Bab 38

***

Kelas 12, SMA Sentosa

"Lexi! Lex!" Mira terengah-engah memanggil Lexi yang kebetulan berdiri di depan kelas 12 IPS 1.

Lexi mulai mendongak, bahkan tetap mengemut permennya.

"Ada apa, Mir? Kamu kok tergesa-gesa gitu manggilnya?" tanya Lexi heran, menatap gadis berjaket merah gelap terus mengatur napasnya.

"Ke taman belakang sekarang. Panggil anak buahmu sekalian." Mira memerintah bersulut panik.

Lexi spontan membesarkan bola matanya. "Kenapa di taman belakang?"

"Yudi. Yudi memukul Firman. Dia juga memanggil dua anak buahnya untuk memegangi tubuh Firman supaya dia leluasa memukul."

Mendengar kabar buruk tersebut, Lexi langsung berdiri. Tentu sebagai sahabat Firman yang juga mulai berdamai, Lexi tak akan tinggal diam melihat Firman sekali lagi dirundung oleh Yudi yang haus akan ambisi.

"Yudi itu kenapa sih?" Lexi menggerutu sambil berkacak pinggang. "Mungkin ada hubungannya dengan Firman yang juara satu olimpiade matematika sepekan lalu. Iya, aku juga nonton di televisi. Betapa hebatnya Firman menjawab soal yang rumit. Yudi pasti iri lihat Firman."

"Makanya. Aku nggak bisa biarin hal itu terjadi. Bisa-bisa Firman akan mengalami trauma berat." Mira sadar dampak buruk tersebut akan berpengaruh pada psikologis Firman. Sebagai sahabat, dia tak mau hal itu terjadi.

"Baiklah. Aku panggil dulu anak buahku. Nggak banyak-banyak, kita cuma melawan tiga orang soalnya, termasuk Yudi." Gadis dengan ikat rambut kuncir kuda itu melenggang masuk dan memanggil dua temannya yang dia jadikan anak buah. Lalu Mira memimpin jalan menuju taman belakang yang berada agak jauh dari kelas Lexi.

Sesampainya di belakang sekolah, tepatnya di dekat bak sampah, Mira menangkap Firman yang mulai tak berdaya. Tentu kedua lengan Firman dipegangi oleh dua siswa berkacamata yang sepantaran dengan Yudi.

"Hentikan perbutan kalian!" seru Lexi hingga atensi Yudi serta kedua anak buahnya teralihkan. "Lepaskan Firman sekarang!"

Yudi spontan terperangah, menunjukkan sikap remeh pada Lexi. "Wah, siapa yang datang? Alexia, anak IPS. Terus, ada Mira juga. Pahlawan kesiangan kalian berdua ya."

"Aku mohon jangan sakiti Firman!" Teriakan Mira sangat melengking hingga Yudi sempat menutup kedua telinganya. "Lepaskan Firman atau aku akan lapor guru."

"Peduli banget kamu sama si lemah. Heran, biasanya tuh kamu sering menyuruh si lemah membelikan sesuatu. Kalau tidak terpenuhi, kamu bakal memukul dia. Di tempat ini." Yudi menegaskan perbuatan Mira yang sama halnya dengan dirinya. "Bahkan kamu yang lebih parah. Kamu tuh sering suruh-suruh dia beli makanan atau mengerjakan PR-mu. Dari kelas 11, kamu melakukan itu. Terus sekarang? Kenapa kamu berdamai dengan si lemah?"

"Aku nggak bisa jawab itu." Mira bersungguh-sungguh. "Yang terpenting, aku sadar bahwa perbuatanku salah. Iya mungkin guru-guru belum sadar perundungan ini, tapi aku tidak ingin dipandang sebagai siswi yang sering merundung orang lemah. Pokoknya aku sangat bersalah."

Yudi tak menanggapi apa-apa, atensinya beralih kepada kedua anak buahnya. Lantas melempar perintah untuk memukuli Firman sekali lagi, di bagian perut.

"Jangan!" seru Mira panik.

Tak lama setelah itu, Yudi tertawa keras.

