Bab 42
***
Awal semester, kelas 11
Semenjak pindah sekolah, Yudi merasakan banyak perubahan. Termasuk relasinya yang kadang banyak kadang juga sedikit. Namun di sekolah barunya dia hanya mendapatkan satu orang teman. Pun dari siswa terpintar di sekolah, namanya Firman Setiawan.
Yudi mengakui bahwa Firman memang cerdas, bahkan semua pelajaran pun dia kuasai. Sampai suatu ketika Yudi sering memerhatikan Firman duduk di bawah pohon sambil mengerjakan tugas sekolah. Malahan setiap jam istirahat, Firman kedapatan terus menulis soal di buku yang berbeda. Apakah Firman dikerjai oleh salah seorang teman? Yudi bahkan belum kenal betul sahabat yang sering duduk di bangku depan itu.
Saat jam pelajaran Kimia selesai, Yudi spontan melihat Firman yang berdiri dari kursi dan terburu-buru memeluk buku tulis seraya membawa pouch kecil berisi alat-alat tulis. Yudi mengikuti Firman dan memandang sahabatnya itu sedang meregangkan kedua tangan di bawah pohon, hingga tak sadar kacamata milik Firman terjatuh ke bawah.
Firman berusaha mengambil kacamata miliknya, namun Yudi justru bergerak cepat meraih alat penglihatan tersebut.
"Ini punyamu?" tanya murid laki-laki dengan suara cempreng. Lalu kacamata yang dipegangnya disodorkan pada empunya.
Tak lupa, Yudi dengan rambut model koma itu tersenyum ke arah Firman yang gelagapan dan memasang wajah kebingungan.
"I--Iya." Firman meraih kacamata dengan gagang warna hitam kemudian memakaikannya di kedua mata.
"Pasti nama kamu Firman, kan? Kata teman-teman, kamu sering banget bertanya pada guru." Siswa yang menggunakan rompi sekolah itu mulai mengambil tempat di samping Firman, seraya ingin akrab lebih lanjut dengan Firman. "Kamu pasti belum kenal siapa aku, kan? Waktu aku pindah ke sini, kamu nggak datang karena sakit. Dan aku lihat potensi kamu di sekolah ini."
Melihat salah seorang teman yang antusias ingin kenal lebih jauh dengannya membuat Firman hanya melenggut ringan sambil menahan rasa gugup.
"Kita sekelas tapi nggak saling kenal, juga nggak saling bicara. Kalau begitu ayo kita kenalan." Yudi langsung mengulurkan tangan tepat di hadapan Firman. "Namaku Yudi Prasteya. Belum lama ini aku pindah ke sekolah ini."
Firman termangu menatap lelaki yang bernama Yudi itu tersenyum cerah di hadapannya. Tanpa ragu, Firman membalas uluran tersebut. Senyum ringannya dia pasang untuk menghargai Yudi yang merepotkan diri duduk di sampingnya serta mengembalikan kacamata miliknya barusan.
***
Masa lalu tetaplah hanya masa lalu. Yudi ingat betul pertemuan pertamanya dengan Firman. Sejak pindah sekolah, Yudi mendapatkan teman yang begitu baik seperti Firman. Tetapi lagi-lagi karena ambisinya justru menutupi semuanya.
Ketika tahu Firman lebih pintar darinya bahkan merebut posisi yang seharusnya bisa dia dapatkan, membuat Yudi membenci Firman sepenuhnya. Hanya sekejap saja dia bersikap lunak pada Firman, selebihnya hanya iri hati yang mendominasi.
Yudi memang egois, lebih mementingkan dirinya. Namun apalah daya ketika didesak orang tuanya untuk menjadi yang terbaik, berbagai cara pun dia lakukan. Termasuk membuat Firman tidak berdaya.
Harusnya Yudi tidak peduli dan fokus terhadap pengembangan dirinya. Tapi pernah sekali Yudi dipukuli sang ayah hanya karena mendapatkan nilai yang tidak sesuai ekspektasi. Jadilah Yudi seperti sekarang. Bahkan dia tidak peduli lagi mana benar mana salah. Ambisinya yang terus mendorong dirinya hingga kini.
Yudi berada di gedung A apartemen tempat tinggal Mira dan Firman. Tentu dengan tujuan memata-matai mereka. Langkah awal, dia berjaga di parkiran basement di lantai dua. Lagi-lagi dia mendapatkan informasi pribadi Firman, termasuk mobil yang digunakan.
Yudi yang tengah menggunakan masker warna hitam serta jaket kain warna biru itu membuat gerak-gerik seakan mengelabui penjaga keamanan yang bertugas. Tentu dia pura-pura mencari mobil yang terparkir di situ agar tidak ditanya oleh satpam.
Bingo, Yudi pun menemukan suami-istri yang berpegangan tangan sedang berjalan keluar dari area lift lantai dua. Yudi memasang tatapannya, sambil mengeluarkan ponsel dari dalam saku jaket.
Yudi mengarahkan kameranya dan memotret foto mobil sedan milik Firman tersebut. Lalu mengirimkannya pada Mira secepat mungkin.
