Bab 1
***
[Pewarnaan yang Anda berikan belum terlalu kuat. Tolong direvisi ya, deadline sampai dua hari ke depan.]
Mira mengernyit kening ketika menelaah isi surel dari klien tentang perbaikan desain. Padahal Mira ingin menghibur dirinya dengan mendengar lagu di AirBuds kesayangannya.
Loh, ini aku salah lihat apa gimana sih? Masa ada kesalahan?
Mira sampai mengucek kedua mata serta memperbaiki letak alat penglihatannya. Sebelum diserahkan pada klien, Mira bahkan memastikan terlebih dulu mana yang perlu diperbaiki. Bagaimana bisa klien tersebut bilang warna yang dia berikan pada desainnya tidak terlalu kuat?
Belum selesai masalah pertama, ada lagi masalah berikutnya yang makin membuat Mira berdecak kesal.
[ Content brief yang kami berikan sudah Anda baca nggak sih? Kalau sampai ada salah dalam desain, bisa-bisa performa konten kami juga menurun. Dan kami juga nggak bisa memercayakan Anda lagi.]
"Huft. Nggatekke dhasar (dasar tidak tahu diri)," umpat Mira di sela-sela membaca isi surel. "Padahal sebelum dikirim, aku sudah cek baik-baik loh. Mereka ini nyuruh aku buat ulang desainnya, dengan dalih bilangnya ada kesalahan?"
Merasa atmosfer sekitar tidak ramah padanya, dia mengambil kipas elektrik mini yang terletak di sudut meja. Cahaya lembut dari lampu di sekitarnya memantulkan bayangan pada tumpukan buku yang disusun rapi di sisi kiri meja. Pensil dan brush pen diletakkan secara tegak, menunggu untuk digunakan, begitu juga dengan stylus pen yang akan membantu Mira dalam merancang desain.
Mengingat komentar dari kedua kliennya yang menyatakan bahwa ada kesalahan dalam desainnya, Mira langsung membuka aplikasi gambar di tabletnya yang berukuran 10 inci. Layar cemerlang memancarkan warna-warna yang menarik, mengundang Mira untuk mengeksplorasi setiap detailnya. Tangan Mira menyentuh layar dengan lembut, mencoba menemukan kesalahan yang disebutkan oleh klien-klien tersebut.
"Cuma kesalahan kecil, mending nggak usahlah kerja revisiannya, biar belakangan aja," kata Mira enteng sambil mengalihkan pandangannya kepada surel yang bertumpuk di laptop miliknya.
Ada begitu banyak content brief serta hal-hal lain yang mendukung pembuatan konten. Sebagai seorang desainer konten, Mira telah terbiasa dengan berbagai komplain serta kritik, bahkan yang sekecil apa pun. Namun, di antara semua itu, kadang-kadang ada juga feedback positif yang membuat hatinya senang.
Tak terlupakan momen ketika salah satu klien menyukai hasil desainnya yang dipamerkan di feed Instagram-nya. Kepuasan klien tersebut membawa berkah baginya, dengan diikutsertakannya Mira dalam proyek-proyek selanjutnya. Mira bekerja sebagai freelancer serta remote worker, dan kesempatan kerja datang dari berbagai arah. Mira bisa menerima pekerjaan dari siapa saja yang membutuhkan jasanya.
Bekerja di dunia desain bukanlah hal yang mudah, tetapi Mira merasa beruntung karena bisa mengejar passion-nya dan berkreasi di bidang yang dicintainya. Kehidupannya mungkin tidak mengikat dengan perusahaan atau kantor, tetapi Mira merasa bahwa kebebasan dalam memilih proyek dan mitra bisnis adalah hal yang berharga.
Memutuskan rehat sambil air buds tetap terpasang di telinga dan menyetel lagu kesukaan adalah hal terbaik untuk meluruhkan beban yang menumpu dalam otaknya. Wanita dengan perawakan mungil itu segera memperbaiki hoodie abu-abu yang dipakaikan di tubuhnya lalu berdiri dari kursi putar. Jam menunjukkan pukul 9 malam. Mira berinisiatif membuat kopi sebagai ide terbaik untuk menemaninya kerja.
Mira segera mengambil alat pemanas air yang terletak di dekat lemari dan menghubungkannya ke soket untuk menyalakannya. Sambil menunggu air mendidih, dia menuangkan bubuk kopi instan cappucino ke dalam cangkir dan menambahkan dua sendok teh gula. Air panas dituangkan ke dalam cangkir, dia memerhatikannya penuh teliti setelah beberapa saat menunggu.
