10. Dikotil
Dikotil---Tumbuhan dengan biji keping dua
Holla, happy baca ❤️
Disclaimer; Ternyata bab ini belum waktunya Diandra muncul (Hela napas lega) kalian 🤭
Ta-tapi ada kemunculan Pratiwi, Eyang Rahayu dan Mami Wina.
Bantu koreksi ya kalau ada typo. Maklum, kesempurnaan bukan milik saya. Milik saya adalah Pak Aby. Eeeeh, gimana-gimana?
#dikeplakAisyah 😷
.
.
.
Aisyah tercenung, matanya sibuk mengamati satu objek pada radius sepuluh meter dari tempatnya duduk, lalu serta-merta menatap takjub pada sosok yang tengah berdiri di depan cermin besar itu. Dalam balutan kemeja kantoran biru pirus dipadu celana bahan berwarna hitam mengilat, plus dasi bertengger rapi di leher. Sekian detik pertama dia terhipnotis, pikirannya sontak membayangkan laki-laki yang berdiri di sana seperti sosok-sosok yang pernah dibaca dalam cerita novel romance--tentang mas-mas C-E-O, rapi, tampan, berkelas-- layaknya implikasi penampilan Abyasa pagi ini.
Masya Allah, Husband ...
Gumaman mencuat tapi hanya dalam batin gadis itu. Lekas ditepis suara isi hati dengan gelengan reflek.
"Kenapa kamu lihatin saya kayak gitu?"
Yang diperhatikan menyadari telah menjadi objek pandang gadis yang terpekur di sofa kelabu ruang pribadinya.
Aisyah menarik sudut-sudut bibirnya. Tersenyum tipis.
"Pak Aby kalau dilihat-lihat, kok, lumayan ganteng, sih?" cetusnya.
Pernyataan refleknya mendapat reaksi semburan tawa Abyasa. Suara terbahak menggema sembari menggeleng-geleng pelan. Kalau perempuan lain yang mengatakan itu terang-terangan di depannya biasanya Aby akan bodo amat, tapi ini Aisyah lho. Aisyah dengan ekspresi polos serta kalimat reflek yang apa adanya, tercetak jelas rona lucu tertangkap mata Abyasa setiap kali gadis itu menggumam-kan sesuatu. Tawa kencangnya berubah menjadi senyuman lembut. Dia perhatikan gadis yang msh betah menyandar pada punggung sofa itu bibirnya bergerak kembali.
"Tapi suka ketus, otoriter, annoying." Lanjut sang gadis-sontak membumi-hanguskan senyum di wajah Abyasa.
Ketukan pantofel-nya mengarah pada Aisyah. Masih pagi tapi moodnya sudah dijungkir balik oleh si gadis bawel satu ini. Abyasa mengenyakkan tubuh tepat di sisi Aisyah. Menoleh si gadis otomatis mata keduanya berserobok. "Hati-hati sama ucapan kamu, Syah." Nada bicaranya mengandung intimidasi.
"Pak Aby juga suka ngancam. Padahal saya cuma jujur," sahut Aisyah santai. "Salahnya di mana coba?"
Baru Aby akan mengangkat suara tapi harus tertangguh-kan saat dering nyaring menggema dari ponsel Aisyah.
Mata gadis itu sontak membeliak mendapati nama yang tertera di layar panggilan.
Pratiwi calling ...
"Pak, debatnya kita pending dulu. Saya harus angkat telepon." Kalimatnya dikabuli Aby dengan gerakan mengangkat kedua bahu bersamaan.
Aisyah lantas menggeser tanda hijau, tanda panggilan diterima. Suara di seberang langsung merangsek menyapa saraf-saraf pendengarannya.
"KURANG AJAAAAR KOEN CHA! RABI GA NGUNDANG-NGUNDANG, GA NGABARI, SOPAN KAH BEGITU?!"
(Kurang ajar kamu Cha. Nikah enggak ngundang-ngundang, nggak kasih kabar. Sopan kah begitu)
Kalimat meletup-letup langsung menyambut kuping Aisyah. Gadis itu meringis mendapati Tiwi dipeluk emosi di seberang telepon.
