Bab 18

***

Esok harinya sesuai janji, sesi belajar diadakan dari jam lima sore hingga nyaris menunjukkan pukul sembilan malam.

Firman masih semangat menjelaskan materinya. Namun Mira tampak sedang menahan kantuk, spontan membuat pria berkaos raglan warna putih biru itu menghentikan paparannya dan menaruh tablet di meja bulat kecil.

"Mira." Sang guru memanggil pelan. Selanjutnya jentikan jari agar Mira mendengar. "Hei. Fokus. Jangan merem kayak gitu."

Tangannya mengguncang tubuh Mira, namun tak berselang lama wanita hoodie ungu terang itu menjatuhkan kepala di meja. Satu tangan kanan terentang panjang.

"Aish, dasar." Firman mendecih seraya menarik napasnya dengan keras. "Heh, bangun! Jangan tidur di saat aku lagi jelasin materi."

Firman menegur dengan suara tinggi, lantas membuat Mira tersadar hingga mulai menegakkan kepala. Kini matanya masih berat untuk dibuka, bahkan berusaha mengucek agar pandangannya jelas.

"Maaf, Pak. Saya duduknya kelamaan. Habisnya Anda mengajar selama empat jam." Mira menuturkan keluhannya dengan suara serak.

Firman tak menggubris, justru memarahi Mira yang teledor.

"Waktu kamu maksa aku buat mengajarimu, semangat betul. Sekarang kamu malah lemas begini seolah kamu nggak mau dengar penjelasan materiku."

"Tapi, pak, ini ..."

"Nggak, jangan ada protes-protes. Fokus, lihat ke layar tablet. Awas saja kalau sampai tertidur kayak tadi." Firman mengancam bukan main.

Suara berat yang tercipta itu sukses membuat Mira merinding. Firman benar memulai lagi pemaparan materinya. Namun Mira seakan tidak ingin mendengar apa pun, bahkan materi hari ini susah menyerap dalam kepalanya.

Biarkan saja menunggu waktu sampai jam belajar selesai. Mira tetap menyimak tanpa mencatat. Kalau saja dia ditanya apa sudah memahami materi, Mira tinggal mengangguk agar menghargai guru di depannya.

Jam 9 tepat, Firman selesai memaparkan materi. Tablet yang digunakan sebagai media pembelajaran pun ditaruh di meja kemudian berdiri untuk mengambil makanan dan minuman yang dipesan sebelumnya dari kulkas.

Tahu isi bakso adalah sajian mereka malam ini. Sayangnya setelah masuk kulkas malah mengeras seperti batu. Firman spontan melangkah cepat menuju dapur untuk memanaskannya dalam air fryer. Sembari menunggu, Firman menuju ruang tengah untuk menikmati minuman mereka.

Kali ini adalah roasted milk tea di mana dari luarnya saja berwarna putih pekat. Punya Mira berbeda dari Firman, dia menambahkan extra sugar dalam pesanannya. Maklum wanita itu penyuka manis.

Keduanya kompak menusukkan sedotan ke seal cup lalu menyesap minuman masing-masing. Firman hanya sebentar menikmati sementara Mira justru menyedotnya hingga nyaris tandas.

"Kelihatannya haus banget, sampai belum semenit udah habis aja," celetuk Firman melihat pemandangan yang tidak biasa dari Mira.

"Itu karena saya duduk empat jam, pak," jawab Mira tak ragu menuturkan keluhannya lagi. "Kenapa sesi belajarnya tidak dari sehari lalu, pak? Kalau ujung-ujungnya harus dikejar begini?"

"Ya kan aku ada kerjaan, dan belum sempat kuselesaikan semuanya di kantor. Wajar kan lebih mentingin kerjaan daripada sesi belajar? Toh, kamu juga dengan pedenya bisa tahan duduk bersila dua jam sehari. Berarti empat jam juga kamu pasti bisa."

"Iya sih, pak." Mira membenarkan. Kali ini dia tak ingin mengelak. Dia perlu memaklumi kesibukan gurunya.

Sejenak Mira terdiam, tiba-tiba pandangannya mengarah pada Firman yang sedang menyedot minuman. Entah kenapa Mira tak ingin melepas tatapannya dan mengunci seolah hanya Firman saja yang mau dilihatnya.

"Meski dia dingin kepadaku, nggak akan bisa kulupakan bagaimana dia sering memberikan senyuman saat memahami materinya," gumam Mira dalam hati.

Entah dorongan apa, Mira mulai memajukan tubuhnya membuat jarak dekat pada Firman. Tetap dalam posisi duduk bersila.

"Tunggu, ada sesuatu di rambut bapak." Mira memberikan alasan agar Firman tidak banyak tanya. Padahal sebenarnya dia sangat ingin melihat wajah Firman dari dekat.

Segera tangannya memperbaiki pucuk rambut depan pria berkacamata itu. Mira tahu tindakannya benar-benar kelewatan, tapi dia sungguh mengesampingkan egonya dengan lebih mendekati wajah tampan itu.

Tatapan mereka berdua bersirobok. Namun Mira cepat-cepat mengalihkannya dengan mengabsen bagian muka gurunya. Mata yang agak menyipit, hidung yang mancung, serta bibir tipis di atas dan tebal di bawah. Juga sedikit bulu tipis yang tumbuh di bagian dagu.

