Bab 26

***

Dua hari setelah tindakan tidak terduga dari Mira. Rasanya jadi berbeda, ketika Mira masuk dalam unitnya dan membersihkan seluruh komponen. Firman menganggap ada hal lain dalam dirinya. Jika biasanya Firman bakal memperlakukan Mira seperti pembantu dan menyuruh Mira seenaknya, namun kini Firman enggan melempar perintah apa pun. Biarkan Mira bekerja sesuai kapasitas yang ada. Malahan Firman jadi menyuruh Mira tidak bekerja terlalu keras. Bisa kecapean katanya.

Belum ada sesi belajar setelah malam itu. Firman bahkan tak mengabarkan jadwal selanjutnya ke Mira, namun yang jelas Firman masih harus butuh Mira dalam melakukan tugas sesuai arahannya meski dalam intesitas ringan.

Sepulang dari kantor, Firman mendapati Mira tertidur pulas di sofa panjang miliknya. Bahkan sembari memegang sapu ijuk di lengan sebelah kanan.

Pasti dia capek nyapu sana-sini, padahal pemilik unit ini juga jarang membersihkan.

Firman menarik napas sebelum menghampiri Mira yang memejamkan mata, kemudian begitu berada di hadapan wanita yang molor itu, Firman menarik pelan sapu ijuk genggaman Mira lalu menaruhnya di pojok ruang utama.

Sepertinya Firman biarkan saja Mira menuntaskan tidurnya, daripada mengganggunya di saat ingin mengembalikan energi. Lebih baik memasak mie instan sebagai penuntas laparnya, karena dalam waktu dekat dia akan berurusan dengan laptop sepanjang malam. Mengerjakan pekerjaan yang belum selesai di kantor, sekaligus mengecek tumpukan draf konten yang dibuat anak-anak kantor.

Firman memutuskan membuat dua bungkus mie instan agar dirinya benar-benar mendapatkan tenaga untuk bekerja di malam hari. Tak lupa mengeluarkan sayur sawi yang sering dia stok serta kornet kalengan. Seperti biasa membuka dua bungkus lalu memasukkan mie miliknya di panci.

Saat ada yang berisik di dapur, saat itu pula mengundang rasa penasaran Mira dan memilih mengusik bunga tidurnya. Kedua mata Mira terbuka sepenuhnya dan melihat sesosok pria tinggi sedang memasak sesuatu.

Spontan Mira terbangun dan meluruskan tubuh, lalu mengikat rambutnya ke belakang dan memanggil nama Firman agar pria tersebut tahu dirinya sudah beristirahat.

"Kamu duduk aja biar aku yang lanjutin masak," kata Mira berinisiatif mengambil alih tugas Firman di dapur.

"Nggak usah, kamu yang harusnya duduk," pinta Firman menunjuk sofa yang barusan ditiduri Mira. "Atau mau aku buatin mie? Ada satu nih di lemari, aku masakin."

"Nggak, jangan!" seru Mira melarang. "Nggak apa-apa, aku nggak lapar kok. Lagipula setelah ini aku pengen buatkan kamu makan malam."

Firman tersenyum ringan. "Justru makan malamku tuh mie instan doang, karena aku mau kerja jam 8 malam nanti. Selesaiin urusan kantor, banyak yang belum selesai rupanya."

"Terus ..." Mira berucap lagi sambil menarik kursi untuk duduk. "Sesi belajar gimana? Kalau kamunya sibuk?"

"Nggak ada sesi belajar malam ini. Ditunda dulu sampai waktu yang ditentukan." Firman menjawab tanpa hambatan. "Tapi tetap aku suruh kamu belajar mandiri, biar nanti kalau ada jadwal, kamu nggak plonga-plongo waktu aku terangin materi."

Mira hanya mengangguk tanpa menanggapi jawaban Firman tadi. Sekilas dia melempar pandangan lurus ke depan, melihat Firman yang tampak membuka satu bungkus lagi serta satu panci kecil yang ditaruh di atas mata kompor yang kosong. Tunggu, harusnya Firman tidak perlu repot-repot membuatkannya mie. Dia juga sudah bilang sendiri kalau dirinya tidak lapar dan tak meminta Firman mengambil sebungkus mie dari lemari.

"Kok ... kamu ..." Mira bersuara, cepat-cepat disela Firman.

"Kamu kaget kalau aku punya dua mangkuk?" tebak Firman. "Iya, kubuatkan mie karena kulihat kamu kecapean loh nyapu apartemenku, belum lagi kamu bawain pakaian kotor ke lantai empat untuk di-laundry."

