Bab 4

***

Siang hari, Mira sengaja mengajak Adit untuk membeli pakaian. Ia yakin bahwa pacarnya paham betul selera wanita, jadi dia tak perlu bertanya kepada Firman yang saat ini sibuk dengan pekerjaannya.

"Loh, apa nggak salah? Kamu mau beli baju di tempat yang bukan thrift shop?" tanya Adit dengan raut heran ketika Mira mengajaknya ke sebuah toko pakaian branded. "Ini mahal-mahal loh. Yakin mau di sini?"

Mira tersenyum, mengisyaratkan keyakinan dalam pilihannya. Dengan mantap, ia menjawab, "Tentu saja."

Ketika berada di depan pintu masuk salah satu unit toko pusat perbelanjaan, matanya berbinar penuh kegembiraan. Meski tidak diungkapkan, dia merasa senang karena baru saja mendapatkan transferan dari dua klien yang sangat puas dengan hasil desainnya. Uang bukan lagi masalah baginya, dan ia merasa lega karena tidak ada lagi beban yang menumpu.

"Ngapain beli baju? Bukannya baju kamu banyak?" tanya Adit mengerutkan keningnya.

"Bajuku udah rusak-rusak semua. Malahan baju buat hangout yang rusak, bahkan ada yang lusuh," gumam Mira sambil memandang dari jauh beberapa pakaian wanita yang digantung di rak.

"Kamu mau hangout? Pekerja remote sepertimu bukannya tiap hari mandang laptop?" tanya Adit bingung seraya sedikit menyindir.

"Ish! Bukan begitu definisinya, beb." Mira menyentak tidak menerima. "Aku tuh mau cari baju bagus karena aku mau ke reuni. Makanya bajuku harus bagus."

Mira menjawab hal itu seraya matanya mulai berbinar tatkala pandanganya terlempar ke beberapa pakaian di display.

"Tolong kamu pilihin ya." Mira menepuk bahu pacarnya dengan semangat. "Kamu kan tahu betul selera wanita seperti apa."

Reaksi Adit hanyalah kecanggungan, bahkan dia membuat gerakan menggaruk kepala. "Baik deh. Aku pilihin."

"Asik!" Mira bersorak, lalu menarik lengan Adit masuk ke dalam toko. Mira sangat antusias mencari pakaian yang cocok untuknya. Sementara itu, Adit hanya mengekorinya, memperhatikan Mira yang sibuk memilah-milah kaos lengan panjang di area pakaian wanita.

"Beb. Coba lihat. Menurutmu bagusan mana? Kiri atau kanan?" Mira memegang dua gantungan pakaian dan memperlihatkan dua pilihan yang dia ambil dari rak.

Adit menatap kedua pakaian itu lalu menggelengkan kepala kemudian mengibaskan tangannya dengan sedikit rasa enggan. "Emm, nggak ada yang bagus. Kurang cocok kalau kamu pake," ujarnya dengan jujur.

Mira menggigit bibirnya merasa kecewa. "Terus gimana dong? Apa perlu aku pakai cardigan ke acara reuni?" Mira kini bertanya bimbang.

Adit terdiam sekejap begitu ingin memberikan pendapatnya. Dia tak tahu persis acara reuni yang akan dihadiri Mira, lagipula bukan urusannya. Namun sebagai pacar yang baik, dia tetap kasih saran terbaik buat Mira.

"Kalau kamu mau sih. Pakai cardigan aja. Cuma ya, menurutku terlalu santai untuk acara reuni. Jika formal ya, perlu kamu pertimbangin lagi."

Tidak ada tanggapan dari sang pacar, Adit memutuskan turun tangan. Dia mulai melangkah cepat menghampiri beberapa gantungan pakaian wanita dan memilih dengan cermat apa yang cocok untuk Mira.

"Nah. Mending blazer." Adit mengeluarkan jenis pakaian tersebut sambil tersenyum lebar. "Cocok loh di badanmu. Terkesan formal juga, bukan?"

Mira agak terkejut dengan saran Adit. Belum pernah dalam pikirannya untuk mencoba blazer. Setelah dilihat baik-baik, spontan Mira mengangguk setuju. "Benar loh. Kesannya jadi lebih rapi menurutku."

Mendadak senyuman Mira terpatri. Dia memang sengaja mengibuli Adit, meminta temani beli pakaian dengan dalih karena acara reuni. Padahal bukan acara reuni sungguhan, melainkan dia memenuhi syarat Firman agar bisa menerima tawaran belajar gratis dari temannya itu.

"Kamu yakin? Pilih blazer aja?" tanya Adit memastikan keputusan Mira.

