Bab 2

***

(Aku sudah sampai di kafe gedung 'Heitz'. Foto dalam kafenya sudah kukirim, jadi harusnya kamu sudah tahu di mana tempatnya.)

Seraya berjalan melintasi lorong yang panjang di dalam gedung lantai 20, Mira menunduk untuk membaca pesan yang lama dikirim dari Firman. Seperti yang diketahui, gedung tersebut adalah gedung kantoran bernama 'Heitz', yang memiliki suasana hangat dengan lampu gantung berjejeran di langit-langit. Di sekitar dinding lobby utama, terdapat pigura-pigura besar yang menghiasi dinding-dinding tersebut.

Tak lama setelah itu, Mira memasuki sebuah kedai kopi yang terletak di sebelah kanan setelah melewati bagian resepsionis gedung tersebut. Kedai kopi bernama Brilliant itu terkenal dengan signature menu mereka yakni milk coffee with bisscoff. Tak lupa, kafe Brilliant juga memiliki banyak pengunjung dan rata-rata orang kantoran yang kerja di gedung Heitz.

Saat Mira melangkah ke dalamnya, spontan pandangannya tertuju pada seorang pria yang duduk di salah satu meja bentuk booth & benches. Pria itu mengenakan jaket kulit warna krem dan sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Meja tempatnya duduk berada di dekat jendela kaca, memberikan pemandangan yang menyenangkan.

Selain laptop, di meja tersebut juga tersaji segelas strawberry frappe dan sepotong kue red velvet yang menarik perhatian Mira. Semua itu memberikan nuansa hangat dan santai di tengah kesibukan perkantoran.

Tanpa lama-lama, dia memutuskan untuk menghampiri Firman yang tengah bekerja. Dia tak perlu membalas pesan barusan karena tujuannya tentu ingin berbincang langsung dengan orang yang pernah dia jadikan sahabat.

Seraya memeluk tabletnya erat dan mengeratkan tote bag di lengan, Mira berjalan pelan menghampiri pria berkacamata bulat itu.

"Hai," sapanya terlihat canggung, tetap dalam posisi berdiri dekat meja milik Firman. "Lagi kerja gini bikin aku nggak enak, jadi ganggu konsentrasi."

Mira duduk perlahan di hadapan Firman lalu meletakkan tablet serta laptop di atas meja.

"It's okay, chill," Firman membalas cepat lalu mengesampingkan pekerjaannya, menyingkirkan laptopnya, dan fokus menatap Mira.

"Baiklah, aku langsung saja. Kamu bilang kamu pekerja lepas, kan? Pekerjaanmu apa?" tanya Firman sebagai pembuka obrolan. "Lalu kenapa dari tiga perusahaan yang kamu lamar, semuanya tidak diterima? Kamu bahkan berani menjamin dirimu bisa lolos semuanya cuma karena kamu sampai pada tahap wawancara."

Mendengar cercaan pria di hadapannya membuat Mira mendengus kesal. Masih saja dia mengungkit hal itu. Sungguh menguras emosi.

"Aku freelance," jawab Mira singkat. "Aku ngerjain desain kontennya orang-orang, bahkan dari brand atau perusahaan. Kadang aku juga disuruh edit video. Gitulah."

Firman berdecak kaget saat tahu pekerjaan Mira. "Loh, kan bagus kamu kerja freelance. Artinya kamu tuh bisa dapat uang dari klien yang menghubungi kamu. Banyak yang percayain kamu buat ngerjain sesuatu tentang konten dan memenuhi visi perusahaan mereka.

"Harusnya kamu lebih banyak menambah portofolio agar banyak klien yang kasih job buat kamu. Bukannya capek-capek minta tips dari aku yang juga punya kesuksesan dengan cara berbeda."

Mira spontan mendecih ketika Firman memberikan saran yang terdengar sarkas. "Aduh, dasar. Kamu sama aja payahnya dari dulu." Kemudian Mira mengetuk meja yang ditempatinya agar perhatian Firman terfokus padanya. "Asal kamu tahu aja ya, Firman. Memang bagus kalau aku punya portofolio, dan masih banyak lagi yang aku bisa eksplor. Tapi ini masalah relasi. Meski aku punya skill yang mumpuni, aku pengen ngotot kerja di perusahaan biar aku tambah berkembang. Kerja di depan laptop seharian juga tidak cukup, aku bahkan nggak punya teman-teman yang punya nasib sejalan denganku."

