Bab 22
***
(Mira. Kamu ingat nggak sama cowok ini? Yudi Prasetya. Dia cowok yang pernah mengakui perasaannya ke kamu waktu pertengahan kelas 11. Dia baru saja pulang dari luar negeri.)
Pesan dari Lexi membuyarkan aktivitas Mira, ketika membereskan piring kotor di meja makan unit Firman.
Tatapan matanya terpaku pada gambar seorang cowok yang dulu dikenalnya di SMA. Wajahnya terlihat familiar di foto itu. Mira terkejut, dadanya berdesir. Dia melihat lebih dekat foto tersebut, dan ingatan masa lalu pun menghampirinya. Kenangan buruk di sekolah dulu dan perasaan yang pernah dia simpan rapat-rapat tiba-tiba terputar dalam benaknya.
Mira tidak kenal akrab dengan Yudi Prasetya, meski pernah sekelas. Namun mereka selalu satu kelompok saat pembagian oleh guru. Di situlah mereka sempat saling menyukai walau cuma bertepuk sebelah tangan.
Satu pesan dari Lexi muncul lagi, ketika Mira hendak mematikan ponselnya untuk membawa piring kotor ke wastafel.
(Ngomong-ngomong soal kamu menikah dengan Firman, jangan kasih tahu padanya. Bukan apa-apa sih. Kita kan tahu Yudi sangat benci pada Firman. Dari kelas 11 kalau nggak salah, sejak dia pindah ke sekolah kita. Aku cuma takut aja kalau suatu saat dia nekat.)
Mira menatap layar ponselnya dengan intens, matanya bergerak dari satu tulisan ke tulisan berikutnya di pesan yang dikirim oleh Lexi. Wajahnya mencerminkan perasaan bingung dan serius saat dia mencoba memahami setiap kata yang tertulis.
Gelembung pesan dari Lexi muncul berikutnya. Mira merasakan detak jantungnya sedikit berdebar saat melihat pesan singkat dari temannya. Dia menahan napas sejenak sebelum akhirnya membaca pesan tersebut dengan ekspresi tegang.
(Kamu harus hati-hati dengannya. Kalau dia tanya tentang Firman, bilang tidak tahu.
Satu lagi. Aku kasih tahu kafe gedung apartemenmu. Katanya dia mau ketemu kamu, setelah dia sempat komunikasi ke aku barusan.)
"Mir? Mira?" Firman memanggil wanita berkaos lengan panjang itu dengan suara beratnya. "Mira Hartono!"
Si empunya nama tiba-tiba terkesiap. Pandangannya fokus kepada Firman yang saat ini sedang berkacak pinggang.
"Kamu ini nggak sesi belajar nggak di luar sesi belajar kerjaannya melamun mulu." Firman mengomel seperti biasa. Mira terbiasa mendengar itu. "Mana piring kotornya? Biar aku cuci sendiri."
"Hah? Kamu mau cuci piringnya sendiri?" Mira sempat terkejut dengan inisiatif Firman yang ingin melakukan tugas rumah tangga. "Biar aku saja cuci piring, jangan kamu."
"Nggak usah. Tugas kamu buatkan minuman. Urusan cuci piring, biar aku yang kerjain." Firman kini memberikan pekerjaan mudah buat Mira. Lalu tangannya terentang seolah memberikan kode bahwa tumpukan piring tersebut harus dibawa secepatnya.
Selagi Mira bergelut dengan pikirannya, tentu tidak sepatutnya dia menyerahkan tugas yang seharusnya kepada Firman. Hanya saja Firman kepalang ingin membantu, jadi sudahlah. Mira juga ditugaskan hal-hal lain.
Firman yang sedang mengenakan kemeja flanel serta celana jins hitam sedang mencuci piring di dapur. Tak lupa sarung tangan karet warna merah muda melekat di kedua tangan. Sementara itu, Mira mencuri pandang melihat Firman sangat bersemangat menggosok piring dengan spons lalu membilasnya.
Mira melangkah menuju dapur dengan langkah pelan. Perlahan, dia mengambil cerek berbahan keramik transparan dari atas lemari dekat kompor. Kemudian, dia membuka pintu kulkas dan mengambil semua bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat minuman.
