4. Seven Comfey

"Oke, Ndan! Nanti saya sampaikan ke Cungpret! Eh, maksud saya El!" Kevin terkekeh, menertawakan dirinya sendiri karena kelepasan menyebut panggilan sayang ke teman sejawatnya. Padahal saat ini ia sedang berbicara dengan Komandan Kesatuan El lewat saluran telepon.

Untung saja Sang Komandan nggak marah mendengar anak buahnya disemati panggilan konyol macam Cungpret oleh Kevin. Bukannya apa-apa, Kevin cuma nggak pengen kredibilitasnya sebagai dokter tercoreng di hadapan atasan El di Kepolisian. Cukup status tukang PHP dari gadis-gadis pemujanya saja di klinik yang disandang, jangan ditambah dengan julukan dokter sableng.

Setelah menutup sambungan telepon, Kevin segera bergerak mencari keberadaan El. Seingatnya tiga hari belakangan El sedang 'berburu', seharusnya hari ini Cungpret kesayangannya sudah kembali ke klinik. Di ruangan pribadi, Kevin tak dapat menemukan El, di UGD, maupun ruang tindakan juga nggak ada.

Kevin pun semakin yakin kalau El pasti sedang mojok di ruang pasien cantik favoritnya. Tadinya pasien cantik itu juga jadi kandidat korban PHP Kevin, tapi Kevin sepertinya tak akan sanggup menerima konsekuensinya, kalau itu adalah pertaruhan aset berharganya, yang disumpal dengan kassa, lalu dijahit dengan aplikasi tusuk tikam jejak pakai alat hecting nggak steril oleh El. Ngeri!

Benar saja, saat Kevin melangkah masuk ke kamar rawat si Pasien Cantik, matanya langsung bertemu dengan pemandangan El yang sedang tertidur pulas, meletakkan kepala di atas lipatan tangannya, di samping brankar pasien. El pasti kelelahan setelah tiga hari 'berburu', yang Kevin tahu, El memang bisa jatuh tertidur di manapun kalau sedang capek. Kevin jadi sedikit curiga, jangan-jangan El ini penderita narkolepsi.

"Jangan heran, Cha! El memang kaya gitu, kalau lagi capek banget, di manapun tempatnya ia bisa molor," ujar Kevin setelah tanpa permisi masuk ke ruang rawat Alyssa. Kevin merasa nggak perlu menjaga imej di depan Alyssa karena toh cewek ini udah gugur sebagai kandidat korban PHP-nya. Tapi meski begitu, Kevin tetap bersikap sopan, nggak slenge'an, seperti sikapnya ke Nadia dan teman-teman Mamanya yang lain.

Kevin tahu, teman sejawatnya punya perasaan spesial pada Alyssa, ia cukup gentle untuk tidak menyabotase, padahal akan sangat mudah bagi Kevin melakukannya, mengingat integritasnya sebagai jomlo bermartabat, sudah tak diragukan lagi kompetensinya.

Buset dah, berani-beraninya Kevin berkelakar tentang kompetensi, udah kaya guru SMK yang menimbang-nimbang aspek afektif-kognitif-psikomotorik untuk mengarang nilai bagi anak didiknya. Sedangkan nilai Kevin sendiri belum sepenuhnya sempurna.

"Oh, begitu kah, Dok? Berarti El lagi capek banget sekarang? Lalu kenapa ia nggak pulang dan tidur di rumahnya aja?" tanya Alyssa penuh keheranan.

"Mana bisa El tidur nyenyak setelah ninggalin kamu tiga hari, Cha? Bahkan saat sedang 'berburu' kemarin aja dia selalu meneleponku buat ngecek kondisi kamu. Oiya, panggil Kevin aja," jawab Kevin sambil melangkah mendekat ke brankar Alyssa, tangannya setia menelusup ke saku celana, gaya cool menurut Kevin, namun gaya mesum menurut Mita.

