Bab 15

***

"Kak, silakan diminum teh-nya." Mira menyajikan secangkir teh hangat kepada wanita berpakaian blazer formal yang duduk di kursi ruang utama. Andini langsung menyesap teh tersebut hingga setengah tandas.

"Kakak nggak menelepon sama sekali kalau Chandra mau wisuda. Harusnya Kakak menelepon kek apa kek," protes Firman sembari duduk di sofa empuk lalu menyerahkan tangan Mira untuk digenggam.

"Ayah sengaja nggak undang kamu. Takut aja kamu dan istrimu sibuk. Atau mungkin, sibuk dengan pekerjaanmu," kata Andini mengusap kedua tangannya lalu mengitari pandangannya. "Ngomong-ngomong, unit yang kalian tinggali bagus juga ya. Kakak pengen ke sini saat sehari setelah pernikahan kalian, tapi keburu sibuk dan nggak sempat. Kakak juga belum pernah mengunjungi unit sebelah yang kamu gunakan untuk ruang kerja."

Firman hanya menanggapi dengan senyuman ringan lalu mencondongkan tubuh seraya menggeser rantang yang ditaruh manis di meja dekat sofa.

"Ibu masak apa sampai rantang tinggi begini?" tanya Firman dengan mulutnya membulat sempurna ketika membuka satu-satu wadahnya.

"Ibu masak ayam kecap, sayur tumis, udang goreng, cumi goreng, sosis mentega, banyak deh. Cukup buat kalian berdua," jelas Andini.

"Tapi, nggak sampai sebanyak itu, Kak."

Aroma makanan yang ada pada setiap wadah pun menyeruak bahkan sampai ke indra penciumannya juga Mira.

"Makanan yang Kakak bawa ini baru masak ya?" tanya Firman penasaran. Dia tahu pasti ibunya menyimpan makanan tersebut di wadah aman dan terjaga panasnya.

"Iya, baru-baru kok. Buat sajian untuk tamu di rumahnya bulek," jawab Andini lanjut menjelaskan. "Oh iya, walau ayah melarang kamu datang, tapi kalau kamu sama Mira ada kesempatan buat datang, datang aja. Nanti sekalian ada acara makan siang khusus keluarga Setiawan. Kita makannya dua kali. Gimana?"

Firman mengibaskan tangan enggan menerima tawaran kakaknya. "Nggak deh, Kak. Kami juga ada rencana untuk keluar siang ini."

"Loh, tumben?" balas Andini seraya terperanjat. "Mau ke mana?"

Seingat Andini, tiap akhir pekan Firman akan sibuk dengan laptop atau hal lain yang berkaitan dengan pekerjaan. Andini jelas hafal kebiasaan sang adik.

"Cuman jalan-jalan biasa aja. Ke mall, makan siang di restoran, jalan-jalan romantis," tutur Firman sambil melempar senyuman manis pada Mira. Sesekali pula Firman merangkul leher wanita di sampingnya agar Andini leluasa melihat.

"Wah, bagus kalau begitu. Mumpung akhir pekan jadi bisa cari udara segar." Andini memuji seraya mengangkat satu jempolnya rendah.

Kemudian Andini mendadak mengecek jam di pergelangan tangan seraya terkejut. "Oh iya lupa. Kakak nggak bisa lama-lama di sini soalnya ayah ibu nyariin. Kakak cuma nganter makanan habis itu pulang."

Mendengar hal itu, Firman spontan berdiri dari kursi diikuti Mira tak lama setelahnya. Lalu Andini juga ikut berdiri.

"Jangan lupa nikmati makanannya dulu sebelum jalan-jalan siang ini," kata Andini mengingatkan.

"Baik, Kak."

"Oh iya, Mira. Terima kasih banyak teh-nya. Kamu memang handal." Tak segan, Andini mengangkat satu jempolnya bangga, memberikan apresiasi pada adik iparnya.

"Terima kasih, Kak," balas Mira membungkukkan tubuhnya sebagai rasa hormat.

Mira dan Firman mengantar Andini sampai depan pintu. Setelah saling melambaikan tangan, Firman pun menutup pintu unit 20-7 sambil bernapas lega.

"Bagus kalau Kak Andini nggak lama-lama," ujar Firman mengungkapkan rasa senangnya. "Sejujurnya lagi nggak mood untuk bersikap romantis seperti tadi."