Wanita rambut panjang tergerai itu diam sejenak. Masalah style pakaian tentu dia tahu-tahu sedikit, namun mix & match serta perpaduan warna yang belum dia pahami betul. Tentu akibat kerja remote yang dia lakukan membuatnya jadi ketinggalan tren dalam berpakaian. Makanya meminta bantuan pacarnya adalah solusi terbaik.

Hampir memutuskan untuk mengambilnya, Mira berniat melirik price tag yang terpampang. Mira melongo kala angka 200.000 tercetak jelas di kertas kecil berbahan tebal tersebut. Tapi sekejap, dia merasa percuma terkejut. Pun dia ingin totalitas di depan keluarga Firman. Apa yang perlu dia khawatirkan?

"Kamu jadi ambil tidak?" desak Adit seakan menyalurkan frustrasinya karena lama menunggu Mira. "Atau masih ada pakaian yang kamu rasa cocok?"

"Blazer aja." Mira cepat mengambil keputusan. "Tapi pilihin warna yang bagus ya."

Lagi, Mira mempercayakan semua hal kepada Adit yang katanya banyak tahu tentang pakaian wanita.

Maka Adit pun mulai memilah-milah beberapa gantungan baju di depannya, mencoba mencari pilihan terbaik untuk Mira.

"Oh iya, beb. Atau kamu mau blus?" usulnya. "Blazer di sini sepertinya nggak ada yang menarik. Warnanya monoton semua."

"Hah, masa sih?" Mira terkejut dan langsung berjalan menuju gantungan blazer. Ia cepat-cepat mengecek setiap blazer yang ada di sana, mencari yang cocok.

"Tunggu sebentar. Yang motif strip dan warna navy. Ini bagus loh," kata Mira sambil menunjukkannya pada Adit.

"Apaan sih? Katanya tahu banyak tentang pakaian wanita," ejek Mira sambil memutar bola matanya merasa sebal terhadap Adit.

"Huft. Kalau ujung-ujungnya kamu yang pilih, ngapain juga aku ada di sini?" balas Adit dengan nada sedikit ketus, lalu memasukkan kedua tangannya ke saku celananya. "Mending aku ke area pria. Banyak baju bagus di sana."

Baru satu langkah, kepala Adit tertunduk melihat layar ponsel yang bergetar. Dia tahu bahwa dirinya menerima telepon yang sekiranya penting untuk diangkat.

"Bentar ya beb. Aku ada telepon," ucap Adit, meminta izin pada Mira sebelum mulai menjauh. Mira berdiri dekat gantungan blazer, peka terhadap pacarnya yang menerima sebuah telepon.

"Jangan bilang, bosnya lagi," batin Mira, mengingat kejadian serupa yang belakangan ini sering terjadi. Dia justru merasa Adit selalu menerima telepon penting di waktu yang tidak tepat.

"Pakaian juga sudah aman, tinggal riasan," gumam Mira pelan, sambil mempertimbangkan pilihan riasan terbaik untuknuya.

"Lebih baik ada riasan sih daripada mengecewakan dia," ucap Mira dalam hati, merenungkan betapa pentingnya acara makan siang baginya. Dia ingin memberikan kesan yang baik pada Firman, dan itu termasuk mempersiapkan diri dengan baik. Meskipun tidak secara gamblang, keinginannya untuk tampil maksimal dan memberikan kesan positif pada Firman tergambar jelas dari pikirannya.

***

Seminggu kemudian, Mira akhirnya mulai menjalankan misi. Pacar sementara Firman hanya beberapa jam. Untuk blazer, Mira menjatuhkan pilihan pada warna merah muda. Lebih cocok dibandingkan navy yang sempat dia pilih waktu itu.

Sebelum melaksanakan tugas, Mira diminta datang ke apartemen Firman dan menunggu di unitnya, sembari Firman juga tengah bersiap.

"Tolong, saat acara makan siang nanti, kamu harus natural di depan mereka. Bersikaplah selayaknya," pinta Firman ketika keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya dengan handuk kecil. Firman menggunakan kaos oblong putih dan celana kain hitam panjang.

"Ngomong-ngomong, blazer yang kamu gunakan bagus ya," puji Firman ketika akan melenggang menuju kamar. "Sangat cocok di tubuhmu, aku serius."

"Wow, sungguh?" Mira tampak berbinar dipuji Firman. Sesekali Mira mengibaskan rambutnya agar mendapatkan perhatian. "Berarti blazer ini cocok nih jadi outfit kerjaku?"