Tentu saja, karena Mita nggak tahu apa yang diperbuat si tangan di dalam sana. Apalagi kalau ternyata tangan itu masuk ke saku celana orang lain, gaya nyopet dong!

"Ah, itu kan perintah atasannya, Dok, eh, Kev!" kilah Alyssa. Radar Kevin otomatis meninggi karena mendeteksi wajah Alyssa yang memerah karena tersipu malu. Namun, sesegera mungkin dimatikan karena tak ingin harga dirinya sebagai jomlo sekaligus teman sejawat El jadi menurun.

"Kamu tau, aku pernah nemuin dia ketiduran di kamar mandi karena saking lelahnya." Kevin terkekeh mengingat saat suatu hari, ia kebingungan mencari El untuk meminta catatan rekam medis pasien yang baru saja dioperasi. Ternyata El ditemukan tertidur dalam posisi duduk di kloset--yang untungnya tertutup.

Ketika dikonfirmasi, menurut El, ia memang sengaja mengasingkan diri di kloset untuk istirahat sejenak setelah stand by pasca-operasi. Alasan macam apa ini? Yakalik, mengasingkan diri di kloset! Kenapa nggak di Manado aja nyusul Pangeran Diponegoro?

"Maaf, Cha, kamu masih nggak dibolehin ketawa ya? Ketawa aja nggak papa, jahitanmu udah oke, kok!" Kevin terbahak, geli sekaligus kasihan melihat Alyssa yang menutup mulutnya karena menahan tawa mendengar cerita Kevin.

"Oh, ya? Enggak, Kev, nanti El kebangun, kasihan dia." Sekilas Kevin menangkap kilatan bahagia di mata Alyssa saat ia menyebut nama Cungpretnya tercinta, yang seketika mengingatkannya pada sosok Agatha. Mendadak mood Kevin jadi menurun, ah, gadis cantik berbehel biru ini memang selalu sukses membuat Kevin berubah jadi sosok melankolis.

"Baiklah, tolong titip El sebentar ya, Cha, tadinya aku cari dia karena atasannya menelponku untuk meminta informasi tentang kamu. Ntar kalau dia bangun tolong suruh segera menemuiku, oke!" pungkas Kevin, yang segera keluar dari kamar rawat, daripada khilaf menampakkan ke-melow-annya di depan Alyssa yang sangat bukan Kevin.

"Baiklah, Kev!" Alyssa mengangguk mengerti sambil menyunggingkan senyum simpul penuh arti.

💉💉💉


Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu siang, dan Kevin masih berkutat dengan pekerjaan di ruang pribadinya. Dahinya berkerut dengan tangan kiri memegang kertas hasil diagnosa pasien, dan tangan kanan mencubiti dagu.

"Serius banget lo, Kev!" Kevin terperanjat ketika merasakan tepukan keras bahunya, otomatis langsung membuyarkan analisa hasil diagnosa yang telah tersusun rapi di otaknya. Untung saja jantung Kevin masih sehat, kalau enggak, mungkin ia perlu memanggil Lina untuk meminta sedikit Ephinephrin. Panik boleh, modus tetep!

"Eh, sialan lo ngagetin gue aja!" Kevin mengumpat kesal setelah tahu bahwa El-lah yang membuatnya hampir terkena serangan brakikardia barusan. Pandangannya sejenak teralih, namun segera kembali tepekur pada kertas penuh tulisan yang masih ada di genggamannya.

"Ngapain gue suruh nemuin lo, Kev?" tanya El santai sambil mendaratkan bokongnya di kursi pasien di depan Kevin. Wajah tanpa dosa andalan El justru membuat Kevin ingat akan dosa El yang dengan santainya tidur di kamar rawat Alyssa. Biasanya mimik El yang seperti ini akan berkembang menjadi ekspresi terhina dan teraniaya kalau Kevin nekat mengungkitnya.