Dengan hati-hati, Mira menggunakan telunjuk dan ibu jarinya untuk mengaduk isi cangkir, mencampurkan kopi dan gula dengan lembut.
"Harus semangat biar dapat penghasilan banyak," ucapnya dengan semangat, mencoba memberi dukungan pada dirinya sendiri. Senyum ceria pun merekah di wajahnya.
Dalam perjalanan setelah lulus dari jurusan Teknologi Informasi, Mira telah memiliki impian untuk bekerja di perusahaan dan sudah menargetkan posisi yang diinginkannya. Namun, kenyataan tak selalu sesuai harapan. CV-nya tidak menarik perhatian perusahaan yang ia lamar sehingga tidak diterima. Tetapi, cinta dan minatnya terhadap desain membawanya pada jalan yang berbeda dan menjadi peluang untuk memperkuat pengalaman dalam bidang lain.
Setelah menyelesaikan kopi, Mira kembali duduk di kursi putarnya sambil mencicipi seduhan kopi di ujung cangkir. Langkah pertama adalah meninjau content brief lain, dan matanya memicing penuh konsentrasi. Dia memastikan tidak ada kesalahan dan berusaha mengerahkan kemampuannya untuk tidak membuat klien menegurnya lagi. Dalam setiap tugas, Mira berusaha memberikan hasil terbaik dan memastikan bahwa desainnya sesuai dengan keinginan klien.
Kedua tangan Mira mulai bekerja. Kadang berpindah-pindah ke keyboard, kadang pula ke mouse. Hanya sekadar mempercantik desain yang dia buat dalam perangkat lunak. Sketsa adalah jalannya untuk menentukan pewarnaan. Butuh beberapa waktu memasukkan macam-macam elemen serta latar belakang yang sesuai.
Beberapa menit bekerja dan dirasa butuh waktu istirahat, Mira mulai meregangkan kedua tangan. Tak lupa dia meregangkan bagian tubuh, setelah nyaris seharian duduk di kursi putar.
"Seorang desainer grafis juga butuh sedikit istirahat. Daripada sakit nantinya," ujar Mira mengingatkan diri sendiri.
"Ngomong-ngomong, ini jam 9 malam." Mira spontan mengecek waktu di sisi kanan bawah layar laptop.
"Adit kira-kira sedang apa, ya?" bisiknya dalam hati, ingin tahu bagaimana keadaannya setelah seharian penuh dengan pekerjaan.
"Aku coba telepon dulu."
Mira mengambil ponsel miliknya di sebelah kanan laptop. Kemudian mencari nama Adit di kontak WhatsApp. Hanya memastikan kabar Adit setelah nyaris seharian berkutat dengan pekerjaan.
"Halo, beb." Mira membuka obrolan penuh semangat. "Sedang apa? Aku dengar suara mobil yang melaju. Lagi di jalan ya?"
"Iya. Ini sedang naik taksi dalam perjalanan pulang ke rumah. Kenapa?"
Mira tersenyum mendengar suara Adit di telepon, merasa senang mendapatkan kabar darinya. "Iya, nggak ada apa-apa. Cuma kangen, hehe," kata Mira dengan penuh perhatian.
"Hahaha, bisa aja kamu," balas Adit sambil tertawa di telepon. "Kerjaanku sudah selesai, dan sebentar lagi aku akan sampai di rumah untuk istirahat."
Mendengar itu, Mira merasa lega. Mengetahui bahwa Adit sudah selesai dengan pekerjaannya dan akan segera pulang, membuat hatinya menjadi tenang.
"Baiklah, aku tunggu kabar sampai kamu sampai di rumah," kata Mira dengan nada lembutnya.
"Iya, beb. Aku juga udah dekat kok," jawab Adit hangat.
Panggilan telepon mereka terputus, dan Mira menaruh ponselnya di samping tablet yang terbaring di meja dengan penyangga besi. Mira merasa senang bisa mendengar suara Adit dan mengetahui bahwa pacarnya dalam keadaan baik. Setelah melepas penat seharian, Mira merasa perlu untuk sedikit istirahat dan meresapi momen tenang sebelum kembali bekerja.