"Kamu merasa bersalah? Bukannya karena kamu takut dihukum oleh guru? Atau bahkan orang tua Firman tahu?" Yudi bersedekap sambil mencuri kesempatan menakut-nakuti Mira.

"Hadang dia, cepetan." Lexi memerintah pada dua anak buahnya, masing-masing berada di sebelah kiri dan kanannya.

Kemudian pertengkaran tak terhindarkan. Yudi berusaha melawan anak buah Lexi yang cekatan membuat pukulan-pukulan. Tak lupa kedua anak buah Yudi juga ikut melawan.

Sementara Mira dan Lexi berusaha memegangi Firman yang sedang dalam kondisi lemah.

"Kamu sungguh nggak apa-apa?" tanya Mira memastikan.

Napas Firman tersengal. Kepalanya terus menunduk, bahkan pandangannya mengabur.

"Aku ... mau minum," ucap Firman dengan suara pelan. "Aku merasa ingin mati, karena dipukuli di bagian perut."

"Bawa dia ke UKS, Mir." Lexi juga ikut panik dan langsung memapah Firman diikuti oleh Mira.

Sementara itu Lexi memberikan kode untuk menyudahi pertengkaran. Takutnya ada guru yang mengetahui.

***

"Mir. Sudah beli minum sesuai yang aku suruh?" tanya Lexi yang sedang duduk di ranjang brankar kosong sebelah kiri.

"Iya. Air minum botol satu liter untuk Firman. Aku belikan dia makanan juga." Mira menyodorkan satu kantong kresek besar kepada Lexi. Kemudian Lexi turun dari tempatnya menyentuh lantai dan melangkah menghampiri Firman yang terbaring lemah sambil tangan sebelah kiri memegangi perut.

"Firman. Minumlah. Mira sudah belikan apa yang kamu minta," pinta Lexi dengan nada halus.

Lelaki yang sempat memejamkan matanya itu kini menoleh ke sebelah kanannya, mencoba membuka kelopak mata walau pandangannya masih mengabur.

Sejak insiden beberapa menit lalu di belakang sekolah, Mira dan Lexi inisiatif membawa Firman ke UKS untuk memberikan pertolongan pertama. Namun kedua gadis itu mendadak cemas ketika melihat kondisi Firman yang makin lemah. Mungkin akibat pukulan yang dilayangkan ke perut dan dada, menyebabkan Firman sangat sulit untuk bangkit.

"Mir. Tolong naikkan ranjang brankarnya supaya Firman bisa bangun sedikit." Lexi memberikan perintah, langsung dituruti Mira.

Gadis dengan rambut pendek sebahu itu langsung memutar tuas ke arah kanan hingga sisi atas ranjang tersebut berdiri.

Firman sungguh tak berdaya begitu Lexi melihatnya. Hanya napas Firman yang tersengal berulang kali. Kelopak mata lelaki itu juga tidak bisa terbuka dengan benar.

"Aku mau ..." Firman kini mengeluarkan suaranya meski sangat pelan. "Aku mau minum."

"Mir, buka cepetan botol air minumnya." Lexi memerintah menggunakan kode tangan. Mira kembali menuruti. Dengan kuatnya Mira membuka botol tersebut lalu memberikannya pada Lexi yang makin cemas melihat keadaan lelaki lemah itu.

"Pelan-pelan, Firman." Ujung botol besar pun kini disentuh oleh bibir Firman, tampak tenggorokannya naik turun menerima setiap cairan alami yang masuk dalam tubuh Firman.

"Kamu mau roti?" Mira menawarkan, berdiri di samping ranjang brankar tempat Firman berbaring.

Lelaki dengan seragam sekolah yang lusuh itu menggeleng pelan. "Nggak. Aku ingin ..." Firman terbatuk-batuk sebentar, ucapannya mendadak tertahankan. "Aku ... aku ingin istirahat."

"Tapi kita masih ada pelajaran Kimia. Kamu nggak mau ikut?" tanya Mira disambut senggolan keras dari Lexi.

"Di saat kondisinya lemah begini, kamu tetap saja meminta dia ikut belajar?" desis Lexi memarahi Mira yang tak memperhatikan keadaan.

