Bab 29

***

Empat hari setelah memberikan ujian amarah pada Mira, si pemilik unit 20-6 merasa sangat senang. Bahkan kini dia merayakannya di ruang utama, sembari menyesap minuman teh soda beserta apel yang dia potong sendiri dan ditata di piring kecil.

Firman mengenakan kemeja polos lengan panjang warna putih dengan tiga kancing atas yang terbuka sehingga memperlihatkan dadanya yang bidang. Firman tertawa dan terduduk santai di atas karpet bulu. Sambil terus mencecap ujung kaleng, dia mengeluarkan tawa yang agak menggema. Melihat Mira menumpahkan air matanya saja justru membuatnya bahagia. Dia merasa ujian tersebut tidak berhasil dilewati Mira. Malahan Mira menangis bak orang cengeng. Mira tidak tahan banting terhadap amarah yang dia berikan.

Ketika akan beranjak ke dapur dan memulai untuk mengambil apel di kulkas, tiba-tiba ada seseorang yang membuka pintu unit. Lantas Firman berdiri di sekitar foyer, menunggu orang tersebut bakal menerobos unit. Tidak perlu menebak siapa seseorang itu, pastinya Mira yang melakukannya.

Si Mira. Biarin ajalah. Paling dia mau bersihin unit.

Firman tahu siapa orang tersebut dan tentu dia membiarkan Mira masuk dalam unit. Entah Mira akan berbuat apa yang diinginkan dan lain-lainnya, Firman tidak akan peduli.

"Datang di saat yang tepat, kamu pasti mau membersihkan apartemen, kan?"

Pertanyaan Firman disambut decakan kaget dari Mira, begitu dia mulai melepas sandal miliknya.

"Ini jam 9 malam, aku udah bersihin kok sebelum kamu balik dari kantor," kata Mira mengakui. Tentu, bisa saja Firman lupa karena bekerja sepanjang hari, jadi Mira sebagai perantara buat mengingatnya.

"Maa sih?" Firman mengernyit kening. "Pantas pas pulang, bersih banget kelihatannya. Padahal aku nungguin kamu membersihkan apartemen terutama di kamar mandi. Itu belum kamu bersihkan. Tolong ya, mumpung kamu di sini."

"Bersihkan kamar mandi malam-malam, apa nggak bikin punggung sakit?" Mira enteng dengan bahasa halus yang mengisyaratkan tidak ingin melakukannya. "Nanti sajalah, paling besok atau hari lain."

Mira tiba-tiba memasang wajah heran saat tahu Firman berdiri tanpa bergerak sama sekali di depan kulkas. "Kamu lagi ngapain?"

"Jangan sok akrab," jawab Firman ketus lalu mulai membuka pintu kulkas untuk mengambil satu buah apel.

"Nih kupasin, mumpung kamu ada di sini." Firman melempar begitu saja apel yang sudah dia ambil dari kulkas, beruntung Mira bisa cepat menangkapnya.

Dengan adanya Mira di unit, Firman jadi tidak perlu repot ke dapur untuk mengambil pisau dan mengolahnya. Firman langsung balik ke ruang utama untuk duduk menyandarkan belakang tubuhnya di bawah sofa.

Firman melihat aktivitas Mira, dan perlahan-lahan meneliti pakaian Mira dari atas ke bawah. Lagi dan lagi, dia memandang Mira secara refleks mengikuti pergerakan wanita tersebut. Kaos tipis warna putih serta celana slim karet senada menjadi perhatian Firman. Tentu dia tidak intens melihatnya, hanya sekilas saja karena jarak dari ruang utama ke dapur terbilang agak jauh.

Bersikap acuh dan dingin seperti biasa memang diharuskan, tapi nyatanya Firman tak ingin melepaskan bidik matanya dari Mira. Dia terus melihat Mira mulai memunggungi meja makan sampai akhirnya berbalik untuk membawakan kupasan apel untuk Firman.

Ah, nggak bisa ngontrol mata sampai aku malah curi pandang lagi.

"Boleh aku duduk?" Mira menawarkan sambil menyodorkan piring kecil bertatakan apel pada Firman.

"Yah ... boleh. Duduklah." Firman berucap dingin, mengizinkan lalu mengambil jarak ke sebelah kanan. Memberikan tempat untuk Mira di sebelah kiri jika tampak dari depan.

"Nggak nonton TV, ya?" tanya Mira heran begitu melihat layar televisi yang tidak menampilkan apa pun.

"Aku bosan, pengen melamun aja," jawab Firman dengan suara rendah.