Firman tahu semua tugas itu, terbukti dari lantai kayu unitnya yang terlihat kinclong juga bukti tagihan dari pihak laundry yang untungnya dia bayar melalui transfer jadi tinggal diambilnya jika sudah selesai.

"Iya, bener sih. Sesuai dari apa yang sudah kita sepakati," ujar Mira begitu pelan.

"Habis ini kamu boleh pergi ke manapun dah. Terserah kamu." Firman memberi izin bahkan tanpa menolehkan pandangannya ke arah Mira. Justru fokus memasakkan mie untuk Mira.

"Ke manapun ... aku boleh pergi?" tanya Mira memastikan. Balasan dari Firman hanyalah dehaman singkat.

"Nggak ada sesi belajar, kan? Jadi kamu bisa pergi ke manapun kamu suka. Aku nggak melarang."

Ada kelegaan yang Mira rasakan begitu Firman mengizinkannya bebas untuk hari ini. Namun, melihat Firman yang bergerak sendiri di dapur, ke mana-mana mengambil bahan sebagai pelengkap mie, justru membuat Mira jadi tidak enak. Entah kenapa semenjak perubahan kontrak dan pendekatan yang terbilang intens, Mira jadi menaruh perhatian pada Firman dan dia ingin Firman lebih banyak menghabiskan waktu istirahat dibanding memasakkan mie untuknya.

"Nih, mienya sudah jadi. Silakan makan."

Lamunan Mira terbuyarkan begitu aroma lezat dari mie instan buatan Firman mengepul di hadapannya. Beruntung dia cepat-cepat menuruni pandangannya dan langsung menggerakkan sendok dan garpu yang berada dalam mangkuk.

Firman juga tampak bersemangat mengaduk mienya dengan sendok. Mira bisa lihat dari bagaimana Firman langsung menyeruput mie bahkan sampai menggoyangkan sedikit tubuhnya sangking merasa enaknya mie tersebut.

Benar-benar banyak perubahan yang dirasakan Mira, termasuk dia yang sering membuat tatapan dengan Firman, padahal dia sedang menikmati semangkuk mie.

Apa perasaan itu datang secara tiba-tiba, bahkan tanpa diminta? Entah, Mira belum bisa menjawabnya. Mira masih harus melakukan tugasnya sebagai tukang suruh-suruhnya Firman, seperti yang dia harapkan.

Tak ada lagi obrolan yang menghiasi, Mira pun jadi fokus pada mienya setelah memutuskan tidak peduli dengan pergolakan batinnya. Memilih mengabaikan perasaannya adalah jalan terbaik agar tidak berpikir yang bukan-bukan.

***

Setelah Mira yang mengunjungi apartemen Lexi, kini giliran Lexi yang berkunjung ke unit 1BR milik Mira. Begitu disambut oleh si pemilik unit, Lexi tak henti-henti berdecak kagum melihat seisi unit yang ditempati Mira.

"Bagus juga ya apartemenmu, Mir." Lexi tak ragu memuji. "Bisa saja unit ini dua kali lebih luas dibanding unitku."

Balasan Mira hanyalah tawa ringan kemudian menarik tangan Lexi menuju meja makan untuk mempersilakan menyantap hidangan penutup yang barusan dia siapkan.

Memutuskan memanggil Lexi selama sesi liburnya adalah jalan terbaik. Apalagi dia juga punya banyak hal untuk dia bicarakan pada Lexi. Pun dia lihat selama sahabatnya masuk dalam unit, Lexi tampil berbeda dengan pakaian feminin. Biasanya saat Lexi bertugas jadi detektif swasta yang membantu klien, dia mengenakan jaket hitam dan celana jins. Tak lupa tatapan tajam serta seringai yang menghiasi wajah. Malah kali ini, Lexi mengenakan cardigan warna merah muda pastel serta celana kulot warna krem. Membuat Mira jadi terus memperhatikan Lexi selama kedatangannya.

"Ngomong-ngomong gimana hukuman yang kamu jalani? Apa kamu dihargai oleh si Firman?" tanya Lexi lalu kedua tangannya menengadah menunggu Mira mengambilkan piring beserta garpu.

"Lumayan sih. Meski kadang-kadang dia bersikap dingin, lalu dia bersikap baik lagi. Banyak kadang-kadangnya. Aku juga terkadang bingung bagaimana sikap dia yang sebenarnya," jawab Mira mengambil posisi duduk bersejajar dengan Lexi.

