Bab 41
***
Tersisa tiga bulan pernikahan mereka, Mira makin was-was terhadap kondisi rumah tangganya ke depan. Bisa saja kata-kata Firman tentang tidak ingin pisah adalah hal yang mudah terucap. Namun Mira tidak tahu saja bila berada pada situasi sulit, bakal mudah pula Firman mengucap pisah.
Harap saja tidak ada yang menyulitkan mereka. Apalagi Yudi yang kemungkinan besar sedang menyusun rencana. Entah itu hanya pikirannya saja, Mira justru berpikir yang bukan-bukan.
Untuk sesi belajar, masih dilakukan hingga sekarang. Bahkan pembelajaran kali ini masuk sesi latihan. Tentunya Mira diberi pembekalan agar tidak rumit nantinya memilih spesialisasinya.
Firman yang sedang mengenakan kemeja biru gelap dan kacamata yang terpasang di kedua mata, mendadak memberikan berlembar-lembar kertas yang berisi dokumen kepada Mira. Seperti biasa posisi duduk mereka bersila.
Mira terkesiap saat wajah cerah Firman terpatri, bahkan kertas tersebut masih tersodor di depan wajahnya tanpa mengambilnya secara cepat.
"Apa ini, Firman?" tanya Mira penasaran.
"Impression dari iklan yang kamu buat," jawab Firman menjelaskan. "Iklan pertama di Instagram, terus kamu buat copy untuk Email Marketing dari kata-kata kamu sendiri. Banyak yang tertarik melihatnya. Coba kamu buka."
Dengan perlahan, Mira mengangkat satu tangannya lalu meraih dokumen itu dan membaca grafik-grafik tersebut dengan baik. Firman bahkan membandingkan impression yang dibuat tim FoodBeary dengan buatannya sendiri. Memang benar, lebih naik punya dirinya.
"Tapi maaf, Mir. Aku nggak bilang ke orang kantor kalau itu buatan kamu. Aku bilang kalau itu murni buatanku, kemudian dikerjakan sebagian oleh orang anonim, kepercayaanku pokoknya. Tetap saja sih, disempurnakan sama timku. Lalu ditinjau oleh manajer. Aku tinggal menerima hasilnya saja."
Mira hanya mengangguk kemudian membalikkan beberapa dokumen, melihat statistik yang telah digambarkan Firman sedetail-detailnya.
"Yang penting, kamu sudah bekerja keras membuat orang-orang tahu kalau FoodBeary punya layanan terbaru. Sehingga banyak yang memberikan feedback baik di ulasan aplikasi maupun web."
Tak ragu Firman memegang kepala Mira kemudian mengacak rambut halus itu dengan gemas.
"Kamu sudah kerja keras, Mir."
Sekilas senyuman Mira mendadak terpatri. Menerima perlakuan manis Firman yang selalu dia dapatkan.
"Pertemuan hari ini aku cukupkan. Tidak ada tugas ke depannya. Sesi belajar diadakan lusa. Istirahatlah." Firman mengucapkan kata andalannya setiap selesai sesi belajar.
Saat Firman berdiri dari posisi duduknya barusan, Mira ikut berdiri dan tiba-tiba mengikuti langkah Firman dengan cepat. Mendadak, Mira melingkarkan kedua tangannya di pinggang Firman. Memeluk suaminya dari belakang.
Firman terpaku di posisi tersebut, perlahan menoleh ke arah belakang di mana Mira mulai nyaman memeluknya.
"Mira? Ada sesuatu?" tanya Firman hati-hati. "Tampaknya kamu sangat bahagia hari ini."
Mira tidak menjawab, hanya desahan pelan yang keluar di mulut.
"Aku cuma ... terima kasih selama tiga bulan lebih, kamu menjadi guruku. Sabar melatihku sampai bisa membuat iklan sendiri. Juga, aku hafal menjalankan tools-tools untuk membuat iklan itu. Bahkan aku belajar dengan giat tentang SEO atau SEM, berkat kamu."
"Itu kan impian kamu untuk mengejar bidang digital marketing. Justru yang kulakukan adalah membantu kamu agar bisa memilih, di spesialisasi mana kamu akan suka dan lebih nyaman kamu jalani."
Firman sempat ingat saat masa SMA, dia dipaksa Mira mengajarkan berbagai macam pelajaran padanya. Terlebih dia dan Mira sekelas, jadinya tiap hari meladeni Mira yang kadang mendesak untuk memberikan sedikit ilmunya.