Jawaban yang begitu lugas. Firman akui Mira bagus dalam memberikan tanggapan. Namun, dia tidak mempermasalahkan 'relasi' yang disinggung Mira barusan. Justru dia lebih mementingkan bagaimana caranya agar Firman tidak lagi menjadi penumpu beban dari seorang Mira. Dia ogah disuruh-suruh, sama seperti masa lalu yang menjadi pembantu wanita itu. Pun, dari cara bicaranya saja, terkesan seperti memaksanya untuk memenuhi permintaan tak masuk akal itu.

Memang, menfess yang tersebar justru berpengaruh banyak. Buktinya banyak pesan terkirim dari beberapa orang, hanya sekadar meminta saran agar menjadi pegawai terbaik di kantor.

"Kamu tuh pelit ya," celetuk Mira bersikap berani. "Masa hal yang mudah aja kamu nggak bisa bantu? Kita kan temenan dari SMA, Man. Harusnya kamu tahu seorang teman itu seperti apa."

Firman merenung sejenak, menyadari betapa Mira benar-benar mengandalkan dirinya dalam berbagai hal. Namun, dia juga tahu bahwa Mira harus belajar mandiri dan percaya pada kemampuannya sendiri. Firman ingin Mira bisa meraih kesuksesannya dengan usahanya sendiri, tanpa terlalu mengandalkan bantuan orang lain.

' Hei, culun! Belikan semangkuk bakso, tolong! Pakai uangmu, ya. Aku ganti kok. '

' Culun! Aku minta topimu buat upacara. Biarin, kamu aja yang kena hukuman. Aku nggak mau dihukum guru. '

Sebagai babu yang sangat "berjasa", Firman tentu ingat berbagai macam permintaan aneh yang dilayangkan Mira padanya. Bahkan pernah sekali Firman disuruh mengepel lantai di sekitar bangku Mira, meskipun bukan jadwal piket. Dan masih banyak lagi yang Firman sangat ingat.

"Kamu tuh kerja remote udah lebih dari cukup, Mir," kata Firman memecah hening. "Kamu nggak usahlah minta hal yang belum tentu kamu dapetin. Cuma karena lihat menfess-nya orang lain. Ya mending gini aja. Lebih kalau kita berdua sukses di jalan masing-masing. Nggak perlu kerja kantoran seperti aku, dan kita sama-sama dapat penghasilan yang cukup. Nggak ada yang saling terusik, bukan?"

"Aduh, aku nggak bisa!" Mira spontan memukul meja dengan telapak tangannya, hingga meja bergetar ringan. "Walau aku kerja remote, tetap aja aku butuh lebih banyak relasi dan koneksi untuk mengeksplor digital marketing. Dengan kerja kantoran, aku bisa jadi orang yang profesional, mengembangkan kemampuan komunikasi. Daripada sekadar tangan atau otakku yang bekerja."

Dengan cara Mira berbicara, Firman bisa merasakan keegoisan yang tercetak pada wajah Mira, juga antusias Mira mendapatkan ilmu baru untuk kepentingan diri semata. Firman yakin Mira punya berbagai macam cara agar membujuknya.

"Pokoknya ... aku mau kamu jadi guruku. Ajari aku semua yang kamu bisa," pinta Mira mulai menurunkan intonasi bicaranya.

Namun, Firman tidak langsung menjawab. Dia justru mengernyit kening seraya mengedipkan mata, seakan ingin mencerna permintaan Mira barusan.

"Guru? Mengajarimu?" Firman bertanya dengan suara tinggi.

Anggukan kepala yang kuat jadi balasan Mira kali ini. "Iya, apalagi? Ya aku harus diajari. Daripada sekadar meminta tips, kamu perlu ajarin aku berbagai hal tentang digital marketing."

Kembali ingatan di masa lalu terputar di kepala Firman.

' Culun, ajari aku Kimia. Jangan melewatkan satu pun. Kamu kan pintar. '

Firman diminta menjadi guru sementara Mira untuk mempermantap pelajaran Kimia, namun nyatanya Mira tidak bisa diajari. Bahkan saat Firman menjelaskan materi serta rumus pun, Mira malah molor.

Ingatan tentang kebiasaan buruk Mira terus menghantui pikiran Firman, seolah-olah bertemu dengan seseorang yang memerintahinya untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkannya, membuat kaset lama di kotak penyimpanan ingatannya terputar otomatis dalam otak.

"Mir," ucap Firman dengan nada rendah. "Kamu mau aku jadi guru buat ngajarin kamu? Tampaknya kamu masih sama aja keras kepalanya ya. Hanya karena aku lebih sukses dibanding kamu, justru kamu seenak jidat meminta berbagai macam."

"Kalau aku bayar, aku nggak mau. Ogah. Ambil course secara daring? Nggak ada waktu, cuma menatap layar laptop doang dan tulis materi. Kalau secara luring? Aku juga nggak tahu di mana yang cocok buatku. Jadi sekiranya ..."