"Oh iya, tadi pagi pak Tama, komandan lo nelpon gue, nanyain korban peluru nyasar. Beliau bilang nelpon elo nggak ada respon. Nah kelar itu, gue cari elo di kamar Icha, ternyata elo-nya lagi molor," jawab Kevin sambil memasukkan kertas diagnosa ke stopmap bertuliskan Zelda Kinanti yang berada tak jauh dari jangkauannya.

Kevin memutuskan meneruskan pekerjaannya nanti setelah selesai dengan El, pasalnya teman sejawatnya ini kadang bisa berubah perangai jadi sebrutal Hulk kalau kelamaan nggak digubris.

"Ya sorry, gue baru selesai semalem, itupun terus nyetir ke klinik. Gue capek gila, nggak kuat lama-lama melek, tepar deh gue. Ngomong-ngomong leher gue masih sakit banget, tolong pijit bentar, Kev!" El menarik kursi yang sedang didudukinya ke samping Kevin, kemudian duduk santai di sana sambil meringis meremas tengkuknya.

"Kampret lo, giliran pijit aja gue, kenapa nggak minta komandan lo tu yang pijit elo?" dengkus Kevin kesal namun tetap memutar posisinya menjadi di belakang El. Kevin nggak berniat menjadi Ultraman Nexus yang melawan Dark Zagi saat ini.

Nah, kaya gini ini yang namanya dikasih hati minta jantung, udah diperhatiin, malah ngelunjak minta dipijit segala. Ya kalau pijitnya pake plus mampir restoran bintang tujuh sih nggak papa, lha ini pake plus main ped--

Eh, apaan, sih?

"Duh, ssshhh, enak banget, Kev, turunin dikit, naaah di situ, aahhh enak banget emang pijitan lo, Kev!" El baru dipijit tengkuknya sama Kevin aja udah keenakan begini, gimana jadinya kalau dipijit di bagian lain sama orang lain? Ups!

"Diem lo kampret, kalau ada yang denger di luar ntar gue dikira hombreng sama lo!" El terkekeh mendengar celetuk Kevin, mereka berdua pun sama-sama tergelak. Yah, beginilah kalau dua sahabat seprofesi ini sedang santai, ada saja pokok bahasan yang menggelitik. Jangankan saat sedang santai, dalam kondisi emergency saja keduanya masih bisa saling melempar ejekan.

"Gila lo, gini-gini gue masih doyan cewek kali!" kelakar El sambil masih tergelak, membayangkan adegan hombreng mesum, lalu bergidik jijik setelahnya. Kevin pun jadi ingat sprei motif doraemon di kamar flatnya, sungguh terasa melukai kemaskulinannya.

"Eh serius lo, jadi sekarang udah doyan cewek? Pasti gara-gara pasien cantik lo itu, ya?" Kevin menghentikan pijitannya sejenak, menowel kepala El dari belakang kemudian melanjutkan pijitannya lagi. Biar bagaimanapun Kevin merasa surprise ketika seorang El--sahabatnya--yang terkenal hampir sebagai jomler--jomlo forever--telah menemukan tambatan hati.

"Eh sialan lo, dari dulu gue juga doyan kali sama cewek. Cuma belum ada yang pas aja di genggaman gue!" El berkilah, itu salah satu keahlian El selain ngeles dan mengintimidasi Kevin dengan muka innocent-nya. Walaupun Kevin akui, untuk bidang kesehatan, El lebih jago darinya, tapi jangan tanya untuk urusan cewek, Kevin ahlinya!

"Ooo, jadi sekarang sudah ada yang pas? Ha?" Kevin nggak berhenti menyerang El, sampe El lupa udah berapa kali bilang Kevin itu kampret.

"Sssst diem lo, Kev, Alyssa lagi di sebelah, nggak enak gue kalau dia denger!" El sedikit mendengkus supaya Kevin nggak teriak-teriak kaya orang kesetanan.

