Bab 20
***
Firman yang mengenakan kemeja denim sedang duduk berhadapan dengan Gio, rekan kerjanya. Mereka mendiamkan beberapa minuman yang dipesan mereka di meja kotak berukuran sedang.
Pria berjaket kulit cokelat itu sempat melirik Firman yang fokus bekerja sembari kedua tangan menari di atas keyboard laptop. Ketukan pada setiap tuts menimbulkan bunyi begitu nyaring. Membuat Gio jadi bergetar. Belum pernah melihat Firman seserius itu. Bahkan Firman melempar sorotan tajam pada layar laptop.
"Tidak habis pikir dengan tim kita. Kenapa bisa kerja mereka nggak becus?" gerutu Firman diikuti geraman kecil. "Mereka ini sudah mengecek KPI* dengan benar? Sudah sesuai target atau belum? Kenapa performa iklan yang dibuat bareng-bareng justru menurun? Apa yang salah sebenarnya?"
Pria berambut cepak itu hanya menyesap minuman cokelat miliknya tanpa menanggapi amarah Firman yang meluap-luap.
"Kamu lagi ada masalah?" tanya Gio tanpa ragu. "Biasanya tuh masalah ginian bisa kamu hadapi dengan kepala dingin. Ini kenapa ..."
Spontan Gio terkejut saat Firman menutup laptopnya dengan keras. Lagi, Firman menggeram sambil mengusap wajahnya berulang kali.
"Aku nggak tahu gimana harus menghadapi semuanya!!" sergah Firman. Mendadak tangannya mengepal lalu memukul meja hingga menghasilkan getaran yang cukup kuat.
"Tahan amarahmu, bro. Lagipula besok kita ada meeting untuk bahas evaluasi. Siapa tahu kita bisa menemukan celah yang mana alasan kenapa performa iklan menurun," ucap Gio memberikan saran.
Firman membuang napasnya kasar. "Benar-benar tim kita tidak becus."
"Minum, minum." Gio langsung menodong minuman strawberry frappe tepat di wajah Firman. "Kamu jangan marah kayak gitu, dong. Besok kita cari sama-sama masalahnya."
Firman terengah-engah, berusaha mengatur diri. Mengingat dirinya yang mengurus bagian utama marketing, harusnya ada kerja sama kuat di antara timnya daripada membuatnya marah.
Lagipula, percuma meluapkan amarah, terlebih yang buat masalah juga tidak sedang di hadapannya. Benar kata Gio. Ada evaluasi di kantornya jadi dia bisa mencari masalahnya, daripada membuat Firman capek karena marah-marah sendiri.
Minuman yang Gio sodorkan padanya pun langsung membuat kepalanya jadi luruh, dalam sekali sesapan. Tentu, tidak salah Firman memesan minuman tersebut, kadang menu itu jadi favoritnya kala larut dalam pekerjaan.
Melihat Firman mulai tenang, Gio langsung bernapas lega dan kini ikut membuka laptopnya seraya mengecek pekerjaan yang tersisa.
"Aku mau beli croissant. Kamu mau nggak?" tawar Firman pada Gio.
"Boleh."
"Mau yang isian apa?" lanjut Firman menawarkan.
"Rasa dark chocolate."
"Baiklah. Tunggu di sini." Firman berdiri dari kursi lalu melangkah cepat menghampiri bagian pemesanan.
"Pesan apa, Kak?" tanya barista wanita begitu Firman di hadapan.
"Pesan tambahan dua croissant, isi stroberi dan isi dark chocolate. Sama tambah lagi matcha frappe."
"Untuk croissant-nya mau dihangatkan?" Kembali barista tersebut bertanya.
"Iya, hangatkan saja."
"Baik, total harga bisa dilihat di layar," pinta barista itu.
Tanpa dilihat pun, Firman tahu harganya. Kemudian Firman meminta bayar menggunakan e-wallet. Lalu barista tadi memberikan kode pembayaran agar Firman bisa membayar. Begitu selesai, struk pun tercetak dan memberikannya pada Firman.
