Bab 51
***
Di sisi lain, Firman melaju di tengah pemukiman yang terasa sunyi. Cahaya lampu mobilnya menerangi jalan yang minim penerangan. Dia semakin mendekati lokasi pertarungan yang telah dia terima.
Tentu, Firman tak menerima mentah-mentah tawaran tersebut. Dia memikirkan keputusan pertarungan itu baik-baik. Dendamnya kepada Yudi begitu membara, sebab Yudi yang membuatnya mengalami trauma di masa dewasa. Bahkan Firman telah mengumpulkan tenaga serta tekad yang kuat untuk menghadapi Yudi. Harap saja, dia bisa menang dalam pertarungan tanpa hambatan.
Mengingat pertarungan, Firman pernah sekali bertarung dengan Yudi di belakang sekolah, dan satu kali putaran membuatnya kalah. Untuk kali ini, Firman bertekad untuk tidak mengulangi kelemahan yang pernah dia alami. Dia harus kuat dan mampu mengalahkan Yudi.
Setelah menempuh perjalanan yang begitu panjang, Firman akhirnya tiba di depan sebuah rumah sederhana berwarna kuning, tanpa pagar yang mengelilingi. Hanya rerumputan yang tumbuh di sekitar teras rumah. Cahaya lampu depan yang redup membuat rumah itu tampak agak suram dan tidak terawat.
Setelah turun dari mobil, Firman merasa perlu memeriksa sekitarnya dengan cermat. Tidak ada tanda-tanda kehadiran siapa pun. Namun, ketika dia sibuk mencari-cari, ponselnya tiba-tiba berbunyi nyaring di saku celananya. Firman tahu dengan pasti bahwa itu adalah panggilan dari nomor anonim atau mungkin dari Yudi sendiri.
Firman mengangkat ponsel, tanpa ragu dia menjawab panggilan dari nomor yang sama dengan yang dia terima sehari sebelumnya. "Halo?"
Suara di seberang segera merespons, "Kamu di depan rumah itu sekarang? Putar tubuhmu 90 derajat lalu jalan terus kemudian belok kiri. Begitu dapat pot bunga besar di pojok arah jam 1, belok kanan. Di situlah kita bertarung."
Panggilan terputus, dan Firman segera mengikuti instruksi Yudi. Langkahnya pelan, hatinya berdetak kencang. Dia harus tetap waspada, membaca setiap gerak Yudi, tidak boleh lengah.
Ketika Firman tiba di lokasi yang ditentukan, dia melihat Yudi sedang berdiri membelakanginya. Yudi mengenakan kemeja lengan panjang dan kedua tangannya berada dalam saku celananya.
Tahu lawannya sudah sampai, Yudi berbalik, dan senyuman khasnya muncul di wajah. "Sudah sampai? Gimana? Siap bertarung?" kata Yudi dengan langsung, mendekati Firman yang menatapnya tajam.
"Wah, lihatlah si lemah ini. Kamu nggak ada takut-takutnya sama sekali ya," ejek Yudi sambil tertawa, lalu dia memegang rahang Firman yang mulai menegang. "Hei, sepertinya kamu akan memenangkan pertarungan deh. Kamu siap banget malah."
"Kamu pikir aku takut?" Firman bersuara dengan penuh keyakinan, suaranya bergema di sekitar mereka. "Sungguh kamu akan bertarung satu lawan satu? Kamu tidak sedang melakukan kecurangan bukan?"
Yudi tersenyum sinis. "Kecurangan apa, hmm? Maksudnya, aku bawa orang gitu dalam pertarungan kita?" Dia melihat ke kiri dan ke kanan, mendengarkan keheningan malam yang hanya diisi oleh suara jangkrik.
Yudi berusaha membuat suara, bahkan bersiul agar ada yang merespon.
"Tuh, aku mencoba memanggil anak buahku. Tidak ada yang keluar dari tempat persembunyian, kan?" tanya Yudi dengan suara datar.
"Terus, kenapa ada rumah di belakang kita?" Firman menunjuk pintu warna merah gelap di belakang Yudi. "Bukankah seharusnya kita bertarung di tempat terbuka, atau kita masuk ke dalam untuk bertarung?"