"Udah, lo ngaku aja ama gue, kalau enggak ntar gue gebet juga tu si Icha, gimana?" Sepertinya Kevin udah mulai mengganggu daerah teritorial El, yang segera dipagari dengan pasukan anti huru-hara ala El.

"Eh sialan, jangan macem-macem lo, Kev! Udahlah lo jangan ngaco ngomongnya, gue mau nelpon pak Tama dulu." El memilih mengakhiri interaksinya dengan Kevin yang asli nggak bakal selesai sampai lebaran kuda sekalipun.

🐴🐴🐴

"Lho, kok lo yang meeting sama gue, Ren?"

Siang ini Mita ada janji meeting dengan wakil direksi dari PT. Seven Comfey di Kafe Miami, dekat klinik Kevin. Betapa kagetnya Mita saat menemukan meja yang telah on booked untuk meeting ternyata sudah ada Darren. Lelaki agresif yang sedang mengejar-ngejar Mita, yang kerap kali Mita hindari dengan kabur ke manapun tempat yang bisa menampungnya.

Sebenarnya Mita berniat untuk segera ngacir, karena ia nggak kuat terlalu lama menerima perlakuan-perlakuan dingin sekaligus manis Darren padanya. Tapi sayangnya Darren sudah terlanjur melihatnya, lagipula kali ini Darren ada sebagai partner kerja. Mita mencoba profesional.

"Kenapa, Mit? Sekedar info, Seven Comfey itu masih satu manajemen sama Source Pole. Sekalian set up dokumen nggak masalah, 'kan? Lagipula Komisaris udah oke sama reputasi kamu, as a consultant." Pria klimis dengan penampilan ala eksmud itu menyunggingkan senyum miring yang pasti menawan tiap mata yang melihat. Untung saja Mita bukan tipe cewek yang gampang terpesona dengan penampilan luar cowok.

"Okey, langsung kita mulai aja kalo gitu, gue masih banyak kerjaan," ucap Mita sambil mengeluarkan notebook dari ransel jinjing di sampingnya.

"Oke. Untuk Seven Comfey, aku minta konsul lebih intensif, soalnya ini perusahaan bener-bener baru. Sesuai arahan kamu, udah kusiapkan HSE Officer dan Document Controller." Darren mengambil beberapa lembar kertas yang tersimpan dalam sheet protector dari dalam tas kulit warna hitam miliknya. Kertas-kertas itu segera ia sodorkan ke Mita.

"HSE Officer Seven Comfey, siapa?" tanya Mita, mengerutkan alisnya meneliti lembar demi lembar kertas dari Darren, lalu mencebik sebal saat menemukan nama Darren Prayuda Wicaksana tertulis di SK Penunjukan HSE Officer Seven Comfey.

"Aku," jawab Darren mantap.

Strike! Senyum licik menyingsing dari bibir warna merah natural milik Darrren. HSE Officer suatu perusahaan sudah tentu akan sangat besar kesempatannya berinteraksi dengan konsultan seperti Mita.

Sompret, modus bener nih orang! batin Mita kesal.

"Okey, lo bisa komunikasi sama HSE Source Pole yang udah mulai set up duluan. Walaupun bidang kerja beda tapi kriteria sama. Minta soft file-nya aja, nanti tinggal lo cocokin sama punya Seven Comfey. Nanti tambahan penyesuaian dokumen yang lain gue kasih."

Mita nyerocos sambil men-scroll layar notebook-nya, mencari dokumen yang akan dijadikan contoh untuk Darren. Matanya fokus ke layar notebook, nggak berani balik menatap lelaki di hadapannya, yang ia rasa akan membuat lubang besar pada apapun yang ditatapnya. Seperti sinar ultraviolet yang melewati suryakanta sebelum sampai pada objeknya.

"Oke, Sweety." Pandangan Darren sama sekali nggak beralih dari Mita. Ia memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulut Mita sambil sesekali tersenyum. Entah, sepertinya Darren sudah tergila-gila dengan gadis manis di depannya ini.

