Bab 40

***

Masa sekolah

Lebih tepatnya saat di mana kondisi Firman mulai membaik setelah insiden pemukulan yang dilakukan Yudi. Lelaki itu sedang menunggu di depan gerbang sekolah, ada bangku yang tersedia. Firman melamun sembari menunggu jemputan ayahnya.

"Firman!" panggil seorang siswi berjaket hitam merah dengan riang. Lalu gadis rambut panjang bergelombang itu menghampiri Firman yang kebingungan.

"Lagi nunggu jemputan ya?" tanya Mira lalu melenggang duduk di samping Firman. "Aku juga sedang menunggu ayahku menjemput. Kebetulan nih, kita barengan nunggunya."

Firman hanya terdiam sambil menghela napas pelan. Dia tak membuka mulut sama sekali.

"Kamu tidak apa-apa?" Mira bertanya kembali, justru membuat Firman mengernyit kening.

"Apanya yang tidak apa-apa?"

"Perut dan dadamu. Yudi memukul di area itu."

Perlahan-lahan Firman tahu maksud Mira, padahal dia sendiri sudah melupakan kejadian pemukulan di dekat taman belakang gedung kelasnya.

"Baik-baik saja kok. Aku juga sudah dibawa ke klinik oleh ayahku." Firman menanggapi biasa.

"Terus, ayahmu respon apa soal pemukulan itu?" Mira terus berbasa-basi guna mengusir keheningan.

"Aku nggak jujur pada ayahku, lebih tepatnya keluargaku. Aku cuma bilang ... aku kesandung sesuatu di sekolah. Tepat mengenai perut dan dadaku."

Mira mendengus seolah jawaban itu tidak memuaskan rasa penasarannya.

"Jadi kamu bohong ke keluarga kamu kalau kamu dipukul?" tanya Mira seperti menyayangkan sikap Firman yang memilih menutupi kejadian sebenarnya.

"Kalau aku jujur gimana? Bisa-bisa ayahku akan marah-marah nggak jelas di ruang BK lagi."

"Kamu ini terlalu baik sama orang yang pernah menyakitimu." Mira menggeserkan sedikit tubuhnya dan memberikan jarak yang dekat. "Harusnya tuh, kamu kasih tahu aja semuanya. Bahkan sama ayah kamu. Nggak apa-apa, biarin si Yudi kena marah. Enak kan?"

Firman mendesah gelisah sebagai balasan. Dia merasa apa yang disarankan Mira terlalu gegabah. Bukannya tidak ingin cerita yang sebenarnya, tapi dia sungguh menjaga perasaan keluarganya begitu tahu dia mendapatkan perundungan beberapa kali di sekolah. Sudah cukup dengan luka-luka yang tercipta sebelumnya sehingga mereka membaca apa yang terjadi padanya. Akan lebih baik jika dia tidak menciptakan huru-hara yang bakal merembet masalah lainnya.

"Tunggu, ada luka di pergelangan tanganmu." Mira menyadari cairan merah segar mengalir ketika Firman menggelung seragam sekolah lengan panjang di sebelah kiri. "Kamu diapain sama siapa lagi, hah?"

Mira spontan menarik tangan Firman dengan kencang lalu memicingkan pandangannya di situ. Seperti goresan luka yang cukup besar. Mira berdecak kesal. Bisa-bisanya Firman disakiti lagi? Tapi dia enggan menyemburkan amarah sebelum tahu siapa orang yang tega melakukan itu.

"Katakan padaku. Siapa yang buat kamu begini?" tanya Mira serius sambil mendengus kesal.

Firman hanya terdiam, mengatup mulut. Tak ingin menjawab apa-apa.

"Atau jangan-jangan, ulah Yudi?" tebak Mira. Namun Firman terus diam, bahkan menoleh ke arah lain. Enggan menatap Mira yang nyaris tersulut amarah.

"Tunggu sebentar, aku punya obat merah. Kebetulan kubawa, soalnya buat jaga-jaga siapa tahu kamu terluka." Mira membuka kantong kecil di tas warna merah muda dan merogoh isinya.

"Kamu benar-benar niat membeli itu cuma buat memastikan aku terluka atau tidak?" tanya Firman heran.

"Bukan apa-apa. Aku beli juga buat ngobatin luka yang dialami anak buahnya Lexi saat terjadi pertengkaran itu," jawab Mira seolah meyakinkan Firman bahwa dia tidak ada maksud tertentu membeli obat tersebut.

"Sini, aku lihat lukanya lagi." Mira menarik tangan Firman, kemudian membuka tutup obat merah itu. "Sebelumnya, aku kasih sedikit alkohol dulu biar membersihkan darahnya."

Mira mengambil kapas bentuk segi empat dari kemasan, lalu meneteskan alkohol dua kali kemudian menyapukannya pelan di area terluka itu.

Saat dirasa sudah bersih, Mira pun menuangkan sedikit obat merah dengan hati-hati.

"Sakit!" Firman merintih, seraya menahan rasa sakit yang dia rasakan. "Pelan-pelan."

"Iya. Tahan ya." Mira mencoba menenangkan, lalu dengan telunjuknya menyapukan obat tersebut agar permukaan luka teroles sempurna.

"Kalau kamu diapa-apain lagi sama Yudi atau siapapun itu, plis. Bilang ke aku ya. Aku kan sudah menyelamatkan kamu di belakang sekolah. Terlebih, kamu nyaris saja mati dipukuli Yudi dan anak buahnya."