Yudi hanya mematri senyuman, tanpa menjawab pertanyaan omong kosong dari Firman.
"Atau jangan-jangan, kamu menyembunyikan mereka ke dalam rumah itu?" Firman bertanya penuh kecurigaan, bahkan matanya memicing ke arah Yudi.
Respon Yudi hanya tawa ringan, seolah meremehkan Firman.
"Hei, berpikir logis dong, Firman. Katanya kamu pintar," cemooh Yudi. "Mana mungkin aku menyembunyikan anak buahku di dalam rumah itu? Asal kamu tahu ya, anak buahku itu berisik soalnya. Pasti kamu bakal dengar ocehan mereka dari sini. Tapi nyatanya apa? Sama sekali hening, baik rumah di belakang kita atau di luar."
Yudi berusaha membuat Firman percaya, tetapi Firman sendiri masih merasa ragu apakah Yudi benar-benar akan bertarung satu lawan satu atau memiliki bantuan tersembunyi.
"Kalau kamu nggak percaya, aku telepon anak buahku sekarang," tantang Yudi sambil merogoh ponsel dari saku kemejanya. Dengan mantap, dia menekan nomor salah satu anak buahnya dan mengaktifkan speaker, membiarkan Firman mendengar percakapan mereka, meskipun dengan jarak yang tidak terlalu dekat.
"Halo, bos?" Suara berat di seberang telepon terdengar jelas.
"Kamu di mana sekarang?" tanya Yudi mendekatkan mulutnya ke ponsel.
"Saya di markas, bos. Kenapa?"
"Oh, nggak. Nggak apa-apa. Nanti aku kabari lagi." Yudi segera memutuskan sambungan telepon dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
"Gimana? Masih nggak percaya kalau aku benar-benar sendirian di sini?" Yudi menantang sambil menatap tajam Firman.
Firman terdiam, merenung sejenak, masih berusaha menyingkirkan keraguan di dalam dirinya. Prasangka buruk seperti tadi benar-benar menguras waktunya. Apa sebaiknya dia percaya saja kalau Yudi benar-benar sendirian? Toh, tujuannya adalah mencari celah dalam pertarungan, dan Yudi tetap menegaskan bahwa mereka bertarung satu lawan satu.
"Baik, karena kamu tidak menjawab, aku akan mulai saja," ujar Yudi sambil mulai menyingsingkan lengan kemejanya. "Aku mau lihat, apa kamu masih lemah seperti yang sudah-sudah ... atau kamu punya kekuatan untuk membuatku tak berdaya." Dia menatap Firman tajam. "Ini satu lawan satu."
Firman melepas jaket hitamnya dan hanya mengenakan kaos lengan panjang warna abu-abu. Dengan tegas, dia mengikuti kode tangan Yudi untuk mendekat, siap untuk memulai pertarungan.
Tanpa basa-basi, Firman merentangkan kaki dalam serangan tiba-tiba. Tendangan presisi mendarat tepat di perut Yudi, mengikuti serangan beruntun dengan menonjok wajah Yudi sambil mendengus keras. Serangan itu dilancarkan tanpa keraguan, dan Firman menarik keras kerah kemeja Yudi sambil menggeram.
"Kamu pikir aku lemah seperti yang kamu duga?!!" Firman berseru dengan intensitas yang memancarkan kemarahan yang telah lama terpendam akibat kejadian masa lalu.
Firman berusaha mengumpulkan kekuatannya agar dapat memaksimalkan pertarungan. Sementara Yudi merespons dengan mendorong Firman sangat kencang. Lalu, Yudi mengunci tubuh Firman dengan lengannya, memfokuskan serangannya pada leher Firman, mencoba mencekiknya.
"Ternyata kamu hebat juga ya, lemah," kata Yudi dengan nada merendahkan, sambil memperkuat cekikan lehernya. "Maka aku tak akan ragu untuk menunjukkan kemampuanku."