Firman mendecih kemudian, sembari mengalungkan handuk kecilnya di leher. "Kebanyakan mimpi kamu, Mir. Belum juga kita mulai dengan materi dasar."

Mulut Mira mengerucut. "Apa salahnya sih bermimpi? Kamu mah, selalu aja ngeremehin aku kayak gitu."

Tawa renyah Firman yang mengalun pelan menjadi balasan selanjutnya.

"Boleh sih mimpi yang ketinggian, tapi jangan sampai membuatmu terlena, Mir." Firman memberikan nasihat kemudian memegang kenop pintu untuk masuk dalam kamarnya.

"Bapak guru ini memang bijak dalam berkata," ujar Mira menghela napas kemudian, lalu menyantap roti panggang di meja.

Yang dipanggil spontan menoleh, ketika dirinya keluar dari kamar sambil membawa perintilan pembersih wajahnya.

"Secepat itu kamu manggil aku guru, hmm?" tanya Firman kemudian duduk di sofa panjang seraya menaruh cermin kecil di meja.

"Kan kamu bakal jadi guru buatku, mengajariku apa yang kamu tahu tentang dunia pemasaran digital. Wajar aja kan aku panggil kamu guru?"

Firman mengiyakan dengan anggukan kepala, tanpa bersuara. Meski pada masa lalu dirinya hanya dimanfaatkan, tetap saja dengan niatnya sebagai pengajar Mira, dia harus membuat wanita buruk itu mengingat semua kesalahannya.

Pria yang masih menggunakan kaos oblong putih pun tidak bicara lagi, fokusnya teralihkan pada cermin kecil di depannya. Firman mulai menggunakan skincare-nya, suara buka tutup botol menghiasi keheningan. Menciptakan irama yang enak didengar.

Sementara Mira sendiri masih duduk di kursi panjang dengan meja putih yang tersaji roti toast dan teh hangat. Daritadi Mira terus mencomot roti, sebab belum mengisi perut di kosan.

"Oh iya, Firman. Unit ini cuma kamu saja yang tinggal? Nggak ada keluarga lain yang nginap di sini kah atau bagaimana?" tanya Mira penasaran sambil mengedarkan pandangan. "Gila, hebat banget ya. Dibanding cuma aku yang kos-kosan, pekerja lepas pula. Kamu yang kerja kantoran juga bisa sewa apartemen sebagus ini."

"Bukan sewa, Mir. Beli. Aku beli nih unit," jelas Firman pertegas ucapannya kemudian berdiri dari sofa untuk balik ke kamarnya berpakaian.

"Beli? Kamu beli unit sebesar ini?" tanya Mira terkejut. Mulutnya membulat sempurna sebelum melempar pertanyaan tersebut.

Yang bertanya menunggu penjawab keluar dari kamar, beruntung tak lama. Firman melangkah ke ruang utama dengan kemeja lengan panjang yang melekat di tubuh serta tangannya yang membawa botol hair spray serta pomade.

Alih-alih menjawab, Firman justru melempar balik pertanyaan. "Terus kamu? Apa kamu ngekos sewa per bulan atau per tahun?"

Mira menjawab setelah sempat termangu. "Kebetulan sewa per tahun. Juga kan, aku cuma ngekos di satu kota aja. Nggak di luar, repot lagi pas pulangnya."

"Loh, nggak ngekos di luar ya kamu? Kalau memang begitu, ngapain ngekos? Kenapa nggak tinggal di rumah orang tuamu aja?" Firman heran mendengar jawaban Mira barusan.

Mira menggeleng cepat, berniat untuk melarat ucapan Firman tadi. "Nggak, nggak. Aku nggak mau keluar kota cuma demi menghindari omelan orang tuaku. Pusing tahu, aku diomelin cuma dikira aku pengangguran di rumah, padahal aku kerja remote."

"Diomelin cuma dikira kamu pengangguran? Padahal kamu kerja remote?" tanya Firman hanya memastikan. "Ya harusnya kamu bisa berikan pengertian dong kepada mereka. Kalau kerja remote itu sama menguntungkannya dengan bekerja di kantor. Buat apa mereka pengen segitunya mau kamu kerja kantoran?"

"Eh, bukan orang tuaku sih." Mira cepat-cepat memperbaiki kalimatnya. "Lebih tepatnya ibuku. Beliau selalu menekanku agar punya pekerjaan, apalagi melihatku yang selalu mencari perusahaan yang kumau. Makanya saat dapat pekerjaan freelance, ibuku malah mengomel. Entahlah apa sebabnya. Makanya aku minggat dari rumah dan ngekos sendirian. Untung, ayahku bisa memaklumi keputusan putrinya."