"Sek toh, (bentar dong) Wi. Jangan emosi, tak jelasin dulu. Salam dulu kek, tanya kabar kek, langsung ngegas aja, Wi. Kaget lho aku."
"Apane sing dijelasno Cha, udah jelas lho, koen nilap aku. Katanya kalau salah satu dari kita nikahan, musti jadi Bridesmaids. Lha Kowe, ngabari aja ora."
"Wi, jangan marah-marah dong. Lagian kamu, kan, pernah bilang, kalau enggak akan marah sama aku. Kita bestie, kan. Terus saiki (sekarang) kamu marah sama sopo (siapa)"
"Oh, ya sama lu, ya sama lu!"
"Sidnan nabi Yaa jamaluu."
"Aku lagi emosi ya anjiir, ga usah ngelucu, Cha! Pake nanya lagi aku marah sama siapa. Ya sama koen, Cha!"
Tawa Aisyah melompat dari bibir mendengar umpatan Pratiwi. Biasanya Tiwi itu kalah udah dijaili emosinya bakal mereda. Akan tetapi kali ini karibnya itu agaknya benar-benar sedang didera kecewa.
Abyasa yang duduk di sebelahnya sejak tadi memerhatikan Aisyah. Matanya terus mengamati ekspresi gadis itu. Saat mendengar kata 'marah' reflek dia mengulurkan tangan, meminta Aisyah menyerahkan ponselnya. Awalnya menggeleng, tapi Aby tak mau kalah. Meraih ponselnya dengan paksa. Lelaki itu kemudian mendekatkan benda pipih tersebut di antara apitan telinga dan tangannya.
"Tega lho kamu, Syah. Aku enggak dianggap. Masa nikah diam-diam. Syok berat aku pas diceritain sama Tante Tari. Jadi ini alasanmu ga mau angkat video call-ku, Syah. Astaga bestie macam apa kau ini, Syah.
Dehaman singkat Aby sebelum menjawab suara di seberang.
"Cha, kok ... suaramu berubah jadi suara laki-laki?"
"Hallo, saya Abyasa, suaminya Aisyah. Maaf kalau lancang ikut campur obrolan kalian. Tapi, kamu harus tahu, kalau Aisyah tidak salah apa-apa. Jangan marah atau membencinya. Dia hanya menjalankan perintah keluarganya. Semoga kamu bisa memahami keadaannya." Usai berbicara Aby mengulurkan kembali ponsel pada Aisyah. Sempat tercenung sejenak akibat polah Abyasa--menjawab telepon Tiwi, memberi penjelasan pada temannya itu. Tindakan reflek yang mungkin biasa saja, tapi anehnya membikin perasaan Aisyah menghangat.
"Wi, hallo, masih di situ kan? Maafin ya. Wallahi, enggak ada niat nilap kamu, Wi. Aku sendiri juga syok dan kaget pas diminta nikah hari itu juga." Wajah Aisyah membias sesal. Merasa bersalah karena tidak langsung mengabari Pratiwi. Karena baginya restu bestie itu setara restu orangtua. Apalagi Tiwi adalah satu-satunya teman dari jaman mereka masih remaja. Susah senang biasa dilewati bersama.
"Iya-ya, aku maafin Cha. Lain kali jangan gitu, aku, kan juga mau ada.di hari bahagiamu Cha. Pas tahu pertama kali dari ibumu, aku mewek tail! Ngerasa ga dianggap banget sama kamu."
Aisyah reflek menggeleng tegas. "Enggak gitu Wi, kamu itu berarti buat aku. Jangan ngomong gitu lagi ya. Nanti kalau aku udah di Surabaya, tak ceritain semuanya."
"Beneran yo."
"Iya Tiwi Sayang. Ya Allah, kangen banget sama bayi-bayi dendrobium-ku. Gimana kabarnya mereka Wi? Ingat pesanku, kan, Wi, jangan ditaruh tempat yang kena panas. Sama nyiramnya seminggu sekali aja, jangan banyak-banyak nanti mati."
"Yang dikangenin malah si bayi anggrek"
"Kamu juga, Wi. Kangen banget. Gimana, selama aku tinggal, ada banyak order masuk, enggak, Wi?"