Firman berjalan ke ruang utama seraya menggeser satu-satu wadah makanan yang barusan dia buka di meja.

"Man. Kamu bilang ke Kak Andini untuk pergi jalan-jalan romantis. Apa itu sungguhan atau bagaimana?" Tumben Mira bertanya seperti itu. Tujuan dia bertanya tentu hanya memastikan saja.

"Sungguhan apanya? Bukannya kita cuma pura-pura?" tegas Firman menjawab rasa penasaran Mira. "Lagipula aku tuh ngomong begitu, biar Kak Andini tidak banyak tanya tentang kita. Bagaimana kalau kita ikut mereka lalu tidak habis-habisnya menanyakan tentang hubungan kita? Jawaban apalagi yang bisa kita rangkai supaya mereka percaya?"

Mira terdiam setelah itu. Padahal, dari dalam hatinya, dia ingin sekali jalan-jalan bersama Firman. Walau bukan dalam konteks suami-istri melainkan hanya seseorang yang asing.

Mira suntuk di akhir pekan, terlebih di hari Minggu. Mira tidak diberi kerjaan apa pun. Belum ada klien yang memberikan tugas untuknya. Tak tahu lagi bagaimana nasibnya yang hanya pekerja lepas tanpa terikat perusahaan manapun.

Meski bukan suami, tapi aku ingin jalan-jalan bersamanya, hanya sebagai sahabat. Kita jaga jarak aja udah cukup, kok.

"Mending jangan banyak mikir tentang omonganku barusan," tambah Firman berusaha mengingatkan. "Aku mau ke kafe bentar untuk nyelesaiin kerjaan. Lebih baik kamu urusi urusanmu sendiri, entah kamu mau ke mana kek, atau keluyuran ke manapun, aku nggak peduli."

Meski berkali-kali Firman menyinggung tentang hubungan pernikahannya, Mira hanya bisa terus memahami. Namun bukan berarti Mira juga harus menjauh dari Firman tanpa melakukan apa pun. Setidaknya, Firman perlu membuat Mira jadi asistennya atau berbuat hal lain, yang ada konteksnya sebagai tukang suruh-suruh. Firman bisa menjadi dirinya di masa lalu, sebagai balasan yang telah dia lakukan.

Kedua tangannya kini mengangkat sebakul nasi untuk dibawa ke meja makan. Sementara Firman juga ikut menadah wadah makanan di atas tangannya dan mengatur meja bentuk persegi tersebut untuk digunakan sebagai tempat sarapan mereka.

Tidak ada obrolan lain lagi, selain dentingan piring oleh sendok dan garpu. Mira tampak menikmati makanan buatan mertuanya. Sampai-sampai harus menambah lauk di piringnya sangking enaknya.

"Ngomong-ngomong, setelah aku nggak dikasih kerjaan sama klien setiaku, tidak ada lagi yang bisa kulakukan di apartemen." Mira berceletuk tanpa memandang Firman. Dia hanya fokus terhadap makanannya. "Suntuk di unit, itu nggak mengenakkan. Kalau saja, kamu bisa perbolehin aku ikut, apa ..."

Belum selesai dengan ucapannya, tiba-tiba Firman menaruh gelasnya di atas meja dengan sangat keras. Sampai membuat meja makan minimalisnya bergetar. Mira pun ikut terkejut, memandang Firman yang menarik napas cepat seakan ingin meluapkan amarah.

"Atas dasar apa kamu ingin ikut?" tanya Firman menyorot tajam Mira. "Aku kan sudah bilang, bahkan aku sering ngingetin kamu. Aku cuma mau ke kafe sendiri, mengerjakan sesuatu sendiri. Aku nggak butuh bantuan apa-apa dari kamu. Nggak usah berharap lebih cuma karena aku ngomong tentang jalan-jalan romantis ke Kak Andini! Masa hal segini aja kamu nggak paham?!!"

Kalimat tegas yang Mira dengar membuatnya kebingungan. Bahkan kedua ibu jari dimainkannya agar mengusir kegugupan.

Apa itu artinya, kamu nggak memberiku kesempatan menebus kesalahanku? Aku cuma pengen kamu nyuruh-nyuruh aku. Aku ingin nebus kesalahan yang sudah kulakukan pada kamu. Kamu suruh aku apa pun, aku terima. Aku nggak berharap lebih.

