Bab 5

***

"Ayah, Ibu. Perkenalkan. Dia ... pacarku, namanya Mira Hartono." Tanpa keraguan, Firman memperkenalkan Mira sebagai kekasihnya di hadapan orang tua juga sepupu-sepupunya. Meski hanya sebatas pura-pura. Tentu karena tuntutan kedua orang tua, Firman bisa senekat itu meminta 'sahabat lama' untuk berbohong tanpa memikirkan pendapat mereka tentang Mira.

Acara makan siang diadakan di salah satu restoran makanan laut yang berlokasi di dekat gang namun memiliki parkiran basement yang luas. Heru, ayah Firman, memilih ruang VIP yang menyediakan meja lebar dan menjangkau beberapa orang. Firman dan Mira duduk bersebelahan di sisi kanan dekat jendela.

"Ngomong-ngomong, berapa lama kalian pacaran?" tanya Heru dengan suara beratnya, seolah menginterogasi sang putra. "Setelah kamu memutuskan untuk mandiri dan menjalani hidup baru sebagai pekerja kantoran, ayah tak pernah dengar kamu punya pacar, meski kita selalu bertukar kabar melalui telepon."

Baik Mira maupun Firman melempar tatapan satu sama lain. Mereka bingung merangkai jawaban yang tepat.

"Emm ... baru beberapa bulan sih," jawab Firman sebisanya. "Dia tim desainer di sebuah kantor."

Mira mengulum senyum kecil, meski dalam hatinya ingin merutuk. Firman sungguh aneh menurutnya. Belum lagi yang barusan diucapkan Firman, tidak sesuai dengan kenyataannya. Terlebih menyebutkan kata kantor, makin membuatnya meringis dalam hati.

Meskipun demikian, Mira tetap berusaha untuk bersikap natural. Tentu karena semata-mata ingin mendapatkan apa yang dia mau sejak awal.

"Ngomong-ngomong, cantik juga ya dia," puji Heru menunjuk dengan garpu yang dia pegang. "Kalau jadi menantu, bagus juga."

Sejenak Mira terperanjat. Alih-alih menanyakan lebih, justru respon santai yang didapatkannya. Tidak ada lagi stok pertanyaan buatnya, misal bagaimana kehidupan pribadinya lebih lanjut atau semacamnya?

Apa mereka memandang aku sebagai wanita baik, cuma karena aku nggak banyak bicara? Batin Mira menebak.

"Kalian berdua cocok." Nindya, ibu Firman juga ikut memuji. "Nak Mira ini sepertinya wanita yang bagus untukmu, Firman."

Pujian dari wanita paruh baya itu makin menaikkan rasa percaya diri Mira. Dia mengulum senyum ringan sebagai respon atas hal tersebut.

Baiklah. Mekipun ini aneh, tapi aku bisa menolong si pintar itu agar tidak dibuat tertekan. Tahu sih ini cuma pura-pura, tapi ya dengan cara ini, aku tetap bisa mendapatkan ilmunya. Secara gratis. Batin Mira lanjut tak menghilangkan garis senyum di bibirnya.

Kecanggungan sempat terasa kala perutnya mulai keroncongan. Mira memegang bagian bawah tubuhnya hingga mengeluarkan sedikit eluhan dan menjadi perhatian Firman.

Firman agak menoleh ke samping, melihat Mira yang mulai memasang mata pada makanan yang tersaji di meja.

Semua anggota keluarga Firman belum menyentuh hidangan, ketika semenit lalu pelayan membawa berbagai macam makanan untuk disajikan di atas meja. Tetapi, rasa malu seolah terlewat begitu saja ketika Mira spontan mengambil piring yang bersusun dan menyeret bakul  untuk menyalin nasi.

Sontak saja Firman terkejut dengan aksi tak terduga dari Mira. Dia tak mau sampai kena omel para anggota keluarganya begitu melihat Mira yang tidak punya etika di meja makan.

"Mir. Mira." Firman menegur pelan sambil menahan tangan Mira yang berusaha mencoba menyalin lauk. "Kamu nggak lihat orang-orang di sini? Aku nggak suruh kamu makan dulu. Tunggu orang tua ambil makanannya habis itu kita."