Di samping sirup merah muda yang tertuang ke dalam cerek, Mira teringat barusan Lexi memberitahu tentang kafe apartemen. Apa Lexi sengaja membuat Mira dan Yudi bertemu, hanya sekadar menyapa atau membahas masa lalu? Mengingat Yudi serta Lexi pernah berteman baik, entah kalau sekarang. Padahal Mira berusaha melupakan Yudi, dia cuma menganggap Yudi terlalu berambisi hingga bersaing secara tidak sehat dengan Firman kala itu.
Beruntung, Mira tidak larut terlalu dalam dalam lamunannya hingga kesadarannya mulai terpanggil. Dia menarik napas panjang, berusaha mengalihkan perhatiannya ke minuman yang sedang dia buat.
"Minumannya sudah jadi? Cepetan bikin, jangan melamun terus. Aku lihat kamu malah melongo sekarang."
Jika saja Firman tidak mengingatkan, mungkin Mira akan terperdaya oleh lamunannya lagi. Dia menghela napas lega karena cepat memanggil kesadarannya, lalu melanjutkan dengan membuat minuman.
Setelah menaruh sirup merah muda, Mira meletakkan beberapa balok es batu ke dalam cerek tersebut. Kemudian menuangkan soda tanpa rasa dengan penuh perhatian hingga cerek itu penuh.
"Mau krimer juga?" tanya Mira menawarkan pilihan tambahan pada minuman. Balasan Firman hanya sebuah dehaman ringan, dan Mira pun menuangkan krimer cair ke dalam cerek untuk menambahkan rasa yang nikmat.
"Mir. Mana minumnya?" tanya Firman sambil menyeka keringat di keningnya.
Mira terkejut saat tiba-tiba Firman muncul di hadapannya, nampak berkeringat. Beruntungnya Mira sudah mengaduk minuman tersebut hingga semua komponen larut sempurna.
Dua gelas diambilnya dari rak, lalu minuman dari cerek pun dituangkan ke dalam gelas masing-masing hingga penuh. Mira memberikan gelas pertama pada Firman. Sambil menatap Firman yang mulai melepas sarung tangan karet di tangan sebelah kanan, Mira merasa sedikit tenang karena Firman bisa memegang gelas itu dengan bebas.
"Hari ini masuk kantor jam berapa?" tanya Mira niat basa-basi.
"Bentar lagi. Sekitar jam 10-an baru masuk," jawab Firman dengan intonasi biasa. Setelah menaruh gelas di meja, Firman melepas sarung tangan karet di tangan satunya.
"Tumben agak siangan," respon Mira terkejut. "Memang ada masalah ya di kantor?"
Firman membalas, bersikap dingin seperti biasa. "Kamu tuh kenapa sih, sampai segitu pedulinya?"
Mendengar hal tersebut, Mira sedikit terperanjat. Bukannya Firman barusan baik padanya, bahkan saat sarapan bareng, mereka bertukar cerita meski tidak ranah pribadi? Kenapa Firman seakan tidak memegang janjinya? Mira merasa usahanya jadi sia-sia.
"Jangan bilang kamu banyak tanya begini, biar aku bisa menghargai kamu sebagai istri aku, begitu?" tanya Firman lagi, seolah menebak maksud dan tujuan Mira berbuat seperti itu padanya.
Bukan menghargaiku sebagai istri kamu, Man. Tapi aku cuma mau kamu sadar, aku sungguh merenungi kesalahanku.
Mira tak dapat membuka mulutnya. Bibirnya mengatup sepenuhnya, hanya batin yang menjadi tempatnya untuk meluapkan apa yang tertahan dari dalam hati.
"Sudah. Mending nggak usah banyak tanya deh. Aku nggak suka kamu yang terlalu kepoan. Malas, tahu nggak?" Firman berbicara dengan nada kesal, membuat Mira diam tak berkata apa pun.
Tanpa ucapan selanjutnya, Firman melewati Mira yang sempat mematung. Lalu Firman dengan cepat menggunakan sepatu miliknya kemudian membuka kenop pintu unit 20-7 milik Mira.
Mira hanya menatap pintu, bingung dengan cara apalagi dia ingin melihat Firman baik seutuhnya. Lagi dan lagi Mira tidak ingin berharap banyak terhadap pernikahannya, cukup buat Firman melihat dirinya jadi Mira yang sekarang ketimbang dulu. Itulah satu-satunya harapan Mira, tidak lebih.
