Bab 16
***
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Mira Hartono
Umur : 31 tahun
Selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA
Nama : Firman Setiawan
Umur : 32 tahun
Selanjutnya disebut PIHAK KEDUA
Kedua belah pihak sepakat untuk terikat dalam jalinan pernikahan selama waktu kurang lebih 6 (enam) bulan. Dengan berbagai aturan yang telah disepakati bersama.
Aturan tersebut tertulis sebagai berikut:
1. Baik pihak pertama maupun pihak kedua TIDAK BOLEH mengutarakan perasaan masing-masing atau mengungkap rasa cinta.
2. TIDAK BOLEH tidur dalam satu ranjang atau melakukan sentuhan, dalam artian memegang bagian tubuh tertentu.
3. Baik pihak pertama maupun pihak kedua BOLEH bersikap romantis JIKA keluarga masing-masing pihak melihat.
4. BOLEH saling menganggap suami-istri. Tetapi pihak pertama maupun pihak kedua harus bersahabat seperti biasanya.
5. Jika masing-masing pihak ingin saling membantu, dalam artian pihak pertama memberikan keuntungan atau manfaat kepada pihak kedua atau sebaliknya, DIPERBOLEHKAN. Namun JANGAN melewati batas.
6. Masing-masing pihak DIPERBOLEHKAN melakukan pekerjaan rumah tangga.
7. Kebutuhan atau biaya lainnya ditanggung masing-masing pihak.
8. JANGAN mengganggu privasi masing-masing pihak.
Jika kedua belah pihak MELANGGAR perjanjian yang telah dibuat, maka konsekuensi akan dibicarakan lebih lanjut oleh masing-masing pihak.
Kontrak ini bisa BERAKHIR jika:
Pihak pertama (Mira Hartono) mendapatkan pekerjaan impiannya dibantu pihak kedua (Firman Setiawan).
***
Mira meluruskan kedua kakinya di sofa sembari membaca dan menelaah kontrak beserta aturan yang telah dibuatnya.
Sikap dingin Firman padanya sudah tepat, hanya saja Mira merasa bahwa perlakuan Firman begitu acak. Kadang dingin kadang pula peduli. Entah bagaimana juga dengan perasaannya, belum menentu.
Akan tetapi, Mira tidak berniat untuk membuat Firman jatuh hati padanya. Seperti yang pernah Lexi ucapkan padanya, lakukan hukuman dengan melayani Firman dan memenuhi permintaan Firman meskipun aneh.
Hingga kini, yang Mira dapatkan selama kurang sebulan menjadi istri Firman adalah sikap dingin dan baik yang saling berkesinambungan. Firman bahkan tidak pernah meminta hal apa pun pada Mira. Mereka berjaga jarak.
"Apa yang akan terjadi jika salah satu dari kami akhirnya goyah? Kami akan menyudahi kontrak dengan cepat?" Mira bersuara pelan, bertanya pada dirinya sendiri. "Firman nggak sadar aku pernah salah padanya, seolah-olah dia menutupi kesalahanku dan melupakannya."
Memilih untuk tidak memikirkannya, Mira pun mematikan lampu di sekitar foyer dengan remote canggih yang tinggal dipencet dari arah jauh. Mira tak perlu lagi berdiri dari sofanya, setelah itu barulah berbaring selonjoran di atas kursi lebar tersebut.
Di sisi lain, Firman sedang merenung di meja makannya sendiri. Ia merasa dilema dengan tindakan baiknya di restoran sore tadi.
"Kenapa aku ngelakuin itu? Kenapa aku mengusap mulutnya?" tanya Firman, seolah menyayangkan sikap pedulinya yang dia perlihatkan ke Mira. "Harusnya kubiarkan aja mulutnya kotor begitu. Aku benci sama wanita keras kepala itu. Kenapa sih? Aku terus saja baik padanya."
Firman meneguk cola bentuk kaleng hingga habis tak bersisa. Lanjut membuka satu kaleng lagi kemudian meneguknya dalam satu tarikan napas. Mungkin dengan minum bakal membuat otaknya tenang. Tapi hasilnya tetaplah nihil. Tiga kaleng tidak cukup baginya. Kini sudah kaleng ketiga. Firman menggeram pelan sambil mengusap wajahnya dengan kasar.
Ketika pria berkaos lengan panjang itu berdiri dari kursinya, Firman mendengar sesuatu yang berbunyi dari balik pintu. Seperti ada yang menekan kode akses unitnya.
Segera Firman berbalik dan memasang telinganya di dekat gagang pintu. Benar. Berulang kali alat itu mengeluarkan suara 'tit'. Spontan saja Firman menarik daun pintu dan menangkap siapa yang mencoba menerobos unit miliknya.
"Mira?" panggilnya terkejut sambil membelalakkan matanya. "Kamu kenapa ke sini? Bukannya bunyikan bel atau ketuk pintu, malah menerobos."