"Lumayan, nanti tak email laporannya. Ada beberapa kantor yang nyewa cattaleya sama vanda. Pokoknya Cha, kamu nanti kalau balik ke Surabaya harus bawain oleh-oleh yang banyak. Ga mau tau, ga ada penolakan."
"Iya Wi, iya. Wes, ya. (Udah) aku ditunggu suamiku, enggak enak, dia mau berangkat ngantor."
"Sek toh, Cha (bentar, Cha) suamimu ganteng ora (enggak) Cha? Tapi kalau didengar dari suaranya keknya ganteng yo, Cha."
Aisyah gigiti bibirnya sendiri mendengar pertanyaan Tiwi selanjutnya. Dia jauhkan ponsel dari jangkauan Aby. Takut laki-laki itu akan mendengar obrolannya, nanti jadi besar kepala.
"Ora, (enggak) B Aja, Wi. Udah dulu ya, nanti tak telpon balik. Dadah Tiwi Sayang. Assalamualaikum." Usai merapal salam Aisyah memutus panggilan.
"Siapa dia?" tanya Aby usai Aisyah mengantongi ponselnya kembali.
"Pratiwi, bestie-nya saya, Pak. Pokoknya saya sama Tiwi itu udah kek saudara kandung. Kemana-mana selalu berdua, susah senang juga berdua. Sampai bikin bisnis juga merintisnya berdua."
Aby manggut-manggut sembari mengucap oh-singkat.
"Kita turun sekarang Syah, pasti Eyang dan yang lain sudah menunggu." Titah Aby diangguki.
Keduanya melangkah keluar kamar.
Menuruni anak tangga dengan posisi Aby di barisan depan, sedangkan Aisyah mengekori di belakang lelaki itu. Saat kakinya menjangkau tangga terakhir penghubung dengan lantai bawah, mata Aisyah sontak menangkap beberapa sosok yang tengah berdiri berjejer di dekat meja makan yang tidak jauh dari tangga.
"Wah, ini dia pengantin barunya." Suara itu terdengar dari perempuan sepuh bersanggul dengan sematan bunga anggrek paphiopedilum di bagian atas sanggulnya. Perempuan yang dituakan di keluarga Abyasa---Eyang Rahayu. Eyang memangkas jarak dari pasangan muda itu. Sejurus pelukan hangat menghampiri Aisyah dari perempuan sepuh tersebut. "Selamat datang di rumah ini, maaf ya, Nduk, semalam Eyang tidak menyambut kedatangan kalian. Aby ngabari kalau mau datang, tapi ditunggu dari isya kok enggak muncul, jadinya dikira tidak jadi," lanjutnya.
Aisyah menggeleng pelan. Senyum terpulas, saat Eyang melepas pelukan, buru-buru dia ambil tangan perempuan itu untuk salim tangan sebagai penghormatan. "Enggak pa-pa Eyang. Aisyah dan Pak--Mas Aby yang harus minta maaf, sudah bikin Eyang menunggu." Usai berbicara, gantian Abyasa mencium tangan Eyang. Setelahnya laki-laki itu beranjak ke meja makan.
"Selamat datang di rumah, Aisyah." Di sebelah Eyang, perempuan paruh baya sekitar lima puluhan tahun gantian menyapa. Barter pelukan serta cipika-cipiki darinya pada Aisyah. "Tidak lupa sama saya, kan?"
Aisyah menggeleng. Mana mungkin lupa pada ibu mertua. Maminya Abyasa. Walau bertemu baru sekali saat usai akad dan resepsi.
"Tante Wina apa kabar?" sapa Aisyah, tapi mendapat protes dari perempuan setengah tua itu.
"Kok Tante, panggil Mami dong, Syah."
"Eh, iya. Mami."
"Nah, Syah, ini Wina maminya suamimu. Kalau papanya kebetulan lagi ada kerjaan di luar kota. Nah yang berdiri jejer itu, tak kenalkan ayo, Nduk," titah Eyang. Aisyah mengekori langkahnya. Sampai di deretan kumparan laki-laki dan perempuan, Aisyah masih dibuat penasaran. Apa mereka juga anggota keluarga lainnya.
