Bab 13

***

Satu minggu setelah pernikahan

Setelah resmi menjadi suami-istri, mereka menjalani sesi belajar yang tertunda begitu jauh. Tentu saja sesuai perjanjian mereka. Firman harus lebih menekan Mira untuk memantapkan diri menguasai berbagai materi.

Pada malam hari, Firman yang sedang mengenakan kemeja biru polos serta kacamata bulat sedang menggerakkan tangan di depan layar tablet menjelaskan materinya. Mereka berdua duduk saling berhadapan di meja bulat kecil dekat sofa.

"Oh iya, Pak Firman. Jenis-jenis CRM yang tadi Bapak jelaskan itu bisa masuk ke bagian Email Marketing ya? Atau bagaimana?" tanya Mira ketika menelaah catatan yang dia buat sebelumnya.

"Bisa dong. Karena perusahaan kami ingin menarik calon pelanggan menggunakan layanan yang kami berikan. Jadi kami membuat Email Marketing kepada mereka yang menjadi pelanggan setia. Untuk jenis channel ini, ada spesialisasi khususnya, Mir. Di kantorku ada jabatan CRM spesialist. Dialah yang mengatur channel tersebut."

Pucuk pena digital menimbulkan bunyi di layar tablet ketika tangan Mira menari-nari di atasnya. Mencatat jawaban dari pertanyaan yang barusan dia tanyakan.

"Bagus. Ada peningkatan dari kamu. Jawabannya langsung kamu catat." Firman memuji namun nada yang kurang antusias. Seperti itulah Firman, tidak berlebihan dalam mengungkapkan ekspresi.

"Namanya juga tertinggal pelajaran, pak. Saya harus lebih bergerak menyimpan materinya di tablet saya," jelas Mira.

"Kalau merasa tertinggal, gimana kalau kita belajar setiap hari? Alih-alih selang seling?" Firman menawarkan opsi yang menurutnya cukup efektif. Mira justru menanggapinya santai.

"Nggak masalah. Setiap hari atau setiap jam, aku bisa ladeni semuanya," kata Mira percaya diri.

"Kamu sungguh yakin?" Firman memastikan sambil mencondongkan wajahnya menatap Mira. "Berarti fix ya setiap hari jam 7 malam kita belajar."

Mira tak menanggapi lagi, fokus memperbaiki tata letak catatannya. Seolah menerima keputusan sang guru.

"Kecuali Sabtu dan Minggu," imbuh Firman yang membuat Mira sukses mengalihkan atensi dari tablet lalu mendongkakkan kepala.

"Anda serius?" tanya Mira kurang yakin.

"Ya kali aku bohong. Sabtu dan Minggu adalah hari di mana kamu harus rilekskan otak. Kamu bisa pergi ke tempat yang kamu mau. Aku izinin pokoknya."

Tak dapat dipercaya, seorang Firman yang terkenal galak di matanya memberikan izin istirahat selama dua hari. Mira tentunya bersyukur sebab mustahil bersila setiap hari di karpet bulu. Membuat kakinya kram selama duduk dengan posisi itu.

"Entah saya harus bilang apa selain terima kasih pada Anda." Mira spontan menyambar punggung tangan Firman dan berulang kali menggoyangkannya seperti melakukan jabat tangan.

Sekilas Mira melirik jari manis Firman yang rupanya tidak menggunakan apa-apa. Padahal aturan ada cincin perak di jari tersebut.

"Loh. Cincinnya kok nggak dipakai?" tanya Mira heran. "Harusnya Anda pakai cincinnya, biar kelihatan bagus."

Firman langsung melepas genggaman tangan Mira, dibalas dengan ketus. "Ngapain aku pakai cincin? Biar orang-orang tahu kalau aku ini suami kamu?"

Mira mengibaskan tangan tak menerima alasan Firman barusan.

"Nggak gitu sih. Lebih bagus kalau dipakai. Kalau dilihat sama keluarga nanti gimana?"

Dengusan gemetar mulai terdengar dari bibir Firman saat Mira mencoba menekan kekecewaan yang merayap dalam dirinya. Cincin kecil dan berkilau seharusnya terpasang di jari manis sang suami, namun Mira seakan berharap cincin itu harus terus dilekatkan di jari manis Firman, tanpa henti.

"Lagi nggak mood pakai cincin," ucapnya dengan nada kesal. "Ngapain juga aku harus lepas pasang lepas pasang? Buang-buang waktu, tahu nggak?"

Firman menghela napas kemudian mengambil tablet putih yang sebelumnya diletakkan di atas meja. Lalu membuka lagi materi yang baru saja dipelajari.

"Ayo, ayo, fokus!" pintanya dengan tegas, sambil menjentikkan jarinya ke arah layar. Mira berusaha meraih fokusnya, menatap layar dengan ketegangan di wajahnya.

Sementara itu, Mira langsung memegang pena digital, siap mencatat apa pun yang akan diberikan oleh Firman.

"Tadi sudah saya jelaskan tentang perbedaan Acqusition dan Retention. Sekarang bagaimana harus menggunakan Organic Channel dan Paid Channel? Nah, jika perusahaan kami mengharuskan menggunakan Paid Channel, maka kami perlu mengatur budgeting terlebih dahulu. Karena setiap kunjungan dari iklan yang kami buat, perusahaan yang membayar. Kalau Organic sih, kami hanya membangun interaksi antar pengguna. Istilah kasarnya, kami buat konten untuk menarik perhatian mereka. Kami kasih beberapa informasi tentang FoodBeary, melalui konten. Di sini tidak ada budget khusus, melainkan harus ada effort untuk membuatnya. Dimulai dulu tuh, bikin content plan lalu bikin brief-nya, dan lain-lain. Kurang lebih seperti itu."