"Gi–gimana kalau saja Kak Andini bertanya tentang jalan-jalan kita?"

Bagus, itu yang harusnya Mira pikirkan sejak awal.

"Gimana kalau Kak Andini minta foto kita berdua saat jalan-jalan? Siapa tahu Kak Andini menanyakannya, bukan?"

Spontan saja, Firman memegang dagunya sebentar seraya berpikir. Sementara Mira hanya melihat Firman sedang bergelut dengan benaknya.

Tunggu, kurasa perkataan Mira ada benarnya juga. Nanti Kak Andini bakal cerewet di grup keluarga lagi. Minta nagih foto jalan-jalan supaya mereka tahu. Kalau saja Kak Andini benar-benar melakukannya dan tidak ada foto sama sekali, sama saja aku membohonginya.

Firman mendengus kemudian memberikan jawaban. "Baiklah. Untuk kali ini, kamu boleh ikut. Tapi kita nggak akan saling lengket. Kita boleh bersikap romantis lagi seperti barusan. Hanya saat kita pegang kamera aja."

Akhirnya Mira mengulum senyum, dia jadi ada kesempatan untuk mendekati Firman dan melakukan apa yang seharusnya. Dia ingin Firman tahu, bahwa dia berusaha sekuat tenaga agar dapat menebus kesalahannya di masa lalu. Mira rela menjadi asisten Firman, selama itu impas dari kelakuannya dulu.

"Baik, Pak Firman," balasnya kemudian.

"Jangan panggil 'pak'. Ini bukan sesi belajar." Firman mengingatkan dengan suara rendah.

Mira terkejut sebab lagi-lagi tidak bisa mengontrol diri. Mungkinkah karena efek senang karena diperbolehkan oleh Firman?

"I–Iya, Firman." Mira meralat sambil terbata-bata.

"Setelah kita makan, kamu siap-siap ganti baju. Kita jalan-jalan di sebuah mall yang akan kukasih tahu tempatnya," kata Firman dengan mode serius sambil menyalin lauk dari wadah rantang.

Setelah sarapan beberapa menit, mereka pulang ke unit masing-masing dan bersiap melakukan sandiwara lagi seperti yang sudah dijanjikan.

***

Dua mangkuk ramen mengepul di hadapan mereka. Mira berinisiatif memulai duluan dengan mengambil sumpit dan sendok. Terlebih dahulu mencoba ayam yang dibalut tepung roti renyah kemudian menyeruput kuah merah yang gurih.

"Ayo makan. Aromanya udah menguar dari tadi loh," pinta Mira cepat begitu melirik Firman sedang melamun sembari bersedekap.

"Ngomong-ngomong tadi, aku keterlaluan ya?" Mira bertanya pelan, dengan hati-hati. "Aku tahu, harusnya aku nggak nekat tadi minta ikut. Malah aku mendapat semprotan amarah dari kamu. Maafin aku ya, Firman."

Pria di hadapannya mulai menunduk menatap makanannya. Mungkin saja dia sedang mengumpulkan mood dengan melihat visual ramen ayam katsu yang menarik perhatian.

Mira mencoba mengutarakan rasa tidak enaknya sekali lagi. "Maaf ya."

Mendengar hal itu Firman mendengus kencang, merasa kebingungan kenapa meminta maaf bahkan berulang kali terucap di mulut Mira?

"Ngapain sih bilang maaf terus?" tanya Firman pelan, berusaha meredakan perasaan bersalah Mira. "Sudah kumaafin kok, lagipula aku nggak ingat nanti Kak Andini bakal membacot di grup keluarga. Aku nggak kepikiran soalnya."

Firman memilih untuk menyudahi obrolan yang tak berujung, kini sibuk menyendok ramen dan menyeruput kuah merah yang segar.

"Ayamnya enak kan?" tanya Mira dengan semangat. "Barusan aku coba ayam katsunya, gurih banget. Dicelupkan ke kuahnya, lebih enak lagi.

Firman hanya mengangguk dengan senyum seadanya, "Enak. Tapi, kamu harus habisin dulu tuh makanan punyamu. Masih ada sisa banyak, bahkan ayamnya juga tinggal setengah." Pria itu menunjuk mangkuk besar di hadapan Mira.

Mira menyadari bahwa dia sudah banyak berbicara dan mulai menunduk, melirik mangkuknya yang belum habis.