Mira juga kikuk, seperti enggan menyadari bahwa Firman dirundung oleh Yudi bahkan dipukuli habis-habisan. Padahal Mira sendiri yang melaporkan pada Lexi terkait perundingan itu.

"Pergilah." Firman menyuruhh Mira yang tetap berdiri di dekatnya, masih dengan suara halusnya. "Aku tak apa istirahat sendirian."

Lalu pandangan Firman beralih ke Lexi. "Kamu juga. Aku nggak mau merepotkan kalian berdua."

Baik Mira maupun Lexi saling melempar pandangan. Tak menyangka saja orang yang dulu pernah mereka rundung justru baik padanya dan tak ada niatan untuk balas dendam terkait perbuatan mereka.

Meski mereka sepakat berdamai dengan korban rundungannya sendiri, tetap saja membuat Mira atau Lexi takut jika saja Firman menyiapkan rencana agar mereka balik tersakiti.

Tapi sekali lagi, Mira dan Lexi mengakui Firman memang lelaki yang baik. Tak pantas pula Firman dirisak oleh mereka.

"Baiklah, Firman." Mira menyetujui sambil memegang pundak Firman. "Aku dan Lexi akan pergi untuk menjalani kewajiban sebagai murid. Kamu istirahat saja. Aku akan bawakan tas sekolah kamu saat jam pulang nanti."

Senyuman ringan dari Firman terpatri, lalu mengangguk pelan. Masih dalam posisinya yang berbaring di ranjang brankar.

***

Masa sekarang

"Mengingat betapa keterlaluannya Yudi, membuat aku makin merasa kasihan pada Firman. Dia sudah menanggung banyak beban sejak kita berdamai dengannya saat itu," ujar Mira mengungkapkan rasa penyesalannya.

Mira dan Lexi duduk di ruang tunggu lobby rumah sakit. Sejak Firman dibawa ke rumah sakit dan mendapatkan kamar perawatan, mereka memberikan ruang bagi Firman untuk istirahat terlebih dulu. Namun yang ada mereka hanyalah membicarakan masa lalu pelik juga tentu mengungkit kejahatan Yudi saat masa SMA dulu.

"Aku juga nggak ngerti. Kenapa tiba-tiba Yudi menyerang Firman dengan senyum seringainya itu?" Lexi ikut bersuara. "Yudi bahkan punya keinginan kuat untuk menyingkirkan Firman."

"Yang jelasnya, aku ingin melindungi Firman dari siapapun, termasuk Yudi," ucap Mira tekad, tentu masih ada sisa-sisa rasa sesak dari dalam dirinya.

"Itu yang seharusnya kamu lakukan, Mira." Lexi menyetujui ucapan Mira, langsung menoleh dan menatap Mira lekat-lekat. "Dengan terus mendekatinya, kamu akan tahu gejala-gejala yang nanti akan dialami Firman jika trauma itu bakal datang membayang-bayanginya."

Mira terdiam. Sejak hampir sepekan Mira makin dekat dengan Firman, bahkan melakukan hal-hal seperti suami-istri pada umumnya. Mira membuat interaksi intens agar tahu keluhan yang dialami Firman. Namun sebagai seorang istri, bukan hanya nafsu jadi prioritas, melainkan saling memberikan kenyamanan. Firman butuh tempat sandaran, apalagi Firman juga mengalami gejala buruk dari trauma akibat perundungan.

"Kalau Firman diobati dengan baik, pasti dia tidak akan mengingatnya." Lexi menambahkan obrolan, berusaha agar Mira dapat berpikir positif dengan menyinggung Firman yang akan pulih dari trauma jika mengikuti prosedur pengobatan.

"Kita nggak tahu saja gimana nantinya. Bagaimana kalau itu terjadi dan kita berdua jadi dibenci?" tanya Mira pesimis terhadap hal ke depan.

"Mira," panggil Lexi dengan tegas. "Kamu kan sudah minta maaf sama Firman, dan Firman memaafkan kamu. Itu artinya Firman berdamai sama kamu, lagipula kamu sempat dekat dengannya sebagai sahabat. Sebelum si Yudi kampret itu datang dan merundung Firman tanpa alasan."