Apa mungkin, Firman menganggap semua yang dia lakukan agar membuat Firman menghargainya sebagai seorang istri? Jika dipikir-pikir, memang Mira melakukan apa yang seharusnya istri lakukan. Entah itu membersihkan atau melakukan pekerjaan lainnya. Namun seeperti yang dia singgung berulang-ulang kali, Mira hanya ingin menebus kesalahannya. Tanpa membebani Firman, sebab Firman juga pekerja kantoran dan tidak punya waktu mengurus unit sendirian.
"Dengan mendekatinya bisa kutarik kesimpulan bahwa Firman tidak mau menerimaku sebagai seorang istri, meski kami cuma menikah kontrak?" tanya Mira dalam hati.
***
Mira berjalan mengitari gedung apartemen. Wajahnya termenung, tampak gundah. Sikap dingin Firman pagi tadi seolah membuatnya dapat menebak jelas bahwa Firman sungguh tak dapat mengubah hatinya. Firman tetaplah memandang dirinya sebagai perisak.
Suasana malam yang redup membuat gedung-gedung terlihat megah dengan lampu-lampu yang mulai menyala. Namun, Mira merasa seperti berjalan di dalam keheningan. Pikirannya sibuk menerka alasan di balik sikap dingin Firman yang bahkan lebih parah dibanding sebelumnya.
"Sebenarnya Firman berpikiran bahwa aku akan mempertahankan pernikahan?" tanya Mira memberikan dugaannya. "Jika saja Firman kasih aku kesempatan buat menjelaskan, Firman nggak bakal jadi salah paham begini."
Mira berusaha meredakan gelisahnya. Tetapi kekhawatiran masih terus menghantuinya, menyelimuti pikiran dengan kebingungan dan rasa tidak nyaman.
Lamunan Mira mendadak terbuyarkan ketika pesan masuk melalui ponselnya.
(Dia menunggumu di dekat apartemen. Temui dia.)
Kebetulan, dia baru saja selesai makan di minimarket apartemen. Niatnya juga ingin bertemu dengan Yudi, hanya sekadar meladeni keinginan sahabat lamanya tersebut. Tentu Mira yakin ada maksud tertentu Yudi menemuinya, tidak lain karena perantara dari Lexi. Dia harus ingat, Yudi menjadi sahabatnya sejak pindah sekolah.
Sesuai pesan dari Lexi, Yudi berada di kafe apartemen, hanya dua blok dari pintu masuk gedung A. Mira bergegas dengan langkah cepat, dan tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan Yudi yang sedang mengenakan jaket berwarna putih biru.
Mira membuka pintu kafe dan duduk di meja bulat kecil di samping Yudi. Dari sisi kursi, tampak koper yang diletakkan di sampingnya, memberi petunjuk bahwa Yudi baru saja dari bandara. Langsung menuju gedung apartemen untuk menemui Mira.
"Lama nggak ketemu ya, Mir." Yudi menyapa dengan senyum yang tidak terlalu lebar. "Aku dengar semuanya dari Lexi, kamu tinggal di apartemen ini sendirian?"
"Mau apa kamu datang?" Mira menanggapi, merasa sedikit tidak nyaman dengan perlakuan Yudi setelah sekian lama.
"Sinis banget sih." Yudi menanggapi santai sambil menaikkan satu kakinya menumpu paha. "Baru juga aku datang, malah jadi kayak gini sama aku."
Mira tak menanggapi apa pun, fokus menatap Yudi dengan tatapan sebal.
"Oh iya, kamu sungguh lupa terhadap si lemah?" tanya Yudi selanjutnya, yang membuat Mira bingung dengan julukan tersebut. Di kepalanya, hanya ada panggilan si culun, yang tentu merujuk pada Firman.
"Si lemah siapa?" Mira bertanya dengan ragu, mencoba memberanikan diri untuk menanyakannya pada Yudi.
"Si lemah. Firman Setiawan. Siswa paling pintar di sekolah kita dan jadi anak emas para guru," jelas Yudi, sambil merujuk pada sosok yang mereka kenal dulu. Mira hanya menganggukkan kepala sebagai tanggapan.
Namun, saat Yudi menyebutkan "si lemah," Mira merasa ada sesuatu yang tak tepat. Seakan ada yang mengganjal dalam hatinya. Harusnya dia ingat bahwa Yudi juga pernah ikut merundung Firman, dan julukan itu menjadi bukti bahwa Yudi sendiri juga punya kesalahan yang sama dengan dirinya.