"Tapi, cuma ambil nasi doang kok," kilah Mira dengan hati-hati.

"Tetap aja ..." Sorotan tajam di mata Firman tidak terhindarkan, demikian juga desisan yang membuat Mira jadi beringsut menjauhi piringnya dan menunggu beberapa anggota keluarga mengambil makanan.

Bukan tidak mungkin, Mira bahkan belum mengisi perut ketika sampai di unit Firman barusan. Hanya makanan ringan yang kebetulan disajikan oleh si empunya unit. Alasan melakukan itu karena kebiasaan kumpul makan keluarganya. Begitu makanan terhidangkan di atas meja, tidak ada alasan lagi untuk tidak segera menyalin nasi dan lauk kemudian menyantap makanan mereka masing-masing.

Baiklah, teguran dari Firman setidaknya membuatnya sadar akan etika yang harus dijaga. Sekali lagi dia perlu menahan dirinya hingga acara makan siang selesai.

"Belum pernah diajari etika ya kamu?" bisik Firman seolah membuat Mira tersentak.

"Maaf. Kebiasaan kalau makan sama ayah, ibu, dan adikku jadi kebawa-bawa." Mira balas berbisik namun dengan suara yang sangat pelan.

"Ehem, ada yang lagi bisik-bisik tuh," celetuk Chandra, sepupu Firman, niat menggoda.

"Ciee ciee, pasangan baru nih." Dua sepupunya di samping Chandra berbarengan ikut menggoda Firman.

"Seru juga ya lihat pemandangan yang indah ini," celetuk Heru tak ragu. "Ayah bisa lihat potensi besar dari kalian berdua. Nggak sia-sia."

Heru memuji bangga kemudian diikuti tepukan meriah dari semua keluarga. Termasuk salah satunya wanita dengan coat abu-abu yang duduk di samping Nindya. Tentu, Mira menduga kalau wanita tersebut adalah kakak dari Firman.

"Ayah memang sengaja mengumpulkan kamu, Andini, dan semua keponakan ayah biar mempererat kekeluargaan kita. Cuma ... melihat kamu jadi akrab begini sama Mira, kamu seperti bawa kado besar yang bikin ayah sama ibumu senang."

Entah sudah berapa kali Heru memuji Firman sebab membawa seorang wanita ke acara makan siang. Mira sempat melirik ekspresi seluruh keluarga, semuanya tampak senang. Mira memasang dugaan bahwa keluarga Firman pasti sangat menginginkan pria itu untuk menikah, makanya sampai bersemangat termasuk sang ibu juga kakak. Tak lupa sepupu-sepupunya yang ikut bersorak.

Apakah itu artinya Firman sukses dengan misinya membawa Mira ke acara makan siang keluarga? Entah bagaimana Mira menanggapi hal tersebut, selain ada rasa syukur dari dalam hati ternyata semudah itu membantu sang sahabat untuk pertama kalinya. Walau awalnya enggan.

"Baiklah. Selamat makan siang semuanya. Nikmati makanannya, takut dingin." Heru pun mulai mempersilakan semua yang duduk di meja untuk makan.

Firman ikut mengambil nasi setelah Chandra, hanya dua sendok besar.

Mata Mira menoleh ke sebelah, melirik porsi makan Firman yang sedikit namun menurutnya seimbang. Tunggu, kenapa Mira terus saja salah fokus?

Mira memilih diam dan menggerakkan kedua tangannya memegang sendok dan garpu, menikmati sajian yang ada. Dia sudah lebih dulu mengambil nasi dan lauk, jadi tinggal menyendok ke mulut.

Wanita blazer itu sembari mengerling melihat suasana keluarga Firman yang juga sedang sibuk dengan makanan mereka.

***

Acara makan siang yang diadakan keluarga besar Firman selesai pada jam 4 sore. Setelah menyantap makanan, waktu dihabiskan melakukan obrolan hangat antar keluarga.