"Baiklah. Aku akan habiskan," ucapnya sambil mengambil sumpit dan sendok untuk melanjutkan menyantap mie.

"Tunggu." Firman menahan Mira yang sedang menyendok kuah ramen. "Mulut kamu belepotan."

Firman dengan cepat mengambil beberapa lembar tisu dan maju mendekati Mira, inisiatif untuk membersihkan noda kuah yang menempel di mulut. Tangan Firman lembut menyeka bagian kiri mulut Mira, membersihkan sisa kuah yang berantakan.

"Kamu tuh kebiasaan ya suka makan berantakan begini?" tanya Firman sambil tetap menyeka di sekitar mulut Mira. "Kuah bercipratan di sekitar mulut kamu. Apalagi yang kita pesan ini kuahnya santan, jadi agak kental. Kalau makan tuh jangan barbar. Kayak nggak pernah makan aja sehari."

Mira menjadi kaku, tidak terbiasa dengan perhatian seperti ini. Dia membiarkan Firman membersihkan dengan diam, menyadari bagaimana Firman berusaha membuatnya tampak rapi.

"Nah. Kalau begini kan enak dilihat," ucap Firman berkomentar, meletakkan tisu bekas di atas meja. "Ayo cepetan lanjutin makannya. Kita ke kafe setelah ini. Ada yang harus aku kerjakan soalnya."

Mira merasa terkejut dengan perubahan sikap Firman yang tiba-tiba lebih lunak padanya. Belum pernah terpikirkan tentang cara makannya yang ceroboh, hingga jadi perhatian Firman barusan.

"Cepat makan!" tegur Firman lagi. "Jangan pelototi aku kayak gitu."

"I--Iya," jawab Mira dengan cepat, tersadar bahwa dia sudah terlalu lama berdiam diri. Dia mulai menyumpit ayam katsu yang tersisa di mangkuk, dan kemudian dengan hati-hati menyeruput kuah ramen secara perlahan. Meskipun isi mangkuk tinggal sedikit, Mira berusaha untuk efisien dalam menghabiskannya.

"Habis ini kita foto-foto sebagai dokumentasi," pinta Firman selanjutnya. "Pokoknya setelah ramen ini tandas di mangkuk, kita berfoto."

"Baik, Pak," jawab Mira sambil mengangguk."

"Memang ini sesi belajar? Jangan panggil Pak. Panggil nama saja," kata Firman bersuara rendah sambil mengingatkan.

Mira gelagapan, namun segera memperbaiki panggilannya. "Baik, Firman."

Tak ada obrolan lagi setelah itu. Mira menghabiskan isi mangkuk ramennya dengan pelan, sementara Firman sudah lebih dulu selesai. Mereka menutup makanan dengan segelas ocha dingin yang disajikan di gelas kaca berukuran sedang.

Setelah makan, Firman sempat mengecek sesuatu di tabletnya. Kepalanya menunduk, fokus memainkan benda persegi panjang itu. Suara cekrek tiba-tiba memenuhi pendengarannya, dan itu membuat Firman terkejut.

"Ngapain kamu?" tanya Firman dingin.

"Foto candid. Cuma buat koleksi aku aja. Apa ... boleh?" Mira menunjukkan raut wajah yang ragu, khawatir mengulangi kesalahan sebelumnya.

Ternyata, Firman malah mengulum senyum hangat yang jarang terlihat. "Kenapa takut? Boleh dong. Lagipula aku yang suruh untuk mengabadikan momen."

"Terima kasih, Firman," ucap Mra merasa lega.

Sedetik kemudian, kamera di ponsel Firman juga memotret Mira yang tak sengaja tersenyum.

"Lihat. Kamu cantik kalau senyum, Mir." Firman tertawa kecil sambil menunjukkan layar ponselnya pada Mira.

"Ngambil fotonya kok bagus banget?" tanya Mira kagum.

"Tentu dong. Mau pose apa pun kamu menarik, Mir," Firman memuji dengan tulus, mengakui kelebihan yang dimiliki Mira. "Kamu potogenic juga rupanya."

Barulah setelah itu, mereka berdua berfoto bersama, bahkan mulai melakukan pose bebas. Tanpa sadar, mereka melemparkan tawa menikmati suasana. Mira merasa senang, karena akhirnya Firman menunjukkan sisi yang lebih lembut padanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top