"Ini Mbok Siti, sama Mbok Ina. Tugasnya di sini bagian dapur. Masak-masak," tunjuk Eyang pada dua paruh baya yang tersenyum ke arah Aisyah. "Nah, yang agak muda ini namanya Sri sama Imah, yang bebersih di sini, Nduk. Yang sebelahnya lagi, yang pakai jilbab itu, Naning sama Ida, kerjaannya ngurusin cucian sama nyetrika. Yang laki-laki di sebelahnya, Pak Maman, satpam rumah ini. Sebelahnya lagi Pak Sugeng, sopir pribadi Eyang. Dua lagi itu." Eyang menunjuk bapak-bapak berkemeja kotak yang nampak agak lusuh. "Pak Rahmat, tukang kebun." Tuntas penjelasan Eyang. Aisyah memberi salam satu persatu pada semua pegawai di rumah ini.
Decak kagum menguar mendapati pekerja di rumah ini sangatlah banyak. Ya wajar sih, rumah sebesar ini, enggak bersih kalau cuma disapu satu orang. Makanya masing-masing ada bagiannya sendiri.
"Selamat datang di rumah Non Aisyah, kalau Non Aisyah mau dimasakin apa-apa, tinggal bilang sama kami." Perempuan yang dipanggil Mbok Siti itu berbicara. Aisyah menanggapi dengan senyum sopan dan ucapan terima kasih.
Perkenalkan singkat usai. Semua kembali pada pekerjaan masing-masing. Menghela langkah ke meja makan. Abyasa terlihat lebih dulu menandaskan sarapannya. Aisyah yang duduk di sebelahnya sontak berisik pelan di sisi lelaki itu. "Pak Aby, enggak sopan. Eyang sama Mami belum makan, kok udah duluan," bisiknya samar-samar takut didengar Eyang. Lelaki itu hanya menanggapi dengan mengangkat bahu. Tak acuh.
"Sudah biasa itu, Syah. Alasannya selalu sama, takut telat dan macet, makanya duluan sarapan." Di luar dugaan Eyang menyahuti interupsi Aisyah.
"Dengar sendiri, kan, Syah. Eyang enggak keberatan, kok kamu yang bawel."
Eyang Rahayu tertawa melihat interaksi kedua cucunya itu. "Aby, jangan berangkat dulu, Eyang mau kasih sesuatu buat Aisyah, kamu bantu pasangkan nanti." Eyang melangkah ke lemari kaca berukuran besar yang berada tepat di tengah-tengah ruangan antara ruang tamu dan ruang makan. Perempuan itu mengambil sebuah kotak, lalu membawanya pada Aisyah.
"Apa ini Eyang?" tanya Aisyah penasaran.
"Buka saja, Nduk."
Aisyah membuka kotak yang diberikan Eyang. Matanya membeliak menyaksikan beberapa benda yang teronggok manis di dalamnya. Satu set perhiasan emas bermata berlian. Ada kalung dengan liontin berbentuk Orchid. Cincin dan gelang.
"Eyang, ini buat saya?" Aisyah tertegun. "Apa enggak terlalu berlebihan."
Eyang menggeleng tegas. "Tidak, Nduk. Ini semua adalah peninggalan turun-temurun keluarga Eyang. Setelah ibunya Aby, sekarang giliran istrinya Abyasa yang berhak memakainya. Ayo, Aby bantu pakaikan Aisyah," titah Eyang.
Laki-laki yang baru menandaskan kopinya itu beranjak dari duduk. Berdiri tepat di sisi Aisyah. Abyasa menyingkap pasmina gadis itu saat membantu memasangkan kalung. Sontak jantung Aisyah dibuat kebat-kebit akibat jarak yang super-dekat dengan Aby. Apalagi saat embusan napas lelaki itu menerpa wajahnya, disertai aroma woody dari parfumnya. Irama detak jantung Aisyah mendadak berdentum tak normal.
"Sudah Eyang. Kalau gitu Aby pamit berangkat, takut macet." Abyasa mencium tangan Eyang lalu beralih pada Aisyah. "Saya pergi dulu, Aisyah." Ucapan singkatnya disertai kecupan pelan pada puncak kepala Aisyah. Sontak membuat gadis itu kembali menegang di tempat.