"Apa keberadaanku ganggu? Kan harusnya aku nggak boleh duduk, aku harus melakukan sesuatu. Iya, kan?" Mira bertanya lagi, hanya memastikan perasaan Firman yang sedari tadi terlihat gelisah semenjak kedatangannya di unit 20-6.

"Yah, ganggu sih awalnya," aku Firman sambil meluruskan kedua kakinya di atas karpet bulu. "Cuma. Aku suntuk, dan ... mana mungkin aku tega membiarkan kamu berbuat hal di unit ini. Kamu duduk aja, temani aku minum. Kamu istirahat aja, dariapda kamu capek."

"Tumben, Man. Kamu jadi merasa bersalah begitu." Mira mengernyit heran. Bahkan setelah Firman memarahinya atas sikapnya yang kelewatan, Firman seakan enggan mengambil pusing bila Mira berada di sampingnya. Malah dia mengizinkan Mira begitu saja.

Mira membuka kaleng minuman yang kebetulan Firman belum buka, anggap saja itu adalah miliknya. "Jujur ya, Man. Aku ke sini, karena suntuk juga. Dan aku merasa kalau aku ke unitmu cuma sekadar membuatkan kamu kopi, akan jadi ide bagus. Hanya saja saat aku datang, kamu malah duduk di ruang utama. Kupikir kamu lagi kerja."

"Pekerjaanku kebetulan udah selesai. Nggak ada pekerjaan yang nggak selesai, semua sudah kukerjakan di kantor. Aku juga pulang telat jam 8, dan baru bisa santai jam 10 karena aku beli makan tadi," jelas Firman.

"Kalau kamu beli makan, terus kenapa nggak manggil aku?" Mira heran dengan apa yang didengarnya tadi. "Aku bisa masakin sesuatu buat kamu."

"Kamu lupa? Bahan-bahan pada habis di kulkas. Kamu mau masakin aku apa, hah? Memang mau masakin angin?" Firman dan sikap ketusnya seakan mendominasi. Namun Mira tidak merasa tersudutkan malah meladeninya dengan tenang.

"Betul juga ya. Pantas, barusan nggak ada telepon sama sekali dari kamu." Mira sungguh menjawab dengan nada lembut, tak lupa memberikan senyumannya sedikit agar menghargai lawan bicara di hadapannya.

Mereka berdua pun tak saling membalas obrolan. Mereka justru fokus menyesap minuman mereka masing-masing. Tak lupa, apel yang dikupas dan diolah oleh Mira pun jadi tempat mereka untuk berbagi. Mira ikut merasakan buah apel tersebut.

Dalam diamnya, Mira merenungkan apa yang terjadi kira-kira empat hari yang lalu. Tepat di ruang utama, ketika Firman melampiaskan amarah cuma karena satu kesalahan kecil. Apa sebegitu sensitifnya Firman sampai perlakuan Mira dianggap ingin mengubah posisi sebagai istri seutuhnya? Padahal Mira sama sekali tidak berniat seperti itu. Murni hanya menebus kesalahan. Selebihnya dia rela berbuat apa saja asal perintahnya datang dari Firman.

"Mir." Firman memanggil namanya, lantas membuat Mira menoleh secepatnya.

"Ada apa?"

"Kamu merasa ... apa yang aku ucapkan saat sesi belajar empat hari yang lalu, membuatmu sakit hati?" tanya Firman pelan.

"Hah?" Mira sungguh tidak mendengarkan pertanyaan Firman yang mengalun lembut, justru dia ingin minta Firman mengulanginya agar jelas di telinganya.

"Jujur, aku merasa ... makin ke sini, aku makin nggak enak memarahi kamu. Meskipun tadinya aku senang, lihat kamu nangis, lihat kamu merasa putus asa. Tapi sekarang ... tiba-tiba aja aku berubah pikiran, dan aku merasa ... sungguh kasihan sama kamu."

Mira jadi kebingungan sekarang. Firman yang berubah tidak enak padanya, justru membuatnya hanya menggaruk kepala meskipun di area tersebut tidak gatal. Padahal harapnya dia bergerak ke mana-mana, menerima perintah dari Firman. Entah itu membuatkan kopi atau seperti barusan, mengupas apel. Tapi nyatanya, cuma satu pekerjaan yang Mira lakukan.

Aku yakin si Firman bakal balik ke setelan pabrik dalam beberapa waktu ke depan. Lihat saja.

"Kenapa ... merasa begitu?" Mira tanya balik.

