Bab 52

***

"Kunci mobilnya?" Satu tangan Yudi tertadah, meminta anak buahnya untuk menyodorkan apa yang sudah mereka dapatkan. "Jangan lupa ponselnya dan barang lainnya. Berikan kepadaku. Semuanya bakal kuamankan."

Yudi yang tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di dekat pintu keluar rumah, tampak menyebat sebatang rokok lalu menghembuskannya hingga asap mengudara di atas kepala. Kunci mobil lengkap dengan alarmnya berada di atas telapak tangannya. Spontan dia menggenggamnya.

"Bos. Apa Firman itu, benar-benar kalah dalam pertarungan yang bos lakukan padanya?" tanya salah satu anak buahnya yang berjarak jam 11 dari tempat Yudi duduk.

"Ya kamu bisa lihat sendiri, kerja keras dari si Matahari bagaimana. Dia sangat bagus dan mau ikut perintahku." Yudi menjawab tanpa menjelaskan secara gamblang. Yang menjadi penekanan adalah julukan yang dia berikan kepada anak buahnya.

"Barang penting lainnya gimana?" Yudi mengalihkan perhatian pada anak buah berperawakan tinggi kurus di samping kanannya.

"Mobilnya Firman sudah terparkir rapi di depan rumah," jawabnya singkat. "Dan tidak ada lagi barang-barang penting, selain kunci mobil, ponsel, serta dompetnya."

"Baiklah kalau begitu." Yudi menyatukan masing-masing jarinya dan menaruh dagu di atas kedua punggung tangan. "Untuk saat ini, kita jangan apa-apakan Firman. Aku ingin melakukan rencana awal, sebelum masuk ke rencana selanjutnya."

Senyuman miring khas Yudi terpatri. Dia berusaha memikirkan betapa hebatnya dia dapat memperdaya Firman dalam sekali ronde. Dia ingat malam itu pukulan di tengkuk Firman terdengar nyaring di telinganya, membuat Yudi makin senang dan merasa lega bahwa menaklukkan Firman tidak sesusah dugaannya. Meskipun di area paha, masih terasa sakit akibat tendangan Firman.

Kini dia tengah menunggu waktu, untuk memberikan pelajaran pada si lemah. Yudi berharap tidak perlu mengulur-ulur dan segera melakukan rencana selanjutnya.

Sementara itu di unit 20-6, Mira masih ada di sana. Pada pagi buta, Mira terbangun dan mendapati Lexi yang sudah pergi lebih dulu. Beruntunglah Lexi menuliskan catatan dan mengatakan bahwa dia tengah ada urusan pekerjaan yang harus diselesaikan.

Mengetahui hal itu, Mira tidak tinggal diam. Seakan menjadi rutinitas, Mira mulai mengumpulkan niat untuk membersihkan unit 20-6. Memungut sampah, menyedot debu-debu, serta merapikan remahan makanan di ruang utama. Itulah yang dilakukan Mira sekarang. Bahkan dia mencuci piring.

Di saat seperti ini, Mira terus berusaha memikirkan hal-hal positif. Dia yakin Firman baik-baik saja meski belum dapat kabar sama sekali.

Setelah menyelesaikan tugas membersihkan, Mira duduk di ruang utama untuk merilekskan diri. Setelah merasa cukup tenang, dia merogoh ponsel dari saku celana denim yang dikenakannya, lalu menelepon Lexi. Ponsel ditempelkannya ke telinga, menunggu dengan harapan agar Lexi segera mengangkat panggilannya. Namun, beberapa detik berlalu tanpa adanya respon dari Lexi.

Mira menggelengkan kepala sebentar, mencoba memahami situasi bahwa Lexi mungkin sedang sibuk menjalankan tugas mata-mata untuk klien lain. Dia enggan mengganggu Lexi, yang kemungkinan tengah berada dalam situasi yang genting. Mira harus ingat bahwa Lexi bekerja sebagai detektif swasta dan pastinya Lexi memprioritaskan klien lain. Berharap saja tidak melupakan rencana mereka tentang pertarungan Firman.