"Hati-hati ... Mas." Jawaban singkat usai mencium tangan Abyasa.
Abyasa meninggalkan meja makan. Di sana tersisa Eyang, Aisyah dan Mami Wina. Akan tetapi perempuan yang mengenakan dress peach dipadu outer hitam itu baru menyadari sesuatu yang ganjil. Kenapa tidak ada interaksi antara Aby dan maminya.
"Lho, Mas Aby lupa salim sama Mami," ujarnya baru sadar. Wina menanggapi dengan kibasan tangan.
"Sudah biasa begitu, Syah," sahutnya.
"Sudah, tidak usah dibahas, kalian sarapan duluan saja. Eyang mau ke kamar dulu." Eyang Rahayu pamit.
Rasa penasaran Aisyah memuncak tentang sikap Aby terhadap maminya. "Mami, boleh saya tanya satu hal," ujarnya memberanikan diri. Wina mengangguk. "Kenapa Mas Aby seperti itu?"
Tawa kecil Winna menggema. Helaan napasnya terdengar berat. "Nanti kamu juga tahu, Syah."
"Maaf Mami, tapi kalau boleh tahu__"
"Karena saya bukan ibu kandungnya, Aisyah." Wina memotong kalimat Aisyah yang belum tuntas. Sontak menangkup tangan di mulut refleksi kagetnya.
"Ta-tapi, biar gimanapun sikap Mas Aby enggak bisa dibenarkan, mau terlahir dari rahim siapapun, yang namanya ibu tetaplah ibu, setiap anak wajib menghormati ibunya."
Mendengar itu Wina meraih tangan Aisyah. Genggaman erat seolah ingin berterima kasih lewat sentuhan tangan. "Kamu gadis yang baik, Aisyah. Saya yakin kamu pilihan tepat buat Abyasa." Mata Wina berembun saat mengatakan itu. "Mami tidak akan menyalahkan Aby, Mami menyayangi dia seperti anak kandung sendiri, Mami bisa memahami kenapa sikapnya bisa apatis begitu. Dia itu anak yang kuat dan ceria aslinya, Syah. Hanya saja sejak ditinggal ibunya, perangai Aby berubah. Ibarat pohon, sebenarnya dia itu tumbuhan berakar kuat, hanya saja keadaan membuat dahan-dahannya rapuh."
Aisyah trenyuh dengan penjelasan Wina. Tidak menyangka jika Abyasa memiliki latar belakang menyedihkan. "Ibarat tumbuhan dikotil, Ma. Memiliki biji berkeping dua, memiliki akar tunggang yang kuat, hanya saja karena sapuan badai atau angin, dia jadi goyah dan patah."Reflek Aisyah berkomentar. "Dibutuhkan penyangga dan perhatian khusus agar tumbuhan itu bisa berdiri tegak kembali, tumbuh dengan normal, lalu menghasilkan bunga dan buah yang bagus."
"Mami yakin, penyangga itu adalah kamu, Aisyah."
Aisyah tidak yakin sepenuh hati dengan ucapan Wina. Dia sendiri baru mengenal Abyasa hitungan hari. Di bawa ke mana hubungannya saja dia belum tahu. Setelah ini akan bagaimana dia juga belum memikirkan.
___
Pratiwi
Perhiasan pemberian Eyang.
Kenapa Tiwi harus muncul di sini?
Karena dia salah satu figuran penting.
Kalau Eyang dan Mami Wina?
Sama, mereka adalah salah satu penggerak plot, jadi harus dimunculkan.
Kalau Diandra?
Pasti akan muncul, di bab selanjutnya. Ahahaaa
___
Playlist My Sweetest Aisyah
Soundtrack yang cocok--menurut penulis. 👇
__Pesona - Numata
__ Always - Yoon Mi Rae
__ Bahaya - Tiara Andini
__Labirin - Tulus
__ Loving You - D'Cinnamons
Psssstt ... Bab Diandra udah diketik aslinya. Ta-tapi karena kepanjangan, jadi Kachan munculin di bab selanjutnya. Tungguin aja dulu. Ahahaaa
Dahlah bye
14-01-2021
2300
Tabik
Chan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top