"Spontanitas. Jujur, aku nggak mau kamu mengalami tekanan batin cuma karena aku kelewat batas nyuruh-nyuruh kamu. Yah beda sih dari beberapa hari lalu, aku memaksa kamu buat bekerja tanpa peduli kamu sakit. Sudah cukup aku nyuruh kamu mencuci buah, terus mencuci panci yang ada keraknya," tutur Firman. "Untuk hari ini aja, kamu udah bersihin apartemen tanpa disuruh. Apalagi tugas yang perlu kamu kerjakan? Buatin kopi? Aku ada minuman dan nggak mood untuk minum kopi."

Mira melenggut membenarkan. Setelah mengubah aturan kontrak, dia jadi terus disuruh-suruh oleh Firman, bahkan tugas yang belum pernah dia kerjakan sama sekali. Pun harus lihat di internet baru bisa mengerjakannya. Itu bahkan lebih dari cukup seharusnya.

"Buat aku percaya, kalau kata-kata kamu kemarin itu tulus."

Spontan Mira terperanjat. Tidak seperti biasanya Firman meminta hal itu. Kadang permintaan aneh yang paling mendominasi, meskipun mereka berdua sempat menunjukkan keakraban begitu suasana baik sedang mendukungnya.

Mira. Kamu ngerti nggak tentang bersihkan panci yang ada keraknya? Aku nggak paham, dan kamu harus bersihin sendiri dalam waktu dua jam. Nggak ada alasan, kamu perlu kerjain itu daripada aku suruh kamu belanja di supermarket dan cari apa yang biasanya tidak terjual. Jangan ngeluh.

Memori yang bakal selalu dia ingat, Firman yang menyuruhnya dengan nada ketus. Akan tetapi, dia juga berharap Firman bisa bersikap lunak padanya. Kata-kata yang Mira ucapkan empat hari lalu murni agar Firman menyadari akan usahanya.

Mereka berdua saling melempar tatapan dan tak ada satupun yang bergerak, hanya diam begitu saja.

"Kamu sempat tanya, kan? Apa yang bisa kulakukan supaya aku sadar dan menghargai usaha kamu yang ingin menebus kesalahan? Ini yang aku lakukan. Buktikan kalau kamu sungguh tulus dan berniat baik buat menebus semua kesalahan kamu di masa lalu."

"Membuktikan dengan cara apa?" tanya Mira seakan menentang Firman. "Semua tugas sudah aku lakukan, bahkan semenjak perubahan aturan kontrak. Aku sudah membersihkan unit kamu, bawain pakaian kotor ke laundry apartemen, membersihkan panci, membersihkan dapur, membersihkan kamar mandi dari sepekan lalu, bahkan memvakum kamar kamu. Semua aku lakuin. Apalagi sekarang? Mumpung aku masih jadi asisten nih."

Mira masihlah sadar diri dan terbiasa dengan title-nya sebagai seorang asisten. Dia tidak mau berharap banyak, selain ingin menebus kesalahan. Asal membuat Firman senang, itulah prinsip Mira kini.

"Hmm? Itu yang selama ini kulakuin, kan? Membersihkan unit? Dengan aku membersihkan unit kamu, maka kamu bisa percaya kalau aku tulus melakukan semua itu," tegas Mira.

Firman terus menatap mata Mira, sembari membatin tanpa membalas perkataan wanita tersebut sama sekali.

Apa aku nggak perlu berlagak jadi tuan buat Mira? Rasanya lelah menyuruh-nyuruh Mira dan mungkin bakal tidak etis bila aku sering membuat Mira kecapean tiap hari karena membersihkan apartemen. Memang sih, aku bisa menyuruh-nyuruh Mira seenaknya, tapi sudah dua pekan berlalu semenjak perubahan aturan kontrak. Juga, dari ucapannya beberapa waktu lalu, bisa menunjukkan bahwa Mira benar-benar tulus dalam menebus kesalahannya.

"Atau kalau kamu mau percaya lagi dengan ketulusanku, aku bisa kok keluar untuk berkeliling cari supermarket yang buka 24 jam. Siapa tahu, ada yang buka jam segini," tantang Mira dengan suaranya yang agak nyaring.

Mendengar Mira yang berani membuat Firman membalas disertai tarikan napas pelan. "Terus kalau aku suruh kamu keluar, kamu mau hal-hal tidak diinginkan bakal terjadi sama kamu?"

Sambil mengancing satu kemejanya, dia melanjutkan ucapannya. "Ingat, Mir. Ini udah malam, dan jam segini tuh rawan, tahu nggak? Lagipula aku nggak sejahat itu nyuruh kamu cari supermarket 24 jam. Lagipula, semua atau rata-rata mungkin supermarket itu tutupnya jam 10 malam. Minimarket sih ada yang 24 jam. Cuma tetap, aku nggak mau kamu keluar di atas jam 10 malam. Bahaya."