Benar. Apa yang perlu Mira takutkan? Sayang sekali, gara-gara kejadian yang menimpa Firman jadi membuatnya terus-terus mengingat masa lalu. Mira berusaha menyadarkan dirinya bahwa kesempatan sedang dia manfaatkan. Harusnya dia tidak boleh menyia-nyiakan dan berpeluang untuk mengetahui lebih lanjut kondisi Firman.

Kini Mira menghela napas, meyakinkan bahwa apa pun keputusannya itulah yang terbaik baginya juga Firman.

"Aku ... ke kamar perawatan dulu. Siapa tahu Firman sudah bangun." Mira perlahan berdiri dari tempat duduknya dan berniat untuk meninggalkan Lexi yang sendirian.

Tetapi sebagai sahabat yang sangat dekat tentu membuat Mira merasa kurang enak, apalagI Lexi yang membawa Firman ke rumah sakit.

"Kamu nggak apa kutinggal?" tanya Mira memastikan sambil menoleh ke belakang.

Lexi mematri senyuman ringan sambil melenggut. "Nggak apa, kok. Kamu memang butuh waktu untuk menemani Firman."

Seraya ikut berdiri dari tempat duduk, Lexi menggenggam tangan Mira saat mereka saling berhadapan. "Aku titip salam sama Firman, ya. Semoga aja dia ingat tentang kebaikan yang pernah aku lakukan padanya."

Mira membalas dengan melenggut. "Iya. Firman pasti tahu kok yang namanya Lexi. Di mana kamu membawanya ke UKS dan memberikan perawatan padanya."

Setelah itu, kedua wanita tersebut berpisah. Lexi melepaskan tangan yang dia genggam dan berjalan mengitari sekitar lobby hingga menuju pintu keluar.

Begitu Lexi benar-benar pergi, Mira langsung berjalan ke sebelah kanan menuju ruang perawatan. Mira yakin Firman pasti sudah bangun dan mencari keberadaan dirinya. Tepat dua jam lalu Firman dibawa ke rumah sakit dan memutuskan untuk dirawat selama kurang seminggu untuk hasil yang optimal.

Mira menggeser pintu dan menemukan Firman yang membuka mata dan menatap dirinya yang berjalan menghampiri sang suami.

"Man. Gimana kondisi kamu? Baik-baik saja?" tanya Mira memastikan, lalu mengambil tempat untuk duduk di samping ranjang brankar Firman.

"Baik-baik saja," jawab Firman pelan, tentu kondisinya masih lemah setelah gejala yang timbul sesaat setelah melihat 'lelaki itu' berada di hadapannya, secara nyata. "Efeknya sangat dahsyat saat memandang Yudi barusan. Dan itu ... seolah-olah menusuk diriku sendiri, apalagi Yudi dan senyum seringainya yang aku sangat ingat."

Firman menatap langit-langit kamar sambil melanjutkan ucapan. "Andai aku bisa tahu lebih dulu siapa yang membuat aku jadi trauma begini. Malah seorang lelaki misterius yang keluar dari kepalaku."

"Man. Apa perlu kupanggil kedua orang tuamu?" tanya Mira mengalihkan topik. "Pasti mereka khawatir sama kamu."

"Buat apa? Mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing," jawab Firman kembali memelankan suaranya. "Ayahku dosen, ibuku pimpinan perusahaan. Mereka nggak akan punya waktu untuk menjengukku. Palingan ini hanya gejala ringan. Lagipula kan, kamu ada di sini, menemaniku."

Mira melenggut sebagai balasan. "Iya. Aku cuma cemas kalau saja ayah atau ibu menelepon kamu, menanyakan kabar kamu gimana."

Firman tertawa pelan sebagai balasan. Merasa bahwa itu lucu baginya. "Memang kita pernah ditelepon sama orang tuaku atau mertuaku? Selama beberapa hari, mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Malah mereka nggak menelepon sama sekali. Mereka menganggap kita ini tidak punya masalah sama sekali.

