Bab 39
***
Mengingat Firman sudah pulang dari rumah sakit membuat Mira harus lebih banyak menyisihkan waktunya untuk merawat sang suami. Mira kini sedang membuat teh untuk Firman, tak lupa roti lapis sebagai ganjalan perut.
Hampir sepekan berlalu sejak suaminya dirawat, namun Mira terus-terusan berpikir hal terkait masa lalu. Tentu sebagai seseorang yang pernah merusak kehidupan Firman, justru yang terbersit dalam ingatannya adalah perlakuan buruk yang bukan cuma dirinya melainkan teman-teman lain. Juga Mira sangat ingat ayah mertuanya yaitu Heru pernah datang ke sekolah dan bertekad mencari pelaku perundungan yang buat Firman masuk rumah sakit kala itu.
'Ini sangat serius! Anak saya sampai harus masuk rumah sakit karena mengalami pendarahan di bagian kakinya. Apa perlu saya jelaskan sekali lagi? Anak saya dirundung!'
'Pokoknya saya tidak mau tahu ya, Bu! Cari pelakunya sekarang! Kalau bisa diskors dia atau keluarkan dia dari sekolah!'
Mira bahkan sempat melihat hal tersebut di ruang BK saat masa sekolah. Entah apa kejadian sehingga Heru tahu anaknya dirundung. Mira pun tidak ingat, karena itu hanyalah sebagian ingatan di masa lalu.
Teh lemon hangat serta roti lapis cokelat pun tertata di atas tatakan warna putih besar. Mira mengangkatnya dengan hati-hati lalu melangkah pelan menuju kamar suaminya.
Sementara itu, Firman yang mengenakan piyama biru muda terduduk di ranjang dengan tubuhnya menyandar di dipan. Sembari menunggu Mira membuatkan teh untuknya, Firman hanya memandang nalar pandangan ke hadapan. Pagi hari adalah waktunya merilekskan diri. Seolah ingin mengosongkan pikiran.
Efek yang dirasakan setelah bertemu Yudi terbilang cukup berpengaruh pada kondisi tubuhnya. Namun dia beruntung setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, PTSD-nya masih dalam tahap normal. Mengingat masa lalu terutama berhadapan dengan pelaku membuat Firman seperti ditusuk oleh sesuatu hingga menyebabkannya mual-mual dan pusing berkepanjangan.
"Firman. Teh-nya udah jadi." Mira bersuara setelah mengetuk tiga kali lalu membuka pintu kamarnya dengan membawa tatakan yang di atasnya adalah roti lapis cokelat beserta teh lemon untuk Firman.
Mira menaruh teh tersebut di atas nakas, tak lupa piring beserta roti lapis cokelat ikut diletakkan. Kemudian Mira mulai mengambil tempat di sisi ranjang dan mendekati suaminya.
"Man?" Mira memanggil lembut. "Apa ada sesuatu? Sepertinya kamu melamun sedari tadi."
"Hmm?" Firman spontan menatap wanita yang berada di hadapannya. "Nggak ada. Nggak terjadi sesuatu."
"Yakin?" tanya Mira kurang percaya. "Kamu masih ingat pertemuan kamu dengan Yudi waktu di kafe?" Tangannya mencoba membelai rahang suaminya.
"Jujur, Man. Aku juga nggak tahu bakal ada Yudi di kafe waktu itu," lanjut Mira. "Aku nggak kepikiran sama sekali kalau dia mau menyerang titik lemahmu."
"Aku pun nggak nyangka kemunculan si 'lelaki itu' secara mendadak di mataku." Firman meraih kedua tangan Mira untuk dipegang, sambil terus menghela napas. "Bahkan dia berani menyeringai di hadapanku secara langsung."
"Kalau kamu harus tahu, Yudi itu nggak pernah berubah dari SMA hingga sekarang," beber Mira menyelipkan amarahnya. "Dia tetap pada ambisinya untuk menyerang 'si lemah' yaitu kamu. Kita harus bisa sadarkan Yudi kalau kita sudah dewasa dan tidak perlu serang siapapun termasuk kamu. Buat apa coba dia begitu? Hanya karena nggak bahagia lihat kamu sukses begini?"
"Wajar Yudi bersikap seperti itu, Mira," celetuk Firman sukses membuat Mira terperanjat.
"Wajar?" Mira memastikan ucapan suaminya barusan, seakan ingin Firman mengulangi perkataan tadi.
"Karena aku tahu betul Yudi seperti apa, dia punya ambisi besar. Termasuk, dia nggak mau aku melangkahi posisinya untuk jadi yang terbaik."
Mira menghela napas mendengar ungkapan Firman. "Tapi nyatanya, kamu malah ranking satu waktu semester ganjil kelas 11 saat itu. Sementara Yudi? Ranking tiga."
"Yang penting masuk tiga besar itu sudah bagus, cuma Yudi nggak terima dengan apa yang kudapatkan di sekolah dulu. Yudi merasa bahwa dia ingin sekali berada di posisi satu, tapi kemampuannya yang membuat dia jadi di ranking tiga."
Mira membenarkan. Bahkan yang sempat dia dengar dari informasi korekan Lexi, Yudi memiliki prestasi luar biasa di bidang teknologi khususnya di perangkat lunak. Tapi apa yang membuat Yudi harus meninggalkan urusannya dari luar negeri lalu memiliki ambisi yang tersembunyi untuk menyakiti Firman?
'Aku belum selesai dengan si lemah itu. Bukannya melemah malah makin berjaya.'
Teringat Yudi pernah mengatakannya dengan penuh tekad. Mungkinkah tujuan utama Yudi adalah ingin melihat Firman tersiksa dan membuat mental Firman rusak?