Mira akui Firman memang tidak sejahat yang dipikirkan selama menjadi asistennya. Firman masih ada hati nurani bahkan sesekali Firman berbuat hal baik dan menyenangkan hati, salah satunya adalah membuat mie instan untuknya. Pun itu tidak atas permintaan Mira sama sekali. Dasar inisiatiflah yang membuatnya seperti itu.

"Aku cuma suruh kamu membuktikan kata-kata kamu itu. Bukan nyuruh kamu nekat," tutur Firman agak menekan nada bicaranya.

"Ya itu, aku nggak tahu mau membuktikan dengan cara apa," balas Mira pasrah, kemudian kedua tangannya bergerak untuk memperbaiki rambutnya yang terurai berantakan. Itu sangat mengganggunya, dan tak lupa langsung mengeluarkan ikat rambut di saku celana lalu membelakangi sebagian rambutnya untuk dia ikat cepol.

Firman yang peka terhadap hal itu spontan melotot kala leher jenjang milik Mira diperlihatkan langsung kepadanya. Firman merasakan ketegangan tiada arti serta getaran ringan di seluruh tubuhnya, seakan-akan jantungnya berusaha melepaskan diri dari keterikatannya. Lagi-lagi dalam hati dia mengakui kecantikan Mira, yang makin hari makin meningkat. Dia sungguh mengakuinya.

Aku pengen bantu ikatkan rambutnya. Terus aku ingin ...

Firman menghela napas berat, dia seakan melawan egonya. Dia berusaha agar pikiran kotor yang mengganggunya tiba-tiba itu pergi dari kepalanya. Tak lupa menyapu dadanya, berharap agar tetap waras selama melihat objek terssebut.

Aku nggak mau kamu memandangku sebagai wanita keras kepala, aku pengen berubah. Aku juga pengen kamu membuka pikiran kamu, kalau aku sungguh merasa bersalah.

Mengingat Mira yang meronta-ronta bak memohon suatu hal justru menyeruak di telinganya. Rasa tidak enak hati pun mulai membuncah kala membayangkan wajah sedih serta murungnya Mira ketika ingin semua usahanya dihargai olehnya.

Lalu aku harus gimana supaya kamu bisa benar-benar sadar? Aku sudah banyak mencoba, tapi kamu selalu dingin kepadaku.

Firman membuang napasnya secara perlahan, menyusun kata-kata atau permohonan yang Mira tuturkan padanya melalui sebuah ingatan.

Satu hal untuk memberikan kesempatan berpikir adalah menikmati sepotong apel sembari menyeruput minuman kaleng yang tersedia. Firman tak sadar tetes minuman yang keluar dari mulut kaleng jadi membasahi kemejanya. Terpaksa dia harus membuka kancing ketiga dan keempat agar pakaian yang digunakannya dapat leluasa mengeringkan kemeja. Biarkan dada bidangnya terekspos.

Banyak sekali anak mereka yang sudah menikah itu terlibat masalah rumah tangga, entah karena finansial, hal sepele yang buat sensitif mereka, dan lainnya. Ujung-ujungnya? Mereka pisah. Belum setahun menikah.

Teringat lagi ucapan ayahnya beberapa hari lalu, menyinggung tentang relasi sang ayah yang mengatakan sebagian dari anak mereka berpisah karena suatu masalah. Jika saja, Firman pisah dari Mira dengan alasan tetentu yang mungkin dapat diterima, akankah Heru menjadi bahan gunjingan rekan-rekan beliau? Lebih-lebih lagi ibunya.

'Aku nggak bisa bayangin jika sewaktu-waktu ayah atau ibu tahu tentang perjanjian kami, yang menyatakan hanya menikah setengah tahun habis itu pisah. Bisa jadi, aku bakal dicap sebagai pria yang suka memanfaatkan orang lain, terutama Mira.

'Tapi, jika dipikir-pikir, semua yang telah dilakukan Mira itu sudah impas dari apa yang kulakukan padanya dulu. Aku juga sebenarnya bosan bersikap ketus terus menerus sama Mira. Dan dari sebagian ucapannya empat hari lalu, terlihat jelas bahwa Mira benar-benar tulus. Apa perlu aku benar-benar berubah pikiran?'

"Man? Kok kamu melamun?" Mira menepuk bahu pria berkemeja putih itu berulang kali, berusaha agar Firman tidak mendalami lamunannya. "Hei!"

Teriakan Mira spontan menyadarkannya. Langsung membuat tatapan pada Mira yang mematri ekspresi khawatir.

