Bab 24

***

Pagi yang cerah menyapa Firman ketika sinar matahari menembus kaca jendela dan menabrak wajahnya. Tanpa alarm yang berisik, Firman bangun dengan inisiatifnya sendiri. Dia menggerakkan kedua tangannya untuk meregangkan tubuh yang masih terbungkus selimut, kemudian perlahan menyibak sebagian selimut untuk merasakan udara segar pagi.

Tatapan mengantuk masih terpancar dari matanya ketika Firman mematikan pendingin ruangan yang menggantung di atas. Selagi tubuhnya ingin tetap berbaring dan menyerap kenyamanan tempat tidur, matahari yang terus menari di sela-sela gorden memaksa dia untuk bangun.

Namun, ketenangan pagi itu terputus oleh dering ponsel yang berbunyi dengan keras di nakas. Firman langsung mengulurkan tangannya dan mengambil ponselnya. Saat melihat layar dan memastikan siapa yang menelepon, dia terkejut bukan main ketika tahu panggilan tersebut bukan dari kantor, melainkan dari tetangga di unit sebelah—Mira.

Firman mencoba mengumpulkan pikirannya yang masih setengah sadar, lalu menerima telepon dari Mira.

"Aku lagi buat sarapan. Mau gabung?" kata Mira dari seberang telepon. Suaranya seperti bujukan untuk menerima tawaran tersebut dengan cepat, tanpa perlu berpikir panjang.

Firman menghela napas berat, melepaskan ponsel dari telinganya. Perutnya berbunyi, merayu untuk segera diisi dengan makanan. Dalam situasi seperti ini, biasanya dia akan bergerak cepat menuju dapur, tetapi kali ini, Firman merasa malas untuk melakukan apapun. Tenaganya hanya cukup untuk mandi dan bersiap pergi ke kantor.

"Apa aku harus kesampingkan ego dan sarapan aja di unitnya Mira?" gumam Firman pada dirinya sendiri, berbaring di samping kiri tempat tidurnya. "Sudahlah, nggak baik juga aku bersikap dingin padanya terus-terusan. Cuma sarapan di sebelah habis itu ke sini lagi buat mandi."

Setelah mengambil keputusan, Firman menempelkan ponsel setelah sempat menjauhinya. "Baiklah. Aku akan sarapan. Tunggu aku di situ."

Firman mengenakan piyama berwarna biru navy, dan enggan melepasnya. Menuruni tempat tidur, dengan cepat Firman mengalasi kakinya dengan sandal rumah yang ringin dan berjalan menuju pintu kamarnya untuk keluar dari tempat ternyamannya. Barulah setelah itu, dia lanjut berjalan ke arah keluar pintu unitnya dan langsung menuju unit Mira. Ketukan permukaan pintu secara perlahan menjadi penyambut dirinya kala berada di depan pintu unit 20-7.

"Mira?" panggil Firman sambil menggebrak pintu sekali. Pintu terbuka dengan cepat, dan Mira terkejut melihat pria tampan dengan wajah yang terlihat lemas, seolah belum mengumpulkan tenaga untuk memulai hari.

"Firman? Datang juga akhirnya," ujar Mira dengan antusias.

"Kenapa kamu bangunin aku jam 7 pagi, hah?" tanya Firman sambil menguap begitu lebar. "Tadinya aku pengen tidur lagi, secara aku masuk kantor jam 10, meski weekend. Hanya saja, aku nggak boleh terlalu mementingin ego, apalagi kamu tawarin sarapan. Makanya aku ke sini, dan malas juga buat sarapan."

Mira membentuk lengkungan di bibirnya, dan matanya pun ikut menyipit. "Bagus deh kalau begitu." Wanita yang mengenakan hoodie itu spontan menarik tangan Firman untuk mengajaknya masuk ke dalam. "Ayo, kebetulan sarapannya sudah jadi."