"Harus kamu tahu, aku belum selesai dengan si lemah itu. Bukannya melemah tapi makin berjaya," ujar Yudi dengan tajam, mengubah ekspresi wajahnya menjadi sedikit marah. "Aku lihat kok menfess yang tersebar di sosial media. Terus postingan di Instagram yang di-repost banyak orang. Melihat senyumnya aja ..." Yudi menghentikan ucapannya dan tangan kanannya mengepal dengan kuat.
Benar apa yang Lexi katakan. Ternyata membahas Firman sama saja membuat amarahnya meluap begitu saja. Entah kenapa, aku merasa dia punya masa lalu yang belum selesai dengan Firman. Mungkin itulah sebabnya dia bertindak seperti itu.
"Ngomong-ngomong, kamu baru saja sampai di luar negeri dan ... apa kamu menginap di apartemen sini?" tanya Mira iseng, mencoba untuk mengalihkan perhatian dari topik yang sebenarnya.
"Oh, aku mau nginap di gedung B. Hanya sewa sih, cuma beberapa bulan aja aku tinggal di sini. Soalnya aku ada urusan penting yang mengharuskanku pulang," jawab Yudi, memberikan sedikit informasi tanpa banyak merinci.
Meskipun Mira tak ingin terlalu tahu tentang pekerjaan Yudi atau urusannya, dia menyadari pentingnya menjaga kehati-hatian dalam berbicara. Kedatangan Yudi pasti ada hubungannya dengan Firman, dan dia merasa adanya tanggung jawab lebih untuk mencegah apa pun yang bisa memicu trauma pada Firman.
"Terus kamu? Tinggal di sini juga?" tanya Yudi balik, ingin tahu lebih lanjut tentang kehidupan Mira di apartemen.
"Iya. Aku tinggal sendirian," jawab Mira dengan tenang, tanpa menyebutkan hal-hal lebih lanjut. Dia sadar bahwa menyembunyikan status pernikahannya bisa menjaga keamanan Firman dari konfrontasi masa lalunya.
"Aku tahu kamu sempat cemburu dan benci dengan Firman. Namun bukan berarti kamu hanya ke sini hanya untuk melampiaskan dendammu padanya," ucap Mira tegas.
Yudi menatap Mira dengan ekspresi serius, mencoba membaca perasaan yang tersembunyi saat mendengar kata-kata Mira barusan. Sementara itu, Mira membalas tatapan Yudi tanpa tersulut emosi. Bahkan wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun selain demikian.
"Tentu, aku sempat cemburu dan benci pada Firman," ujar Yudi. "Tapi aku bukan hanya datang ke sini untuk melampiaskan dendam. Aku punya alasan penting yang harus kuselesaikan dengan dia."
Mira mengangguk paham dengan jawaban Yudii. Tentu dia tahu betul apa arti Firman bagi Yudi dan bagaimana perasaan masa lalu bisa berpengaruh pada 'reuni' mendadak mereka sekarang. Meski begitu, Mira punya peran penting untuk melindungi Firman dari apa pun yang bisa membahayakan kesehatan mentalnya. Dia harus menjaga Firman agar tidak terluka lagi oleh kenangan masa lalu yang pahit.
"Kamu kan sempat sahabat dengan Firman. Jadi, harusnya kamu bisa tahu dong kabar Firman sekarang bagaimana?" Yudi mengusap pelan kedua tangannya lalu melanjutkan. "Meski kamu menyuruhku nggak usah mikirin Firman, tapi aku cuma mau tahu Firman yang sekarang."
Pertanyaan Yudi terasa seperti kail yang mencoba menarik sesuatu. Ambisi Yudi untuk menghancurkan Firman, tergambar jelas dari nada suaranya, masih menyisakan bekas di hati Yudi.
"Aku sahabatnya bukan berarti aku tahu sedang apa Firman kini. Aku saja nggak tahu kabarnya gimana." Mira menanggapi tanpa terbata-bata, bahkan kini dia berhasil menaikkan amarahnya sebab Yudi yang terus memancing untuk memberitahu keadaan Firman.