Lama terdiam, ponselnya berdering nyaring di atas meja. Mira nyaris terkejut ketika mendengar getaran ponsel serta dering telepon yang kencang. Mira menegakkan tubuh setelah sempat berbaring, lalu menemukan Lexi sebagai nama penerima.

Mira bernapas lega, akhirnya Lexi memberikan kabar. Segera jempolnya mengusap tombol hijau dan menemepelkan bagian atas ponsel ke telinga.

"Ya, Lex? Apa ada perkembangan?" tanya Mira tanpa basa-basi.

***

"Mas? Mau ke kampus?"

Nindya kebetulan memasukkan semua barang pribadi miliknya ke dalam tas tangan. Sementara Heru dan jaket terbukanya tampak termangu begitu Nindya bertanya langsung padanya.

Heru tahu kebiasaan Nindya yang selalu berangkat pagi-pagi atau bahkan sebelum matahari terbit. Tapi melihat Nindya tengah bersiap dengan blazer putih keabu-abuan serta celana outerwear, membuat Heru jadi kebingungan sekejap.

"Biasanya aku berangkat sendiri, terus kenapa kamu ..."

Belum sempat Heru melanjutkan pertanyaan, Nindya menyela. "Ada yang mau kubicarakan sama Mas. Tapi di mobil aja. Mas anterin ke depan perusahaan."

Nindya melewati Heru dengan ketukan sepatu hak tinggi yang terdengar jelas. Heru hanya menggaruk kepalanya, masih belum terbiasa dengan pemandangan asing seperti ini.

Beruntung Heru yang sudah bersiap sejak awal, dia tinggal mengunci pintu rumah setelah Nindya keluar. Begitu mobil yang tadinya terparkir di dalam rumah, kini berada di depan pagar dan Heru tengah memasang sabuk pengaman dan tasnya ditaruh di jok belakang.

"Mas. Kamu masih belum menemukan pelaku perundungan Firman?" Nindya bertanya, langsung pada inti tanpa memberikan aba-aba.

Heru termangu, sekali lagi. Tidak biasanya Nindya melempar pertanyaan seperti itu, padahal Heru juga tengah memikirkan hal tersebut. Namun belum waktunya saja, karena terhalang oleh beberapa pekerjaan.

"Kenapa ... tanya gitu, Nind?" Heru memastikan apa Nindya cuma ngelantur atau ada faktor lain yang menyebabkan demikian.

"Nggak. Cuman waktu Mas singgung soal gejala baru yang dialami Firman setelah konsultasi, banyak faktor yang belum kita ketahui. Apalagi Mas temani dia dua pekan lalu."

Heru menyimak, menunggu Nindya melanjutkan ucapan.

"Mas juga punya niat agar mencari pelakunya. Jika kita bisa menemukannya, apa kita harus buat dia mengakui semua kesalahannya?"

Heru menimbang-nimbang keputusan sejenak. Untuk saat ini prioritasnya cuma kampus, tapi entah kenapa istrinya itu seolah menantang dirinya agar pencarian pelaku harus cepat dilakukan. Terlebih anaknya juga mengalami keluhan lain, berdasarkan cerita Firman padanya.

"Kalau Mas masih ingat gimana perundungan Firman yang dialami, apa Mas mau cerita?" tanya Nindya hati-hati.

"Waktu aku ke ruang BK SMA Sentosa ..." Heru mulai bercerita, berusaha mengingat kejadian ketika pertama kali tahu Firman mengalami perundungan, "Guru BK di sana menyinggung tentang satu orang cewek. Itu saat aku baru mengetahui Firman yang dirundung, dengan bukti lebam di bagian bahu dan tangannya. Terus saat kelas 12, aku ke sana dan guru Firman bilang tambah satu cowok lagi. Entah kenapa mereka nggak mau sebut nama, seolah-olah pihak sekolah enggan membuka pelakunya."

"Kalau saja aku ikut di situ ya, Mas." Nindya berandai-andai seraya mengungkap penyesalannya sebab kala itu lebih mementingkan perusahaan dibanding masalah putranya.

