tertoleh ke arah Firman yang tampak berusaha menggerakkan tubuhnya. Kemudian, satu tangannya melepas sesuatu yang mengait di leher. Lexi menduga Firman ingin memberikan sebuah kalung kepada Mira.
"Mira." Firman memanggil dengan susah payah. Lalu, dia membuat Mira mendekat.
Tangan Firman yang penuh bercak darah memegang pergelangan tangan Mira dan menariknya perlahan, kemudian mulai menempatkan kalung perak itu di telapak tangan yang terbuka.
"Apa ... ini?" tanya Mira dengan suara pelan, kepalanya tertunduk sambil memandang benda perak yang terletak di tangannya.
"Kalung. Kuberikan ... padamu." Firman berusaha menjawab meskipun suaranya sangat lemah.
Firman langsung merengkuh tubuh Mira setelah selesai menjelaskan apa yang telah dia berikan. Mira merasakan kehangatan tubuh Firman yang telah terluka begitu dalam. Dia mencium aroma darah yang menusuk hidungnya, memahami betapa besar penderitaan yang dialami Firman di rumah tersebut. Bahkan sekarang, dia masih bisa merasakan darah segar yang mengalir di beberapa anggota tubuh Firman.
"Mir. Meskipun ... kamu ... punya rahasia besar ... yang tak aku ... ketahui. Tapi ... aku tetap ... nggak akan percaya ... kamu ... bukan orang yang seperti itu." Firman berbicara dengan napas terengah-engah. "Kamu ... orang yang baik. Sama ... seperti Lexi."
"Aku ... aku ..." Mira mencoba menjawab, tetapi air matanya tidak bisa dia tahan lagi. Dia mulai terisak dengan keras. "Aku punya rahasia. Namun bukan yang aku ucapkan barusan di rumah itu. Aku mau jujur semuanya pada kamu, Man. Hanya saja ... aku nggak mau semuanya merenggang."
Firman mengeratkan pelukannya, meskipun sesekali dia meringis karena rasa sakit yang menyiksanya. "Kalau itu buruk ... nggak apa. Nggak ... apa ... kamu jujur. Jika kamu ... adalah ... otak perundungan itu, Mir. Aku ... aku ..."
"Apa, Man? Aku apa?" Mira mendesak dengan gemetar. Air matanya kini mengalir deras.
"Meski nantinya ... kita ... akan pisah ... aku ... tetap akan menunggu ... sampai ... kamu ..." Firman terengah-engah, suaranya hampir tidak terdengar, dan batuk kerasnya hampir menghentikan napasnya. "Kamu ... merenungi semua kesalahanmu. Lalu ... kita bisa bersatu lagi."
Nada batuk yang berat itu membuat Mira merasa seperti jantungnya ikut tertahan. Dia mendengarkan apa yang diucapkan Firman meski suaranya sangat lemah bahkan nyaris tak terdengar.
"Nggak. Aku nggak mau kita pisah. Pokoknya aku nggak mau!" seru Mira, suaranya penuh penolakan, dan dia merapatkan dirinya lebih erat pada Firman, isakan tangisnya menggema di antara mereka.
"Lebih bak ... kamu ... jangan egois ... Mira. Yang penting adalah ... kamu ... berkata yang sebenarnya ... tentang ... masa lalu kamu." Firman berbicara dengan susah payah, mencoba membuat Mira mengerti pentingnya kejujuran.
"Nggak, Man! Pokoknya aku tetap nggak mau!" teriak Mira dengan keras, rasa panik melanda dirinya.
"Mira, tenangkan dirimu." Lexi mencoba menghibur Mira sambil mengelus lembut punggung sang sahabat.
"Kalung ... yang ... kukasih padamu. Itu ... sebagai kenang-kenangan. Karena ... aku ... nggak bisa menahan sakitnya, Mir."
Kata-kata Firman membuat Mira terkejut. Sangat jelas matanya berkaca-kaca ketika dia memahami maksud Firman.