Seperti biasa, Mira menunduk dan menuliskan materi yang dia dengar melalui catatan digital.

"Jadi kalau Organic itu harus kreatif membuat konten?" Mira mengangkat tangannya bertanya.

"Tentu dong. Karena mempengaruhi engagement. Jika interaksi makin tinggi, maka peluang besar akan disentuh oleh orang yang memiliki minat yang sama dengan tujuan perusahaan." Firman menurunkan tabletnya lalu menjelaskan materi secara lisan tanpa menggunakan alat bantu. "Intinya tuh membuat organic konten tugasnya content marketer. Mereka yang menyusun target audience-nya seperti apa, content pillar-nya seperti apa, dan lain-lain."

Mira melenggut paham. "Seperti itu, ya."

"Pokoknya untuk materi dasar seperti ini, kamu tinggal kuasai saja. Tidak ada tugas untuk pertemuan kedua dan berikutnya."

"Baik, Pak Firman."

Setelah itu materi yang tersisa dia paparkan sampai habis. Hingga waktu setengah jam kemudian, materi dasar pun selesai.

"It's meal time!" seru sang guru kemudian langsung  berdiri dari posisi duduknya untuk mengambil sesuatu di dalam kulkas. Jam 9 tepat memang waktunya untuk mengisi perut setelah barusan mengisi otak dengan materi.

Dengan cekatan, Firman memegang dua minuman cup ukuran large dengan sedotannya. Dalam sekejap, meja putih bulat itu dihiasi oleh minuman milk tea menggugah selera serta seporsi krupuk pangsit jumlah banyak sebagai camilan mereka.

"Nih, makan," ucap Firman mempersilakan, kemudian membuka kemasan makanan dengan pelan. "Kamu pasti capek kan menulis di tablet? Apalagi berulang kali tanya tentang materi hari ini. Jadi kamu harus makan habis itu istirahat."

Mira merasa kagum dengan sikap Firman yang penuh perhatian. Hatinya dipenuhi dengan kehangatan, namun dia mencoba menenangkan perasaannya. Tentu saja, ini semata-mata karena Firman memposisikan diri jadi guru yang baik, bukan karena alasan lain. Firman bersikap baik karena Mira adalah muridnya. Tidak lebih dari itu.

Sebelumnya Firman nggak pernah begini. Padahal dulu dia galak banget waktu pertemuan pertama kami. Ada apa dengannya ya?

"Mira? Kok kamu bengong sih?" tanya Firman, menyadarkan muridnya dari lamunan. "Jangan malu-malu, kamu sendiri loh yang pesan krupuk pangsit. Makanlah."

Mira mengatur dirinya yang sempat terenyuh barusan, kemudian mulai menikmati makanannya dengan penuh rasa syukur.

"Besok hari Sabtu, berarti saya boleh istirahat ya?" tanya Mira pelan, memastikan ucapan Firman barusan.

"Boleh. Aku kan sudah minta kamu untuk istirahatkan diri, dengan jalan-jalan misalnya atau melakukan hal lain. Kamu juga mau ke manapun nggak masalah buatku."

Mira hanya mengangguk kaku, padahal niatnya ingin mengobrol basa-basi dengan Firman. Cuma belum menentukan apa topik yang tepat. Tentu, Mira harus tetap membiasakan diri meladeni sikap dingin Firman ketika tidak lagi menjadi gurunya. Apalagi sesi belajar sudah selesai, maka tidak memungkinkan bagi mereka untuk saling mengobrol satu sama lain.

"Kamu bawa pulang semuanya, aku mau langsung tidur." Firman mempersilakan, lalu cepat-cepat berdiri seraya membawa minuman miliknya untuk dimasukkan ke kulkas.

Ketika Firman menutup pintu kamar dengan cukup keras, Mira tersentak kaget. Suara debam pintu yang tiba-tiba itu membuat hatinya sedikit bergetar.

Tanpa banyak bicara, Mira mengumpulkan semua sisa makanan yang ada di meja dan meletakkannya dalam satu kantong kresek. Dia membawa kantong makanan dan tote bag miliknya sambil meninggalkan unit Firman.

Saat berjalan keluar, Mira sempat menoleh sebentar ke arah unit 20-6, tempat tinggal Firman. Perasaannya bercampur aduk, karena meski dia berusaha memaklumi sikap dingin Firman, tetapi sikap peduli yang baru saja ditunjukkan olehnya membuat hatinya sedikit bergejolak.

Lagi dan lagi Mira tetap harus memaklumi sikap dingin Firman padanya. Dia masih membutuhkan banyak usaha agar membuat Firman tahu dia benar-benar sadar dari kesalahannya di masa lalu.

Akan tetapi, perasaannya kini tidak menentu. Terlebih melihat sikap peduli Firman barusan. Tentu, Mira belum bisa memberikan keputusan terhadap hatinya. Mira masih perlu menjalani kebohongan bersama Firman.

Yang penting, Firman peduli sebagai guru. Bukan sahabat, pun bukan sebagai suami. Firman hanya baik di saat kami menjadi guru dan murid.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top