Bab 48 🔞

***

"Siapa yang membuat kamu jadi terluka begini?" tanya Heru saat memfokuskan pandangannya pada lengan Firman yang dibalut perban elastis. Tak lupa di sekitar perban ada noda merah membekas yang diyakini sebagai bercak darah.

Pria berjaket kulit warna hitam itu terus-terusan bertanya terkait kondisi sang anak. Bahkan kini dia berkacak pinggang, sesekali menyulutkan amarah tentang siapa yang berani membuat Firman nyaris kehabisan darah saat dibawa ke rumah sakit.

"Kamu dipukul dua botol pecah beling dan itu sangat membahayakan kamu, nak." Heru menuturkan kekhawatirannya. Dari nada bicaranya pun sangat tinggi, dia sungguh cemas dengan keadaan Firman terkini. "Waktu kamu pulang dari sekolah, siapa yang menyerang kamu?"

Firman terdiam, dia seperti enggan menceritakan pelaku penyerangan tersebut. Dia ingat barusan melawan seseorang yang sebaya dengan dirinya. Bahkan sempat bertarung hingga membuatnya jatuh pingsan karena pukulan dari sang lawan. Lalu mendadak dia tersadar dan tahu-tahu ada luka di bagian lengan kirinya.

"Firman ... nggak tahu," jawabnya dengan nada rendah. "Firman memang melawan seseorang waktu menunggu ayah di depan sekolah. Tapi tiba-tiba aku dipukuli bagian rahang dan tengkuk, hingga Firman tak sadarkan diri."

"Bagaimana bisa seperti itu?" tanya Heru mulai heran. "Ayah juga sempat datang ke sekolah kamu dan memarahi guru BK di sana karena tidak menemukan pelakunya. Bahkan saat ayah meminta guru-guru di sana lebih bijak menangani perundungan, kamu mendapatkan hal yang lebih buruk lagi? Sampai masuk rumah sakit?"

"Semua sudah terjadi, karena mereka iri." Firman menanggapi pasrah. "Firman juga nggak bakal mungkin menghindari mereka yang brutal. Sekecil apa pun Firman berusaha, rasanya sia-sia."

"Nak! Kamu itu berdarah begini tapi kamu bicara seperti ini seolah-olah kamu memaafkan mereka, begitu?" Kini sang ayah naik pitam dan menggeram besar pada Firman. "Pokoknya, ayah nggak mau tahu. Sampai ayah menemukan siapa pelaku yang membuat kamu nyaris mati ini, ayah nggak main-main untuk membuat mereka berlutut kepada kamu."

***

Firman ingat jelas bagaimana ayahnya berinisiatif mencari pelaku perundungan di sekolahnya, bahkan sampai meninggalkan urusan percetakan dan menyerahkannya pada pegawainya kala itu. Heru bahkan tak mementingkan usaha percetakannya, justru memfokuskan niatnya bolak-balik ke sekolah untuk membuat para pelaku jera.

Kini belum diketahui secara jelas terhadap siapa pelaku yang memulai perundungan dirinya. Tentu ada yang begitu iri dengannya sehingga membuat Firman jadi target perundungan dari teman-teman dahulu. Tapi pertanyaannya adalah, siapa? Itu yang belum Firman ketahui.

"Man. Mataku masih melek nih, mumpung besok ada waktu senggang. Gimana kalau kita begadang untuk nonton satu film lagi?" usul Mira sambil menolehkan kepala pada Firman.

"Satu film?" tanya Firman memastikan. "Besok memang ... aku nggak masuk kantor lagi sih. Tapi kalau nonton satu film setelah ini, kita jadi membuang waktu hanya memilih filmnya."

"Aku ada satu rekomendasi, kok. Film ini kelar kita nonton, baru aku pilih filmnya. Jadi agak cepat milih filmnya nanti."

Balasan Firman hanya melenggut paham, lalu mereka memfokuskan pandangan pada layar televisi untuk menonton film yang mendekati ending. Demi menuntaskan tontonan, mereka seakan penasaran terhadap bagaimana tokoh di film tersebut melewati rintangan yang sempat dihadapi.