Keluarga besar beranjak lebih dulu dari restoran. Sementara Firman dan Mira baru saja masuk dalam mobil setelah pamitan pada mereka.

"Meski awalnya kamu sempat tidak punya etika saat makan siang, tapi selanjutnya kamu bisa jaga sikap sampai makan siang selesai." Firman memuji ketika baru menggunakan sabuk pengamannya. "Dan itu artinya, kamu bisa mendapatkan apa yang kamu mau."

"Wah, secepat itu ternyata dan semua keluarga kamu juga ramah-ramah." Mira balik memuji kemudian mengulum senyum hangat sambil memejamkan mata ikut merasa senang.

"Materinya ada di laptopku semua, cuma kebetulan aku nggak bawa karena ini cuma acara makan siang aja. Mulai malam ini aku kirimin materinya semua, dan kamu pelajari itu sebelum aku mengajari kamu."

"Kamu ... serius?" tanya Mira tidak percaya dari apa yang dicuapkan Firman barusan. Malah, langsung begitu saja tanpa ada syarat lain yang memicu kecemasan Mira.

Sementara yang ditanya justru mendengus kesal sambil memutar bola matanya menunjukkan rasa sebal. "Kamu ini. Katanya mau diajari, ya udah selesai gitu aja. Kamu bisa langsung dapatkan materinya, mumpung aku masih pegang."

"Ya ... habisnya ... aku nggak nyangka aja kamu langsung sat set begitu. Pikirku, kamu masih punya syarat lain yang harus aku lakukan," tutur Mira terbata-bata.

Sambil memutar setir mobilnya untuk keluar dari parkiran, Firman membatin. " Masih ada lagi syarat anehnya, Mir. Biar impas dengan yang kulakukan kepadamu. "

"Jadi gimana? Kamu mau kirim sekarang?" Dari gerak-geriknya yang penuh semangat, Mira justru mendesak. Di saat Firman sedang mengemudikan mobil untuk keluar dari restoran.

"Nggak dengar ya tadi aku ngomong apa?" Firman mulai ketus sambil menggeram kecil. "Materinya ada di laptop, dan aku nggak backup di ponselku. Mana bisa aku kirimin semuanya sekarang? Pun beberapa fail itu punya ukuran besar-besar, jadi kalau dikirim ke laptop bakal cepat. Harusnya kamu sabar dong. Jangan mendesak begitu."

Semangatnya yang menggebu-gebu seolah menutup pikiran Mira bahwa dia tidak boleh terus mendesak Firman untuk berbuat apa pun. Meski misi berhasil, dia tetap harus bersabar sampai mendapatkan apa yang dia mau. Malah dia jadi sasaran amukan Firman, seakan-akan melatih mentalnya buat menghadapi guru killer macam Firman itu.

"Nanti malam kukirim semuanya." Firman memberikan janjinya. "Kalau misalnya nih ya, aku sibuk dan nggak sempat kirim, kamu bisa tagih aku. Tapi jangan telepon ya. Aku nggak mau kirim kalau kamu nelepon. Ngerti?"

Mira mengangguk pelan, lagi dan lagi dia mengingatkan dirinya dirinya telah mendapatkan apa yang dia mau. Maka sudah seharusnya dia bisa jaga sikap pada Firman yang sebentar lagi akan menjadi gurunya.

"Oh iya, Man. Aku mau ngomongin ini ke kamu." Mira mencairkan suasana yang sempat tegang. "Jujur ya. Kita kan baru pertama kali bohong pada keluargamua. Terus, nggak tahu kenapa ... mereka ... asyik aja gitu," ungkapnya mulai terkekeh. "Mereka juga nggak curigaan atau tanya lebih lanjut padaku. Mengalir gitu aja, nggak berpikir yang aneh-aneh."

Firman berusaha memberikan tanggapannya sembari memegang kemudi di kedua tangan. "Aku sudah bilang dari awal. Kamu sudah menjaga sikapmu, jadi hasilnya apa? Mereka menerima kehadiranmu di sana. Dengan kamu bersikap sopan ke mereka, berarti kamu sudah baik di mata mereka."