"Ren, lo biasa aja liat gue bisa, nggak?" Lama-lama Mita risih terlalu diperhatikan oleh Darren. Kalau perbuatan kurang menyenangkan nggak diancam hukum pidana, mungkin Mita udah nggaplok muka Darren pakai high heels-nya.

"Sorry, aku nggak bisa biasa aja, kamu terlalu mempesona, Mit," jawab Darren santai masih dengan senyum yang membingkai wajah manly-nya--yang segera dibalas dengan dengkusan kesal dari Mita. Rasanya Mita ingin sekali menyumpal mulut Darren dengan kotak tissu di depannya.

"Ck! Lo ngeselin, Ren! Gue ke toilet dulu bentar!" Baru saja Mita beranjak, tiba-tiba perutnya terasa sakit. Reflek ia meremas perut lalu kembali menghempaskan tubuhnya ke kursi. Wajahnya memucat, nafasnya terhela dalam, bibirnya sesekali meringis dan mendesis menahan sakit.

"Mit, kenapa?" Darren mendadak berdiri tanpa ancang-ancang, sampai membuat kursi di belakangnya hampir terjengkang. Wajah santainya sudah bertransformasi menjadi wajah panik. Seperti paniknya seseembak yang punya kotak baperware, tapi diraibkan oleh suaminya dengan alasan lupa bawa pulang.

Darren mendekat karena Mita masih bergeming, beruntung suit room kafe tempat mereka meeting nggak terlalu ramai, jadi nggak begitu menarik perhatian.

"Perut gue," keluh Mita sambil mencengkram perutnya. Dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri, kenapa harus pas ada Darren saat momen seperti ini? Membuat posisinya makin sulit untuk segera melarikan diri dari Darren.

"Aku anter ke klinik, gimana? Cuma beberapa menit 'kan dari sini?" tawar Darren sambil berlutut di samping kursi Mita, ia memiringkan kepalanya agar sejajar dengan wajah gadis manis ini dan leluasa meneliti ekspresinya.

"Udah nggak papa, Ren. Udah ilang sakitnya, kok." Mita menghela napas dalam, nyeri di perutnya perlahan berkurang. Untung rasa sakitnya bisa diajak kompromi, karena Mita sama sekali nggak berencana untuk membuatnya hutang budi pada Darren. Apalagi hutang duit.

"Aku anter pulang aja kalau gitu." Skakmat! Darren mengemasi kertas-kertas yang berserakan di meja lalu memasukkannya ke sheet protector. Mita rasa sekaranglah saatnya mengukir nama Darren--di buku yasin--biar memorable!

"Nggak usah, Ren. Gue bisa pulang sendiri, emangnya gue anak TK, pake dianter segala! Udah, lo cabut aja sana!" usir Mita sambil mengibaskan tangannya ke arah luar. Berharap Darren segera menghilang dari hadapannya, entah mau pakai jurus apa, yang penting hilang dari peredaran kehidupan Mita.

"Itu tadi bukan tawaran, jadi kamu nggak perlu nolak," kata Darren santai. Kali ini ia menggeser notebook Mita ke arahnya lalu mematikannya setelah menekan tombok (ctrl+S) dan (alt+F4) berulang-ulang. Mita menggeser kembali notebook ke arahnya lalu dimasukkan ke dalam tas ransel, karena nggak pengen Darren lebih menjajah daerah kekuasaannya.

Oke, kali ini mereka lebih mirip preman kampung yang rebutan lahan parkir di Pasar Senen daripada eksekutif muda yang sedang meeting.

"Lo apaan, sih, Ren? Gue bilang, gue bisa pulang sendiri! Telinga lo masih berfungsi, 'kan?" Hilang sudah kesabaran Mita. Sesopan-sopannya Darren, tetap nggak bisa meluluhkan hati Mita. Darren sendiri heran, di luar sana banyak wanita yang ingin diperlakukan manis oleh dirinya, tapi Mita ini berbeda, justru itu yang membuat pria bertubuh tegap ini makin penasaran.