"Aku yakin Firman menghargai keberadaan kamu." Lexi berusaha berpikir positif. "Dengan begitu dia bakal tahu seberapa besar rasa bersalahmu padanya. Tetaplah bersikap selayaknya istri yang baik buat Firman."

Mira mengangguk kuat, mendengar saran Lexi. "Aku akan tetap seperti itu, sih. Juga tentang Yudi. Kamu bilang Yudi berbahaya untuk Firman, makanya aku harus menjaga dia."

"Oh iya. Aku lupa soal itu." Lexi menepuk kepalanya menyadari hal tersebut. "Aku yang pertama memberimu kabar tentang Yudi, kan? Jadi, gimana saat kamu bertemu Yudi? Dia membahas Firman?"

Obrolan mereka pun beralih topik, tentu karena situasi terkini yang mendukung mereka untuk menggali informasi lebih lanjut terkait Yudi.

Mira membenarkan pertanyaan Lexi barusan. "Dia bahkan punya julukan untuk Firman, yang aku sendiri baru ingat. Si lemah."

Lexi mencondongkan pandangannya dalam mata yang mengawasi. "Kamu harus tahu, Mir. Banyak yang takut kepadaku saat SMA, tapi aku justru takut pada Yudi. Si pendiam namun menghanyutkan. Yudi bisa menyingkirkan siapa saja yang menghalanginya. Termasuk Firman.

"Walaupun bahasa 'menyingkirkan' dulunya merujuk pada ambisi Yudi untuk menjadi pintar dan tak boleh ada yang mengambil posisinya, tapi setelah bertemu Firman, duh." Lexi menaruh tangannya ke kepala seolah membuat ekspresi pusing. "Bahkan yang aku tahu nih, Firman masuk rumah sakit karena ulahnya. Aku jadi khawatir sama Firman, takutnya dia tiba-tiba berpapasan sama Yudi."

Mira menyendok mille crepe miliknya sebelum menanggapi. "Benar yang kamu katakan, Lex. Auranya Yudi saat lama nggak ketemu dengannya juga terbaca kok. Dia sungguh punya masa lalu yang belum selesai dengan Firman, bahkan aku sendiri juga tidak sadar."

"Walaupun begitu, Mir. Pernikahan kalian itu cuma sementara. Bagaimana jika di saat kamu melindunginya, kamu sungguh jatuh cinta padanya? Apa kamu akan meneruskan pernikahanmu dengan Firman?"

Mira merasa napasnya terhenti sesaat, terjebak dalam dilema yang bahkan kata-kata sulit diungkapkan. Tatapannya terfokus pada sepiring mille crepe yang masih belum habis. Matanya berbinar-binar seperti mencoba menangkap kilatan memori yang tak terlalu jauh.

Terlebih perasaannya yang kian berubah semenjak menjadi asisten Firman dalam hal membersihkan. Dia sering menatap Firman dan bahkan dia mengecup bibirnya ketika Firman mengalami kepedasan kala makan mie bersama di minimarket apartemen.

"Aku ..." gumamnya pelan, lalu Mira menghela napas begitu dalam. "Sebenarnya ... aku tuh merasa ... perasaan itu tumbuh begitu saja, seiring dengan waktu yang kami habiskan bersama. Meskipun aku selalu berusaha menepisnya, entah bagaimana, rasa itu tumbuh dengan sendirinya. Aku merasakan getaran yang tak terduga setiap kali dia ada di dekatku."

Lexi tersenyum puas dengan jawaban yang dia dengar sendiri. "Tuh. Sudah kubilang, makin lama kamu berada di dekatnya, maka kamu akan merasakan sesuatu yang mengganjal dari dalam hati. Aku yakin Firman juga akan merasakan hal yang sama sepertimu. Cuma dia sembunyikan aja."

Mira mengerut kening, seolah ragu dengan tanggapan Lexi barusan. "Benar Firman juga merasakan begitu?"

"Percaya sama aku, Mir." Tatapan Lexi teramat dalam, bahkan Mira juga merasakannya ketika matanya bersirobok. "Aku yakin pernikahan kalian tidak lagi sementara tapi akan berlanjut. Yah mungkin cuma dugaan aku sih, hanya saja perasaan kamu yang tulus karena mendekati Firman untuk menebus rasa bersalah, pasti akan cepat buat Firman goyah. Walaupun, Firman sampai kini tetap akan menghindari perasaannya."