"Dapat promo nih!" seru Firman antusias saat kembali ke kursi.
"Promo apa?" Rasa penasaran mengundang Gio.
"Potongan 50%. Menggunakan e-wallet."
"Tidak biasanya kamu antusias dengan promo, bro." Gio membentuk lengkungan di bibir diikuti tawa kecil. "Ini aku nggak ngutang kan sama kamu?"
"Nggak lah. Aku tuh murni traktir kamu, karena saran darimu juga sih. Kalau saja kamu nggak bilang besok ada rapat evaluasi, aku bakal marah terus. Mengingat beberapa anggota tim kita yang tidak becus."
"Bagus deh, bro. Kita lanjut ngerjain ini sejam, habis itu kita pulang."
Firman menanggapi dengan anggukan mantap, kemudian atensi mereka berdua pun beralih ke depan layar laptop. Firman memulai pekerjaan dengan kedua tangan yang menari di atas keyboard hanya sekadar membalas surel yang masuk dan mengerjakan suatu laporan.
Hingga tak lama kemudian, salah satu barista meneriaki nama Firman.
Si pemilik nama pun menghentikan aktivitas dan berdiri dari kursinya untuk mengambil pesanan makanan miliknya juga Gio.
Meja yang mereka tempati agak berserakan dengan bekas minuman juga bekas piring yang hanya menyisakan remahan kue.
Setelah menaruh nampan di meja, Firman mulai membersihkan sampah-sampah dan membuangnya di tempat seharusnya.
Barulah setelah itu, Firman duduk kembali di kursi dan tak ada lagi obrolan yang menghiasi. Kedua sahabat itu fokus menyantap croissant lezat juga isian berlimpah. Tentu saja tak melupakan pekerjaan yang sempat terjeda.
***
Sepulangnya dari kafe, Firman langsung merebahkan diri di atas sofa ruang utama. Tenaganya berasa terkuras saat mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan konten. Tentu, sebagai spesialis di bidangnya, Firman perlu meneliti konten-konten yang sedang dikampanyekan di media sosial. Harus mencapai target, itulah yang diterapkan. Beruntung semua draf yang terkirim sesuai dan layak, tinggal menunggu persetujuan dari manajer untuk langsung dipasang materinya ke sosial media.
Firman menatap langit-langit. Lagi, dia merenungkan apa yang terjadi semalam, bahkan pagi tadi. Entah tak terhitung Firman terus berbuat baik pada Mira, padahal setelah menjadi suaminya, Firman harusnya bisa menjaga jarak dari wanita tersebut agar tidak ada yang goyah bahkan Mira pun.
"Kenapa ya aku ambilkan bantal untuknya ketika tak sengaja tidur di unitku?" tanya Firman pada dirinya sendiri. "Harusnya kubiarkan saja tertidur dengan selimut yang kuberikan. Itu saja sudah cukup. Apalagi?"
Hubungan Firman dan Mira hanya sebatas sebagai guru dan murid juga sebagai sahabat. Firman tak punya perasaan apa pun, bahkan dia tidak menyukai Mira. Tentu saja Firman bukanlah anti percintaan. Firman masih menganggap Mira sebagai tukang suruh-suruh.
Meski Mira minta maaf pun, Firman tak semudah itu menerima Mira sepenuhnya. Firman masih harus membuat Mira merasakan apa yang dia rasakan sebelumnya. Barulah dia anggap impas.
Firman hanya bisa menghela napas ketika menyimpulkan hal tersebut. Kebaikan yang dilakukannya sudah lebih dari cukup.
"Membuatkan sarapan untuknya saat pertemuan pertama, memberikan uang yang harusnya tiga juta jadi empat juta, lalu memberikan selimut dan bantal, apa aku terlalu baik?" tanya Firman masih kepada dirinya sendiri. "Aku kan benci pada wanita pengecut itu. Kenapa ... setelah menikah dengannya, aku terus-terus melunak padanya?"
Walaupun begitu, setidaknya Firman berhasil membuat Mira mematuhi perintahnya duduk selama empat jam belajar. Hal tersebut membuat Mira jadi tersiksa.
