Bab 43

***

"Mira! Kamu ada di dalam kan?" Kepalan tangan Firman dengan keras menghentak pintu unit 20-7 berulang kali. Firman yang masih mengenakan piyama berwarna biru gelap, terus meneriakkan nama Mira secara nyaring. Pukul 8 pagi, dia sudah berharap Mira akan mempersiapkan bekal untuknya.

Tidak lama kemudian, pintu unit tersebut terbuka perlahan, dan Mira muncul. Wajahnya yang segar dan cerah menjadi kontras dengan kegelapan piyama Firman.

"Loh, Firman? Kenapa kamu malah di sini? Bekalnya belum jadi loh, barusan aku mulai menanak nasi," kata Mira heran, mengabaikan pertanyaan sebelumnya.

Alih-alih menjawab pertanyaan istrinya, Firman yang lebih tinggi dari Mira, dengan cepat melangkah mendekatinya dan meraihnya dalam pelukan. Mira terkejut oleh tindakan Firman yang tiba-tiba. Membuatnya terkesiap.

"Aku kesepian. Boleh aku sambung tidur di unit kamu?" Firman berkata dengan suara lembut, hampir merendahkan suaranya di dekat telinga Mira. "Soalnya aku masih ngantuk."

"Kamu nggak masuk kantor hari ini?" Mira bertanya sambil terkekeh ringan.

"Masuk sih, tapi jam siang. Kebetulan aku dapat izin karena ada janji konsultasi jam 9 pagi. Seperti biasa, temani ya." Firman mengelus lembut puncak kepala Mira. Kemudian, Mira mempersilakannya masuk ke dalam unitnya. Firman duduk di sofa sambil memperhatikan Mira yang sibuk di dapur.

"Aku baru menanak nasi. Duduklah dulu," kata Mira sambil melangkah ke dapur lalu mengikat rambutnya.

Firman memutuskan duduk di sofa, lalu memejamkan kedua matanya ditemani bantal guling yang sengaja dia bawa dari unit sebelah.. Dengan tenang, dia memulai tidurnya di sofa yang lebar itu.

Mira yang sibuk menggoreng nugget, spontan menoleh ke arah ruang utama. Di sana, dia melihat pria berpiyama yang tertidur dengan manja, memeluk guling. Senyum ringan melintas di wajah Mira, lalu mengalihkan fokus pada masakannya.

Bekal yang dia sediakan tidak jauh berbeda dari makanan cepat saji. Mira menggoreng lebih dari lima buah nugget, dan nasi yang dikepal. Dia memastikan semuanya terasa lezat, termasuk nasi kepal yang mana memberikan sentuhan berupa bumbu penyedap dan minyak wijen. Kemudian tak lupa menambahkan rumput laut ke dalam wadah dan membentuk bola-bola nasi.

Setelah bekal siang untuk Firman selesai, Mira menyusunnya dengan rapi dalam satu wadah dan menaruhnya dalam tas kecil.

Saat Mira membereskan kekacauan di dapur, tiba-tiba Mira merasakan ada lengan yang memeluknya dari belakang. Dia mengerjap kaget.

"Fi–Firman? Kok udah bangun aja? Bukannya kamu mau sambung tidur di sini?" Mira bertanya, merasa sedikit malu.

"Aku ingin menghidu aroma tubuh kamu. Boleh?" Firman menjawab lembut, justru balik tanya. "Aku yakin kamu ini wangi banget, apalagi di depan pintu, aku menghirup aroma lavender di baju kamu."

Mira tertawa cekikikan. "Kamu ini ada-ada aja. Mentang-mentang nih aku sudah mandi pagi-pagi banget, terus mau ke sebelah buat kasih kamu bekal. Sepertinya kamu hafal betul nih kalau tiap kali ber bekal, aku tidak pernah menunjukkan wajah bantalku."

"Aku sudah tahu dan sudah hafal," jawab Firman sambil mencuri kesempatan untuk mengecup leher Mira, membuat Mira tertawa karena geli.

"Eh jangan gini dong. Aku mau buat sarapan setelah siapkan bekal buat kamu," kata Mira, mencoba melepaskan tangan Firman yang melingkar di pinggangnya. Namun Firman menggeleng, dia justru merapatkan pelukannya.

"Aku ingin sekali seperti ini dengan istriku sendiri. Masa nggak boleh?" Firman berbicara dengan bisikan, membuat bulu kuduk Mira berdiri tegak.

Bisakah itu dianggap sebagai kalimat romantis pertama yang keluar dari mulut Firman? Terlebih lagi, dengan tulus dia menyebut kata 'istri'. Mira merasa peluang besar terbentang di hadapannya. Tantangan itu sedang berjalan, dan sepertinya itu waktunya buat menunjukkan dirinya sebagai istri yang sesungguhnya di mata Firman.