Mira akui itu, dia sudah berusaha keras agar tidak kelepasan. Hanya saja dia tak bisa melupakan keterkejutannya dengan kedua orang tua Firman yang sama sekali tidak memiliki pertanyaan untuknya, bak orang tua pada umumnya yang kadang punya banyak tanya.

"Mereka nggak akan mencariku suatu saat kan?" Mira bertanya hati-hati. "Aku takut saja, kalau mereka menganggap serius kita. Padahal tujuan kita hanya berbohong."

"Ya kan belum tentu juga mereka mencarimu. Kalaupun mereka cari, aku tinggal bilang kami tidak cocok. Simpel, nggak perlu ada drama." Firman menjawab lancar pertanyaan Mira. Lagipula tidak perlu berpikir rumit untuk menuntaskan masalah itu.

"Benar sih. Aku juga punya Adit, jadi nggak mau ambil pusing soal ini."

Mira mulai mengulum senyum dan menoleh pada Firman. "Pokoknya terima kasih karena kamu bersedia jadi guruku. Meski aku memaksa kamu pada awalnya."

Firman menanggapi dengan lengkungan bibir yang sedikit terbentuk. "Harusnya aku yang terima kasih, sebab kamu rela berbohong ke mereka. Bersikap sopan ke mereka. Yang kutahu dari kamu adalah, kamu keras kepala, gampang marah, menyebalkan."

Tujuan Firman mengucapkan itu hanya ingin Mira mengingat, bahkan secuil pun. Perbuatan Mira padanya.

Mereka bertemu di saat dewasa, Mira sama sekali tak mengungkit masa lalu. Untuk sekadar minta maaf pun, sepertinya Mira enggan. Makanya Firman ada inisiatif sendiri membuat Mira menyadari perbuatannya.

"Aku ada keluhan." Mira memecah hening selama mobil Firman masih melaju menuju suatu tempat.

"Keluhan apa?"

Mira berhak bilang hal tersebut pada Firman. Mana tahu sahabatnya bisa mencari solusi terbaik di saat gundah gulana.

"Sebenarnya aku curiga. Kalau pacarku itu bermain di belakangku."

"Hmm?" Firman berdeham menaikkan intonasi suara. "Maksudnya?"

"Tiap kali kami kencan, Adit selalu menerima telepon. Berapa kali tuh Adit bolak-balik berdiri mengangkat telepon dan menjauhiku? Bisa kan dia angkat saja tanpa perlu berdiri dari kursinya?" rajuk Mira, menceritakan masalah hubungannya yang mulai pelik.

"Mungkin saja, Adit perlu fokus untuk mengobrol dengan temannya atau mungkin orang penting sampai harus berdiri dari kursi. Atau bisa saja kafe yang kamu dan pacarmu kunjungi sedang berisik dan nggak dapat dengar dengan baik."

Beda dari Mira, pria yang mulai menggunakan kacamata bulat itu mencoba berpikir positif. Setidaknya Firman menyingkirkan pikiran buruk yang menyergap kepala Mira.

Mira menanggapi saran Firman dengan dengusan sebal. "Ya nggak setiap kali juga dia harus berdiri menerima teleponnya. Aku tuh nggak bisa baca pikirannya. Mungkin ... dia pasti beneran ..."

"Sudah!" Firman berseru namun tidak lantang. "Kamu nggak usah curigaan begitu. Nggak baik."

Sekali lagi Mira menciut saat melihat Firman dalam keadaan marah.

"Kalau kamu merasa ada sesuatu pada Adit, lebih baik bicarakan masalah ini padanya. Bilang, siapa yang sering menelepon dia? Jangan asal menyimpulkan," kata Firman memberikan saran, lalu fokus memegang setir mobil.

"Setidaknya, kamu jangan berprasangka buruk dulu. Pokoknya, kencan berikutnya, tanya ke Adit. Kalau bisa, bicaranya baik-baik. Siapa tahu Adit mau terbuka terhadap apa yang dia lakukan selama ini."

Senyum pelan Mira terbit setelah mendengar saran berikutnya dari sahabatnya.

"Baik, Firman. Aku akan lakukan."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top