Kedua ibu jarinya mengetikkan sesuatu yang membuat seringai Yudi terpatri. Mungkin saja dengan cara barusan, dapat membuat Mira terancam. Terlebih, Yudi akan menyusun rencana agar Mira sengsara demikian juga Firman. Tentu dia lebih memprioritaskan Firman, sebab Firman-lah yang akan paling menderita di tangannya.
Tidak lama setelah mengirimkan foto beserta ancaman pada Mira, muncul satu balasan hanya dalam waktu beberapa detik. Kebetulan dirinya melangkah keluar dari parkiran basement melalui turunan. Yudi langsung membaca balasan dari Mira dengan cepat.
(Kamu jangan coba-coba nekat, Yud. Aku tahu kamu akan merencanakan sesuatu supaya Firman menderita, kan? Aku bisa baca permainan busukmu itu, Yud.)
Melewati lorong akses menuju depan pintu gedung A, Yudi hanya bisa tersenyum miring sembari langkahnya terus terayun dan mulai berpapasan dengan satpam yang bertugas. Kemudian Yudi berbelok ke arah kafe apartemen untuk membeli sesuatu.
Pandangannya teralihkan antara barista di depannya dengan ponsel di sebelah kanannya.
Tak lama Mira kembali membalas pesannya.
(Kalau kamu mau macam-macam denganku atau Firman, ingat. Aku masih ada Lexi yang bisa membuatmu bungkam.)
Lexi. Lexi terdengar asing menurutnya. Bukankah Lexi yang menjadi ketua geng perundungan, di mana geng tersebut sering merundung dan memalak para murid di sekolahnya dulu? Bahkan Mira ikut-ikutan, dan yang terparah adalah Firman menjadi korban rundungan mereka.
Di saat dewasa pun, Mira dan Lexi tetaplah teman. Yudi tidak menyangka saja. Bahkan mereka sepakat berdamai dengan Firman kala itu.
Lagi-lagi teringat masa lalu. Yudi terus saja diajak ke masa di mana dirinya mulai menimbul benci pada Firman, saat Firman terus diperhatikan oleh guru sementara dirinya tidak. Membuat Yudi benar-benar merasa iri.
Gara-gara hal tersebut pula, Yudi ikut merundung Firman. Dia tak segan menendang bahkan merusak kacamata Firman yang entah keberapa kali Firman beli ulang untuk mengganti kacamata sebelumnya yang sebelumnya dia rusaki.
"Silakan kopi Anda."
Atensi Yudi pada ponsel teralih saat barista menyodorkan pesanan kopi miliknya. Yudi memutuskan duduk di meja kecil yang menempel di tembok, sambil tangannya terus mengusap layar ponsel.
Kesampingkan Mira, jarinya mengarah kepada grup rahasia yang mana berisi dirinya beserta beberapa anak buahnya. Salah satunya terlampir foto di mana Firman sedang duduk sendirian di sebuah kafe.
(Firman sedang mengantar istrinya. Tapi kenapa dia justru duduk seorang diri ya?)
Yudi mendengus pelan sambil menggelengkan kepala. Sungguh, jika anak buahnya ada di depan Yudi sekarang, bisa saja tonjokan lepas begitu saja dan menghiasi rahang. Kenapa otaknya tidak digunakan untuk berpikir? Bisa saja Firman hanya sebatas sopir, sebab Mira punya urusan. Yudi membesarkan foto Firman yang terus menengok ke sebelah kiri. Mungkin sedang memandang Mira yang duduk di meja berbeda.
Entah hanya dugaannya saja atau bagaimana, tapi dari jepretan foto anak buahnya tidaklah salah.
Yudi mulai menghabiskan waktunya di kafe tersebut hingga tak terasa 30 menit berlalu. Kembali grup obrolan menciptakan pesan baru. Ada satu foto tambahan yang menampilkan Firman bersama Mira juga wanita muda rambut pendek sebahu.
Yudi memang sudah menduga, Mira ketemu seseorang dan Firman yang mengantarnya.
Baiklah, mungkin Yudi tidak perlu gegabah untuk menjalankan rencananya, dia masih harus menyusun rapi agar tidak ke mana-mana nantinya.
Sembari memiringkan senyumannya, Yudi pun mengetik sesuatu di obrolan grup tersebut.
(Kalian pulanglah. Besok pagi kita ke kafe biasa. Kita susun rencana. Harus tepat waktu. Ini soal Firman dan sangat penting.)
***
Firman duduk di meja makan, berseberangan dengan Mira. Setelah mengantar Shinta ke rumah sang mertua, tepat jam 11 malam, mereka memfokuskan atensi kepada layar ponsel. Firman tentunya mengecek pekerjaan yang tersisa, sementara Mira hanya memantau sosial media.
"Ngomong-ngomong, Mira." Firman mulai membuka mulut, berbasa-basi sebentar. "Kenapa kamu terus gelisah sejak kuantar menemui adikmu? Bahkan saat pulang pun, kamu seperti panik gitu. Ada sesuatu?"