"Kalau muka kamu nggak kaya mayat gitu, aku izinin kamu bawa mobil sendiri! Please, Mit! Ini bukan soal modus! Tapi buat kebaikan kamu!" Nada suara Darren sudah naik satu oktaf, walaupun masih dengan gaya santai bin cool. Mita jadi curiga, mungkin sebenarnya Darren ini reinkarnasi dari kulkas di kehidupan sebelumnya.

"Serah lo!" Mita menyerah, pasalnya saat beranjak menegakkan tubuh, perutnya kembali nyeri. Alhasil ia berjalan tertatih dengan menekuk sedikit perutnya, agar terasa lebih nyaman. Senyaman menyembunyikan wajahnya di dada Kevin tempo hari.

"Kamu berdiri tegak aja nggak bisa, mau nyetir sendiri?" Darren memapah Mita keluar kafe menuju mobilnya, tubuh Mita yang mungil membuat Darren yang memiliki tinggi bak pemain basket tingkat dunia sedikit kesulitan. Apalagi sambil membawa tas ransel jinjing Mita dan tasnya sendiri. Baiklah, Mita nggak punya alasan lagi untuk menolak Darren saat ini, karena kondisinya memang sedang butuh bantuan.

"Ke klinik?" tanya Darren saat sudah berada di dalam mobil Mita. Pandangannya fokus ke depan, enggan memecah konsentrasi menyetir.

"Pulang!" jawab Mita sarkas, membuang pandangannya keluar. Perutnya membaik jika dalam posisi duduk seperti ini, namun nyeri akan datang kembali kalau dipakai beraktivitas.

"But, you look so pale, Mit. Kalau aku larikan kamu ke rumah sakit sekarang, nggak bakal ada yang nyalahin aku," kata Darren kalem. Mita merasa sangat ingin melempar apapun yang ada di hadapannya, tapi ia urungkan, karena mengklaim asuransi untuk kerusakan mobilnya akan lebih menjengkelkan dari ini.

Lagipula asuransi nggak akan berlaku atas kerusakan atas keteledoran pribadi. Lalu kenapa nggak anggap aja ini kecelakaan, karena membela diri! Walau mungkin polisi pasti nggak bakal percaya, lelaki tampan dan terpandang seperti Darren akan melakukan kejahatan.

"Ren, stop khawatirin gue, lo itu bukan siapa-siapa gue! Jadi please, jangan bikin gue tambah sebel sama lo! Atau gue putusin kontrak sama Seven Comfey!" ancam Mita, masih mempertahankan sarkasme di setiap nada bicara yang keluar dari mulutnya. Entah kenapa, dilihat dari sisi manapun, wajah Darren tetap gaplokable bagi Mita.

"Apa kamu yakin mau mempertaruhkan reputasi kamu untuk itu?" Darren tersenyum miring dan menghela napas dalam, "Gimana kalau aku jadiin kamu istri? Biar aku bisa jadi siapa-siapa kamu," lanjut Darren sambil tersenyum getir, pandangannya masih setia ke depan, sesekali melirik spion sebelah kiri untuk melihat ekspresi Mita, yang ia yakin akan meledak-ledak setelah ini.









Originally Posted,

Villa Pakpuh, Kalisoro, Tawang Mangu, Karanganyar, December, 23rd, 2017.
At 19.25 WIB.

Regards,
Natha 💝














Heyhoooo....
Udah malam minggu lagi, Aa' Kevin dateng lagi.

Ditulis dalam kondisi duinginnn yang menyiksaaahhh, berakibat konsentrasi menurun, jadi maap kalau ada yang rada-rada kurang nyambung, atau jayuzzz, atau typo....

Komen yang banyak, yah!
Makasih. 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top