5. Suspect Apendisitis
Di suasana pagi yang sepi, kabut tipis masih setia memayungi atmosfer di sekitar kantin klinik, membuat Kevin sesekali menggosok telapak tangan mencari kehangatan dari dirinya sendiri. Karena memang belum ada akses untuk mencarinya dari orang lain. Lelaki berkemeja putih dibalut jas navy ini merogoh saku celana saat ingat belum mengecek lagi ponselnya dari semalam.
Ratusan pesan whatsapp terpampang di ponsel Kevin, dari group chat alumni fakultas kedokteran seangkatan di kampusnya, geng rempong koasnya dulu, alumni sekolah menengah, dan beberapa personal chat pasiennya. Agak terasa mengganjal ketika Kevin tak menemukan satupun jejak dari gadis mungilnya, padahal biasanya teriakan Mita nggak pernah absen dari harinya.
Hai, apa kabar?
Alih-alih pesan dari Mita, Kevin menemukan pesan lain yang membuatnya mendadak bergeming, padahal di depannya sekarang ada sepiring nasi pecel lengkap dengan rempeyek kacang favoritnya. Kevin susah payah menelan saliva, berusaha mengingat kapan terakhir kali ia berkirim pesan dengan orang ini. Menghela napas panjang, Kevin berusaha menata hati yang barusan sudah diporak-porandakan oleh Agatha--si pengirim pesan--lalu mengirim pesan balasan.
Baik, Tha.
Kamu?
Pesan dari Kevin sudah dibaca, namun sayang nggak berbalas. Mau nggak mau hal ini membuat otak Kevin dipenuhi prediksi. Entah apa maksud Agatha mengirim pesan itu, karena seingat Kevin, ia terakhir berhubungan dengan Agatha saat memulai pendidikan Koasnya. Itu berarti sudah kurang lebih tiga tahun yang lalu.
Nafsu makan Kevin pun mendadak hilang, menguap, menghilang bersama dengan bayang-bayang Agatha. Namun, itu tak serta merta menghilangkan keinginannya untuk makan, mengingat Kevin membutuhkan energi untuk jaga pagi hari ini. Begitulah laki-laki, logika selalu bisa berjalan di atas perasaan galau yang seolah mematri.
Alhasil ia berusaha melahap sarapannya asal tanpa memedulikan rasanya. Hal ini nggak terlalu sulit bagi Kevin, karena sudah begitu lama ia mengabaikan rasa, baik miliknya sendiri maupun orang lain. Mengenaskan.
Ponsel hampir terlepas dari genggaman Kevin saat dengan tidak sopannya benda itu bergetar. Ia mengecek ponsel sambil melahap nasi berikut daun bayam rebus yang kecoklatan karena tersiram sambal pecel. Kevin sejenak tertegun saat membaca caller-ID yang tampak di ponselnya, rangkaian angka yang nggak dikenalinya sedang memanggil.
Bisa jadi ini pasiennya, karena Kevin jarang menyimpan nomor kontak pasiennya. Bisa juga Agatha, siapa tahu pesannya yang nggak berbalas ternyata ditanggapi dengan telepon langsung. Dengan ragu dan penuh dugaan, Kevin menggeser ikon telepon berwarna hijau ke atas lalu menempelkan ponselnya ke telinga. Sedetik kemudian terdengar suara renyah keibuan di seberang sana, yang seketika membuat spekulasi Kevin--akhirnya--menemukan ujungnya.
"Kev, kamu jaga pagi ini?" tanya Tante Marsha dengan nada sedikit cemas dan terburu-buru, padahal belum tahu jawaban pertanyaannya.
"Iya, Tante. Kenapa?" Desahan pasrah terdengar dari seberang telepon, membuat Kevin mengerutkan kening, menunggu kalimat berikutnya yang mungkin juga akan membuatnya khawatir.
"Mita sakit, dari kemarin. Tante mau anter ke klinik nggak mau, biasa lah, rewel kaya anak kecil takut disuntik. Kamu bisa ke sini, nggak, Kev? Demam, Tante agak worry," sahut Tante Marsha, masih dengan nada cemas yang sama, yang kali ini juga menjangkiti Kevin. Padahal jelas-jelas itu bukan penyakit menular seperti Difteri.
"Oke, Tante. Kevin visit pasien di klinik dulu sebentar, baru gas ke situ." Tante Marsha menghela napas lega saat mendengar jawaban Kevin. Ia pikir Kevin akan sibuk hari ini, jadi nggak bisa memeriksa anak gadisnya di rumah.