Jika dipikir-pikir, Mira masih punya waktu istirahat sampai tangannya benar-benar rileks untuk diajak bekerja kembali. Hingga Mira pun meraih ponsel yang barusan dia tinggalkan dan membuka sosial media miliknya. Tidak salah untuk sesekali mengecek apa yang menjadi terbaru, mana tahu ada berita hangat yang mungkin dilewatkan.
Notifikasi grup sekolah menjadi perhatiannya kini. Mira penasaran, ada apa sampai grup alumni SMA jadi ramai malam-malam?
Begitu Mira membukanya, ada yang membahas tentang si culun. Lantas membuat Mira kebingungan. Siapa pula si culun?
(Gimana reaksinya Mira pas tahu ini ya?)
Begitu isi pertanyaan dari salah satu temannya, bernama Anggi.
Mira sungguh dibuat kepo tentang sosok si culun. Kedua ibu jarinya mengetikkan sesuatu dan menanyakan maksud membawa-bawa namanya.
Lalu Anggi membalas. "Coba cek workfess di tweet. Kamu akan terkejut si culun, yang juga kamu ledeki si pengangguran, dapat pekerjaan."
Begitu menyebutkan obyek selanjutnya, Mira spontan mengingat satu nama. Firman. Ya, Firman, si culun. Juga Firman yang sempat menjadikannya sebagai babu untuknya.
Mengambil inisiatif untuk mengecek sosial media, dia lantas terkejut dan heran melihat satu video yang memutar keseharian seorang pria di sebuah kantor. Benar, dia kenal betul pria tersebut. Firman Setiawan, babunya sekaligus sahabat semasa sekolah. Ekspresi Mira kini memperlihatkan kebingungannya. Juga reaksinya bergetar, begitu membaca jabatan Firman yang bekerja sebagai spesialist Digital Marketing, yang memiliki jobdesk yaitu sebagai pemimpin dalam mengatur berbagai channel periklanan digital.
"Tunggu, dia beneran Firman, si pengangguran itu?" gumam Mira dalam hati.
Mira kemudian memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut dengan membuka browser dan mengakses Linkedin. Dia mengetikkan nama "Firman Setiawan" dalam kolom pencarian. Setelah menemukan profilnya, Mira masih merasa sulit mempercayai fakta ini. Ingatannya kembali ke masa lalu, ketika Firman pernah mengungkapkan bahwa ia mengalami masa menganggur dalam sebuah reuni SMA yang pernah dihadiri Mira.
Namun, setelah membuka profil Linkedin tersebut, Mira sungguh tahu kebenarannya. Firman sekarang telah mendapatkan pekerjaan sebagai Digital Marketing Specialist di perusahaan FoodBeary.
Masih nggak percaya saja si pengangguran itu dapat kerja. Dibandingkan aku yang setengah mati cari perusahaan layak, dia malah main sat set aja langsung keterima. Nggak bisa dibiarkan kalau begini.
Mira merasa batinnya meracau dengan perasaan campur aduk. Ia masih sulit mempercayai bahwa Firman, yang pernah mengatainya pengangguran di acara reuni SMA, kini telah bekerja sebagai Digital Marketing Specialist di FoodBeary. Dia justru merasa iri dan kecewa karena merasa kalah dalam mencari pekerjaan yang layak.
Ketika profil Firman muncul setelah Mira meng-klik tombol cari di LinkedIn, rasa kagetnya makin membesar saat menemukan bahwa Firman ternyata pernah menjadi content marketer sebelum mendapatkan jabatan spesialis saat ini. Informasi tersebut membuat Mira bertanya-tanya tentang taktik dan pengalaman kerja apa yang dimiliki Firman sehingga bisa mencapai posisi tinggi di perusahaannya.
Bukan rahasia bahwa Mira merasa egois dan ingin memanfaatkan keberadaan Firman untuk memenuhi keinginannya sendiri. Dia merasa terdorong untuk mencari tahu lebih banyak tentang kesuksesan Firman dan bagaimana dia bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah.
"Aku harus mencari dan menelepon Firman," gumam Mira dalam hati. "Semoga nomornya di grup sekolah itu masih aktif. Aku perlu tahu strategi dan taktik apa yang dia gunakan hingga bisa mencapai jabatan tinggi di kantornya."