Mira menurunkan pandangannya, matanya bergerak perlahan kepada wajah Firman yang berinteraksi padanya. Entah bagaimana caranya Mira membagikan kebenaran kepada suaminya. Sebisa mungkin, dia ingin menghindari kata-kata yang seharusnya tak perlu terucap. Foto-foto yang Yudi kirim padanya menyampaikan pesan yang tak terbantahkan, yaitu anak buah Yudi telah mengintai Mira dan Firman sepanjang waktu.
Jika saja Mira memiliki keberanian untuk berbicara, dia tahu betul bahwa mendengar hal tersebut nantinya Firman bakal memeluknya erat. Tentu dia ingat bagaimana gejala-gejala trauma sering kali merayap ke wajah suaminya saat mendengar tentang hal-hal yang mendatangkan kecemasan. Firman selalu mencoba berpura-pura kuat, tetapi Mira melihat kerentanannya.
"Emm ... sebenarnya ..." Mira terhenti sejenak, mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan yang sebenarnya. Jarinya bergerak-gerak di pangkuannya, mencoba mengusir ketidaknyamanan yang menghantui. "Aku mendapat teror dari Yudi."
Mira tidak hanya sekadar berucap, dia juga memilih untuk menunjukkan bukti yang dipegangnya. Dia menyodorkan beberapa foto yang Yudi dan anak buahnya ambil pada Firman.
"Yudi mengikuti kita sejak awal, bahkan saat kita pergi dari apartemen. Dan anak buahnya memotretmu saat kita sedang ngopi."
Firman memandang salah satu foto, mengenali dirinya yang sedang menoleh ke kiri. Di belakang mereka, tangan Firman mencengkeram erat tangan Mira. Di belakang mereka ada Shinta, adik Mira.
"Yudi makin menggila," komentar Firman, yang membuat Mira merasa lega. Setidaknya Firman tidak mengalami gejala-gejala yang biasa timbul.
"Kenapa Yudi bisa tahu kita berdua? Padahal, kita tidak pernah beri tahu apa pun ke dia." Firman mengernyit heran, matanya mencari jawaban dalam dirinya sendiri.
"Aku juga ... nggak tahu kenapa dia bisa senekat itu mencari informasi tentang kita." Mira menjawab pertanyaan Firman dengan wajah serius, meskipun sebenarnya dia menyimpan alasan di dalam hatinya. Dia merasa perlu melindungi Firman dari pikiran-pikiran negatif yang mungkin muncul.
Mira menelan saliva, sekali lagi mengusir kegugupannya. Sebenarnya dia tahu alasannya, hanya dia tutupi saja agar Firman tak berpikir omong kosong. Khawatir bila Firman berasumsi yang buruk-buruk pada dirinya.
"Sebaiknya kita berjaga-jaga, Mir," Firman menyarankan dengan bijaksana. "Karena Yudi mengintai kita, maka lebih baik kita jaga-jaga. Kita nggak akan tahu Yudi bakal seperti apa. Ambisinya belum habis-habis, dia belum puas terhadapku. Dia akan terus berusaha agar ambisinya tercapai."
Benar kata Firman. Yudi tetap memendam obsesi untuk menghancurkan Firman, dan Mira merasa perlu waspada jika Yudi benar-benar berniat berbuat lebih lanjut. Namun, Mira juga merasa bahwa dengan kehadiran Lexi, Yudi mungkin akan berpikir dua kali sebelum bertindak.
"Pulanglah ke sebelah, aku mau istirahat." Firman berdiri dari kursinya, spontan menarik pergelangan tangan Mira. Beruntungnya Firman tidak terlalu gegabah mengusir Mira dari unitnya, justru dia melakukannya dengan lembut.
"Oh iya, Man. Aku melupakan sesuatu," kata Mira begitu mereka berdua berdiri di belakang pintu.
"Apa itu?" tanya Firman penasaran, lalu sedetik kemudian Mira mengecup bibir Firman singkat, memberikan jejak di bagian itu.
"Selamat malam." Mira mengucapkan hal tersebut dengan bisikan penuh menggoda.
Spontan Firman menarik lengkungan bibirnya dan mulai tersenyum merekah. Saat melihat Mira menarik kenop pintu begitu menggunakan alas kaki, Firman langsung menahan tangan Mira dan mulai membalas perlakuan Mira barusan.
Bibir lembut Firman mulai menyapa mulutnya, membuat Mira seakan terbawa suasana. Namun beberapa saat, Firman mulai melumat bibir ranum Mira bahkan tangannya bergerak menahan tengkuk leher Mira. Seperti enggan melepas tautan bibir itu.
Firman melakukannya lebih lama dari sebelumnya. Beruntung kurang dari dua menit, Firman langsung melepasnya dan membuat tatapan mata pada Mira sebentar lalu membiarkan Mira keluar dari unitnya.
Saat berada di ambang pintu, Mira mulai melambaikan tangan pelan sambil tersenyum ringan.
"Selamat malam, Mira." Firman balas melambaikan tangannya pula. Pria itu tak henti-henti memberikan senyumannya pada Mira.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top