"Makasih, Kev! Nanti sama Mbok Sum, ya! Tante harus nemenin Om, acara sumpah profesi. Bayu juga pagi-pagi tadi udah ngantor, nggak bisa diganggu." Aura lega yang kental menguar dari suara Tante Marsha, orang tua Mita memang sudah sangat percaya pada Kevin untuk menjaga Mita. Persahabatan mereka sedari SMA membuat Mama Mita nggak ragu untuk mempercayakan Mita pada Kevin.
"Don't worry, Tante. Kevin kan pawangnya Mita," kekeh Kevin membuat Tante Marsha di seberang sana ikut tergelak.
🌾🌾🌾
"Ngapain lo ke sini?" Mita mengerjapkan matanya, sedikit terbelalak ketika menemukan lelaki--yang terlihat--super cool dengan rambut klimis, tersisir rapi dibelah pinggir, menyembul dari pintu kamarnya. Tinggal dikalungi tempat minum berbentuk karakter disney, menurut Mita, dari style rambutnya Kevin udah kaya anak TK mau foto raport.
Sedikit menahan tawa, Mita kembali tepekur pada ponsel yang sedari tadi menyita perhatiannya. Boleh dibilang Mita ini sedikit workaholic, di saat sakit seperti ini saja, ia masih harus bekerja. Karena appointments-nya beberapa hari ke depan memang harus sebagian dibatalkan, belum lagi email masuk dari klien yang memaksa otaknya bekerja lebih keras. Karena nggak bisa hadir secara fisik, mau nggak mau Mita harus reply email konsultasi dari mereka.
"Nyokap lo telpon tadi, katanya lo sakit?" Kevin duduk di sisi ranjang sebelah kiri tubuh Mita, tangannya terulur menyentuh kening Mita, yang seketika membuat hati gadis manis ini menghangat. Sejujurnya Kevin begitu cemas saat mendengar Mita sakit, beruntung saat ini Kevin nggak emosi seperti biasanya.
"Bunda lebay, orang gue cuma masuk angin doang!" cibir Mita sambil meletakkan ponsel di meja dekat ranjangnya, kemudian menggeser perlahan tubuhnya merosot ke balik selimut, menyembunyikan pipinya yang memerah. Mita memang sangat menghindari berinteraksi dengan pernak-pernik rumah sakit, kecuali Kevin tentu saja.
Ia trauma dengan rumah sakit karena dulu waktu kecil, paling tidak seminggu sekali, alat mengerikan dimasukkan ke hidungnya untuk menyedot lendir. Mita punya gejala sinusitis yang membuat rongga tengkoraknya kelebihan lendir jika terpapar udara dingin. Keluhan tersebut berangsur berkurang seiring usianya yang bertambah dewasa.
"Sini gue periksa dulu, bagian mana yang sakit?" Kevin menyingkap selimut yang menutupi wajah Mita, kemudian beranjak untuk mengambil stetoskop di ranselnya.
"Ogah, ih! Gue kan udah bilang, masuk angin doang!" Mita kembali menarik selimut menutupi wajahnya yang segera membuat Kevin berdecak kesal. Dengan sekali sentak, selimut Mita dilempar oleh Kevin ke sisi ranjang. Beruntung Mita tidak sedang memakai seragam tidurnya yang biasa, melainkan babydoll dengan celana panjang bermotif doraemon.
"Mit, nggak usah bandel, ngapa? Ceritain kronologinya! Tante bilang, lo sakit dari kemaren." Kevin melumuri tangannya dengan cairan antiseptik lalu mulai memasang ear tips ke telinganya, alamak, jantung Mita serasa berdentum-dentum melihat pemandangan surgawi macam ini. Sayang pemandangan indah macam ini harus tercemar dengan kernyitan dahi Mita yang benci dengan aroma alkohol dari tangan Kevin.
"Iya, gue kemaren habis meeting, terus tiba-tiba perut gue sakit, sampe nggak bisa berdiri. Trus Darren anter gue pulang. Trus sampe rumah, gue tidur. Selesai." Bagai terhipnotis, Mita menceritakan kondisinya kemarin, walau nggak detail karena bagian yang terlihat mesra dengan Darren ia skip. Mita terlalu kesal kalau ingat kejadian yang seakan Darren mengambil keuntungan atas sakitnya.
"Lo lagi dapet, nggak? Jadwal lo kapan dapet?" Kevin menelusupkan diafragma stetoskopnya ke balik kaos di bagian perut Mita, lalu memeriksa tiap satu bagian kuadran di perut Mita dalam semenit, matanya melirik ke jam tangan yang dikenakan. Ekspresinya sangat serius menghitung jumlah bising usus dari perut Mita, "Dua belas kali," gumam Kevin ke dirinya sendiri.