Hanya saja itu tidak sebanding dengan kebaikan yang dia lakukan. Jika diibaratkan timbangan, hal yang baik lebih berat daripada hal yang jahat. Apa Firman harus lebih bersikap dingin pada Mira?
"Galak padanya saja sudah cukup," gumam Firman.
Pria yang belum melepaskan pakaian kerjanya itu memejamkan mata perlahan, lalu kepalan tangan berada di atas keningnya. Sekali lagi hembusan napas lolos dari mulut.
"Aku pun bersikap dingin padanya di luar sesi belajar. Tapi ... bagaimana bisa Mira jadi suka sama wajahku sehingga dia jadi menatapnya terus-menerus? Mungkinkah Mira terbawa perasaan atas apa yang kami lakukan saat jalan-jalan romantis?"
Firman akui dia sering melempar senyuman hangat kepada Mira ketika mereka mengambil momen di restoran ramen kala itu. Tentu dia refleks melakukannya karena kepentingan pengambil foto. Setelahnya, bersikap dingin dan benci. Begitulah yang selalu dia terapkan.
Bel pintu berbunyi. Sukses menyadarkan Firman yang nyaris melamun lebih jauh. Pria berjaket denim tersebut bangun dari sofa dan berjalan cepat menuju arah keluar. Mungkinkah dari tetangga yang kebetulan membagikan makanan atau ada hal tertentu?
Begitu pintu terbuka, Firman mendapati sekantong makanan tergeletak di bawah. Lalu tak lupa ada catatan tempel di sisi kiri. Segera Firman melepasnya dan membaca catatan tersebut.
(Kebetulan saya ada makanan lebih. Jadi saya kasih buat Bapak Firman yang gantengnya lebih kalau lagi ngajar. Selamat makan ya, pak.)
Dari panggilannya saja tidak perlu ditebak lagi. Itu pemberian Mira.
Walau tahu Firman membenci Mira, tetap saja Mira punya berbagai cara agar memberikan perhatian kepada dirinya.
Perutnya kini memberontak, apa perlu menerima makanan dari Mira?
Tidak, niat Firman adalah mengurangi sikap baiknya kepada Mira. Maka tangannya pun mengangkat kantongan besar tersebut kemudian menaruhnya di depan pintu unit 20-7. Firman enggan menerima buah tangan dari Mira, termasuk makanan. Dia mulai membunyikan bel lalu beringsut pergi menuju unitnya. Tidak peduli reaksi Mira setelah itu.
Alangkah bagusnya jika Firman menjaga jarak dan tidak bersikap baik lagi pada Mira. Begitu menyandar pintu belakang unit, Firman menghela napas lega.
"Aku nggak akan baik lagi pada Mira. Kalaupun dia mau caper lagi, aku masa bodo. Biarin aja sampai dia capek sendiri," kata Firman bertekad pada dirinya sendiri.
' Aku mau sahabat denganmu, Firman. Aku nggak ingin merundung kamu lagi. '
Ucapan Mira di masa lalu terlintas begitu saja dalam pikirannya. Mendadak teringat tentang Mira yang mulai berubah padanya. Kalau tidak salah, itu saat mereka akan lulus dari sekolah.
' Aku janji akan melindungi kamu dari teman-teman lain. '
Firman yang masih menyandar di daun pintu spontan menubrukkan kepalanya hingga menimbulkan bunyi. Salivanya turun langsung ke kerongkongan.
Jika diingat-ingat, Mira tidak seburuk itu. Dia juga punya sisi baik yang belum pernah diperlihatkan. Saat dulu, Firman menerima ajakan Mira untuk berbaikan dan di situlah Mira terus baik hingga mereka lulus SMA bahkan satu kampus. Meskipun, sikap keras kepala Mira yang membuat Firman membencinya.
' Pikiranku kalang kabut sekarang. Besok aku akan berenang. Agar aku bisa menata apa yang ada dalam otak. '
***
*KPI: Key Performance Indicator
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top