Begitu layar menampilkan credit, Mira langsung meraih remote di belakang punggungnya. Berhubung remote tersebut berada di atas sofa dan kebetulan Mira duduk di bawah sofa jadi memudahkannya untuk mengambil.

"Mira." Firman spontan memegang bahu istrinya, bahkan suaranya saat memanggil Mira sangatlah lembut. "Gimana kalau kita tidak hanya nonton film, kita bisa bertukar cerita? I mean, deeptalk."

Mira sempat membuat tatapan membingungkan dan belum mencerna apa yang diucapkan Firman padanya.

"Bertukar ... cerita?" tanya Mira agak terbata-bata.

"Ingat, aku masih pemulihan loh. Aku ingin menenangkan diriku di sini." Dengan inisiatif yang tinggi, Firman merentangkan kedua tangan, secara terbuka menerima Mira memeluk tubuhnya.

Seakan peka terhadap situasi, Mira memilih mengesampingkan pilih film dan ikut duduk di samping Firman dan memilih menyandar pada bahu lebar milik suaminya.

"Kamu boleh kok sambung nonton filmnya, tapi sambil cerita." Firman bahkan memperbolehkan Mira untuk melakukan apa yang diinginkan. Tangan panjangnya mengambil remote dan menaruhnya di telapak tangan Mira.

"Ngomong-ngomong, ada perkembangan dari gejala yang kamu alami?" tanya Mira mulai membuka obrolan, seraya ibu jarinya tetap bergerak memencet film yang akan mereka nonton.

"Sebenarnya sih ... banyak hal-hal buruk yang sempat aku ingat. Terutama, suara seseorang yang menelusup dalam telingaku." Firman berbicara sangat pelan, terlebih suaranya juga kini serak. Entah karena ingin mengeluarkan tangisan atau berusaha agar tidak terlalu berisik.

"Suara apa? Suara ancaman?" Mira ikut memelankan suaranya, dia tetap memiringkan kepala menyandar pada bahu Firman. Dia pun menemukan film yang mereka nonton, lalu memencet enter pada remote untuk memulai memutar film.

"Bisa dikatakan begitu." Firman bergerak sebentar untuk mengambil kentang keju yang tersisa lalu menengadahkan tangan pada piring saji tersebut. "Itu sangat menggangguku."

"Aku yakin kamu pasti sangat kesulitan dalam pengobatan ini, tapi kamu harus bersabar. Setahuku, korban bully memang begitu. Akan selalu membayangi hal-hal buruk yang dialami."

Firman terdiam dan meresapi kata-kata Mira padanya. Benar, butuh waktu yang cukup lama agar bisa sembuh dari traumanya. Gejala baru yang tidak terkira-kira pun jadi penyebab terhambatnya penyembuhan. Entah dengan cara apalagi supaya bayang-bayang buruk tidak mengganggu hidupnya.

Di sisi lain, Firman sangat ingin tahu siapa pelaku perundungan tersebut. Pelaku yang menyuruh semua orang untuk merundungnya. Siapa dan siapa? Pertanyaan itu masihlah tertanam dalam kepalanya.

Mira mulai menonton film bahkan mulutnya bungkam agar fokus menonton. Sementara Firman hanya memandang Mira yang sambil sesekali menyantap popcorn sebagai teman nonton film.

Jika Anda masih yakin bahwa Bu Mira bukan pelakunya, mungkin sebaiknya Anda berbicara langsung dengan Bu Mira.

Teringat saran Pak Danny sehari lalu tentang menanyakan hal-hal yang mengganjal dalam kepalanya. Bagaimana dia membujuk Mira agar berbicara yang sebenarnya? Jawaban Mira tentang ikut-ikutan teman belum memuaskannya. Dia ingin menggali lebih lanjut perilaku Mira semasa sekolah, tentu beberapa yang belum diketahui Firman.

Mereka fokus menonton film tanpa ada obrolan sama sekali. Sejam kemudian, Firman yang mulai menahan kantuk, berusaha untuk menggelengkan kepala. Hanya semata-mata mengusir rasa kantuknya.

