Bab 3
***
Terpaksa Mira minggat dari obrolan berujung debat tersebut. Meskipun dia belum menanggapi syarat aneh itu, tetap saja Mira butuh waktu untuk berpikir.
Mira sadar dirinya menggunakan cara memaksa agar Firman mau mengajarinya, tapi bukankah seharusnya syarat tersebut adalah hal lumrah? Pun jika saja Mira tidak mendesaknya, Firman pastinya akan memberikan syarat lain agar bisa menjadi alternatif pembayaran. Salah sendiri haus akan ambisi, ingin mencuri ilmu dari Firman untuk dirinya sendiri.
Malam hari, Mira yang mengenakan cardigan merah muda sedang menopang dagu seraya mengerucutkan bibir. Matanya juga mengerling, pikirannya kacau balau.
Harusnya Mira menyimpan satu atau lebih topik agar kencannya bersama Adit tidak monoton. Bagaimana mau membuka mulut? Syarat aneh yang diajukan Firman masih terngiang di kepala. Sia-sia juga berpikir keras.
' Sialnya, aku belum bisa memutuskan apa aku menerima tawarannya atau tidak. Tapi bagaimana jika aku tidak menerima tawarannya? Memang bagus aku jadi kerja remote, pasti ada beberapa klien yang mempercayakanku. Hanya saja, perlahan-lahan nanti orang bakal jarang menggunakan jasaku, dan aku belum mengajukan lamaran untuk kerja tetap di satu perusahaan.
Aku cuma membantu klien tertentu doang. Dan cuma sekadar dihubungi, dapat transferan dari mereka. Terus apa? Bisa saja mereka nggak bakal menghubungiku lagi karena suatu alasan Tidak ada pekerjaan yang klien kasih padaku. Ah, semangatku sudah mendarah daging bila melihat cerita inspirasi itu. '
"Mira? Kok kamu bengong?" tanya Adit membuyarkan lamunan pacarnya sembari mengibaskan tangan. "Kamu nggak makan soto? Enak banget tahu. Kamu harus cobain."
Sangking larut dalam lamunan, sampai lupa Mira memesan semangkuk soto ayam yang aromanya mengepul di hadapan. Bahkan serbuk koya menarik perhatian. Membuat Mira segera mengalihkan atensi dan mengambil sendok besi dari wadah yang disediakan dan mengaduk-adukkan isinya.
' Tapi kalaupun iya, Firman pasti bakal memegang omongannya. Berakting jadi pacarnya seharian terus selesai, Firman akan mengajariku gratis sesuai yang kumau. Apa kuterima aja kali ya? '
"Ngambek kah?" tanya Adit sesekali mengalihkan perhatian pada mangkuk soto miliknya yang nyaris tandas. "Aku dengar kamu tuh terus narik napas seperti orang mau marah."
"Ngambek?" Mira mengerutkan kening. "Nggak. Aku nggak ngambek."
"Ngomong-ngomong, ini rekomendasi dariku loh," jelas Adit seraya menyinggung tempat yang dikunjunginya, alih-alih menanggapi. "Aku suka tempatnya karena nyaman. Apalagi menu makanannya banyak."
Mira membenarkan ucapan Adit sambil sesekali mengedarkan pandangan sekeliling kafe yang cozy. Lampu emas berjejeran dan ada juga yang digantung agar memperindah kafe. Serta meja dan kursi yang ditata muat empat orang, lalu pigura berupa lukisan warna-warni menyempurnakan interior kafe. Adit sendiri yang memilih sebab hiasan bunga artificial di kafe tersebut menarik perhatian.
"Sejujurnya sih ...," Tangan Mira menyingkirkan mangkuk sotonya lalu menopang dagu dengan satu tangan. "... aku dilema dengan pekerjaan. Beberapa klien bilang aku harus revisi ini itulah, ada juga yang nggak jelas di bagian mana perlu aku revisi. Mataku nyaris juling loh, harus memeriksa mana yang salah."
Adit tertawa kecil melihat tingkah Mira yang kini berada di luar kendali. "Masa sih, beb?"
"Iya lah. Klien mah mintanya macam-macam. Mau digeserin ke sebelah kanan lah, kiri lah. Nggak tahu lagi." Mira menyalurkan semua keresahannya agar tak tertahan dalam diri. "Entahlah, beb. Apa aku menyerah dalam pekerjaan ini?"
Hal yang Mira keluhkan selain syarat aneh, adalah pekerjaan. Memang sesuai kenyataan, barusan ada satu lagi klien protes padanya setelah mengirimkan revisi untuk kedua kalinya. Membuat Mira makin pusing, bahkan kencannya sungguh tidak berarti baginya.