Mira berbalik, menghadap Firman. Dan dengan perlahan Mira mendekatkan bibirnya ke bibir suaminya. Ciuman mereka berlangsung dengan lembut, seolah-olah mengungkapkan perasaan yang tak terucapkan.

Firman mulai merespons dengan ciuman yang penuh gairah. Mereka bergerak, menjauh dari dapur menuju sofa ruang utama. Pelukan mereka tidak pernah lepas, dan mereka melanjutkan apa yang telah dimulai.

Mira tetap mendekap erat tubuh kekar Firman, dan dalam momen itu, Mira merasa seperti sedang bermimpi. Pria yang begitu tampan dan sempurna berada di hadapannya, dan dia tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Pikirannya tentang dapur dan bekal pun terlupakan, justru tergantikan oleh pesona tak ada habisnya dari Firman. Mira mengabaikan semua hal kecuali sentuhan Firman yang mempesonanya. Suara gemuruh yang tak dapat dihindari mulai terdengar, mengiringi mereka menuju puncak kenikmatan.

Pria yang masih menggunakan piyama itu menghentikan permainan sejenak, menatap lekat Mira yang berada di atasnya. Napasnya sempat tersengal, dalam posisi duduk seperti itu. Dia merasa ada yang ingin diceritakannya pada Mira, itulah maksud kedatangannya.

"Kenapa menatapku begitu?" tanya Mira heran. "Ada sesuatu?"

Firman membuang napasnya perlahan, mencoba mengumpulkan kata-kata. Dia kemudian perlahan-lahan menegakkan tubuhnya.

"Oh iya, Mira. Aku ingin bicara hal yang serius," kata Firman, mengarahkan Mira duduk di sebelahnya di sofa lebar.

"Soal apa?" tanya Mira dengan rasa penasaran yang semakin berkembang.

"Beberapa hari belakangan, bahkan semalam saat aku suruh kamu pulang, aku mengalami mimpi buruk," ungkap Firman dengan suara yang pelan, dan pandangannya turun ke bawah.

Mira menduga bahwa mimpi buruk itu pasti berkaitan dengan Yudi. Siapa lagi yang bisa membuat Firman merasakan mimpi buruk selain pria itu?

"Mimpi buruk seperti apa yang kamu alami selama beberapa hari ini, Man?" Mira bertanya, ingin Firman segera melanjutkan ceritanya.

"Entahlah, seperti sesuatu yang acak. Kadang aku membayangkan anak-anak lain yang mana mereka tidak puas menggangguku. Dan mimpi itu seperti memori masa lalu yang selalu menghantuiku ketika aku sedang melamun atau memejamkan mata," jawab Firman.

Mira meraih punggung tangan Firman, memberinya isyarat untuk menceritakan lebih lanjut.

"Kamu juga ikut dalam mimpi itu." Firman berkata dengan lembut. "Hanya sedikit saja, selebihnya Yudi yang mendominasi."

Mira terdiam saat Firman menyebut bahwa dia juga muncul dalam mimpi buruk yang dialami oleh suaminya. Dia tidak menganggapnya sebagai hal yang aneh atau mengejutkan. Firman masih dalam proses penyembuhan, dan itu adalah bagian dari perjuangan Firman melepas traumanya.

"Kamu sudah minum obat?" Mira bertanya untuk memastikan.

"Obatku sudah habis setelah aku minum semalam. Aku juga belum konsultasi selama sebulan belakangan. Jadi hari ini aku akan pergi konsultasi dan memastikan gimana kondisiku sekarang," jawab Firman disertai helaan napas pelan.

"Aku pikir, kamu sudah sembuh setelah diresepkan obat. Aku ingat loh kondisi kamu baik-baik saja saat lama sekali nggak menjalani konsultasi. Kemungkinan mimpi buruk yang kamu alami belakangan ini memerlukan perhatian lebih," kata Mira, memfokuskan pandangannya pada Firman sambil menggenggam kedua tangan suaminya.

"Baiklah. Hari ini aku akan menemani kamu. Sementara ini, kamu bisa istirahat di sini. Mumpung juga masih jam 7 pagi. Sembari itu, aku mau bikin sarapan. Kalau sarapannya sudah jadi, aku panggil kamu."

Firman mengangguk dan menarik Mira ke dalam pelukannya. Seperti biasanya, saat Firman merasa gelisah, dia selalu mencari kenyamanan dalam pelukan Mira. Itu adalah salah satu cara Mira untuk memberikan dukungan dan ketenangan pada suaminya.