"Lagipula, aku cuma dirawat selama beberapa hari dan nggak berbulan-bulan. Pun karena efek Yudi membuat aku jadi tumbang begini."

Tangan Firman yang dibalut oleh infus pun berusaha terangkat dan meraih wajah Mira. "Yang penting selama ada kamu ... aku baik-baik saja."

Tatapan pria yang sedang terbaring lemah itu sangat intens. Demikian juga wanita di hadapannya.

Mira mulai menangkupkan tangan suaminya dengan erat. Bahkan sentuhan di tangan tersebut kini terasa di wajahnya. "Aku juga akan bertekad untuk menjaga kamu dan mendengar semua keluhan kamu jika terjadi sesuatu. Aku berusaha untuk menjadi istri yang baik untuk kamu. Aku janji."

Hembusan napas lega dari Firman adalah balasan kali ini. "Kamu benar-benar sudah berubah, Mira."

Dipuji seperti itu membuat Mira diam. Mira mengakui dirinya memang sungguh telah berubah. Bukan hanya kepribadiannya melainkan situasi yang juga berubah. Firman memperlakukannya bak ratu pun menjadi contohnya.

"Terima kasih karena kamu sudah bertahan sampai sejauh ini, Mira," ucap Firman pelan. "Pikirku dengan memperlihatkan sikap dinginku, kamu akan pergi atau mengakhiri kesepakatan kita. Tapi kamu tetap berlagak seolah tidak peduli dengan aku yang membenci kamu. Kamu juga berinisiatif mengubah aturan kontrak tanpa takut aku marah besar."

"Aku melakukan itu, sekali lagi, karena ingin menebus rasa bersalahku di masa lalu." Mira mengucapkan kalimat per kalimat dengan tegas. "Makanya aku bertahan dan tak ada keinginan untuk mengakhiri pernikahan kontrak kita. Malahan, aku ingin kita terus begini sampai masa kontrak kita selesai."

"Kalau saja aku bisa memberimu syarat agar pernikahan kita tidak lagi terikat aturan kontrak melainkan pernikahan yang utuh ..."

Mira mendekatkan wajahnya pada Firman, merasa tertantang dengan syarat yang barusan dia dengar. "Syarat apa pun itu, kamu bisa bilang ke aku."

Firman tiba-tiba terdiam, padahal sebelumnya dia sempat menyimpan hal apa saja yang menjadi syarat atau ujian agar pernikahan mereka tetap bertahan meski lewat dari masa kontrak.

Atau dia perlu menganggapnya tantangan? Benar, tantangan yang perlu Mira jalani agar membuktikan–sekali lagi– ketulusan dan kesungguhan Mira dalam melakukan penebusan rasa bersalah.

"Kalau kamu bantu aku untuk menyembuhkan PTSD-ku dan jika itu berhasil, mungkin kita bisa melanjutkan pernikahan sebagai suami-istri sungguhan." Firman menjelaskan tanpa hambatan.

Sontak mata Mira membesar. Bakal jadi peluang baginya, seolah-olah Firman ingin mengetes apakah semua kebaikannya pada Firman murni tulus atau hanya dibuat-buat?

"Bagaimana kalau ... tidak berhasil?" Mira bertanya hati-hati. Tentu harus ada opsi sebaliknya jika belum terwujud.

"Kita akan cerai, sesuai kesepakatan kita."

Kata-kata cerai atau pisah sudah menjadi kata yang sensitif bagi Mira. Entah kenapa. Selain khawatir pada Yudi, pisah dari Firman juga menjadi hal yang menakutkan. Namun Mira berusaha kembali menyadarkan sesuatu. Bisa saja kebaikannya benar-benar diuji sekarang. Jika dia mampu mengambil tantangan itu, apa salahnya? Yang penting harus berusaha bagaimana membuat Firman sembuh.

"Kenapa kamu bilang begitu, Man?" tanya Mira tidak menerima. "Kenapa kita harus cerai? Aku nggak mau kita cerai."