Begitu mengitari ruang utama, Firman menangkap salah satu yang menjadi perhatiannya. Tentu, dia mendapati meja makan yang ditata rapi. Di piring saji berukuran besar, ada makanan kesukaannya. Entah kenapa, dia merasa rindu makanan yang dulu dimasak ibunya ketika masih tinggal di rumah.

Tumis sosis mentega menjadi bintang utama pada sarapan mereka kali ini. Tak lupa ada dua piring yang disusun menyatu serta sebakul nasi yang sekiranya cukup.

"Makanlah. Aku sudah susah payah bikinnya loh." Mira mempersilakan lalu duduk di meja makan lebih dulu, mengambil piring serta sendok untuk menyalin nasi.

Firman juga ikut duduk hingga mereka saling berhadapan.

"Ngomong-ngomong, ini kedua kalinya kita sarapan bersama." Mira membuka obrolan sambil mengingat momen yang belum pernah mereka lakukan. "Tapi waktu sehari lalu, kamu irit bicara banget. Bahkan masih bersikap dingin. Sekarang, kamu justru berinisiatif datang ke sini. Karena ajakanku juga. Kupikir kamu nggak mau."

Firman menggelengkan kepalanya, mencoba menegaskan alasan kedatangannya. "Kamu jangan kesenangan dulu, Mir. Aku tuh ke sini karena lapar dan malas masak. Bukan menerima ajakan kamu."

Meskipun fakta bahwa Mira memasak makanan kesukaannya, Firman tetap berpegang teguh pada aturan yang disepakati mereka. Jadi kedatangannya di unit Mira semata-mata hanya ingin menuntaskan rasa lapar. Lagipula sudah lama dia tidak mencicipi tumis sosis mentega, yang menjadi makanan kesukaannya itu.

Firman duduk di kursi dengan wajah datar, mencoba menyamarkan perasaannya yang ikut senang atas sarapan pagi ini. Dia mengambil seperempat porsi tumis sosis mentega dan menikmati rasanya dalam diam. Meskipun dia berusaha menahan ekspresi berlebih, matanya tak bisa menyembunyikan kelezatan makanan yang dia nikmati setelah sekian lama tak memakannya.

"Bagus juga caramu masak, Mir," puji Firman tanpa senyuman, dia tampak mencoba memancing obrolan. "Kamu masak ini dari resep keluargamu atau lihat di internet?"

Mira tersenyum lalu menjawab pertanyaan dari Firman. "Iya, resep dari ibuku. Beliau sering memasaknya untukku waktu masih tinggal di rumah."

Kebetulan, ibunya juga sering masak tumis sosis mentega buat Firman. Bukan hanya itu, tapi masakan lain pun biasanya sering dan Firman jadinya tidak perlu membeli makanan dari luar. Dia cukup menikmati masakan ibunya tanpa keluar uang.

Tanpa sadar, Firman terus saja menyendok sajian itu ke mulutnya. Hingga inisiatif untuk menambahnya lagi dan menyalin ke piring yang masih terisa seperempat nasi.

"Oh iya. Kamu nggak baca pesanku?" tanya Mira lagi saat Firman semangat menyantap sajian. Membuat konsentrasi Firman buyar sejenak.

"Pesan? Pesan apa?" Firman balik tanya. Mira spontan menunjuk layar ponsel miliknya yaitu gelembung pesan di ruang obrolan. Mira mengirimnya beberapa menit lalu, bahkan nyaris sejam.

Kebetulan ponsel miliknya dibawa. Firman segera mengecek.

"Tunggu. Revisi kontrak?" Firman mengernyitkan kening sambil membuka file berisi kontrak beserta aturan yang telah diubah isinya.

Mira mengangguk mantap. "Ada dua poin yang berubah. Coba lihat."

Kepala Firman tertunduk dan menyimak baik-baik isi kontrak yang direvisi oleh Mira. Matanya bergerak perlahan, membaca setiap kata dalam kontrak tersebut.

4. BOLEH saling menganggap suami-istri. Tetapi pihak pertama maupun pihak kedua harus bersahabat seperti biasanya. (REVISI: Pihak pertama melayani pihak kedua, seperti membuatkan sarapan atau membuatkan minuman ketika sedang bekerja)
Poin 8 dihapus

"Jadi ... kamu ..."