Lama terdiam, tiba-tiba Mira menangkap Firman mulai merasakan sesak napas. Bahkan tangan satunya memegangi bagian dada.
"Firman. Kamu sungguh nggak apa-apa?" tanya Mira dengan raut panik. "Mau ke rumah sakit?"
Mira memegangi lengan Firman, bermaksud untuk turun dari tempat tidur. Namun Firman enggan beranjak, justru meyakinkan Mira bahwa dirinya baik-baik saja.
"Tolong, ambilkan obatku." Firman meminta pelan, langsung dituruti Mira. Wanita hoodie itu mulai mencari kotak obat kecil dekat lampu nakas. Kotak tersebut memang dirancang khusus untuk menaruh obat-obat yang rutin diminum Firman.
"Tunggu, kuambilkan air minum." Mira cepat-cepat berdiri kemudian keluar kamar untuk mengambil botol air mineral. Tak lama setelahnya, Mira melenggang masuk dalam kamar sambil membuka tutup botol yang disegel. Lalu disodorkan pada Firman yang siap dengan obat di telapak tangan.
Firman menenggak setidaknya dua obat, langkah selanjutnya yaitu meneguk air untuk menetralisir obat di dalam tubuh. Firman merasa lega kala obat tersebut mulai bekerja.
"Gimana? Sudah merasa enakan?" tanya Mira memastikan.
Firman sempat menunduk, lalu mendongak menatap Mira yang sangat cemas padanya.
Senyuman hangat mulai terpatri di wajahnya, kemudian tangan sebelah kirinya merentang dan memegang pipi halus Mira.
"Sudah kok."
Rasanya begitu hangat saat pipinya dielus lembut oleh Firman. Spontan saja Mira ingin menahan tangan Firman agar tidak dilepas.
"Aku suka disentuh olehmu, Firman," ungkap Mira. "Jujur. Semenjak kita dekat, kamu terus melakukan hal-hal yang membuatku senang. Mungkin dulu aku pernah mendapatkan hal ini dari mantanku, Adit. Tapi ini lebih menenangkan buatku."
"Aku tuh begini bukan karena maksud tertentu, Mir." Sambil memperbaiki rambut Mira yang berantakan, Firman lanjut menuturkan penjelasannya. "Aku melakukannya supaya kamu ... juga aku ... bisa saling berbagi kebahagiaan. Tahu maksudku, kan?"
Mira ikut berpendapat. "Yah ... mungkin seperti inilah yang namanya pendekatan secara intens. Terlepas dari kita yang masih terikat perjanjian di atas kertas dan selanjutnya disebut kontrak, tapi kita harus terus begini demi menyembuhkan traumamu. Justru menurutku, tidak cukup dengan hanya meminum obat. Kalau aku bisa ..."
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba suaminya merengkuh Mira begitu saja. Apalagi mereka berada dalam jarak dekat di satu tempat, jadi Firman hanya menarik tangan Mira dan mendekapnya dengan erat.
"Aku memang pernah bilang kita lupakan kontrak itu, tapi aku kan sudah memberimu tantangan." Tutur lembut Firman mengudara pelan menelusup dalam telinga Mira. "Jika berhasil, kita bisa lanjutkan pernikahan dengan sungguhan. Kalau tidak, kita akan pisah.
"Namun aku berharap ... aku nggak akan pisah dari kamu, Mir."
Mira juga mengharapkan hal yang sama. Dia sudah terperdaya oleh Firman, bahkan dia rela melakukan apa pun demi Firman. Secara Firman adalah suaminya, meski fakta mengatakan bahwa pernikahannya tinggal empat bulan dari yang direncanakan yaitu enam bulan.
Setelah saling memeluk, mereka spontan memberikan jarak dekat di wajah masing-masing. Mira mengabsen wajah Firman mulai mata, hidung, dan bibir. Tak lupa pipi yang sedikit berisi itu tak luput dari pandangannya.
"Dalam keadaan lemas pun, kamu tetap ganteng ya," puji Mira yang membuat Firman tersenyum lebar. "Apalagi saat bangun tidur. Aku yakin aku akan tergila-gila melihatmu."
"Jangan berlebihan, Mir. Aku ini apa adanya. Nggak terlalu mencolok juga." Firman terkekeh pelan.
"Tapi aku serius loh. Kamu memang ganteng." Mira melempar tawa ringannya sekali lagi menatap lama Firman seakan ingin merekamnya dan menyimpannya dalam benak.
Lama terdiam menatap wajah masing-masing, tiba-tiba Mira mencondongkan kepala dan mulai mengecup bibir Firman secara singkat lalu memeluk Firman dengan erat.
"Boleh nggak aku tidur bareng kamu di sini sambil tetap menjaga kamu?" tanya Mira meminta izin, bahkan tak lupa menghidu aroma parfum yang menguar dari piyama biru milik Firman.
"Boleh. Apa yang tidak buat kamu?" Firman mengelus rambut atas Mira dengan lembut.
Mira melepaskan pelukan itu sejenak dan kembali memandang Firman yang mulai memunculkan keringat di kening.
Sadar dirinya ditatap lekat oleh Mira, justru membuat Firman terdorong untuk melakukan hal yang sama seperti Mira barusan yaitu memberikan kecupan singkat di bibirnya. Tak lama kemudian, Firman langsung merangkul tengkuk leher Mira dan membalas ciuman tersebut dengan lumatan yang penuh gairah.
Kurang semenit melakukannya, Firman menjauhkan wajah Mira dan mulai memegang bagian rahang dengan lembut.
"Aku sayang kamu, Mira." Bisikan pelan itu terdengar halus di telinga Mira, sekali lagi hal tersebut membuatnya tenang.
"Aku juga."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top