"Aku maklumi kamu yang lebih sibuk kejar target," ujar Heru dengan suara datar. Tak lupa Heru memasang kacamata bulatnya setelah sempat terlepas barusan. "Menjawab pertanyaan kamu barusan, aku masih belum menemukan pelakunya. Hanya saja itu sudah lama sekali, dan kalau kita ke SMA Sentosa pun rasanya percuma. Kita nggak bakal tahu siapa, karena kejadiannya benar-benar hampir sepuluh tahun yang lalu."

Nindya terdiam, mencerna kata-kata suaminya. "Aku tanya begitu karena kasihan juga sama Firman. Meski ada istrinya yang jagain, tapi tetap aku merasa iba."

"Tumben kamu begitu, Nind. Biasanya juga obrolan kita, kamu sering bahas-bahas perusahaan. Kenapa tiba-tiba jadi bahas Firman?" Heru mempertanyakan situasi yang tidak biasa. Yang dia tahu, Nindya tak pernah mengungkit Firman selama beberapa hari belakangan. Paling saat Firman baru-baru menikah, Nindya sering bertanya kondisi ataupun sekadar merindukan Firman. Tapi kini, Nindya justru peduli setelah Heru bicara panjang lebar terkait keadaan Firman.

"Sebagai ibunya mana mungkin nggak mempedulikan anak sendiri?" kata Nindya percaya diri lalu memasang sabuk pengaman untuk mengaitkan tubuhnya. "Sudahlah. Ayo berangkat. Takutnya aku telat loh."

Heru hanya mengiyakan, kemudian menyalakan mesin mobil dan memutar gigi agar dapat melajukan kendaraannya dengan mulus.

Begitu di perjalanan, Heru memikirkan hal yang sempat Nindya singgung. Pelaku perundungan. Bahkan hingga kini Heru masih belum menemukan titik terang terhadap siapa pelaku yang membuat Firman mengalami trauma berat. Untuk hal ini, termasuk kedua kalinya. Yang pertama saat Firman berada di tahun pertama kuliah.

Siapa ya kira-kira pelakunya? Bahkan Firman nggak memberitahuku tentang mimpi buruk yang dia alami. Apa Firman nggak mau aku grasak-grusuk jika aku tahu pelaku sebenarnya? Batin Heru seraya menghela napas.

Heru menyimpan pertanyaan tersebut dalam kepalanya lalu menginjak gas pelan untuk mempercepat laju mobilnya agar dapat sampai di perusahaan milik Nindya, baru nantinya ke kampus untuk melakukan tugasnya sebagai dosen.

***

"Lex? Gimana soal perkembangannya?" tanya Mira menunggu respon dari Lexi. Kini Mira tengah menggigit kukunya, berusaha menenangkan diri.

"Kata anak buahku, mobilnya Firman masih ada di rumah itu. Dan aku coba hubungi nomornya, kan? Untuk memastikan apa Firman lari dari tempat tersebut apa gimana? Setelah kucoba meneleponya, tidak diangkat."

Lexi menjelaskan dengan hati-hati dan cermat, membuat Mira mulai merasa khawatir. Apa Firman kalah dari pertarungan? Asumsi dan pemikiran buruk pun mulai bergelayut dalam pikirannya. Mira seperti tercekat, enggan mendengar hal-hal yang dapat membuatnya down.

"Mir? Kamu bisa dengar suaraku?" Lexi bersuara ketika merasa si penelepon terdiam. "Anak buahku tengah selidiki rumah itu tapi diam-diam ngelakuinnya. Kita harus pastikan Firman sungguh kalah atau gimana? Melihat mobilnya saja jadi buat aku berpikir hal yang nggak-nggak."

Tiba-tiba, Mira mendapatkan telepon masuk dari nomor dengan penerima Firman Setiawan. Mira spontan kebingungan. Bukannya barusan Lexi menyinggung bahwa ponsel Firman tidak dapat merespon? Kenapa 'Firman' seakan-akan menghubungi Mira dengan tujuan ingin memberikan kabar secara rahasia?