Bisa nggak ya aku berharap pada digital marketing itu? Tapi, cakupannya kan luas. Makanya aku mau serap ilmu dari si Firman itu. Cuma syaratnya yang bikin aku bimbang.
Mira kembali menghabiskan isi mangkuk sotonya yang tinggal sedikit. Butuh berapa lama sampai harus memutuskan apa menerima tawaran Firman atau tidak? Ketakutan menghampirinya, jika saja pekerjaan lepasnya tidak berarti lagi. Apakah dia perlu setengah mati menuliskan pengalaman kerjanya bahkan membuat CV yang menarik perhatian?
' I need him. Meski niatku buruk untuk mencuri ilmunya, tetap aku membutuhkan ajarannya. Aku nggak bisa tinggal diam saja tanpa upgrade skill. Setidaknya ini sebagai latihanku agar bisa benar-benar memudahkanku masuk perusahaan nantinya.'
"Tunggu sebentar, aku ada telepon."
Tiba-tiba Adit berdiri dari tempatnya dan cepat-cepat menjauh dari meja kayu cokelat untuk menerima telepon. Mira melirik hingga menoleh ke belakang. Adit berdiri tegak di tempatnya, bahkan sangat serius berbicara di telepon.
"Tiap kali kencan, Adit selalu menerima telepon. Ada apaan sih?" Mira menggerutu dalam hati.
***
Sementara itu, Firman baru saja memarkirkan mobilnya di basement. Melelahkan bila harus melanjutkan pekerjaan di luar. Lebih baik sambung di apartemen sekalian istirahat.
Begitu keluar dari mobil, Firman mempersiapkan kartu akses masuk dalam gedung apartemen.
Firman menempelkan kartu akses sehingga pintu otomatis terbuka. Sebelumnya dia menyapa penjaga keamanan yang sedang bertugas.
Langkahnya pun mengitari lobby hingga sampai di depan lift. Jari telunjuknya menekan lantai atas lalu menempelkan lagi kartu apartemen agar dapat diberi akses menuju lantai 20.
Firman tinggal di apartemen sudah sangat lama, sejak diterima kerja di FoodBeary sebagai content marketer pada awalnya hingga menduduki jabatan sebagai digital marketing spesialist. Apartemen yang dia beli memiliki dua gedung yang saling bersebelahan. Gedung A yang memiliki nuansa lebih warm sementara gedung B memiliki nuansa monochrome tapi tetap mempertahankan keindahan seisi gedung.
Firman sendiri tinggal di gedung A. Masing-masing gedung memiliki lantai sebanyak 40 lantai.
Sembari lift membawanya ke lantai 20, Firman mengecek pesan di iPad miliknya. Grup WA keluarga. Yang isinya ada ayah, ibu, dan kakaknya.
(Acara keluarga bukan hanya dari keluarga ini saja, keluarga ayah juga akan meramaikan. Sepupu-sepupumu mau datang juga. Jadi, tolong Firman siapkan pakaianmu yang rapi dan sopan pada mereka.)
Acara keluarga tinggal beberapa hari. Mungkin kurang seminggu lagi. Firman justru teringat dengan syarat yang dibuatnya barusan.
' Apa aku tidak terlalu berlebihan dengan syarat itu? Melihat wajah Mira yang kecewa begitu. ' Firman membatin.
Begitu lift terbuka, Firman berjalan dengan tempo agak cepat menuju unitnya. 20-6. Melewati belokan ke kanan setelah dari area lift menuju lorong unitnya. Tepat di sisi kiri, mengitari sekitar tiga blok lagi.
Firman kembali menempelkan kartu aksesnya untuk membuka pintu, kemudian masuk di sebuah unit tipe 1BR. Cocok baginya yang tinggal sendirian.
Setelah melepas tas punggung, Firman menghempaskan tubuh di sofa panjang sambil selonjoran. Firman kembali membuka iPad dan menuliskan to do list yang harus dilakukan esok hari menggunakan stylus pen. Sudah menjadi kebiasaannya agar tidak lupa apa yang harus dikerjakan.
Pesan masuk dari ponselnya. Sengaja ditaruh di meja bulat dekat sofa agar tak mengganggu konsentrasi.
Kebetulan Firman selesai menulis to do list, sekarang dia harus mengecek ponsel tersebut.