"Kamu sangat tampan. Firman Setiawan."

Mira masih saja membuat tatapan intens, hingga Firman menyipit mata heran.

"Ngapain kamu? Kenapa kamu melihatku begitu?"

"Sesekali menatap wajah suami bohonganku sendiri, nggak apa-apa, kan?" tanya Mira meminta izin dengan suara pelan.

Firman tidak menjawab melainkan menarik napasnya pelan.

"Kamu berlebihan, Mir." Firman memegangi kedua lengan Mira dan meminta untuk menjauh. "Jangan dekat-dekat."

"Kumohon!" Mira berseru menahan Firman yang berusaha mendorong tubuhnya. "Kamu diamlah."

Firman malah menurut, namun tetap dalam ekspresi sebal yang dia buat.

' Ini anak ngapain sih, pakai natap-natap aku kayak gitu? Aneh banget. ' Firman membatin seraya mengerling pada Mira yang masih menatapnya.

Mira tak peduli dirinya punya salah pada Firman. Mira tetap membuat tatapan bahkan matanya terus melihat bagian rahang serta pipi yang agak berisi itu.

Mira merasa dari segi wajah, Firman-lah lebih baik dibanding Adit. Meski pernikahan mereka berlandaskan untuk menebus perbuatannya di masa lalu, Mira ingin Firman menyadari bahwa dirinya sungguh berubah. Firman harus tahu, dia bukanlah Mira yang keras kepala.

Makin lama menatap wajah Firman, justru hati Mira sungguh tidak karuan. Mira menelan salivanya. Tangannya bergerak lagi, memperbaiki rambut depan Firman agar pria itu tidak curiga.

Hingga beberapa detik, dia menyudahi aktivitasnya. Netra hitam tersebut menampakkan sinarnya. Keringat sedikit mengucur di bagian kening. Mungkin karena empat jam menguras tenaga memaparkan materi.

Mira seakan terbuai, mendadak tubuhnya melayang pelan. Seakan ingin menjatuhkan dirinya ke hadapan Firman.

"Tunggu, tunggu. Apa ini?" Firman mendadak terperanjat begitu tahu Mira akan menabrak tubuhnya. Spontan saja dadanya dijadikan sandaran kepala Mira dan kedua tangannya langsung melingkar tubuh mungil itu.

"Dia tertidur rupanya," gumam Firman. Bahkan dia tetap memeluk Mira tidak terlalu erat.

Sejenak, Firman merasakan iba dalam hati, begitu memaksa Mira belajar selama empat jam tanpa istirahat.

'Nggak tahu kenapa,  aku jadi kasihan melihatnya. Terlebih dia juga sempat tertidur di meja ketika aku menjelaskan materi. Dia benar-benar capek.'

Maka dengan inisiatif, Firman membimbing tubuh Mira untuk bersandar di bawah sofa. Kemudian dia berdiri dan mengayunkan kaki menuju kamar untuk mengambil selimut. Tentu, mana mungkin Firman menggendong Mira ke unit sebelah? Bisa saja dia ingin melakukannya, namun Firman ingin Mira tidur di sofa panjang saja dan paginya memberikan sarapan.

Setelah mendapatkan selimut, Firman mulai menggendong Mira dan menaruhnya pelan di sofa panjang.

Firman membentangkan selimut besar warna putih tersebut dan menutupi tubuh Mira.

"Kuharap kamu nggak akan menanyaiku macam-macam, kenapa aku melakukan ini?" Firman bersuara seolah mengajak Mira berbicara meski si lawan bicara sedang memejamkan mata. "Aku cuma kasihan melihatmu, karena aku memaksamu belajar empat jam. Nggak ada alasan lain lagi."

Setelah berinteraksi, Firman menjauh dari Mira yang sedang tertidur di ruang utama.  Ketika Firman menoleh di depan kamar, Firman justru mendecak kesal. Dia melupakan bantal.

Spontan, Firman melangkah cepat mengambil satu bantal kepala warna putih miliknya dan menghampiri Mira yang mulai nyaman tertidur.

"Harap saja dia nggak bangun," ujar Firman cemas, lalu dengan perlahan menekuk sedikit kepala Mira ke depan dan menaruh bantal di atasnya.

Meski sofanya empuk untuk ditiduri tanpa bantal, tetap saja hati Firman terketuk melihat Mira. Dia tak ingin menjawab alasan spesifik, dia hanya merasa kasihan. Sudah ditegaskan sedari awal.

Setelah dirasa aman, barulah Firman pergi menuju kamarnya untuk istirahat. Bahkan jam menunjukkan pukul 10. Firman tentu tidak melupakan makanan dan minuman yang belum habis. Dia memasukkannya ke kulkas sebelum mengambil bantal di kamar.

Sebelum benar-benar memasuki ruang ternyamannya, sekali lagi Firman menoleh ke arah Mira yang tetap dalam posisi meluruskan badan. Belum ada pergerakan sama sekali, bahkan Mira mulai mendengkur. Tidurnya pulas.

Firman menyungging senyum walau ringan.

"Selamat malam, Mira." Begitu yang dia ucapan meski sangat pelan, lalu menutup pintu kamar dengan pelan juga.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top