"Lex?" Kini Mira memanggil. "Aku tutup telepon dulu. Ada urusan yang harus aku kerjakan sebentar," kata Mira, lalu dengan cepat menekan tombol merah pada panggilan dari Lexi sebelum menjawab panggilan masuk dari Firman.

Mira berharap bisa mendengar suara Firman dan memberikan kabar untuknya. Mira terus memikirkan hal baik agar tidak terlalu tertekan akibat perkataan Lexi tadi.

"Halo, Firman? Kamu baik-baik saja, kan? Gimana pertarungan? Kamu menang atau kalah?" Mira mencoba meyakinkan diri sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, tetapi rasa panik makin melanda.

Di seberang sana hanya terdengar deru napas yang tidak teratur, dan ini makin membuat Mira panik.

"Halo?" Mira mencoba memastikan apakah penerima telepon itu masih berada di seberang. "Firman, kamu bisa dengar suaraku, kan?"

Tetapi yang dia dapatkan hanyalah suara seperti seseorang yang menghela napas berat. Mira mencerna suara tersebut. Bukankah suara helaan napas itu ... seperti Firman?

Benar, saat Mira tidur bersama, dia hafal betul helaan napas tersebut. Begitu di samping Firman, dia terus mendengar hembusan napas serta dengkuran yang khas dari Firman. Mungkin, benar-benar terjadi sesuatu padanya?

"Firman, kamu jangan main-main. Kamu sungguh baik-baik saja, kan?" Mira berbicara dengan nada emosi yang mendalam karena belum juga mendapatkan respons yang memadai dari sang suami.

Hingga akhirnya, suara cempreng yang tidak dikenal tiba-tiba mengisi pendengarannya, membuat ketidakpastiannya makin menggema di dalam dirinya.

Suara Yudi. Benar, suara Yudi di seberang telepon mematahkan ketenangan Mira.

"Halo, cantik. Mira cantik. Gimana kabarmu?" kata Yudi, suara khasnya dengan jelas mengenali.

Mira terbata-bata dalam menjawab, kebingungannya makin bertambah. "Ka–kamu ..." Mira mencoba merespon. "Kenapa kamu memegang ponselnya Firman? Terus ... Firman ..."

"Kenapa? Kamu kaget ya? Tiba-tiba si empunya ponsel ada di tangan orang lain?" Yudi bertanya dengan nada jahil, dan tawanya yang meremehkan membuat Mira menyulutkan amarah. Pagi yang harusnya tenang sekarang telah berubah menjadi sebuah ujian berat, terutama jika melibatkan nyawa Firman.

"Firman ada bersamamu, kan?" tanya Mira memastikan, dengan nada gelisah. "Aku tahu kamu pasti menyakiti dia, kan?"

Nada mengkhawatirkan dari istri Firman makin memicu tawa Yudi kini. Pria tersebut berada di luar rumah, dia belum mengecek kondisi Firman di dalam dan memilih untuk melimpahkan urusan tersebut pada anak buahnya.

"Terus gimana pertarungan? Apa Firman kalah?" tanya Mira terus mendesak Yudi untuk menjawab.

Yudi terdiam, sekali lagi. Memastikan bahwa orang yang Firman cintai benar-benar panik. Kemudian seringainya tak terhindarkan sembari mengisap batang rokok melalui mulutnya kemudian menghembuskan asap yang mengudara di atas kepala.

"Aku tahu kamu pasti diberitahu oleh Firman soal pertarungan itu, kan?" celetuk Yudi. "Sudah kuduga."

"Jawab pertanyaanku, Yud!!!" Mira kini berseru, bahkan tubuhnya bergetar di atas sofa yang dia duduki. "Aku nggak suka kamu berucap seolah menyembunyikan sesuatu."

"Si lemah kalah dalam pertarungan," kata Yudi dengan dingin. "Tapi pertarungan kami belum selesai. Begitu dia kalah, aku akan meneruskannya dan menyiksanya sampai tidak berdaya. Sama seperti di masa lalu."