Tapi lihatlah sekarang, Mira benar-benar niat diajari. Mungkin saja dulu Mira juga mendengarkan setiap paparannya bahkan membantunya menuliskan cara untuk mendapatkan jawabannya. Namun yang pasti, Mira sangat bersemangat di setiap sesi belajar. Apalagi pendekatan yang intens seperti yang dia lakukan padanya kini.
"Mira." Pria itu berbalik menghadap Mira sambil melepas kacamatanya. "Sebagai hadiah karena kamu sudah membuat timku bangga, aku punya sesuatu buatmu."
"Apa itu?" Wanita hoodie merah muda itu memancarkan binar di mata, penasaran apa hadiah yang diberikan Firman. Mungkinkah hadiah fisik yang diucapkan melalui kata-kata, atau sesuatu lainnya?
Mira terperanjat ketika Firman memberikan jejak di bibirnya. Bahkan durasi ciuman mereka terbilang agak lama, sekitar 15 detik.
"Itu hadiahnya."
Sebenarnya Mira terbiasa mendapatkan perlakuan itu saat berada di situasi bahagia, namun entah kenapa Firman melakukannya benar-benar murni dari dalam hati. Seolah beranggapan bahwa Firman sungguh tulus menyayangi Mira. Bahkan lebih tulus dibanding sebelumnya.
"Apa cuma itu? Hadiahnya nggak seru." Mira pura-pura ngambek demi mendapatkan perhatian pria di depannya.
Tentu Mira berhasil membujuk Firman melakukan hal lebih. Firman langsung saja merengkuh erat tubuh Mira. Posisinya kini sedang membungkuk sedikit sebab tingginya melebihi dagu Mira sekarang.
"Kalau kupeluk begini, kamu merasa hangat?" tanya Firman memastikan.
"Tambah hangat karena aku juga pakai hoodie. Tapi ini hangatnya benar-benar bikin aku nyaman."
Mira sadar pendingin ruangan di unit 20-6 benar-benar dingin, apalagi suhunya 21 derajat. Ditambah bagian fan yang di-setting terlalu kencang, membuat Mira sempat tidak menahan angin yang menusuk kulitnya hingga nyaris menggigil.
Berbanding yang dirasakannya barusan, tubuh kekar Firman justru menghangatkannya. Dia benar-benar menikmati pelukan itu selama hampir dua menit, hingga Firman perlahan menjauhi tubuhnya.
Dering ponsel di saku jaket Mira membuyarkan hening sejenak. Mira langsung merogohnya dan ternyata sang adik menelepon.
"Dari siapa?" tanya Firman begitu melihat wajah kebingungan Mira.
"Adikku, Shinta. Mungkin hari ini dia sudah sampai, setelah sebelumnya mau berangkat ke Jakarta dari Surabaya."
"Angkatlah. Siapa tahu penting."
Mira menurut kemudian melangkah kecil menuju dapur untuk mengangkat telepon dari sang adik.
"Halo, Shinta? Kamu sudah sampai?" tanya Mira langsung pada inti.
"Iya, Kak. Dari bandara langsung pergi ke suatu tempat, aku ada di kafe. Ayo kita ketemuan. Tempatnya kukirim lewat WA."
Mendengar antusias adiknya tiba-tiba membuat Mira termangu.
"Ketemuan? Apa nggak langsung ke rumahnya ayah dan ibu?"
"Hei, Kak. Kita nggak ketemu hampir dua tahun loh. Ayolah, Kak. Aku juga mau bicara sesuatu, nih."
Mira sempat bergeming, entah perkataan apa lagi yang perlu dia lontarkan pada sang adik.
"Kak? Kok diam?" tanya Shinta di seberang telepon.
"Iya. Iya. Kakak akan menemuimu. Tolong sharelock ya." Mira memutuskan panggilan, sambil menghela napas pelan.
"Adikmu menyuruhmu temui dia?" tanya Firman yang sejak tadi menyimak Mira serius di telepon. "Kalau iya, aku antar kamu."
Mira menoleh terkejut, langsung mengibaskan tangannya. "Nggak usah, Man. Kamu istirahat saja, aku bisa naik taksi daring sendirian."
"Mira Hartono." Firman memegangi pundak Mira, tak rau menyebut nama lengkap Mira dengan suaranya yang berat. "Bahaya loh naik taksi sendirian. Apalagi kamu wanita, dan rentan mendapatkan hal-hal tidak diinginkan. Aku nggak bisa biarin kamu pergi sendiri. Aku antar kamu sekarang."
"Tapi ..."
"Aku ambil kunci mobil dulu."
Dengan cepatnya Firman melenggang pergi menuju kamar, sementara Mira hanya bisa diam.