Mira melenggut spontan. "Mulai sekarang, walau kamu nggak minta pun, aku yang bakal buatkan kamu bekal untuk ke kantor. Memasakkan kamu sesuatu, jadi kamu tidak perlu repot-repot bikin makanan."

"Jadi asisten maksudnya?"

"Iya."

"Tunggu, tunggu. Apa itu artinya kamu mau berlagak seperti istri yang baik buatku?" tanya Firman memastikan.

"Aku tahu sih, ini akan melenceng dari apa yang sudah kita sepakati dulu. Tapi, dari waktu enam bulan, tersisa lima bulan lagi. Bukan berarti aku mau dekat sama kamu, aku cuma ingin bantu meringankan. Kamu pekerja kantoran dan banyak tugas yang diberikan atasan. Aku takut saja kamu tidak bisa mengurus dirimu sendiri dan mementingkan pekerjaan dibanding lainnya.

"Aku tuh begini bukan karena peduli sama kamu, Man. Jadi tolong jangan mengajukan keberatan kalau aku bikinin kamu bekal setiap hari dan memasakkan kamu sesuatu, mencuci pakaianmu dan semuanya. Aku melakukan semua itu biar kamu juga fokus bekerja."

Firman terdiam, menunjukkan gerak-gerik yang tidak jelas. Entah kenapa semua yang dikatakan Mira itu benar adanya. Di samping masalah kantor yang harus dia kerjakan, membuat Firman tak lagi mengurus diri melainkan lebih mengurus pekerjaan. Ditambah dia harus mengoptimasi semaksimal mungkin postingan konten yang dibuat agar tidak terjadi penurunan performa. Hampir sebagian waktunya didedikasikan untuk FoodBeary.

Lagipula, Mira juga ada niat baik membantunya. Apa Firman terima saja? Pertanyaan itu menggelitik pikirannya, namun dia juga merasa bahwa bantuan Mira mungkin akan sangat menolongnya.

Apakah dengan begini, aku bisa jadikan ini sebagai kesempatan buat mempermainkan Mira? Sama seperti dia mempermainkan aku? Batin Firman.

Sementara itu, Mira menatap Firman yang kini kebingungan. Bukan tidak mungkin Mira mengubah isi kontrak agar Mira terus berada di dekat pria itu. Mira tidak boleh lengah, bagaimana jika Yudi lebih cerdik dibanding dugaannya? Mira takut membayangkan hal tersebut.

"Baiklah. Akan kuterima revisi ini," kata Firman kemudian tak lama menyodorkan telunjuknya dari jauh. "Tapi, kamu harus ingat sesi belajar. Begitu ada pesan dariku kalau ada sesi belajar, kamu harus ikut. Jangan coba-coba mangkir dari panggilanku. Mengerti?"

Mira mengangguk semangat. "Mengerti, Pak Firman."

Mereka saling bertatapan, ada rasa lega dan percaya satu sama lain yang tercermin dalam pandangan mereka, terutama Mira. Tanpa kata-kata, kesepakatan baru mereka telah terjalin, membawa perubahan tak terduga dalam pernikahan palsu mereka. Keduanya tahu bahwa hal ini bisa saja menjadi awal dari hubungan yang lebih dalam dan berarti.

"Setelah sarapan, aku langsung ke unit sebelah. Aku mau mandi," ujar Firman sambil meneguk air mineralnya.

Mira kini memasang senyum cengir. "Iya. Aku tahu, kok," jawabnya sambil mengangguk penuh pengertian.

Firman sempat melirik Mira yang membentuk lengkungan bibir yang begitu lebar. Dia hanya membalas dengan gelengan kepala. Tak memikirkan apa reaksi selanjutnya yang dia ingin berikan setelah menerima perubahan aturan yang mereka sepakati. Lebih baik tidak peduli dan menjalani hidupnya sebagai pekerja kantoran, tanpa meladeni perubahan sikap Mira barusan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top