Bukan hanya sekali Mira begitu. Pagi tadi adalah yang pertama kali. Sungguh, Firman tak tahu lagi harus menyikapi Mira yang seenaknya. Dia merasa bingung dan kesal karena tingkah laku Mira yang tidak mengikuti etika masuk ke unit orang lain.
"Ngapain kamu malam-malam? Kamu mau bicara sesuatu?" Suara Firman terdengar berat, bahkan intonasinya begitu rendah. Sementara wanita di depannya hanya menunduk, tak menatap Firman.
"Aku nggak bisa tidur di unit sebelah. Aku juga lapar dan kebetulan aku nggak stok mie," tutur Mira pelan. "Boleh nggak, aku numpang unitmu untuk masak mie? Kamu pasti punya mie, kan?"
Mira berusaha menebak sebab barusan dia melihat Firman mengangkut satu kotak di ruang pengambilan paket dekat lobby yang diduganya sebagai barang belanjaan. Makanya Mira hanya memastikan saja.
Helaan napas mulai terdengar jelas dari pendengaran Mira. Bahkan Firman mulai berusaha menahan amarahnya seraya menghalangi ambang pintu unit.
"Kamu tuh nggak bisa nyetok belanjaan juga? Kenapa kamu mau numpang makan mie di unitku?" ketus Firman. "Sudah malam loh ini. Besok aku harus ke kantor. Harusnya kamu sadar, mengganggu orang yang mau tidur itu adalah sebuah kesalahan. Kini, yang kamu lakukan salah. Bahkan salah besar."
"Cuma ingin peduli sama kamu, nggak bolehkah?" tanya Mira berusaha denial dengan tindakannya kini. "Kita bisa berbagi cerita atau gimana, daripada kamunya nggak punya teman cerita."
"Tetap aja, nggak boleh. Mending kamu balik gih ke unitmu. Jangan ganggu," pinta Firman, tak lupa dengan sorotan tajamnya pada Mira.
Pintu unit ditutup Firman dengan kencang, spontan membuat Mira terkejut. Kaki yang beralaskan sandal kelinci itu mulai terayun menjauh dari unit 20-6. Kartu akses ditempelkan kemudian membuka pintu unit 20-7 miliknya. Mira berjalan lesu menuju sofa. Sepertinya dia terlalu berlebihan dengan sikapnya barusan. Padahal dia bisa beli makanan secara daring atau bisa makan mie cup di minimarket apartemen, tanpa harus mengganggu Firman.
Pikirnya dia bisa diterima kehadirannya karena kepedulian Firman di restoran tadi, namun ternyata Mira salah besar. Firman tetaplah Firman, pria yang dingin dan sering berucap ketus padanya.
"Aku yang keterlaluan mengusik Firman di jam segini," ujar Mira sambil menaikkan kedua kakinya di sofa. "Harusnya sejak tadi aku nggak begini. Malah aku jadinya caper ke Firman."
Mira menghela napas pelan sambil menaruh dagunya di atas betis. Memilih untuk tidak memikirkan hal-hal yang memalukan.
"Sudahlah, Mir. Besok aku juga ada sesi belajar sama Pak Firman, mana mungkin aku mengganggu dia di sela istirahatnya? Jangan dipikirin lagi, fokus kepada penebusan kesalahanmu," batin Mira mengingatkan diri sendiri.
***
Beberapa hari pun berlalu. Mira mengikuti sesi belajar benar-benar setiap hari sesuai yang dijanjikan Firman. Pada pertemuan sembilan, Mira duduk bersila di karpet bulu sambil membuat mind map di catatan digital. Berulang kali Mira mendongak lalu menunduk, memperhatikan materi yang dipaparkan Firman.
"Sekarang, kita pelajari bagaimana cara seorang CRM melakukan pekerjaannya."
Firman memasang kacamatanya yang sebelumnya telah dia lepas. Lalu memberikan mind map yang baru saja dibuatnya di tablet sebagai paparan materi.
"Sebelum kujelaskan, kamu pernah mendapat notifikasi dari suatu brand nggak?"
Mira refleks mengecek ponselnya. Kebetulan muncul notifikasi promo makanan. Lebih tepatnya dua buah.
"Ada. Isinya promo diskon 50% sama ajakan untuk menggunakan promo tersebut."
Firman spontan menjentikkan jarinya. "Nah, itu tugas orang-orang yang kerja di bagian CRM. Salah satunya adalah tetap berinteraksi sama pelanggannya setelah menggunakan layanan mereka."
"Ada satu notifikasi lagi sih tapi keburu aku swipe. Diminta kasih rating makanan yang dipesan. Barusan kita pesan minuman boba dan pangsit goreng."
"Iya, memang begitu pekerjaan mereka. Tahu temanku Ulfa? Dia mantan pegawai di FoodBeary, sekarang kerja di perusahaan lain. Dia tugasnya di bagian CRM. Aku selalu dapat tuh notifikasi dari perusahaan tempat dia bekerja."