"Apa maksudmu bilang begitu? Jangan bilang ... kamu ... bakal mati?" tanya Mira dengan suara penuh kepanikan.
Firman tidak langsung menjawab pertanyaan itu, melanjutkan ucapan yang sempat terhenti.
"Kalau ... aku tahu ... kamu adalah ... otak perundungan itu ... tidak apa. Yang penting ... aku sudah paham masa lalumu. Juga ... aku senang bertemu ... dengan ... orang jujur seperti kamu, Mir. Orang yang ... selalu memikirkan kesalahannya dan setiap saat merenunginya."
Mira mendengarkan perkataan Firman dengan perasaan campur aduk. Dia merasakan kerumitan perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saat ini.
"Nggak. Kamu nggak boleh mati, Firman. Bagaimana dengan ayah dan ibu? Juga Kak Andini? Bagaimana dengan mereka kalau tahu hal itu, Man?" Mira mendadak histeris, pelukannya pada Firman semakin erat, seolah-olah mencoba menahan nyawa suaminya.
"Aku ... nggak mau egois, Mir." Suara Firman perlahan menurun, nyaris tak terdengar di antara batuk dan kesulitan bernapas. "Walau aku juga berharap ... aku nggak mau mati. Rasa sakitnya ... menjalar ke seluruh tubuh. Aku ... nggak bisa ... menahannya."
"Nggak. Aku mohon. Kamu tetap bertahan. Ya? Sebentar lagi anak buahnya Lexi akan datang untuk bawa kamu ke rumah sakit. Bertahan, Firman. Kamu jangan mati."
Mira menangis sekencang-kencangnya. Getaran tubuhnya mulai terasa akibat keputusasaan. Firman perlahan menyentuh punggung Mira dan mencoba menghibur istrinya dengan lembut, meskipun tenaganya semakin memudar. Tak ada lagi kata-kata dari Firman, dia fokus pada upaya menenangkan Mira yang tengah meratapi keadaannya.
Mira tak peduli lagi terhadap kondisinya, dan terus mengeluarkan air mata. Ketika dia mulai sadar Firman tidak bergerak lagi, di situ Mira melepas pelukan dan satu tangan Firman jatuh ke bawah. Kepala Firman juga tertunduk, mata terpejam sepenuhnya.
"Firman. Firman? Firman?" Mira mengguncang tubuh pria di depannya. "Kamu belum mati, kan? Kamu mempermainkan aku biar aku takut, gitu? Hah?"
Lexi segera menjauhi Mira dari Firman, sebab takut kondisi Mira lebih buruk oleh tangisan yang berlarut-larut. Kedua wanita itu saling pandang, ketidakpastian menghantui wajah mereka.
"Biar aku cek kondisinya." Lexi mendekati Firman dan menaruh jari telunjuk dan jari tengah ke dekat pergelangan tangan Firman, mencoba mencari denyut nadi. "Aku masih bisa merasakannya. Dia belum mati. Mungkin saja dia kehilangan kesadaran karena rasa sakit yang dia alami. Dalam artian, dia pingsan."
Lexi kemudian menyandarkan punggung Firman ke tembok perlahan-lahan, memberikan sedikit kenyamanan. Sembari berbenah, Lexi merasa ada getaran dari saku jaketnya, dan dia segera mengangkat teleponnya.
"Ambulans akan tiba sebentar lagi, bos."
Lexi mengangguk menerima laporan anak buahnya. "Baiklah. Dan jangan lupa, bawa mobilnya Firman juga. Suruh salah satu anak buah kita melakukannya. Kunci mobil sudah kamu rebut, kan?"
"Sudah, Bu. Meski kami harus melawan mereka begitu lama."
"Baguslah, yang penting kendaraannya Firman aman. Cepat lakukan tugasmu."
Suara dari seberang pun cepat merespon. "Baik, Bu Lexi."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top