"Mira." Firman memanggil dengan bisikan. Dia berusaha membuat obrolan lagi agar tidak terlalu hening di ruang utama.

"Hmm?" Mira berdeham singkat merespon panggilan Firman padanya.

"Maaf, jika ... aku ngomong gini ke kamu." Firman bersuara pelan, bahkan Mira belum menoleh dan tetap fokus menonton film. "Mungkin saja kita masih bisa menikmati film seperti yang kita lakukan sekarang. Cuman, kita nggak tahu kalau suatu saat bakal terjadi sesuatu yang buat kita harus berpisah."

Entah datang dari mana kalimat Firman yang mengisyaratkan tentang perpisahan. Padahal tadinya Mira terhanyut oleh kisah romantis dari film yang ditontonnya. Spontan saja, Mira menoleh dan menatap lamat-lamat Firman di sampingnya.

"Apa–apa maksud kamu, Man?" tanya Mira seolah tak dapat mengontrol diri. "Kenapa kamu tiba-tiba ngelantur begini? Apa kamu ngantuk atau bagaimana?"

"Yah, aku memerhatikan kamu seraya menonton film. Sambil membayangkan nasib pernikahan kita." Firman menanggapi dengan lembut. "Ini cuma seandainya saja ya, Mira. Kalau trauma yang kualami belum sembuh juga, meski kamu sudah menjalani tantangan, berarti sudah jelas, kan? Kita akan pisah."

Jantung Mira berpacu dengan kencang kala mendengar Firman berucap seperti itu. Kata-kata perpisahan menjadi kata yang sensitif dan entah kenapa membuat Mira enggan mendengar hal itu lagi.

"Kamu ... kamu jangan bilang begitu, Man. Aku nggak mau kamu ngomong begitu," kata Mira menekankan ucapannya.

"Buat apa, Mira? Kalau saja aku nantinya sering mengalami mimpi buruk atau bayang-bayang kelam yang mengganggu. Jika itu tetap aku alami meskipun beberapa kali menjalani pengobatan, apa kamu siap, atau rela kita pisah?" Firman memasang tatapan intens, sambil memperlihatkan keibaannya pada Mira. Tentu, dia sangat yakin Mira tidak mau pisah darinya, namun kesepakatan tetaplah kesepakatan. Mereka tak bisa melanggarnya. Begitu tantangan tidak berhasil, maka sudah jelas bagi Firman untuk berpisah dari Mira.

"Kenapa kamu pesimis, Man?" Mira mendekatkan wajahnya lalu memegang pipi berisi milik Firman. "Aku yakin, kamu pasti bisa sembuh, kok.  Kenapa kamu mengatakan hal-hal yang bisa membuatku khawatir?"

"Ya kan itu cuma seandainya, Mira," kata Firman menekankan ucapannya. "Aku juga berharap aku bisa sembuh. Aku tinggal bersabar menjalani berbagai macam pengobatan. Cuman ... aku tanya kesiapan kamu sudah sebesar apa? Kalau saja tantangan benar-benar tidak berhasil."

Sejujurnya Firman enggan menanyakan hal belum pasti, hanya saja untuk mengantisipasi terhadap situasi buruk yang akan terjadi. Makanya Firman sekadar memastikan.

Tetapi bagi Mira, perpisahan adalah hal yang sangat tidak disukainya. Sudah cukup dengan Adit yang mengkhianatinya, dia tidak mau kesepakatan yang telah mereka sepakati benar-benar terwujud. Tentu, Mira harus lebih berusaha membuat Firman sembuh. Dia tak punya rencana apa-apa lagi selain mempertahankan pernikahan.

Mira memang egois, dia tetap ingin membuat dirinya lebih baik di depan Firman. Daripada memikirkan omong kosong yang tidak ada gunanya.

"Kamu rela? Kalau kita berpisah?" tanya Firman sekali lagi, menunggu jawaban keluar dari mulut Mira.