Mira menujuk Firman sambil menengadah tangannya. "Kamulah yang cocok jadi guruku. Aku nggak keluarkan biaya sepersenpun, karena kamu temanku."

Firman menarik napas secara kasar. "Cuma karena bawa-bawa 'teman' kamu malah tidak bisa menghargai seseorang. Kesannya kamu cuma mementingkan dirimu sendiri, Mir. Kamu berusaha keras untuk memintaku mengajarimu. Lalu selanjutnya apalagi? Apakah tidak ada suatu apresiasi semacam bayaran atau gimana?"

Mira langsung tercengang mendengarnya lalu membalas perkataan Firman. "Kita kan teman. Masa aku diminta bayar?"

"Kamu mau diajari sampai kapan? Sampai kamu diterima perusahaan, kan? Sampai kamu dapat apa yang kamu mau, kerja kantoran, ketemu teman-teman dan membuat relasi, iya kan?" tanya Firman penuh penekanan.

"Untuk dapetin semua itu, ya kamu harus hargai aku dengan apa pun itu. Membayar adalah salah satu bentuk menghargai orang yang sudah mengajari kamu." Kemudian Firman mengarahkan telunjuknya seperti menyindir wanita di depannya. "Kalau gini nih sikap kamu, kesannya kamu egois, dan kamu juga berusaha mau mengambil ilmuku dan menggunakannya buat diri kamu sendiri. Buat melamar kerja di perusahaan dan begitu diterima, kamu melupakan aku yang susah-susah mengajarimu."

Ucapan demi ucapan yang Firman layangkan membuat Mira merasa kikuk dan tertangkap basah atas niatnya yang terbaca oleh pria tersebut. Mira justru tidak ada kemampuan untuk melawan Firman. Bagaimana lagi caranya agar Firman menerima bujukannya?

Susahnya membujuk si Firman, baru juga pertama kali bertemu dengannya setelah sekian lama. Dia malah jadi gini.

"Tapi ... kalau kamu memang ngotot minta aku ajarin kamu tanpa membayar, aku bisa kabulkan permintaanmu. Asal, kamu harus penuhi syaratku dulu."

Mendengar itu, Mira spontan bersemangat dan mencondongkan kepalanya mendekati lawan bicara. Dia seperti mendapatkan harapan yang cerah, dan tentu tinggal selangkah lagi meraih apa yang diinginkan.

"Apa pun itu. Asal syaratnya nggak susah," ucap Mira antusias.

Firman mengulum senyum tipis begitu melihat mata binar Mira, padahal tidak tahu saja syarat yang diajukan terbilang rumit dan aneh. Firman tidak sabar melihat ekspresi terkejut dari Mira, setidaknya membalas apa yang diperbuat Mira sebagai tukang suruh-suruh dahulu.

"Karena pekan depan, aku ada acara makan siang keluargaku. Kamu harus datang, tapi aku kenalkan kamu sebagai pacarku."

Alih-alih antusias, Mira tiba-tiba tercengang. Syarat macam apa itu? Spontan mulutnya membulat sempurna.

"Tunggu, aku nggak salah dengar?" erang Mira nyaris menyulutkan amarahnya. "Aku ... jadi pacar kamu? Maksudnya kita berakting di depan keluarga kamu, gitu?"

"Kamu protes? Mau bayar saja?" tantang Firman. "Syaratnya nggak berat, asal kamu lakukan apa yang kusuruh. Gimana?"

Apa dengan ini kamu bisa sadari kesalahanmu, Mir? Batin Firman menebak.

Tawa renyah dari Mira menjadi balasannya kali ini. "Lucu banget. Lucu, ya. Kamu bahkan nggak tahu kalau aku sudah punya pacar. Terus selanjutnya apa? Apa nggak sekalian aja kamu suruh aku putus dari pacarku supaya enak aktingnya, hah?"

Tidak tanggung Mira mulai menyulutkan amarah sambil menggebrak meja hingga menimbulkan getaran.

"Mir. Anggaplah ini sebagai 'pembayaran' down payment. Ingat, aku sudah penuhi permintaan kamu sebagai guru kamu. Aku bisa bagi ilmuku karena kamu maksa. Tapi ya masa' syarat seperti itu kamu nggak bisa penuhi?" Firman menanggapi dengan santai, di saat lawan bicaranya penuh amarah. Sepertinya dia berhasil membuat Mira tertekan.

"Aku bisa memenuhi syarat yang lain, tapi yang ini aku nggak bisa," tegas Mira.

Firman mendengus pelan sambil bersedekap. "Lalu kamu maunya apa? Kalau kamu nggak bisa, ya kamu harus bayar. Mau tidak mau."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top