Tangan Mira bergetar, amarah yang mendidih dalam dirinya sulit ditekan. Yudi telah memicu sebuah gejolak emosi yang membuatnya ingin melepaskan semua perasaannya, tidak peduli siapa yang mendengar.

"Jadi ... kamu pasti masih ada di rumah itu, kan?" kata Mira dengan mata berkaca-kaca, suara gemetarnya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. "Jika kamu sungguh berniat menyakiti Firman, kusarankan kamu jangan lakuin itu. Firman nggak pernah dendam sama sekali sama kamu, bahkan dia ... dia juga nggak pernah merebut posisi kamu dan bersaing denganmu. Firman bersyukur saat itu dia punya teman yang baik. Kamunya aka yang terlalu egois."

Mira berbicara dengan penuh emosi, ingin mengejek Yudi dengan kenyataan bahwa Firman tidak pernah memandang rendahnya dan selalu bersikap baik kepadanya. Firman hanya berusaha menjalani hidupnya dan menjadi teman yang baik.

"Aku? Egois? Cuih, niat ingin sadarkan orang tapi tidak sadari kesalahan sendiri." Yudi membalas, pertahanan yang keras terdengar dalam suaranya. "Coba ingat deh perundungan yang terjadi di sekolah kita dulu. Firman yang aturan tidak kena rundungan, malahan kamu yang inisiatif merundung dia dengan meminta bantuan dari Lexi beserta anak buahnya. Di sini, siapa yang lebih rugi? Aku atau kamu?"

Tangan Mira mengerut, frustrasi dengan argumen Yudi yang seolah-olah melepaskan diri dari kesalahannya. Dia merasa ada dorongan untuk memukul meja depan sofa, tetapi dia menahannya. Keinginannya untuk menemui Firman dan memberikan keamanan kepada suaminya makin mendalam.

"Masihkah kamu tidak menyadari kesalahanmu?" tanya Yudi dengan tajam. "Kalau aku sih, lebih baik kamu akui saja kesalahanmu di depan Firman. Bukankah bagus, jika jujur? Firman pasti akan berpikir dua kali dengan kejujuran yang kamu lontarkan."

Ketika Yudi terus mendesaknya, Mira merasa takut. Ada rahasia masa lalunya yang belum dia beritahukan kepada Firman, dan desakan Yudi seolah memaksanya untuk memikirkan kesalahan yang telah dilakukannya.

Nggak, aku nggak mau jujur pada Firman. Aku takut. Aku takut kalau kami pada akhirnya akan cerai. Aku nggak mau cerai dari Firman. Batinnya bertekad.

"Ya sudah, aku nggak suka membuang waktuku. Lebih baik, bersiaplah dari sekarang. Karena sepertinya Firman sedang berada di ambang kematiannya. Jika bisa, siapkan makam untuknya. Siapa tahu, dia bakal meninggal di tanganku sekarang."

Yudi berseloroh dengan nada yang merendahkan, memenuhi ruangan dengan gelak tawa yang menghina. Mira merasa seperti dihantam oleh kata-kata tersebut, amarahnya mendidih dalam dirinya seolah-olah tak ada lagi yang bisa ditahan.

Tanpa berpikir panjang, Mira berdiri dari sofa, tindakan tegasnya mencerminkan bahwa dia sudah mencapai batas kesabarannya.

"Jangan berbuat yang macam-macam!!!" jerit Mira, suaranya menggema di seluruh ruangan, menciptakan getaran yang intensitasnya setara dengan amarahnya yang meledak. "Andai aku tahu lokasimu sekarang, aku akan ke sana dan menghajarmu habis-habisan!"

Sambungan telepon mendadak terputus, tanpa memberikan perhatian sedikit pun pada ancamannya. Mira merasa hampa, dia duduk di sofa dan mencari nomor Lexi untuk memberikan kabar terbaru.