Harusnya Mira tidak perlu merepotkan Firman. Apalagi barusan suaminya duduk bersila dua jam untuk memberikan materi spesialisasi. Kini Mira malah merasa kurang enak, membuat Firman menjadi sopir dadakannya.
"Ayo. Kuantar." Firman bersuara. Dia berganti pakaian dengan jaket berbahan kain lengan panjang serta kaos oblong putih sebagai dalaman. Tidak lupa Firman memeluk benda pipih berbentuk persegi panjang yang Mira yakini sebagai laptop.
"Jangan bengong, Mira. Sekalian juga kan aku mau ngopi di kafe tempat adikmu ngajak ketemu. Ada pekerjaan juga yang harus aku selesaikan, biar kamu tenang ngobrolnya."
Seperti ditarik oleh sesuatu, Mira mengikuti langkah Firman keluar dari unit apartemen. Hanya berbekal sandal tutup, Mira berjalan mengekori Firman setelah menutup pintu apartemen lalu berdiri di depan area lift menunggu pintu tersebut terbuka lebar.
"Kamu sudah minum obat?" tanya Mira memastikan, sambil menoleh ke sebelah kanan. Tentu dia tidak lupa dengan rutinitas tersebut, setelah memantau kondisi psikologis Firman sering-sering.
"Aku bawa sekalian obatku di tas kecil yang kubawa," jawab Firman menunjukkan tas jenis waist pada Mira.
"Lagipula kalau masih sakit, ngapain repot mengantarku?" Mira menautkan tangan sebelah kiri Firman. "Atau aku bilang aja besok ketemuannya. Pasti adikku akan memaklumi."
"Kita juga telanjur keluar, dan takutnya nanti adik kamu bakal kecewa. Jadi sudahlah, kamu pokoknya harus ketemu dengan adik kamu. Siapa tahu dia mau melepas rindu sama kamu," desak Firman dengan lembut.
Mira memang menyadari dia jarang bertemu dengan adik perempuannya itu. Sejak Shinta kuliah di luar kota, mereka bahkan tak pernah bertukar kabar baik di via telepon. Mengetahui Shinta libur, harusnya Mira bisa memanfaatkan kesempatan untuk saling bertemu.
"Ayo, Mira." Firman mengajak begitu pintu lift terbuka lebar. Mereka berjalan beriringan memasuki lift.
Begitu sampai di lantai dua tempat akses menuju parkiran basement, Firman menyalakan alarm mobil yang terparkir tak jauh dari pos keamanan. Segera Firman lebih dulu naik dan Mira ikut sambil langsung memasang sabuk pengaman.
"Ngapain kamu merasa nggak enakan gitu, Mir?" tanya Firman saat sedang menyalakan mesin mobilnya. "Lagipula aku cuma mengantarmu supaya tidak terjadi apa-apa padamu. Kalau sampai demikian, bisa-bisa aku yang repot. Masalah jadi panjang."
"Harusnya kamu istirahat. Aku nggak apa-apa, kok."
Firman menarik napas keras, seakan ingin menyulutkan amarah. Tetap saja Mira keras kepala, sama seperti yang sudah-sudah.
"Jangan dipikirkan lagi, Mira. Daripada aku atau adikmu nanti yang bakal repot, mending aku antar. Kamu harus buat adikmu tidak kecewa." Firman bertutur lembut kini, bahkan dia mulai memutar kemudinya keluar dari area parkiran.
Mobilnya melaju sebentar mengikuti arahan jalan, kemudian melewati area drop off gedung A dan sampai di palang pintu. Firman hanya menempelkan kartu parkir miliknya sebagai penghuni lalu palang terangkat ke atas.
Saat di jalan, Mira sempat mendapatkan pesan namun tidak dibaca sebab perhatiannya teralih pada Firman yang memancingnya untuk mengobrol. Begitu hening, Mira mulai membuka ponsel dan niat membaca pesan tersebut.
Spontan bola mata Mira membesar. Seseorang mengirimi gambar mobil yang terparkir. Sekilas mobil itu sama dengan mobil yang dia tumpangi sekarang.
Lalu di bawah gambar yang terlampir, ada kata-kata yang tertulis namun memicu ketakutan berlebih bagi Mira.
(Halo, Mira Hartono. Coba tebak. Aku ada di mana sekarang? Di gedung A apartemenmu. Sepertinya kamu lagi ada urusan bareng suamimu. Ah, bukan. Si lemah. Iya, kamu dan si lemah kompak juga ternyata. Apa kamu sudah bisa nebak, apa yang akan kulakukan?)
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top