Bab 33

***

"Mira?" Firman memanggil pelan. Tubuhnya mengarah ke sebelah kanan, terus menyebutkan nama istrinya. "Mira?"

Firman hanya menggunakan piyama biru gelap sementara Mira nyaris tak mengenakan apa-apa yang untungnya tertutupi oleh tank top tipis. Firman berkali-kali memanggil Mira namun Mira sendiri belum terbangun dari tidurnya.

"Kamu lagi mimpi indah sampai nggak mau bangun?" tebak Firman, masih berusaha berinteraksi dengan Mira. "Kamu nggak mau lupain apa yang kita perbuat semalam?"

Yang dimaksud Firman adalah berbuat hal seharusnya dilakukan sebagai suami istri. Firman berhasil meruntuhkan pertahanan yang selama ini Mira jaga dan untungnya memang ada gunanya Firman membeli 'pengaman' agar tidak terlalu kebablasan. Tentu keadaan pernikahannya tak ingin berubah begitu cepat, dia hanya ingin menumpahkan perasaannya saja melalui beberapa tindakan. Bahkan Firman juga tetap berusaha merekam semua momen indah dalam kepalanya.

Intinya sekarang, dia bisa membuktikan kewajiban yang telah dilakukannya. Hingga pagi pun, Firman masih terus tersenyum dan belum ingin menyudahinya.

"Pulas banget tidurnya," gumamnya kemudian mulai menggeser tubuhnya pelan lalu memeluk Mira dari belakang dengan sangat erat. Firman kini menjadikan Mira sebagai 'bantal guling'-nya.

"Kamu wangi. Aku suka menghidu kamu seperti ini." Firman mendekatkan wajahnya di sekitar rambut bagian belakang. "Nggak sia-sia kamu mandi lebih dulu sebelum permainan kita. Aku bahkan nggak expect loh kamu bakal lebih dari apa yang kuduga."

"Benarkah?" Tiba-tiba Mira bersuara namun sangat pelan terdengar. "Jadi semua yang kulakukan kepadamu malam tadi buat kamu puas?"

Firman spontan membuat pandangan dan menatap Mira dari samping. "Sejak kapan kamu bangun? Padahal aku sudah manggil-manggil kamu daritadi loh."

"Aku tuh dengar semuanya," jujur Mira sambil tertawa ringan.

"Semua? Berarti termasuk aku memuji kamu wangi barusan?" tanya Firman memastikan. Wajahnya sangat antusias bahkan senyuman kecil tetap terbit dari bibirnya.

"Iya dong." Mira membenarkan lalu tubuhnya berputar untuk menghadapkan wajahnya pada Firman. "Humm, nggak adil ini. Kamu udah duluan berpiyama sementara aku masih berantakan. Bahkan nih ya, kutebak kamu pasti udah cepat berbenah setelah yang kita lakukan semalam. Wajah kamu juga, bersih banget."

"Biar kamu bisa memandang wajahku sepuasnya, daripada aku kucel bukan?" ungkap Firman yang membuat Mira jadi tidak karuan. Tawa pelan dari Mira yang jadi balasannya kini.

"Man, kalau kamu nggak berbenah pun, kamu tetap ganteng. Aku akui itu." Mira mencuri kesempatan menangkup pipi Firman dengan kedua tangan, lalu segera menarik tubuh kekar itu kemudian mereka memposisikan diri untuk saling memeluk.

"Man, jika ini mimpi tolong jangan bangunkan aku. Aku nggak mau bangun lebih cepat. Aku ingin terus bersama kamu." Mira mempererat pelukannya bahkan menyembunyikan wajahnya di bagian dada Firman.

"Ini bukan mimpi kok, Mir. Dari aku nyiapin roti lapis untukmu, lalu meminta pelukan hangat, dan malam setelah pulang kantor kita melakukan 'permainan' seperti sebelumnya. Semalaman kita berkeringat loh, dan buat diri kita merasa puas." Firman menjelaskan situasi secara detail agar Mira tak lupa.

"Meskipun begitu, aku tuh berharap semua ini bukan mimpi. Karena kenapa? Karena aku merasakan sangat bahagia dibanding sebelumnya."

Firman juga akui dia merasa lebih bahagia. Walaupun dibayang-bayangi oleh pernikahan kontrak mereka, namun Firman enggan momen bahagia itu cepat berlalu. Harap saja perasaannya bisa tetap dan perlahan mulai mencintai Mira.

Tapi apa semua perlakuan yang telah dia berikan itu semacam isyarat cinta untuk Mira? Firman bahkan belum menyimpulkan hal tersebut, yang jelasnya kini dia masih ingin menghargai Mira sebagai istrinya.

***

Tiba pada malam hari sesi belajar diadakan. Firman yang baru saja pulang dari kantor, langsung duduk bersila di hadapan Mira dan memberikan sedikit pembekalan latihan untuk Mira. Sebab Firman tidak lagi memberikan materi dasar, pun materi dasar juga sudah tuntas dan Mira tinggal membuktikan kemampuannya sebagai digital marketer.

Mengenai latihan, Firman begitu cepat menyodorkan tablet miliknya, menampilkan daftar tugas yang perlu dikerjakan Mira.

Lima menit lagi sesi belajar selesai, Mira justru termangu. Tangannya mengangkat tablet ukuran 10 inchi tersebut dan melihat sebuah gambar yang digunakan sebagai contoh tugas.

"Apa ini, Man?" tanya Mira menunjuk pojok kiri layar tablet.