Alih-alih menjawab, Mira mengambil kesempatan untuk berbuat lebih. Benar, itu adalah peluang baginya. Mira langsung mencodongkan kepalanya kemudian memberikan kecupan singkat di bagian leher Firman.

Tatapan intens pun tak terhindarkan, mereka membuat jarak dekat bahkan nyaris terkikis pandangan masing-masing netra.

"Kamu jangan berucap 'pisah' 'pisah' melalui mulut kamu, Man." Mira mengingatkan dengan nada bicara pelan. "Aku nggak suka dengarnya."

Mira memanfaatkan kesempatan lagi dengan memberikan jejak pada bibir Firman, kecupan itu sangat singkat dan deru napasnya mulai tak terkendali kala kedua tangannya menyentuh lengan kekar suaminya.

"Kamu ..." Satu kata mengalir begitu saja dari mulutnya, bahkan Firman tak dapat berkata-kata ketika Mira barusan ingin membangkitkan nafsu masing-masing. Biasanya Firman yang lebih dulu melakukan hal tersebut, namun Mira seakan memanggil Firman. Atau bahasa lainnya adalah membujuk Firman, untuk melepaskan gairah yang tertahan dalam diri.

Pandangan Firman kini tak lepas dari pakaian Mira yang dia tebak adalah kaos berbahan tipis. Entah kenapa rasanya kedua tangan ingin menanggalkan kaos tersebut dan bercumbu lebih lanjut dengan Mira.

"Aku nggak mau pisah dari kamu, Man," kata Mira bertekad, sambil mengubah posisinya dan mulai duduk di atas paha Firman. "Meskipun aku berusaha agar enggan berpisah, aku tetap akan mencoba untuk menemani kamu berobat dan memberikan saran supaya trauma kamu bisa pulih. Walau nggak pulih total."

Mereka berdua saling menatap sangat lekat, bahkan kini Mira memegang kedua pipi Firman dan mencium bibir suaminya sekali lagi.

Firman meneguk ludahnya berusaha mengendalikan diri agar tidak terlalu kelepasan, namun apalah daya nafsu mulai membendung pertahanannya kini.

"Mira, kamu ..." Firman memanggil Mira dengan gugup yang mendera. Kedua tangannya kini bergetar, padahal dia berusaha mengangkatnya untuk membantu Mira menanggalkan kaos putih berbahan ringan yang masih digunakan sang istri.

Firman pun menghela napas sebentar untuk mengatur dirinya. Begitu sudah siap, dia sedikit mendongak dan membuat tatapan lebih mendalam pada netra Mira yang mengisyaratkan agar mereka dapat berbuat lebih tanpa hambatan yang menghalangi.

"Kamu sungguh ... buat aku jadi nafsu gini, Mira." Firman benar-benar memulai permainan, dia mengapit tubuh Mira lebih dekat dengannya dan meraih wajah istrinya untuk mencium bibir ranum Mira secara intens.

Mira ke Firman lebih lembut di awal, namun Firman ke Mira justru menggairahkan. Firman bahkan tak ragu-ragu melumat habis bibir Mira, kini kedua tangan Mira lepas dari lengannya dan tubuh mereka menempel.

Setelah ciuman mereka yang intens itu, Mira mengambil alih untuk melemparkan kecupan kecil pada setiap wajah sang suami hingga posisinya pun berpindah di bagian leher jenjang milik Firman. Dia membuat Firman mengerang kencang karena leher tersebut dicecap sangat kuat olehnya.

"Kamu handal melakukannya," puji Firman di sela-sela desahannya. "Aku merasa ... keenakan bila kamu terus-terus menciumi leherku kayak barusan."

"Kamu tidak ada kurangnya di mataku, Man." Mira tak kalah membalas pujian itu, kemudian melanjutkan permainan dengan meminta Firman yang ambil alih.

Firman mulai memeluk tubuh Mira dengan kuat dan menenggelamkan wajahnya di leher Mira dan menyesapnya seperti orang yang kehausan.

Kedua tangannya pun tidak bergetar lagi, dia melepaskan kaos putih ringan milik Mira dan kini tersisa tank top tipis warna abu-abu gelap, pun masih menempel di tubuh Mira. Demikian Firman, kaos dalam yang digunakannya tetap menutupi badan atletisnya.