"Lo mau ngitung masa subur gue, Kev?" Mita merasakan gelenyar aneh ketika dinginnya diafragma menempel di dinding perutnya, geli, nggak nyaman tapi nagih. Apalagi dengan tangan Kevin yang mengomando, rasanya nggak pengen momen seperti ini segera berkesudahan.
"Enggak, bego! Gue cuma mau mastiin sakit perut lo bukan gara-gara pe em es, ngerti? Pikiran lo mesum aja!" Kevin kembali beranjak mengambil termometer. Otaknya sudah merangkai bermacam-macam analisa untuk keluhan Mita, dan menyusunnya berdasarkan prioritas. Untung pikiran bener Kevin lebih dominan dari pada pikiran nggak bener--gemas maksimal melihat Mita yang manis tapi bego, tubrukable banget--nya.
"Ya mana gue tau! Gue kan konsultan bukan dokter! Sompret! Gue lagi nggak pe em es, puas?" Mita mengerucutkan bibirnya kesal, membuat Kevin semakin gemas, ingin sekali menyimpan Mita yang manis dan mungil ini di akuarium raksasa, lalu dipajang di flatnya. Lumayan ngirit, nggak usah beli pajangan, 'kan?
Kevin mengibaskan termometer lalu membungkuk untuk menekan dagu Mita ke bawah. Mita mendadak terkesiap, kaget saat wajah Kevin begitu dekat dengan wajahnya. Mita merutuki dirinya sendiri karena sejujurnya semalam ia melewatkan ritual sikat gigi. Belum lagi keteknya yang sedikit basah dan asam, beuhhhh, Mita benar-benar menyesal juga melewatkan ritual mandi pagi tadi.
"Buka mulut lo! Nggak pe em es aja udah kaya Mak Lampir gini, apalagi kalau pe em es, habis gue lo makan kali." Seketika Mita mengerjap setelah sejenak serasa ditotok oleh pandangan Kevin. Bak kerbau dicocok hidungnya, Mita menuruti perintah Kevin, lalu Kevin menyisipkan termometer ke balik lidah Mita.
Setelah Kevin melepaskan ibu jari dari dagu, mulut Mita otomatis terkatup. Saat Mita sadar dengan apa yang Kevin lakukan, ia merasa jadi manusia terbodoh di dunia. Tak dapat dipungkiri, Kevin telah membuat darahnya seakan berhenti mengalir sejenak. Mita menggaruk tengkuknya yang nggak gatal sambil mengumpat dalam hati, bisa-bisanya ia menyangka Kevin akan macam-macam dengannya. Gede rasa!
"Sekarang gue pinjem perut lo bentar," ujar Kevin sambil memicingkan mata, melihat angka yang tertera pada termometer yang sudah ia ambil dari mulut Mita. Permintaan Kevin membuat Mita--untuk ke sekian kalinya--terkesiap. Detik berikutnya tangan Kevin menjumput ujung kaos Mita, seketika Mita menahan tangan Kevin di sana.
Ekspresi Kevin tampak serius, nggak ada variasi mesum, walaupun frekuensi degup jantungnya sudah meningkat satu setengah kali lipat dari normal.
"Kev, lo mau ngapain? Awas ya macem-macem gue tereak, nih!" Mita mendelik antara geli dan canggung serta kesal karena aktivitas Kevin. Sejenak suasana awkward tercipta, namun segera dihancurkan oleh kerutan di dahi Kevin yang bertambah seiring dengan meningkatnya kadar kerisauan lelaki ini.
"Mit, please! Gue ini lagi jadi dokter, gue mau periksa perut lo, bagian mana yang kira-kira bermasalah! Lo konsultan tapi kok bego, sih?" Sejujurnya hanya khawatir yang Kevin rasa saat ini, rasa lain seperti cokelat dan vanila sudah ia kesampingkan, apalagi rasa yang pernah ada. Ea eaaa!
"Aw, pelan-pelan, kampret! Sakit!" Mita berteriak tertahan ketika Kevin menekan perutnya di bagian kuadran kanan bawah. Kevin berdecak kesal--lagi--ketika mendengar Mita kesakitan, apalagi saat merasakan suhu berbeda--lebih hangat--di bagian yang ia tekan.
Decak kesal karena Mita-nya Kevin sedang dalam kondisi nggak sehat, alasan nggak menemukan jejak Mita dari semalam di ponselnya sudah terjawab sekarang.
"Sorry Mita Sayang! Kalau kaya gini sakit, nggak?" Kevin menekuk kaki kanan Mita lalu menariknya sedikit ke arah luar dengan perlahan. Mita buru-buru menggelengkan kepalanya, namun ekspresinya terlihat menahan sakit. Mita masih setia dalam misinya untuk menghindari rumah sakit.