"Tugas," jawab Firman seadanya. Sambil melepas kacamata bulat yang sempat terpasang.

"Tugas apa?" Mira mendadak kebingungan.

"Baca sendiri."

Mira bahkan sudah membacanya meski sekilas. Namun yang dia tangkap adalah informasi mengenai content brief serta ada nama akun lengkap dengan kata sandi yang dijadikan percobaan untuk membuat sebuah iklan.

"Tunggu, jadi saya ... disuruh buat iklan di Instagram?" Mira bertanya memastikan. Tidak menyangka saja bahwa itu adalah latihan pertamanya. Setelah beberapa kali pertemuan yang hanya diisi teori.

"Materi tadi kan sudah dibahas tentang seluk beluk Social Media Marketing. Sekarang, kamu harus buat konten yang lebih shareable. Intinya, gunakan kemampuan content writing kamu untuk menarik minat orang-orang di luar sana."

Mira mengerjap berulang kali sambil mengalihkan pandangan pada layar tablet. Lalu ibu jari serta telunjuknya mengusap untuk memperbesar layar.

"Layanan terbaru FoodBeary? Jadi caranya gimana?" Mira masih kebingungan.

Firman mendengus pelan. Padahal dia sudah menjelaskan langkah-langkahnya dari awal pembelajaran barusan.

"FoodBeary punya fitur baru dalam aplikasi, yang nantinya bakal diperbarui pengguna setia. Jadi tugas kamu adalah, buat caption menarik terus buat desain kontennya agar lebih colorful. Biar timku cuma pasang ads aja biar lebih menjangkau orang-orang. That's your first task."

Tak ada lagi yang Mira tanyakan sebab sangat jelas tugas serta latihannya.

"Setelah itu, kamu perlu buat lagi satu organic content. Buat dulu content pillar-nya, pikirin tuh content wrtiting yang perlu kamu terapkan dalam desain itu, terus buat CTA yang menarik perhatian. Untuk CTA juga sudah aku singgung di awal tadi. Kamu perlu memainkan kalimat serta ajakan, pokoknya buat mereka itu tertarik dengan postingan yang kamu buat." Firman menjelaskan secara lugas. Anggukan Mira pun menjadi balasan.

"Baik, itu saja pertemuan kita hari ini. Istirahatlah." Firman meraih tabletnya kembali lalu berdiri dari tempatnya duduk di karpet bulu.

"Oh iya, Pak Firman." Mira memanggil. Sontak Firman berbalik saat langkahnya barusan akan menuju kamar.

"Jangan panggil pak. Sekarang sudah manggil nama." Firman mengingatkan dengan intonasi datar.

"Emm, Firman." Wanita hoodie ungu muda itu berdiri. Dia mengusap kedua tangannya seakan tak bisa menerjemahkan apa yang ada di pikirannya melalui kata-kata.

"Boleh nggak aku ... minta minuman teh milikmu di kulkas?" tanya Mira ragu-ragu.

Firman sempat terdiam saat Mira meminta sesuatu darinya, namun tak lama terpatri sebuah senyuman hangat dari pria yang menggunakan kemeja flanel itu. Pipinya yang agak berisi mencuat dan menampilkan giginya yang putih bersih.

"Boleh dong. Ambil aja seberapa yang kamu mau."

Mira langsung melangkah kecil menuju kulkas kemudian mengambil cola sebanyak empat kaleng.

Tidak perlu lama-lama, Mira pun memakai sandal kelincinya yang berada di dekat rak sepatu. Sambil memandang Firman yang berdiri di depan pintu kamar, Mira membungkuk berucap pamit.

"Aku ke unit sebelah dulu ya, pak. Selamat istirahat." Tak lupa Mira memberikan senyuman ringan.

Begitu Mira berbalik, tiba-tiba Firman memanggilnya seolah menahan Mira untuk pergi.

"Mira! Aku ketinggalan sesuatu." Firman berjalan mendekat pintu keluar. Mira menoleh dengan gugupnya.

"Apa itu, pak?"

Firman menatap lama netra Mira yang kebingungan. Lalu tanpa menjawab, Firman langsung meraih tubuh Mira untuk didekap. Dada mereka berdua bertubrukan. Firman langsung merangkul badan mungil Mira dan tangan kanannya berada di punggung wanita itu.

"Emm, pak. Maksudku, Firman. Ada apa nih, peluk-peluk?" Mira tersadar dia tengah memeluk keempat minuman teh, bahkan botol-botol itu mengenai tubuh Firman sekarang.

"Nggak ada, cuma peluk aja."

"Aku peluk kamu semenit supaya aku tenang." Firman menjelaskan dengan tenang lalu mempererat pelukannya.

Satu menit berlalu, tanpa disangka Firman juga mengecup kening Mira selama lima detik kemudian mereka mulai menjauh. Mira membelo dengan perlakuan manis Firman tadi.

"Istirahatlah. Besok kamu harus bangun pagi, bikinin aku bekal." Itulah yang Firman ucapkan sebelum melenggang pergi menuju kamarnya.

Mendapat hal itu spontan saja membuat Mira tidak bergerak. Apa Firman sedang melakukan pendekatan yang intens padanya? Bahkan tak ragu keningnya dikecup oleh suaminya itu.

Aku nggak tahu bagaimana perasaanku sekarang. Tapi yang ingin aku lakukan adalah, aku ingin berteriak. Berjingkrak-jingkrak. Firman sungguh memandang aku sebagai istrinya. Nggak sia-sia perjuanganku untuk mendapatkan maaf serta perlauan baik darinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top