"Pertanyaanmu sungguh tidak masuk akal, Yud," ejek Mira terang-terangan. "Harusnya kamu tuh mikir. Aku dekat dengan Firman cuma saat SMA dulu. Nggak mungkin aku bertukar kabar dengannya sekarang. Menanyakan di mana Firman ke aku itu salah besar. Aku bukan keluarganya, aku bukan siapa-siapanya."
Mira berusaha melunakkan Yudi dengan kata-katanya, mencoba menciptakan celah agar dia bisa melindungi Firman dari ambisi Yudi yang membahayakan.
Merasa tidak ada lagi topik pembicaraan, Mira melenggang pergi dari kafe. Langkahnya begitu kuat, hentakan sandalnya menandakan ketegangan dalam hatinya. Saat mendorong pintu kafe cukup kencang, reaksi emosionalnya terlihat jelas. Tanpa pikir panjang, dia memutuskan untuk pulang ke unitnya.
Sampai di lorong lantai 20 apartemen, napasnya tersengal-sengal. Entah kenapa, aura jahat yang Yudi tunjukkan barusan membuatnya merinding. Pikiran Mira berkecamuk, menggambarkan potensi bahaya yang bisa Yudi berikan pada Firman.
Jika memang Yudi bermaksud menghancurkan Firman seperti masa SMA dulu, sudah sepatutnya Mira bertugas melindungi dan menjaga Firman. Apabila mungkin, dia harus lebih melayani Firman seperti seorang istri. Meskipun melenceng dari kontrak, setidaknya itu adalah salah satu cara untuk melindungi Firman. Dia harus meninjau kontrak yang dibuat mereka dan siap merevisinya jika diperlukan.
Tak lama kemudian, ketukan sepatu kets memenuhi pendengaran Mira. Saat akan memasuki unit miliknya, Mira menoleh dan mendapati Firman yang sedang mengeluarkan kartu akses dari saku celana. Sorot matanya mencerminkan kelelahan, dan Mira penasaran dengan alasan keterlambatan Firman.
"Firman? Kok jam 10 baru pulang? Lembur di kantor?" tanyanya, mencoba mencari tahu keadaan Firman.
"Kalau aku lembur di kantor memang kenapa? Masalah?" Firman merespon dingin.
Balasan Mira hanya senyuman ringan, memaklumi bahwa Firman benar-benar capek dari kerjaan di kantor.
"Firman. Aku boleh minta sesuatu nggak?" Kali ini Mira berani mengambil inisiatif. Dia memegang punggung tangan Firman yang mencoba untuk menempelkan kartu akses di dekat kenop pintu.
"Apa sih?" Firman bertanya dengan nada tinggi.
Bukannya menjawab, Mira spontan memeluk tubuh Firman, meski tidak begitu erat. Firman terkejut dengan tindakan Mira yang mendadak merengkuh badannya.
"Hei, apa ini peluk-peluk?" Firman seakan ingin protes pada Mira. "Lepasin nggak? Aku mau masuk, istirahat," pintanya mencoba menjauhkan Mira darinya.
Tetapi yang dia dapatkan adalah Mira yang menggelengkan kepala. Sepertinya Mira tidak mendengar permintaannya, atau lebih tepatnya enggan menuruti perintahnya.
"Aku habis kena masalah. Nggak apa kan aku minta peluk?" Setelah itu, Mira menghela napas panjang, seolah-olah menunjukkan bahwa Mira tengah menghadapi masa sulit. Kepalanya kini bersandar ke dada Firman, mulai memejamkan mata sebentar untuk menikmati pelukannya.
Alasan sebenarnya Mira melakukan itu tentu karena masalah yang dia hadapi ketika bertemu Yudi. Posisi Mira kini cuma ingin menenangkan diri setelah perkataan Yudi yang bernada ancaman.Dia tak boleh membiarkan Yudi mengetahui rahasia bahwa dia adalah istri dari pria yang dibencinya. Mira harus menyimpan rapat-rapat kenyataan tersebut.
"Kamu mau makan mie?" tawar Mira masih dalam posisi memeluk Firman.
Sementara itu, yang dipeluk hanya bisa bergeming, seraya menarik napas pelan. Ekspresinya tampak campur aduk, mungkin sebab merasa bingung dengan apa yang Mira lakukan kali ini. Dia tak dapat menanggapi apa-apa, selain membiarkan Mira menenangkan diri.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top