(Firman. Aku menyerah. Syaratmu yang terbilang aneh itu, aku terima. Jujur, aku was-was jika saja aku nggak bakal digunakan lagi dalam membantu orang-orang. Aku sangat ingin tahu digital marketing itu seperti apa. It's okay, kamu boleh anggap aku egois atau apa pun, terserah. Tapi aku butuh cadangan biar aku nggak repot. Plis, ajarin aku semua yang kamu tahu.)
Firman menghembus napas lega. Mira akhirnya menerima syaratnya, meskipun terbilang aneh.
Wajar saja, itu mengingatkannya pada sikap Mira yang semena-mena padanya. Bahkan sejak masa putih abu-abu.
Sejujurnya hal tersebut merupakan balasan dari Firman sebab menjadi sasaran rundungan Mira serta menjadi suruhannya sebelum benar-benar sahabat. Mira harus merasakan apa yang dulu pernah dia rasakan.
Kembali ke masa SMA, saat Firman dan Mira belum saling mengenal. Firman adalah siswa yang sangat pintar, beberapa murid bahkan banyak yang minta diajari olehnya. Tak jarang pula, beberapa lainnya justru iri padanya. Ditambah penampilan yang kadang suka menggunakan kacamata, membuat semua teman-teman kelas mengejeknya culun.
Gara-gara kepintarannya menjadi banyak yang tidak suka padanya. Tadinya Mira hanya diam dan tak peduli dengan situasi sekitarnya. Namun ketika pelajaran matematika, Mira pun mulai bersikap buruk padanya. Itu pertama kali.
"Hei, culun. Tahu materi Limit nggak?" Mira mencolek punggung Firman berulang kali, ketika Firman sedang duduk mengerjakan tugas di bangku.
"Culun. Dengar aku nggak? Tolong cek tugasku, apa sudah benar atau masih salah? Kata teman-teman, kamu pintar, kan?"
Firman berusaha mengendalikan diri dan memilih mengabaikan Mira yang terus memanggilnya sambil menghentakkan buku tulis di belakang tubuhnya.
"Kamu jangan dengerin dia," sahut teman sebangku Firman dengan rambut belah tengah. "Biar aku saja yang hadapi dia."
Beruntung, temannya yang bernama Dimas dapat menenangkan Mira yang mulai kesal diabaikan.
"Kamu ini gimana? Kenapa suruh-suruh Firman periksa tugas? Kerjakan tugasmu sendiri!" seru Dimas menahan buku tulis cokelat milik Mira.
"Apaan, sih? Ganggu orang aja!" seru Mira menaikkan suaranya.
"Biar aku yang koreksi." Dimas merebut buku itu dari tangan Mira. "Sudah, mending kamu jangan ganggu Firman. Dia lagi belajar tuh."
Beruntungnya Firman dengan menyibukkan diri, dia sungguh tidak diganggu oleh siapapun, termasuk Mira. Meski nantinya dia tetap akan mendapat rundungan verbal dari teman-teman lain. Namun dirinya harus bisa menahan dari berbagai hal yang menghalangi jalan pikiran.
Pertanyaan 'kamu pintar' yang terucap di mulut Mira barusan seolah terbaca bahwa Mira sering melihat Firman ditunjuk guru atau bertanya pada guru.
'Aku pikir kamu benar-benar tidak peduli, tapi kenapa kamu merundungku? Terus menyuruhku mengerjakan tugasmu. Teman-teman lain tidak sampai suruh-suruh aku, hanya kamu yang begitu kepadaku. ' Firman membatin.
Firman bukanlah anak pindahan, lalu kenapa teman-teman kelasnya menjauhinya bahkan Mira yang mulai bersikap keterlaluan? Bukankah setahunya Mira baik kepada guru-guru bahkan pintar bergaul?
[Hei, culun. Aku juga mau pintar sepertimu. Ajari aku yang kamu tahu. Belajar dengan buku tidak bisa masuk otak, apalagi mendengarkan penjelasan guru.]
Firman spontan menutup tabletnya ketika ucapan Mira dahulu mengitari kepala. Sungguh, itu baru permintaan pertama yang terkesan memaksa. Sekarang pun demikian. Tidak ada bedanya. Mira yang dia kenal adalah wanita yang egois dan keras kepala.
"Aku hanya sakit hati saat pertama berteman denganmu. Aku melakukan itu agar kamu tahu apa yang aku rasakan dulu," gumam Firman. "Maafkan aku, Mira. Kamu harus tahu bagaimana perasaanku saat kamu meminta hal aneh kepadaku. Bagaimana juga kamu dulu bersikap ketus sampai akhirnya kita berteman?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top