Kevin terkekeh, "Bego, lo! Nih, gue kasih tau, ya, Mita yang cantik, manis, dan pinter. Dokter itu dididik untuk nggak gampang percaya sama omongan pasiennya. Antisipasi kalau dapet pasien kaya lo gini, ngerti?" Mita menghela napas pasrah sambil kembali mengerucutkan bibirnya kesal.
"Gue curiga sesuatu, tapi gue pastiin dulu, gue ambil darah lo dikit, ya?" tanya Kevin sambil kembali memakai cairan antiseptik untuk mensterilkan kedua tangan, lalu membungkusnya dengan sarung tangan lateks. Pertanyaan yang terlontar dari mulut Kevin sebenarnya nggak butuh jawaban, karena apapun tanggapan Mita, Kevin nggak akan peduli.
Mita mendadak jadi sesak napas karena ketakutan membayangkan jarum segede gaban ditusukkan ke lengannya. Kebenciannya pada rumah sakit--dan Kevin juga sekarang--bertambah jadi tiga setengah kali lipat.
"Ogah! Gue nggak mau ditusuk-tusuk, Kev!" Mita merengek, kaya anak kecil yang menolak disuruh mandi sore oleh ibunya ketika sedang asyik main tanah.
"Mit, lo jangan kaya bocah, deh! Gue curiga ada infeksi, makanya kudu dicek leukositnya, nggak sakit, gue janji!" Kevin mulai memasang torniket berwarna abu-abu tua di lengan kiri Mita.
"Kepalin tangan lo kaya kalau lo mau nonjok gue, kaya gini!" Telapak tangan Kevin menangkup jemari Mita yang kemudian reflek tergenggam. Napas Mita serasa nyangkut di tenggorokan tiap kali kontak fisik dengan Kevin, entah, berada dekat dengan lelaki berkulit putih ini sepertinya sudah menjadi candu tersendiri untuk Mita. Serupa candu narkoba, sama-sama memabukkan dan berbahaya.
Dinginnya kapas beralkohol yang digosokkan Kevin ke titik tusuk di lengan Mita membuatnya merinding. Apalagi terkombinasi dengan aroma alkohol, serupa bau rumah sakit, belum apa-apa rasanya badan Mita sudah sakit semua, kaya maling digebugin orang sekampung, remuk redam.
"Tahan, Mit!" Perlahan namun pasti, Kevin menusukkan jarum suntik ke lengan Mita setelah basah alkohol menghilang. Mita memalingkan wajahnya yang sedikit memucat karena takut. Setelah mendapat darah sesuai dengan jumlah yang diinginkan, Kevin melepas torniket yang mengikat lengan Mita, lalu mencabut jarum setelah menekannya dengan kapas. Mita menghela napas lega setelah Kevin selesai menstabilkan kapas di lengannya dengan plester.
"Nggak sakit, 'kan? Kevin gitu! Seenggaknya, lebih sakit ditinggalin mantan dari pada diambil darahnya sama gue, ya nggak?" Kevin menaikturunkan alisnya, melempar senyum jahilnya seperti biasa ke Mita. Mita mendelik kesal, "Elo tu yang sakit gara-gara ditinggalin mantan!" dengkusnya kemudian yang sangat strike sekali mengena, seperti anak panah yang dilepaskan Mita dan tepat menancap di jantung Kevin.
"Sialan! Terus aja gitu ledekin gue! Ntar lengan lo yang satunya gue tusuk lagi, mau?" ancam Kevin sambil menunjuk lengan Mita yang tanpa plester dengan dagunya.
Kevin pun segera memindahkan spesimen darah Mita dari spuit ke vacutainer. Setelah melabeli vacutainer dengan identitas Mita, Kevin lalu mengambil selimut yang tadi dilemparnya dan kembali menyelimuti Mita sampai sebatas dada. Saat seperti ini Mita merasa Kevin yang tengil sudah berubah menjadi Kevin yang perhatian dan penuh kasih sayang. Always listening, always understanding. Buset, kok persis iklan, ya!
"Jadi apa diagnosa Anda untuk saya, Aa' Dokter?" tanya Mita saat Kevin telah selesai mengemasi alat-alat perangnya dan mendaratkan bokong di sisi ranjang dekat tubuh Mita.