Tak lama setelah itu, Mira kini leluasa memeluk tubuh kekar Firman dan melingkari kedua tangan di leher sang suami. Mira tak dapat membendung nafsunya kala dirinya mengendalikan permainan sekali lagi. Dia bahkan menjelajahi bagian leher Firman dan mencecapnya kuat-kuat, baik di bagian kiri maupun di kanan.

"Aku matikan televisinya dulu." Firman yang sadar Mira masih ada di atasnya pun mulai mengesampingkan tubuhnya sedikit dan merentangkan tangan untuk mencari remote di atas sofa. Begitu menemukannya, Firman langsung memencet tombol warna merah di pojok kanan remote. Barulah mereka bisa memulai permainan tanpa mendengar suara televisi yang masih memutar film.

Sebelum lanjut ke inti, mereka berdua terdiam saling menatap. Entah apa lagi yang perlu mereka bicarakan selain ingin cepat-cepat menuntaskan nafsu yang tertahan.

Firman membuka mulut, menawarkan sesuatu sambil memandang lamat-lamat Mira. "Lanjut di kamar, atau mau ke unitku?"

Tanpa pikir panjang, Mira langsung membulatkan keputusan. "Nggak usah pindah, di sini aja."

Firman menarik napas pelan lalu membentuk lengkungan bibirnya ringan. "Baiklah, kalau itu mau kamu."

Tidak perlu waktu lama bagi Firman agar bisa mulai melampiaskan nafsunya. Firman memberikan pemanasan terlebih dulu dengan langsung memeluk kuat tubuh mungil Mira, sembari bibirnya menyesap kencang pada bibir Mira, sehingga mereka saling melumat.

Seraya demikian, Mira meraba-raba permukaan sofa di sebelah kanannya, mencari remote kecil untuk mematikan lampu di foyer. Kini tinggal lampu dari luar apartemen yang menghiasi unit.

Mereka menjatuhkan diri di atas sofa dan kini Firman menindih tubuh Mira. Pria itu spontan menatap wajah Mira begitu menjauhkan diri sejenak. Kala mereka terdiam, justru salah satu dari mereka berinisiatif melanjutkan. Beruntung Firman peka dan melakukan apa yang seharusnya.

Selanjutnya deru napas dan desahan memenuhi hening yang menyelimuti, tak lupa geraman dari pria dan wanita yang saling mencumbu itu terdengar kencang. Mereka mengerang terlalu kuat. Tubuh mereka bersatu, keringat mulai membanjiri badan masing-masing. Sungguh mereka menghayati permainan, mereka menikmatinya.

Firman mulai melepaskan satu per satu pakaiannya dan kini hanya boxer yang menutupi tubuh. Dia enggan melakukannya di sofa, apalagi di ruang utama. Dia cuma menanggalkannya jadi hanya bawa diri ke kamar tidur milik Mira.

"Lanjut di kamar," ucap Firman tergesa-gesa lalu menggendong tubuh mungil Mira ala bridal dan melangkah pelan menuju kamar yang tak jauh dari ruang utama.

Di kamar milik Mira, mereka memulai inti. Firman melepas celana pendek sepaha warna merah gelap, lalu naik di atas ranjang dan menghujani kecupan-kecupan kecil di wajah Mira.

Lampu di nakas sengaja tidak nyala agar mereka terhanyut dalam permainan. Kini hanya desahan serta erangan kencang yang mengudara, makin menaikkan gairah mereka. Bayangan mereka yang sedang bergelut di ranjang pun terlihat jelas. Baik Firman dan Mira punya cara tersendiri untuk memuaskan nafsu mereka.

Sejaman mereka 'bermain', bukan lagi desahan yang memenuhi kamar melainkan napas terengah-engah setelah berusaha keras menyalurkan hasrat mereka. Sekarang mereka saling memeluk, dalam posisi Firman berada di atas Mira. Mereka bertaut seakan enggan melepaskan dekapan yang tercipta antara mereka berdua.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top