Firman merasa egois, kadang selalu menjaga jarak dari Mira. Meski berdamai pun, rasanya canggung bila berteman dengan orang yang pernah merundungnya dulu. Kalau dipikir-pikir, rasanya tidak masalah juga menerima bantuan dari gadis itu. Pun hanya Mira dan Lexi yang baik, selain Dimas yang merupakan teman sebangkunya.

Mobil sedan warna merah gelap kini menepi di depan mereka. Itu jemputannya Mira. Gadis tersebut langsung memasang wajah ceria ketika sang ayah membuka jendela.

"Aku duluan ya, Firman. Ingat pesanku tadi, ya." Mira menepuk bahu lebar lelaki itu kemudian beringsut masuk dalam mobil, duduk di samping jok pengemudi.

Mira melambaikan tangan sebelum mobil sedan benar-benar meninggalkan wilayah sekolah. Kini di bangku itu tinggal Firman yang duduk seorang diri.

Baru menyadari bahwa semua teman sekolahnya sudah pulang ke rumah masing-masing. Mungkin saja tinggal Firman yang belum dijemput. Apa ayahnya ada kesibukan terlebih dulu sampai tak memperhatikan sang anak?

Lama melamun, tiba-tiba ada yang memanggilnya. Seseorang yang tidak familiar terdengar. Firman spontan menoleh.

"Ngapain duduk di sini?" tanya lelaki tinggi yang sedang mengemut permen. "Ah, lagi nunggu jemputan?"

Firman tidak menjawab, dia justru merasakan gugup yang mendera. Persis sama saat Mira memanggilnya ketika masih jadi perundung.

"Hei, aku tanya loh. Masa kamu nggak jawab sih?" desak Yudi.

"Iya. Aku menunggu ayahku menjemputku." Firman menjawab datar.

"Nah gitu dong. Kamu tuh setidaknya punya etika menjawab pertanyaan temannya sendiri."

Firman tak lagi menatap Yudi sekarang, dia fokus memasang wajah menyebalkan yang diperlihatkan.

"Luka yang tadi aku gores dengan kaca beling itu? Kok tiba-tiba diolesi obat merah?" Yudi kembali bertanya, pandangannya tidak salah lihat begitu luka yang dia ciptakan mendadak tersapu oleh obat merah.

"Siapa yang melakukannya? Mira?" Yudi menebak. Firman tak menjawab, kembali terdiam.

"Aku sudah duga pasti Mira yang mengobatimu." Yudi mulai dengan tebakannya, sambil melepas tangkai permen yang berada dalam mulut. "Aku juga lihat anak itu mengobati anak buahnya Lexi. Benar-benar hebat Mira ya."

Firman sempat melirik Yudi yang mulai dengan seringainya. Ciri khas seorang Yudi lebih tepatnya.

"Kamu beruntung. Punya sahabat seperti dia," celetuk Yudi. "Mira, anak yang sempat kutaksir itu ternyata sudah sadar dari perbuatannya. Ngapain mengharapkan dia kalau dia juga pastinya selalu dekat denganmu?"

"Harusnya kamu juga sadar, kalau kamu juga banyak salah sama aku."

Yudi mendadak terkesiap, tiba-tiba saja Firman mengucapkan hal seperti itu langsung lewat mulut.

"Bilang apa kamu barusan?"

Firman berdiri dari tempatnya duduk. Tas yang menenteng di punggung pun tidak dilepasnya. Firman yang awalnya ketakutan itu, seolah mengumpulkan keberanian untuk menghadapi Yudi dan memasang tatapan eemehnya.

"Aku bilang, kamu harus sadar juga, Yud." Tak ragu Firman menepuk pundak Yudi sambil menyapukan jaket yang digunakan Yudi. "Bukan bermaksud apa-apa. Tapi percuma, kamu mau menyakiti aku dengan cara apa pun. Aku nggak akan goyah. Lagipula, kamu cuma dikuasai rasa ambisi untuk menjadi yang terbaik. Bukankah seharusnya kita bersaing secara sehat? Dibanding kamu harus merundung aku seperti anak-anak lain?"

Merasa tersudutkan, Yudi spontan mendekatkan pandangan dan menarik kerah seragam sekolah Firman.

"Jaga mulutmu," ancam Yudi tepat di hadapan Firman. Deru napasnya tak teratur, dengusan berulang kali terdengar.

"Kamu pintar tapi nggak menggunakan otaknya dengan benar. Itulah kamu. Yang tidak pernah memberikan rasa kasihan sama orang lain."

Yudi terperangah mendengarnya, sambil mendesis menahan amarah. "Kamu bijak rupanya. Aku nggak tahu kamu bakal seberani ini sama aku. Orang-orang pada takut, tapi kamu tidak. Harusnya saat di belakang sekolah itu, kubiarkan kamu mati saja."

"Silakan. Mau kamu injak-injak aku, tidak masalah. Yang penting aku sudah memperingatkanmu."

Firman menyadari mobil besar warna putih sedang melaju menuju depan sekolah. Lantas Firman melepaskan cengkraman tangan Yudi dan menjauhinya.

"Aku tahu kamu mungkin akan berani hari ini, tapi besok-besok, aku akan membuat kamu menyesalinya. Ingat itu." Yudi mengancam sekali lagi. Firman memilih tidak mendengarkan dan melangkah menghampiri mobil yang menepi tepat depan gerbang sekolah.

Firman menaiki mobil tersebut, memandang Yudi yang tak bergerak dari tempatnya. Firman tak peduli sekali lagi, membiarkan mobil yang ditumpanginya menjauh dari sekolah. Sesaat Firman mulai bernapas lega. Namun entah besoknya, apakah Firman tetap bisa merasa lega atau lebih buruk? Firman enggan memikirkannya lebih dulu.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top