Namun Firman tidak menyerah begitu saja. Melalui pergelangan tangannya, dia melancarkan serangan balik, memukul dada Yudi dari belakang. Ini cukup untuk membuat Yudi melepaskan cekikannya, memungkinkan Firman untuk melepaskan diri. Firman segera mengambil jarak sambil mempertahankan kewaspadaannya.
Yudi yang tersungkur meraih wajahnya yang terasa sakit, raut wajahnya penuh dengan perih tak berarti.
"Wah, sangat sakit, tapi ... sungguh memuaskan," ujar Yudi dengan napas terengah-engah, mencoba mengendalikan emosinya yang membara.
Yudi tanpa ragu mengambil tongkat kasti yang diletakkan di dekat pintu belakang. Dengan sigap, dia melayangkan tongkatnya berulang kali, dan Firman terus berusaha menghindari setiap serangan. Namun, saat sebuah pukulan tongkat akhirnya mengenai pelipis Firman, dia merasakan sakit yang menusuk. Meskipun darah mulai mengalir dari pelipisnya hingga ke dagunya, Firman tetap gigih dan menahan rasa sakit itu. Dia tahu dirinya tidak boleh menyerah begitu saja.
Firman dengan cepat memposisikan dirinya dalam kuda-kuda, matanya terfokus dan tajam pada Yudi yang sedang bersiap untuk serangan berikutnya. Ketika Yudi mulai sedikit lengah, Firman melihat celahnya. Dengan cepat, dia menghadang tubuh Yudi dan memukuli wajahnya berulang kali. Yudi, meskipun merespons dengan serangan balik, terlihat terkejut oleh keberanian dan kegigihan Firman.
Wajah keduanya menjadi penuh luka, terutama Firman yang terlihat parah terluka. Darah mengalir dari hidungnya akibat pukulan-pukulan keras. Yudi akhirnya menjauhi Firman, keduanya saling memandang dengan tatapan penuh perhitungan, mencari cara untuk mengakhiri pertarungan ini dengan baik.
"Aish, dasar!" umpat Yudi sambil mengeluh, langkahnya mundur beberapa langkah dari Firman. Keduanya berputar di tempat, menilai satu sama lain dan berpikir tentang cara untuk menyudahi pertarungan ini.
Firman kini berdiri dengan punggung menghadap pintu belakang setelah bergerak mengitari area tempat pertarungan. Yudi masih dalam posisi kuda-kuda, mencari peluang untuk menyerang Firman di tempat yang belum terlindungi.
Beruntung, Firman masih ada kekuatan untuk menyerang Yudi. Meski dalam keadaan yang berdarah-darah, dia mengumpulkan tenaganya lalu melayangkan tendangan pada Yudi.
Ketika Yudi mulai menunjukkan tanda akan menyerah, Firman menghadang Yudi sekali lagi dan memukuli pria tersebut hingga nyaris tersungkur.
"Kamu berpikir ... aku bisa kalah dengan mudah, hah?" tanya Firman berusaha meremehkan kemampuan Yudi. "Nyatanya pelajaran bela diri yang kudapatkan sewatku SMA dan kuliah, tidak sia-sia juga. Kamu ... terbaring seperti ini dan ... nggak bisa bangkit."
Walaupun Firman terbata-bata dalam berucap serta pernapasannya yang tidak normal, dia tetap menunjukkan kemenangannya dalam bertarung. Lihat saja, Yudi tetap berada pada posisi meluruskan tubuh ke bawah.
"Jangan mimpi kamu." Yudi berceletuk, tidak bergerak sama sekali. "Kamu bisa menang kali ini, Man. Tapi kita benar-benar belum selesai."
"Apanya yang belum selesai?" Firman membalas, kini meninggikan suaranya hingga nyaris menggema. "Kita sudah maksimal dalam pertarungan ini. Buktinya, kamu tersungkur saat kupukuli berulang kali."
Yudi tertawa terbahak-bahak, masih dalam posisi terbaring sambil merentangkan kedua tangan. "Kamu terlalu percaya diri, Firman Setiawan. Aku nggak nyangka kamu bisa seperti ini. Pantas, kamu juga bersikap begitu semasa SMA. Memamerkan kepintaran kamu sendiri dan membuat semua murid di sekolah kita dibanding-bandingkan sama orang tua mereka dulu."