Entah kenapa, Mira seakan enggan memercayai sepenuhnya kata-kata Lexi. Meski dia memang punya perasaan setelah berbagai hal dilalui, tetap saja Mira perlu memendamnya. Lihat saja, Firman tidak peduli dengannya dan hanya memandang Mira sebagai istri sementara untuk setengah tahun. Bagaimana bisa seorang Lexi bisa menyimpulkan hal yang bahkan belum pernah dia lihat?

"Aku minta bantuan kamu lagi, Lex." Mira bersuara setelah beberapa menit sempat hening.

Lexi yang baru suapan pertama langsung menanggapi. "Bantuan apa? Tentang Firman lagi?"

Mira menggeleng cepat. "Kamu harus terus mengawasi pergerakan Yudi. Kalau bisa, dekati dia dan cari tahu apa rencananya."

Lexi sempat menghela napas. Lalu tak berapa lama, dia memberikan jawabannya. "Baiklah. Itu juga bagian dari plan aku. Kalau dia macam-macam, kita bisa lawan si Yudi."

"Memang kamu bisa menghadapi dia dengan tangan kosong?" tanya Mira ragu-ragu.

"Ingat, aku ini detektif swasta. Aku bahkan punya beberapa anak buah. Bahkan dari SMA pun. Jika aku bisa membuat dia mengakui kesalahannya, maka dia tidak akan mengganggu siapapun lagi termasuk Firman."

Mira hanya membalas dengan anggukan lalu meraih makanan penutup miliknya dan mengarahkan ke mulut. Sungguh, mille crepe adalah makanan yang paling menenangkan dirinya, apalagi manisnya juga pas. Tidak salah dia membelinya untuk Lexi sebelum kedatangannya.

Sementara itu, di sudut ruangan yang remang-remang, Yudi terlihat memakai kemeja merah gelap yang menciptakan bayangan dramatis di sekitarnya. Dia menggenggam erat anak panah, jari-jarinya berada dalam posisi tegang di sekitar bagian melengkungnya. Mata Yudi yang tajam seperti mata elang terfokus dengan serius pada objek di depannya, yaitu sebuah foto Firman ketika masih muda dan terpasang di dinding.

Dalam keheningan yang hanya diisi oleh napasnya sendiri, Yudi mengarahkan pandangannya pada foto itu. Ekspresi wajahnya yang keras mengisyaratkan kemarahannya yang tertahan, namun tak pernah luntur. Dengan gerakan yang mantap, Yudi melepaskan anak panah dengan cepat, dan anak panah itu meluncur menuju targetnya dengan kecepatan yang memukau.

Namun, suara hentakan lembut seiring dengan anak panah yang meleset menunjukkan bahwa ketegangan di dalam Yudi masih belum terpecahkan. Dia meraih anak panah kecil lainnya, memegangnya dengan ujung jari seperti memegang pena saat menulis. Penuh emosi yang terpendam, Yudi menghela napas dalam-dalam sebelum melepaskan anak panah itu lagi.

"Dasar lemah!" Yudi berseru bahkan suaranya pun menciptakan getaran di udara yang berangin. Anak panah itu meluncur dengan presisi, tapi tetap tak mengenai sasaran yang diinginkan. Rasa frustrasi semakin terlihat jelas di mata Yudi, namun dia tak menyerah.

Ketika anak panah kedua meleset lagi, ketegangan semakin terasa. Tapi Yudi tetap tak menyerah pada rasa frustasinya. Amarah yang terpendam seketika meluap, dan tanpa ragu, Yudi meraih foto Firman yang tersusun di dinding. Kertas foto itu pun tak kuat menahan kemarahan Yudi, dan robekan suara menusuk udara saat kertas itu hancur berkeping-keping.

"Kenapa menghabisimu saja susah sekali, hah?" ungkap Yudi dengan gigi gemertak.

Yudi pernah ingat bahwa dia pernah menendang Firman beberapa kali di gedung belakang sekolah. Tentu alasannya adalah karena Firman yang diminta guru untuk ikut olimpiade matematika saat itu. Yudi tidak terima dan memilih memukul lelaki kacamata itu sampai tidak berdaya.

Yudi menghela napas lalu membiarkan robekan tersebut berhamburan di lantai. Sambil berjalan menuju kulkas dan mengambil botol minuman alkohol, Yudi membuat tatapan kosong yang berada di hadapan. Pikiran tentang Firman belum juga menyingkir dari benak. Terus saja sampai Firman benar-benar lemah di depannya.

"Aku akan buat Firman seperti dulu lagi. Aku tidak akan main-main."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top