"Sudah lebih baik?" tanya Mira, mengetahui bahwa Firman sedang mencari kenyamanan dalam pelukannya.

Firman hanya menghela nafas sebagai jawaban. Sesekali, dia menyapu pelan tangan di belakang tubuh Mira, memberinya ketenangan yang sangat dibutuhkan.

"Ngomong-ngomong," Firman berbicara setelah melepaskan pelukan mereka. "Masa pernikahan kontrak kita tinggal hampir 2,5 bulan lagi. Nggak terasa sih, apalagi kita makin dekat begini."

Mira tersenyum tipis mendengarnya. Tatapan matanya terus terpaku pada Firman yang semakin bersinar di hadapannya.

"Tetap saja, tantangan atau ujian terus berjalan. Kamu harus siap dalam keadaan apa pun, Mira. Meski aku nggak menginginkan ini, tapi jika PTSD-ku belum sepenuhnya pulih, ya aku minta maaf."

Mira enggan membayangkan skenario seperti itu. Mira harus selalu bertekad untuk menjaga dan membantu Firman sembuh. Maka mereka pun spontan memeluk satu sama lain, dengan Mira yang memimpin kali ini.

"Aku janji, aku akan buat kamu sembuh dan selalu menemani kamu selama masa pemulihan." Mira berucap sambil menghela napas lega, setidaknya dia masih memegang janjinya.

Setelah melepaskan pelukan mereka, Mira pun beranjak ke dapur untuk menyiapkan sarapan ringan. Tidak mengherankan, menu sarapannya adalah roti isi. Sesuai dengan kesukaan Firman dan juga dirinya.

Firman memilih untuk duduk di sofa tanpa berbaring, melipat tangan di dada, dan mulai memejamkan mata. Mungkin cara itu lebih efektif untuk tidur. Dia mengesampingkan bantal guling yang dibawanya barusan Firman menunggu sarapan yang dibuat Mira.

Sementara itu, wanita dengan kaos lengan panjang itu menoleh dari arah dapur. Mira mengulum senyum ringan melihat Firman yang tertidur dalam posisi duduk.

***

Malam telah tiba, dan Firman berjalan sendirian di lorong dekat gedung apartemennya. Setelah menjalani konsultasi, dia sengaja memilih untuk tidak membawa kendaraannya ke kantor, meskipun pagi tadi dia sempat membawa mobilnya ke rumah sakit. Keputusan itu diambil karena Firman merasa diburu oleh waktu.

Firman melintasi sebuah bak sampah, dan tiba-tiba dia merasakan ada yang melemparinya kertas. Benar saja, kertas gulungan bulat itu mendarat di dekat kakinya. Firman terpaku sejenak, lalu berbalik untuk melihat siapa yang berani melempar sampah ke arahnya.

"Kamu nggak lihat ada orang?" tanya Yudi ketus sambil melipat tangannya. "Dari SMA sampai sekarang, masih belum berubah juga. Tetap saja, kamu itu ... lemah."

Firman bersyukur karena telah menjalani berbagai terapi yang membantu mengatasi gangguan kecemasannya. Dia menatap Yudi dengan tajam, tanpa terpengaruh oleh kata-kata provokatifnya.

"Kamu juga ... masih belum berubah." Firman berkata dengan suara rendah. "Terus mencoba menghancurkanku dengan berbagai cara. Nggak capek? Kamu nggak bosan ganggu aku seperti ini?"

"Hmm, kalau dilihat-lihat kamu makin berani sama aku. Harusnya kamu itu ..." Yudi mendekatkan pandangan sambil mendorong telunjuknya pada bahu Firman. "Kamu itu harusnya takut, atau mengalami kecemasan yang berlebih."

"Kamu berharap apa dari hal seperti itu?" tanya Firman bersikap remeh. "Aku nggak bakal terpengaruh. Lagipula aku bukan seperti di awal pertemuan kita di kafe waktu itu. Kini aku makin berani, sekaligu menunjukkan bahwa aku nggak selemah yang kamu kira."

"Trauma yang kamu alami ... sepertinya belum sembuh," tebak Yudi sambil menyilangkan kedua tangan.

Pria yang mengenakan kemeja polos itu sepertinya tidak tahu bahwa Firman mengalami PTSD. Dia hanya menyentuh tema trauma tanpa benar-benar bertanya atau memahami situasi Firman.

"Belum sembuh?" Firman merespons dengan nada meremehkan kata-kata Yudi. "Kalau aku belum sembuh dari traumaku, kenapa aku jadi berangkat ke kantor? Kalau demikian ya seharusnya aku nggak bakal kerja, dan milih di apartemen buat istirahat. Harusnya seperti itu, kan?"