Firman terdiam, dia berusaha menyeka darah di wajahnya menggunakan kaos lengan panjang miliknya. Meskipun harus menahan rasa sakit yang didera, bahkan di bagian rahang serta lengannya.
"Menyerah saja, Yud," kata Firman memberikan saran. Napasnya terengah-engah. "Kamu nggak perlu bersikap seperti tidak mau mengalah. Ingat, kamu yang ajak aku bertarung, kamu juga yang harusnya menerima kekalahan. Kamu nggak punya kekuatan lagi, Yud."
"Diam, bangsat!!!" Yudi berdiri tiba-tiba dan kini menarik napas seakan-akan ingin meluapkan amarahnya.
"Kali ini, aku nggak akan melupakan gimana kamu meremehkanku hari ini, Firman," tunjuk Yudi seolah mengancam pria di depannya. "Selagi aku masih punya kekuatan, ayo kita bertarung satu kali lagi. Aku tahu, kamu juga masih ada sisa-sisa tenaga bukan?"
Firman tak dapat merasakan sakit di beberapa area tertentu, namun mendengar tawaran tersebut membuat semangatnya memacu dirinya. Selagi dia menahannya, tidak salah jika harus mengeluarkan jurus-jurusnya untuk mengalahkan Yudi.
Pertarungan berlanjut. Firman lebih dulu memukul rahang Yudi. Beruntung tinggi badan Firman dapat mencapai Yudi, sehingga memudahkannya menyerang bagian-bagian wajah ataupun dada. Berharap saja Firman masih diberikan kekuatan agar dia sungguh menang dalam pertarungan.
Dua menit berlalu, Firman tetaplah handal dalam mengerahkan jurusnya. Yudi tersentak di tembok dan memukuli bagian kaki hingga nyaris tidak berdaya.
Senyum penuh kemenangan tak terhindarkan di wajahnya. Firman bangga dengan dirinya bahwa dia benar-benar kuat. Mengalahkan Yudi sekali lagi adalah pencapaian yang belum dia raih selama ini.
"Kamu masih tetap tidak mau mengakui kekalahanmu, hah?" tanya Firman memastikan. Penglihatannya kini terekam jelas, Yudi yang sedang merintih kesakitan di bagian paha. Tentu karena jurusnya yang terbilang handal dan hanya orang-orang tertentu yang bisa mempelajarinya.
Yudi tak merespon apa-apa. Dia berusaha menahan sakit lalu spontan terduduk.
"Kamu, kamu benar-benar ... hebat." Yudi tak menatap lawan bicaranya, justru mengapresiasi kemampuan Firman yang meningkat. Dia merasa tak mampu untuk melawan Firman. Jurus bela diri Firman hampir membuatnya tak berdaya. Dia akui bahwa Firman handal dalam bertarung.
"Sekarang, kamu sudah akui kalau dirimu kalah?" tanya Firman lagi. Tak henti-hentinya Firman menyeka bekas darah di wajahnya yang mulai mengering. Jangan lupakan Firman yang tetap memfokuskan pandangannya ke Yudi.
Meskipun Yudi menunjukkan kekalahannya, Firman tetaplah mengawasi sekitar. Bisa saja ada orang lain yang terlibat dalam pertarungan. Kali ini dia tidak boleh kecolongan.
"Aku menyerah. Aku menyerah, kamu menang." Yudi pelan-pelan berdiri dari posisi duduknya dan mengangkat kedua tangannya. "Kamu menang dalam pertarungan, Man."
"Lalu, apa yang kudapat setelah memenangkan pertarungan?" Firman bertanya penasaran.
Yudi tidak menjawab melainkan senyuman hangat yang mematri secara tiba-tiba. Entah ada keanehan apalagi yang terjadi. Namun, beberapa detik kemudian, seseorang mendadak keluar dari rumah itu dan menciptakan ketegangan tak berarti. Di situlah Firman menyadari, bahwa sesuatu yang tidak diinginkan rupanya berada di depan mata.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top