***
Pria berbadan tinggi dan atletis itu dengan serius memotong selada dan tomat di atas meja dapur. Celemek polos berwarna biru yang dikenakannya menunjukkan bahwa dirinya tengah asyik mengolah makanan. Kepalanya terus menunduk fokus pada tugasnya, hingga akhirnya dia merasa bulir keringat mengalir di keningnya. Tanpa disadari, setelah memilah bahan, ia spontan mengangkat lengannya untuk menyeka keringat yang mengganggu.
Selesai dengan bagian tomat, pria itu membuka bungkusan roti di bagian atas dan mengambil botol saus dari pojok kanan meja dapur. Ia tampak sibuk mengatur bahan-bahan untuk membuat roti sandwich sebagai camilan malam. Kedua tangannya bergerak dengan lincah dan terampil, mengolah bahan-bahan dengan hati-hati.
Meskipun sedang sibuk dengan memasak, atensinya terbagi antara talenan yang berisi bahan-bahan makanan dan ponsel yang diletakkan di depannya. Ponselnya dihimpitkan oleh tripod meja yang berada tepat di tengah-tengah penyimpanan bumbu, menunjukkan bahwa pria tersebut tengah melakukan tugas lain selain memasak. Ternyata, namanya adalah Firman, dan dia sedang menelepon seorang rekan sesama divisinya untuk menerima laporan pergerakan insight dari konten yang telah dikerjakan. Selain itu, Firman juga harus meminta engagement dan interaksi terbaru di sosial media perusahaan.
"Tolong kamu cek semua itu, dan buatkan laporan terbarunya. Kirim ke e-mail, ya." Firman memberikan perintah. Lalu respon singkat dari rekan kerjanya terdengar melalui speaker ponsel miliknya.
Setelah mempersiapkan teh dan piring untuk menaruh sandwich-nya, Firman melanjutkan instruksinya.
"Oh iya, pastikan postingan konten promosi perushaan tetap stabil insight-nya. Jangan lupa cek lagi konten sebelumnya, gimana engagement-nya. Terus interaksinya gimana?"
"Untuk laporannya gimana, Kak Firman?"
"Buatkan juga, Jery. Biar aku bisa teruskan ke Kak Hardi sebagai evaluasi."
"Baik, Kak Firman."
Dirasa cukup, Firman pun buru-buru menutup panggilan tanpa berucap pamit sama sekali. Dengan penuh semangat, Firman membawa roti miliknya yang sudah tersaji di piring besar ke ruang utama dan meletakkannya di meja kaca.
Celemeknya sudah dia lepas dan mengurungkan niat untuk duduk di sofa panjang karena karpet bulunya terasa lebih nyaman. Alih-alih, Firman memilih untuk duduk bersila di atas karpet, menikmati kenyamanan dan ketenangan di ruang itu.
Ketika dirinya hendak memulai untuk menikmati roti yang sudah dia buat dengan susah payah, ponselnya tiba-tiba berdering di atas meja. Dia melihat bahwa ada satu pesan masuk dari aplikasi perpesanan, dari nomor anonim. Dengan rasa penasaran, Firman segera membuka pesan tersebut.
(Selamat malam. Emm, aku terlalu formal, ya? Masih ingat aku, kan? Mira Hartono. Kebetulan dapat nomormu di grup angkatan sekolah. Kita sempat ketemu waktu reuni SMA. Aku tuh mau tanya. Bukannya kamu pernah bilang belum dapat kerja ya? Aku kaget lihat menfess di akun workfess tentang kamu. Sempat tidak percaya, aku cek di Linkedin, ternyata benar. Mana jabatan kamu lumayan lagi. Gimana bisa? Dapat kerjaan butuh berapa lama?)
Mengingat menfess, Firman tahu lebih dulu bahwa dirinya mendapat berbagai pujian atas kerja kerasnya di FoodBeary. Namun bukan itu yang terpenting sekarang.
Firman membaca pesan itu dengan seksama, dan namanya teringatkan kembali pada sosok Mira Hartono, seseorang yang dia kenal dari masa SMA. Tapi kenangan yang muncul tidak sepenuhnya menyenangkan. Dia ingat bagaimana saat SMA dulu, Mira sering menyuruh-nyuruhnya seperti seorang penguasa. Rasa kesal dan ketidaknyamanan muncul dalam dirinya.
"Tunggu, tunggu. Bukannya Mira ini, si tukang suruh-suruh?" gumam Firman menerka-nerka.
Di luar dugaan, Firman tidak mengetikkan balasan pesan justru menempelkan ponselnya ke telinga untuk menelepon wanita itu. Kini dia sedang menunggu Mira mengangkat teleponnya.