Yudi membalas dengan tawa renyah. "Kamu benar-benar percaya diri, ya? Padahal belum tentu kamu bisa mengendalikan traumamu."

Kepala Yudi condong lebih dekat ke Firman, matanya menatap dengan intensitas yang meningkat. "Aku bisa menebak. Kamu pasti masih terganggu oleh kenangan kelam di masa lalumu, bukan? Seperti saat Mira menyuruh-nyuruh kamu, atau ketika aku memukul kamu di taman. Kamu masih mengingat semuanya, bukan?"

Firman terdiam, membiarkan Yudi berbicara dan membuat asumsi tanpa dasar. Firman tidak teringat lagi insiden-insiden itu, fokusnya saat ini adalah pada proses penyembuhannya. Dengan dukungan Mira, dia berhasil mengendalikan traumanya.

"Kamu salah, Yud. Aku tidak lagi terpikirkan semua itu selama proses terapi." Firman menjawab tegas. "Sampai kapanpun, aku nggak bakal goyah terhadap apa yang kamu lakuin."

"Memang situ yakin?" Yudi seolah meragukan Firman, sambil mengelus permukaan blazer biru yang dikenakan pria di hadapannya. "Itu cuma dugaanmu saja, Pak Firman."

Yudi menjauh dengan langkah-langkah lambat, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. "Ngomong-ngomong aku punya rencana. Aku ingin ... membuat kamu lebih trauma lagi seperti sebelumnya. Tapi aku butuh bukti dari kamu. Jika aku menyerangmu dan membuatmu trauma, apa kamu mampu bertahan?"

Firman tetap diam, membiarkan Yudi menyelesaikan ucapannya. Matanya berkilat menunggu perkataan berikutnya.

"Kamu bahkan tidak berjaga-jaga jika aku bisa saja melukaimu? Sepertinya kamu berpura-pura kuat di depanku, tapi di dalam, kamu takut, bukan?"

Firman bisa saja menahan keremehan Yudi padanya, tapi untuk kata-kata barusan justru memicu amarah Firman yang mulai menaik. Tak ragu, Firman mendorong tubuh Yudi, mendekatinya dengan hati-hati sambil menyandarkan Yudi pada tembok di sekitarnya. Firman spontan melayangkan tonjokannya.

"Dasar sialan!!!" Firman berteriak sembari memberikan kepalan tangannya dan berniat untuk menonjok rahang Yudi.

Namun alih-alih demikian, hanya tarikan napas Firman yang terdengar. Sayang, Firman menahan diri. Dia memilih menatap tajam ke arah pria di depannya.

"Kenapa tidak pukul? Ayo, pukul saja. Pukul. Nih, sudah siap wajahnya dipukul." Dengan tekad, Yudi menampilkan rahangnya yang siap menerima tonjokan.

Firman perlahan melepaskan cengkeramannya pada kemeja Yudi. Dia sadar bahwa dia hampir melakukan sesuatu yang akan memicu pertengkaran lebih lanjut, hampir saja kepalan tangannya mendarat di rahang Yudi.

Firman tahu bahwa mengendalikan kemarahannya adalah jalan terbaik untuknya. Meski dia adalah korban rundungan Yudi, dia tetap enggan mencari masalah. Walau Yudi sendiri yang memantik api dan berkobar pada dirinya.

"Kuingatkan kamu." Firman masih menunjukkan ketegangan dalam suaranya yang mulai merendah. "Jangan ganggu aku atau Mira. Kalau kamu berbuat nekat dengan mengikuti kami sampai di apartemen, aku nggak akan segan-segan melaporkan kamu."

"Silakan. Lagipula kamu nggak punya bukti jika kau mengikuti kalian, kan?" Yudi menantang.

"Jaga omongan kamu." Firman menunjuk sambil terus menatap tajam Yudi. "Kalau kamu masih mau membual, aku akan langsung tonjok kamu dan buat kamu terluka. Aku nggak lemah seperti yang kamu duga. Ngerti kamu?"

Setelah mengingatkan Yudi, pria dengan tas samping itu beranjak dari tempat tersebut kemudian berjalan pelan menjauhi Yudi yang masih berdiri menyandar tembok.

Yudi mendecih begitu melihat Firman melangkahkan kaki dengan cepat. "Bukan main. Dia seakan-akan ingin menunjukkan dirinya sebagai jagoan. Bukan berarti kamu bisa percaya diri seperti itu, Firman. Aku masih harus merencanakan permainan selanjutnya. Buat membuktikan sekali lagi, apa kamu benar-benar lemah atau kamu bisa melawanku?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top