"Oke, ini serius ya, Mit! Kalau dari pemeriksaan fisik, gue duga lo ada apendisitis. Lo juga demam, walau nggak tinggi banget, berarti sistem pertahanan tubuh lo lagi ngelawan penyakit. Ini tes darah lengkap baru besok keluar hasilnya, kalau emang leukosit lo tinggi, berarti emang ada infeksi di dalem perut lo. Gue sih pengennya lo ntar ke klinik, sonografi abdomen, biar jelas masalahnya di mana. Lo mau, kan?" Kevin menghela napas panjang lalu menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi hasil pemeriksaannya pada Mita baru saja, diakhiri dengan pertanyaan retoris yang sama sekali nggak disukai Mita.
"Lo ngomongnya nggak usah pake bahasa dokter gitu bisa nggak, Kev? Nggak ngerti gue! Kalau lo bilang tentang health and safety environment sih gue oke aja!" cemooh Mita, sebagai manifestasi kekesalannya karena semakin lama kesehatannya terganggu, akan semakin banyak appointments dengan klien-nya yang harus di-cancel. Hal itu jelas akan menurunkan kredibilitasnya sebagai konsultan, ya, walaupun si klien pasti akan memaklumi kondisi Mita.
"Geez! Sorry, gue pikir lo nggak bego-bego amat! Radang usus buntu, singkatnya. Ini gue buru ke klinik dulu, spesimen darah lo keburu rusak kalau nggak segera dipakai, mau lo gue tusuk lagi?" Kevin menaikkan alisnya, kembali melempar ancaman sama yang membuat nyali Mita ciut.
"Besok gue ganti sprei di flat pakai yang sailormoon, mau?" Bukan Mita namanya kalau nggak membalas ancaman dengan balik mengancam.
"Kan gue udah bilang, boleh! Tapi lo temenin gue tidur, gimana?" Kevin beranjak lalu melempar senyum menantang pada Mita. Senyum itu lalu berkembang menjadi gelak tawa ketika berhasil membungkam Mita dengan bibir mengerucut sebal. Jangan salah, itu hanya tampilan luar, dalam hati Mita sudah mengiyakan tantangan Kevin, bahkan dari sebelum tantangan itu disampaikan.
"Pedes, santen, kafein, minyak jangan dulu, terutama yang pedes! Lo suka nggak tahan 'kan sama godaan cabe?" Kevin meletakkan ransel dalam gendongannya sambil merapalkan petuah untuk Mita. Yang diberi petuah hanya mengangguk mengerti, meski dalam hati mengumpat karena sang Pemberi Petuah aja juga hobby ngembat cabe-cabean.
"Gue tinggal, ya! Ntar gue tunggu lo di klinik!" Kevin mendekatkan wajahnya ke wajah Mita lalu tersenyum manis, yang segera membuat Mita hampir kejang-kejang di tempat. Lalu...,
Cup.
Lembut dan perlahan, sebuah kecupan ringan milik Kevin mendarat dengan mulusnya di kening Mita. Kalau saja kendali Mita atas otaknya lagi error, mungkin ia akan berteriak kegirangan sekarang, atau tiba-tiba dari mulutnya keluar busa sebagai kejadian lanjutan dari kejang imajinernya tadi. Gila, Kevin memang sudah membuat Mita menjadi gila.
Kevin pun segera bergegas keluar dari kamar Mita setelah meninggalkan degup jantung Mita yang serupa dentuman meriam, bertalu membahana memenuhi otaknya, lalu mengirimkan sinyal rindu ke hatinya. Rasanya pheromon-lah tersangka yang bertanggung jawab atas perilaku fisiologis Mita saat ini.
Originally posted,
Majenang City, December, 30th, 2017
At 19.56 WIB
Regards,
Natha 💝
Aduh, duh, duh! Aa' Kevin bikin meleleh, deh!
Itu cast-nya, awwww, nemu pic itu pas... pas apa, ya? Lupa! Wkwkwkwk! 😁 😂
Ada yang tahu itu siapa?
Tadinya, sih, nggak mau pake cast ya, tapi nggak nahan liat yang unyu begitu, jadi Nath bayanginnya Aa' Kevin begitu.
Kalau kalian, sih, terserah mau bayangin kaya apa, punya imajinasi sendiri nggak papa. Karena jelas selera kalian sama Nath pasti beda, uhuk!
Udah, gitu aja!
Ditulis pas masih liburan di luar kota, kalau yang part kemarin pas lagi on duty, kalau part ini, asli liburan, meski cuma pindah tempat beraktivitas aja! Liburan yang mengenaskan, bukan! Wkwkwkwk! 😁 😂
Baiklah, nggak bosen Nath mengingatkan, jangan lupa komen yang buanyaaaak, ya! Tekan bintangnya juga boleh bangetsss.
Happy Reading! 💖💖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top