"Halo, Mir," sapa Firman dengan suara yang direndahkan, mencoba menjaga ketenangan diri.
"Eh, Firman! Untung kamu nanggepin. Soalnya aku lihat menfess kamu bertebaran di media sosial bahkan di instagram pula, ada yang repost di akun terkenal. Jujur ya, aku salut lihat perjuangan kamu yang tadinya pencari kerja sekarang dipercaya mengemban jabatan menengah di kantor.
"Tapi nih, aku sangat penasaran. Berapa lama kamu mencari perusahaan sampai bisa sesukses itu? Tahu sendiri kan, aku juga pencari kerja? Aku pengen tahu caranya dari sudut pandang kamu sendiri," tanya Mira penuh antusiasme.
Benar-benar dugaan Firman tidak salah. Mira tidaklah berubah seperti dulu. Dia masih sama, melabeli wanita itu sebagai tukang suruh-suruh. Meskipun hanya sebatas rasa penasaran terhadap caranya mendapatkan pekerjaan, dia merasa Mira tak dapat berusaha sendiri dan lebih condong membutuhkan bantuan orang lain ketimbang mengubah diri jadi lebih baik.
Demi menjaga agar amarahnya tidak meluap, Firman memutuskan untuk tetap membiarkan ponselnya tersambung melalui jaringan telepon dari Mira. Piring kosong diangkatnya dengan satu tangan dan menuju wastafel sembari tetap berbicara di telepon.
"Mira. Aku tuh nggak sesukses yang dipikirin orang-orang. Masih banyak kok, orang yang lebih sukses selain aku. Coba tanya ke mereka yang merasa membuat kamu terinspirasi. Kenapa tanya ke aku?" Firman menanggapi, berusaha untuk menghindari Mira. Meskipun begitu, dia tetap mendengar dengusan kesal dari Mira di seberang telepon.
" Hei, cerita inspirasi itu membantuku yang tadinya menyerah jadi semangat lagi. Aku sungkan tanya ke orang lain selain kamu, masa kamu nggak bisa bantu teman kamu ini? "
Teman apanya? Kita cuma temenan waktu mau lulus SMA, kok. Sebelum itu juga, kamu sering suruh-suruh aku. Kamu nganggep aku teman cuma buat memenuhi egomu. Batin Firman meracau dalam hatinya.
"Aku nggak diterima tiga perusahaan, tahu nggak?" Mira memberitahu dengan nada kecewa, masih dari seberang telepon. "Aku nggak mau jadi beban ortuku, walau aku pekerja lepas. Setidaknya tuh keinginanku buat kerja di perusahaan tercapai. Mending jangan pelit sama teman sendiri, kamu kan sukses sebagai pekerja kantoran."
'Apa aku putuskan aja teleponnya?' Firman mengusulkan sesuatu setelah mendengar cerita Mira panjang lebar. 'Masa bodo kalau dia nelpon terus. Paling juga dia bakal capek sendiri.'
Meskipun berpikir demikian, dia sadar bahwa Mira bakal bersikap membangkang dan terus membuat dirinya terganggu. Tentu, dia paham bahwa menghindari Mira takkan mengubah apa pun. Mira tetaplah Mira, yang menjadi egois demi kepentingannya sendiri. Hasilnya, Firman urung menekan tombol merah untuk menyudahi panggilan telepon dan langsung melakukan aktivitas lain.
Firman mencuci tangannya di bak wastafel dan kemudian terdiam. Walau rasa kesal dan ketidaknyamanan masih tersisa dalam hatinya, dia perlahan berpikir bahwa bisa jadi di balik keegoisannya, ada alasan tertentu yang menjadi penopang beban buat Mira. Apakah Firman perlu memberikan kesempatan buat Mira agar menjelaskan niat sebenarnya?
"Duh, bicara panjang-panjang begini bikin aku capek. Mana aku masih ada kerjaan desain lagi. Gini aja deh. Mau nggak kita ketemuan? Sekalian bicara soal barusan," kata Mira seakan menantang Firman dalam bertarung.
Firman terdiam sejenak, malah mempertimbangkan situasi yang diterimanya. Meskipun ada rasa enggan, dia merasa ini adalah kesempatan untuk mencari tahu lebih lanjut dan mungkin membantu Mira memahami perspektifnya.
"Ketemu?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top