"Kamu sungguh nggak apa-apa, kan?" tanya Mira memastikan, tangan yang memegang bahunya tidak dilepas.

Bisa dilihat Mira kini mengikat rambutnya, tak lupa bagian leher sebagai obyek penglihatannya sekarang. Firman enggan menahan gejolaknya kala sadar bagian bawahnya jadi menegang tanpa diminta.

Mungkin daripada aku desak dia memperlihatkan bukti ketulusannya, biar aku yang melakukannya. Anggap ini semacam ujian yang perlu kamu lewati, Mir.

Mira duduk di tempatnya setelah sempat mendekati Firman untuk menepuk bahu. Namun sekejap kemudian, Mira melihat Firman kini mengikis jarak dengan balik mendekatinya.

Kira-kira saat dalam posisi membungkuk, Firman merentangkan tangannya dan mencoba untuk melepaskan ikatan rambut panjang Mira.

Tak butuh waktu lama, rambut Mira terurai begitu saja setelah Firman meraih ikat rambut kecil yang mengikat rambut hitam milik Mira dengan model cepol.

"Kalau rambut kamu kayak gini kan cantik dilihat," kata Firman pelan, seperti suatu bisikan yang mendesir hatinya. "Nggak usah kamu ikat."

"Kamu ... apa yang kamu lakukan ..."

Belum selesai Mira berbicara, Firman membungkam mulut Mira dengan satu telunjuknya.

"Jangan bicara. Ini ujian. Aku yakin kamu pasti bisa melewatinya," pinta Firman kali ini menunduk, memandang Mira yang mendongakkan kepala ke atas.

"Jika kamu nggak bisa menunjukkan bukti, maka aku yang akan bikin kamu perlihatkan bukti itu," bisik Firman.

Jarak dekat seperti yang dilakukan Firman kini membuat jantungnya mulai tidak karuan. Apalagi dia bisa menghirup aroma tubuh Mira yang bisa ditebak adalah wangi khas parfum buah. Begitulah penilaian darinya berdasarkan indera penciumannya.

Sekejap kemudian, Firman perlahan menyingkirkan minuman kaleng beserta piring yang masih menyisakan beberapa potong apel. Kebetulan masih ada di atas karpet bulu miliknya. Baru setelah itu, Firman meraih wajah Mira dan tentu dia langsung memulai ujian yang sebenarnya.

Firman mencium bibir Mira secara intens, bahkan lebih dari sekadar mengecup seperti yang dilakukan Mira padanya.

Pria berkemeja itu menjauhkan wajahnya setelah 20 detik melakukannya lalu menatap Mira sekali lagi, sebagai momen agar tidak dapat melupakannya.

Dia nggak nolak ciumanku. Kupikir dia bakal menjauh. Mungkin, aku akan melangkah ke tahap selanjutnya.

"Kamu nggak menjauh, dan malah menerima ciuman yang aku kasih ke kamu," ucap Firman menjelaskan dugannya sebelum itu. "Apa kamu nggak membenciku kalau aku mulai bersikap layaknya seorang suami, bukannya tuan pada pelayannya?"

"Apa kamu ... ingin bersikap seperti suami?" tanya Mira menaruh kecurigaan. "Kamu nggak akan jadi tuan lagi ke aku?"

"Kamu sudah berusaha banyak kali ini. Selama dua pekan," kata Firman terus memegang dagu Mira dengan kedua tangannya. "Sekarang, masing-masing dari kita perlu mendedikasikan diri menjadi apa yang seharusnya."

"Apa seharusnya ... maksud kamu ... kita ... suami istri?" Mira menebak, disambut anggukan pelan dari Firman.

Lebih tepatnya, aku nggak tahan lagi. Aku mau kamu tetap bahagia seperti dulu, nggak merasa tertekan lagi olehku. Batin Firman berikutnya.

"Kini aku percaya, kalau kamu benar-benar tulus. Bukan lagi semacam permainan yang buat aku terbuai," tambah Firman membelai rahang Mira dengan halus. "Aku percaya, kamu sungguh menebus kesalahan kamu. Dan sekarang, kamu harus terima setiap perlakukanku padamu."

Firman menghela napas terlebih dahulu kemudian perlahan mendekati pandangannya kembali hingga jarak mereka sejengkal. Posisinya dia masih berlutut di atas Mira.

Tepat saat itulah, Firman meraih wajah Mira kemudian bibir mereka akhirnya bersentuhan dalam ciuman yang lembut dan penuh arti. Kini Firman mulai menurunkan tubuhnya dan membimbing Mira agar menyandar di bawah sofa, dan melanjutkan apa yang menjadi keharusan baginya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top