Takut dan cemas menghantui pikirannya saat mencoba menghubungi Lexi. Dia tahu Lexi sedang menjalankan misi penting di markas, dan mungkin saja tidak dapat mengangkat telepon. Namun, Mira bernapas lea ketika Lexi mulai merespons, dan Mira segera membuka mulut untuk memberitahukan apa yang baru saja terjadi.

"Lex? Barusan aku mendapatkan telepon dari Yudi. Pertarungan berhasil, namun Firman kalah. Kini Firman ada di rumah itu, dalam keadaan lemah. Firman dipukuli hingga nyaris sekarat."

Mira membagikan semua informasi secara gamblang, berbicara panjang lebar dalam satu tarikan napas. Dia sangat khawatir dan ingin memastikan bahwa Lexi mendengar setiap kata yang dia ucapkan.

Namun, tak ada respon yang datang setelah itu. Mira terkejut dan takut Lexi mungkin tidak mendengar dengan jelas.

"Halo, Lex? Kamu bisa dengar suaraku, kan?" Mira bertanya, mencoba memastikan bahwa sambungan tetap baik.

"Mir?" Lexi akhirnya memanggil dengan suara parau. "Aku juga mendapatkan pesan dari Yudi. Mungkin sepertinya kita harus ke sana malam ini. Buat nyelametin dia. Kondisi Firman juga parah sekali. Aku nggak tahu cara apa yang Yudi lakukan sampai Firman berceceran darah di sekujur tubuh bahkan di wajahnya. Aku nggak mau kirim foto Firman padamu, takutnya kamu bakal nangis."

Mira makin tak dapat mengontrol diri, selama mendengarkan kata per kata yang diucapkan Lexi secara gamblang.

"Tapi, Mir. Kita harus mikir gimana caranya kita bisa bobol rumah itu," jelas Lexi. "Kata anak buahku yang tengah berjaga di sana, nggak gampang kalau cuma sekadar mencongkel pintu. Dan di tempat itu juga, banyak anak buah Yudi yang berjaga. Jika kita lengah, aku yakin kita akan tertangkap oleh mereka."

Mira merasa kecemasan yang makin memuncak. Dia merenung terlebih dulu, berusaha mencari solusi di saat situasi menyulitkan yang dialami. "Jadi kita harus gimana, Lex? Mustahil kita tidak ke tempat itu malam ini. Kita tidak bisa membuang waktu, kita harus ke sana supaya Firman tidak meninggal di tangan Yudi."

"Iya, aku akan berusaha, Mir," kata Lexi dengan tegas. "Bagaimanapun caranya, ini juga demi keselamatan Firman."

Terdengar isakan tangis dari Mira, bahkan saat bertanya tentang solusi. Bibir Mira bergetar seolah tidak menerima kabar buruk yang baru saja dia dengar.

"Malam ini kita benar-benar pergi," ucap Lexi dengan tegas, memutuskan apa yang harus dilakukan. "Aku akan ke apartemenmu sambil mengerahkan beberapa anak buahku. Mumpung aku juga tahu lokasinya."

Spontan, Mira mengelap air matanya dan mencoba untuk memperbaiki kondisinya. Meskipun situasinya begitu rumit, dia harus ingat bahwa masih ada Lexi, teman yang bisa diandalkan. Dengan kedatangan mereka ke rumah itu, mereka punya harapan untuk menyelamatkan Firman, meskipun agak mustahil.

"Untuk sementara, tenangkan dulu dirimu." Lexi memberikan dorongan positif untuk Mira. "Jangan mikirin apa-apa. Kalau bisa, kamu isi energimu dengan makan apa yang kamu sukai. Kamu perlu camkan ini di kepalamu, Mir. Firman itu baik-baik saja, dia tidak akan mati. Fisiknya juga kuat."

Mengatakan hal itu tentu Lexi sepenuhnya paham bahwa situasinya begitu sulit. Walau begitu dia tetap harus menyemangati Mira agar tidak gampang tertekan.

Mira mengangguk, mencoba mengatur napasnya. "Aku mengerti, Lex. Aku akan coba tenangkan diri dan berpikir positif. Aku yakin Firman akan selamat begitu kita sampai di sana."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top