Firman menggelengkan kepala perlahan, dia berusaha membuat Mira memahami situasi. "Kalau kamu nggak ada action sama sekali dalam membantu penyembuhan traumaku, ya sama saja. Percuma jika bayang-bayang itu menggangguku. Hidup dengan bayang-bayang masa lalu tidak mengenakkan. Jika kamu jadi aku, kamu pasti akan merasakan bagaimana membayangkan perundungan menyakitkan itu terjadi dan pasti akan membuat kamu kesulitan bernapas."

Firman memberi jeda karena terlalu banyak mengeluarkan kata-kata, lalu melanjutkan kembali ucapannya. "Tapi ... aku yakin kalau kamu pasti bisa. Aku percaya sama kamu. Kamu pasti bisa melakukannya, Mira."

"Dengan cara apalagi, Man?" Mira bertanya makin mendekatkan wajahnya. "Aku kan sudah berusaha menemani kamu untuk konsultasi, dan di saat kamu kesepian di unit, aku menemani kamu juga. Bahkan melakukan apa yang seharusnya seorang istri lakukan."

"Aku memberikanmu tantangan supaya kita bisa lebih dekat lagi, Mir." Firman memperjelas niatnya agar tidak terjadi salah paham. "Kata Pak Danny, aku harus terus selalu dekat sama kamu. Supaya apa? Supaya bayang-bayang itu tidak akan menggangguku lagi. Terutama soal Yudi. Aku yakin kamu bisa mencegah hal-hal buruk yang akan dilakukan Yudi kepadaku. Secara kamu sebelumnya sahabat sama Yudi."

"Maksud kamu ... apa, Man?" tanya Mira kurang memahami.

"Yudi kan satu sekolah sama kita, masa kamu lupa? Aku ingat betul kalau Yudi ini adalah teman satu kelas. Terus kamu sempat sahabatan dengannya sebelum kita berdamai."

Mira menghela napas mendengarnya. Tentu benar, siapa yang tidak lupa pada Firman dan kepintarannya yang cemerlang? Bahkan sekarang pun dia selalu ingat siapa Yudi atau 'lelaki itu', padahal Mira berpikir Firman bakal lupa terhadap masa lalunya.

Tapi mungkinkah dia akan mengingat kejadian-kejadian lain yang menimpa Firman dulu? Entahlah, kali ini Mira enggan memikirkan jawabannya.

"Yang buat aku penasaran adalah, bagaimana Yudi bisa menemukanku? Apa yang membuat Yudi tahu keberadaanku?" tanya Firman penasaran, tidak mengarahkan pertanyaan tersebut pada Mira melainkan sambil menatap langit-langit.

Sebelum Firman makin bicara omong kosong, Mira segera menghentikannya dengan memberikan kecupan singkat di pipi suaminya.

"Sudah, kamu jangan mikirin hal itu. Yang penting kamu harus banyak istirahat, dan jangan banyak pikiran. Apalagi kamu barusan pingsan dan muntah-muntah. Aku takut kamu kenapa-napa lagi kalau mikirin Yudi."

Suara Mira kini mulai serak. Air mata tiba-tiba merembes hingga membekas di pipi. Segera Mira menaruh tangan Firman yang sempat dia genggam lalu cepat menyeka wajahnya.

"Jangan berpikir yang buruk-buruk ya," tambah Mira memberikan pesan. "Aku nggak mau kamu mengalami gejala yang lain."

Firman terdiam sebentar lalu mengulum senyum ringan sambil kepalanya mengarah pada Mira, tetap dalam posisi terbaring. "Beginilah yang seharusnya aku mau sejak awal."

Mira tak lagi menanggapi justru balik memperlakukan Firman dengan penuh kasih sayang, sama seperti Firman yang berbuat demikian. Mira memperbaiki rambut depan Firman yang berantakan lalu menyugarnya sedikit ke atas agar tampak rapi.

"Istirahatlah. Aku bisa menjagamu di sini," kata Mira meminta seraya menjauh dari ranjang brankar Firman, lalu duduk di kursi kecil dekat nakas yang tersedia. "Kalau kamu ingin sesuatu, bilang saja padaku."

Firman hanya mengangguk sebagai balasan untuk Mira. "Iya, Mira."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top