Mira bedecak kagum mendengarnya. "Wah, enak dong berarti. Jadi kita bisa buat kata-kata yang membuat pelanggan tertarik."
"Bukan cuma itu, tugas CRM juga salah satunya adalah mempertahankan pelanggan lama. Artinya jika pelanggan itu setia memakai layanan kita, maka harus punya strategi bagaimana pelanggan tersebut tetap betah."
Mira melenggut memahami. Lebih banyak lagi catatan yang ditulisnya, belum sempat menata agar lebih cantik. Mira hanya memegang pucuk pena digitalnya sambil pandangan tetap kepada sang guru.
"Baiklah, sampai sini kamu paham, kan?" tanya Firman memastikan.
"Iya, paham."
"Sekarang perhatikan mind map."
Firman kemudian lanjut menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan materi, termasuk mind map yang barusan Firman buat agar Mira mengerti. Tangannya terus bergerak mengitari tablet miliknya.
" Di balik kamu yang dingin kepadaku, kamu mengajariku dengan tulus. Aku yakin kamu itu sebenarnya orang baik, Firman," batin Mira.
"Jadi gimana, paham?" tanya Firman sukses membuat lamunan Mira buyar.
"Paham." Mira mengangguk dua kali.
"Baik, kukasih tugas saja langsung ya."
Firman mengalihkan perangkat dari tablet ke ponsel, hanya sekadar mengirimkan detail tugas ke surel Mira.
"Oh iya, Mir." Firman bersuara tiba-tiba. "Aku lupa kalau makanan dan minuman yang kamu pesan dari pertemuan pekan lalu sampai sekarang, kamu loh yang bayar semuanya."
Mira sempat tidak mengerti, namun dalam sekejap dia menangkap maksud Firman. Mira membayar semua konsumsi mereka menggunakan uangnya, alih-alih uang Firman sesuai yang dijanjikan. Bahkan Mira harus repot-repot mengisi saldo ke e-wallet dari rekeningnya cuma buat mencukupi pembayaran.
Meskipun begitu, Mira malah tidak mempermasalahkan itu. Anggap saja sebagai bentuk hukuman, dia menggunakan uang dari transferan klien untuk membayar sajian malam setiap pertemuan.
"Berapa nomor rekeningmu?" tanya Firman sambil memfokuskan pandangan ke layar ponsel. "Aku ganti semuanya."
Mira terperanjat. Harusnya Firman tidak perlu melakukan itu. Ada apa sampai menanyakan nomor rekening pada Mira?
Lama menunggu respon, Firman spontan menunjukkan kekesalan.
"Ayo, Mir. Hak kamu ini," desak Firman.
Tak punya pilihan lain, Mira langsung menyebut pelan nomor rekening miliknya.
Dengan cepat Firman mengetik nomor tersebut, matanya tetap tertuju pada layar hingga menampilkan konfirmasi transaksi. Setelah menekan 'ya', barulah notifikasi masuk di ponsel Mira.
"Aku sudah transfer 4,3 juta."
Mira mendadak terkesiap. Sebanyak itu?
Tak sempat memercayai, Mira membuka aplikasi m-banking miliknya lalu menampilkan halaman transaksi. Benar, uang 4,3 juta langsung masuk di rekeningnya.
"Katanya kamu kekurangan bahan di kulkas, kan? Belilah dari upah yang kukasih. Jangan terus-terus masuk di unit orang lain." Firman mengingatkan. "Sesuaikan dengan kebutuhan."
Mira termangu menatap Firman yang mulai melepas kacamata sekaligus membenahi barang-barang miliknya di meja.
"Tugas sudah kukirim lewat surel, jadi kerjakan sesuai tenggat waktu," imbuh Firman. "Itu saja pertemuan kita hari ini. Pulanglah ke unitmu. Sudah malam juga."
Firman berdiri tegak sembari membawa tablet beserta buku-buku, mengapitnya di bagian lengan. Pintu kamar tertutup kencang. Tersisa Mira yang masih duduk bersila di karpet bulu warna putih.
"Empat juta? Empat ... juta?" Mira seperti tidak menyangka seorang Firman memberikan uang sebanyak itu padanya.
Meski dia sadari kalau sebagiannya adalah nafkah, tetap saja Mira merasa Firman sedikit aneh. Ini kebaikan yang entah keberapa kali Firman perlihatkan padanya.
"Perlu kucubit diriku ini. Apa aku sedang bermimpi?" gumam Mira sambil menekan kulit pipinya dengan telunjuk dan ibu jari. "Nggak sih, aku benar-benar sadar. Sesi belajar juga sudah selesai, dan kenapa bisa ..."
Mira termangu kemudian menyadarkan dirinya sembari menampar pelan kedua pipi.
"Walau aku nggak tahu bagaimana cara mengembalikannya, aku akan tebus itu dengan menjadi asistenmu, Firman. Meskipun ... sulit bagimu untuk menerimaku," gumam Mira bertekad.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top