Mendengar cerita demi cerita yang dilontarkan Mira membuat Firman jadi menarik kesimpulan. Mira jadi seambisius itu untuk mendapat ilmu tentang digital marketing karena sangat ingin merasakan jadi pegawai kantoran. Meskipun kerja remote dan kerja di perusahaan sama-sama menguntungkan, namun Mira punya persepsi sendiri. Selain karena ingin mendapatkan teman, bisa jadi Mira juga ingin mengeksplor lebih dalam dan tidak sekadar di satu bidang saja. Mungkin itu dapat dijadikan alasan kuat bagi Firman untuk mengajari banyak hal.

"Tunggu, kamu nggak jawab pertanyaanku barusan. Kamu tuh memang tinggal sendirian di unit apartemen sebesar ini?" tanya Mira mendesak.

"Ya memang aku tinggal sendirian di sini. Pun karena aku mau, dan dekat dengan kantor juga. Jadi enak langsung sampai ke kantor dengan menggunakan mobil."

Firman kini fokus menggunakan pomade di rambutnya, sementara Mira hanya diam sambil melahap satu lagi roti ke mulutnya.

"Sudah hampir jam 1 loh. Bukannya kita harus ke sana tepat jam 1 siang?" tanya Mira mengingatkan.

"Betul. Tapi bukan acara yang penting-penting banget, kok. Acara makan siang biasa antar keluarga aja," jawab Firman biasa.

"Kalau bukan acara yang penting, kenapa harus ada aku? Biar pamer gitu kalau kamu sudah punya pacar? Biasanya yang seperti itu jika ada acara besar."

Firman menjawab sambil melempar pandangan kepada jam tangan miliknya. "Orang tuaku suka nasihatin banyak hal, termasuk masalah percintaan. Alasan aku ajak kamu, ya hanya pembuktian kalau anak mereka tidak jomlo."

"Oh, seperti itu?" Mira melenggut.

Selesai memperbaiki kemeja, Firman berceletuk. "Tunggu, aku lupa sesuatu. Soal pacar kamu itu. Apa dia nggak marah kalau kita begini? Kamu pasti kasih tahu semuanya kan soal rencana kita."

Firman baru menyadari hal tersebut. Kedua tangan sibuk memasang kancing atas kemeja yang belum tertutup.

"Nggak, kok. Aku cuma bilang ada acara reuni. Ya Adit juga pasti sibuk dengan kerjaannya, sampai kami berkencan juga Adit harus cari-cari waktu yang tepat dan tidak tabrakan dengan pekerjaan. Adit nggak mempermasalahkan itu."

Firman tidak menjawab lagi sampai saat dirinya menyemprot rambutnya dengan hair spray agar tidak berantakan.

"Ayo kita berangkat," ajak Firman dengan semangat, mengambil tas sampingnya dan melangkah cepat menuju rak sepatu.

Sebaliknya Mira justru terkesiap ketika melihat Firman yang begitu tampan sehingga matanya membulat sempurna. Dia merasa terpana dengan penampilan Firman.

"Ganteng banget," ucap Mira spontan, memberi pujian tanpa berpikir panjang.

"Ah, masa sih?" Firman terkejut dengan pujian tulus Mira.

"Beneran. Aku nggak bohong," kata Mira antusias, menunjukkan bahwa dia benar-benar kagum dengan penampilan Firman.

"Paling ada maunya nih, kamu memuji begitu," cibir Firman sambil memakai sepatu sneakers barunya yang baru saja diambil dari tempatnya.

"Tadi kamu juga memuji kalau outfit yang kupakai cocok untuk wanita karir," sahut Mira dengan raut wajah sedikit merajuk, seolah merasa tersinggung bahwa setiap kali dia memberi pujian, Firman selalu menganggapnya ada maksud tertentu. Dia ingin menunjukkan bahwa pujian dan komentar positifnya adalah tulus, tanpa ada tujuan tersembunyi.

"Sudahlah. Yang penting, kita akan makan besar di sana," tegas Firman lalu berdiri dari posisi duduk. Tak lupa sepatunya pun disapu-sapu sedikit agar tidak meninggalkan debu apa pun.

"Satu hal lagi, aku ingatkan lagi ya. Jangan buat malu keluargaku. Bukan cuma ayah, ibu, dan kakakku saja yang ada di sana. Keponakan ayahku atau sepupu-sepupuku katanya juga akan ke sana. Jadi jangan buat mereka malu. Mengerti?"

Mira hanya membalas dengan anggukan pelan.

"Aku mengerti."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top