3. The Memories of Agatha

"Bawa ke klinik aja, Tan. Kevin lagi rada hectic nih!" Kevin tampak sedang duduk di ruang pribadinya di klinik, sambil mengapit ponsel di antara pundak dan telinganya.

Tangan kanannya sibuk menambahkan coretan-coretan di kertas rekam medis pasien, sedangkan tangan kiri sesekali membolak-balik buku diktat tebal yang bertengger manis di mejanya. Bersyukur, bukunya nggak hinggap di jendela, karena memang bukan burung kakak tua.

"Dianya nggak mau, Kev. Tidur terus dari tadi, mana belum makan juga. Mau Tante panggilin Dokter Frans takut dilempar kaleng lagi kaya visit terakhir. Kan Tante yang malu ntar," keluh seseorang di seberang telepon yang sedang berbicara dengan Kevin saat ini.

Untung yang dilempar waktu itu kaleng susu Bear Brand, catat! Kalengnya! Coba kalau beruangnya kan bisa berabe.

"Ya udah, Tante bilang aja, nanti siang Kevin ke sana, tapi dia mesti makan dulu, oke, Tan?" Kevin memindahkan ponsel ke genggaman tangannya. Menghela napas panjang, ia sedikit khawatir dengan keadaan seseorang yang Omanya sedang mengeluh pada Kevin saat ini.

Pasalnya seseorang itu sangat tergantung pada Kevin, sejak pertama kali diperiksanya saat anfal setahun belakangan sampai sekarang. Entah, padahal Kevin nggak menyediakan tempat untuk bergantung, selain pada gadis-gadis cantik dan seksi di sekelilingnya. Kardus!

Berusaha melupakan, Kevin kembali tepekur pada catatan rekam medis pasiennya. Namun hanya bertahan lima menit, ia kembali teringat pada seseorang yang sedang sangat menunggu kehadirannya saat ini.

Seperti kerumunan kendaraan di pinggir palang pintu kereta api, yang juga sangat menunggu lewatnya lokomotif beserta gerbongnya. Akhirnya Kevin bergegas menyambar kunci motor dan jaket lalu berlalu dari ruangannya.

🍬🍬🍬

"Pinter, Sayang! Lain kali kalau disuapin Mama atau Oma, makannya yang pinter juga, ya!" Kevin mengusap-usap puncak kepala seorang bocah kecil sambil masih menyangga mangkuk setengah kosong di tangannya.

Wajahnya tampak bersemangat, namun itu hanya kamuflase belaka, karena kondisi si bocah yang kini sedang tersenyum ceria di depannya--belakangan semakin memburuk--mau tak mau membuat Kevin was-was.

"Enggak! Aku maunya sama Om Kevin," rengek bocah berusia empat setengah tahun itu sambil meraih lengan Kevin untuk dipeluknya. Tak ayal mangkuk yang masih disangga Kevin goyah dan akhirnya jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping, isinya berserakan mengotori kemeja dan celana Kevin.

Meskipun begitu, kotoran di kemeja dan celana Kevin masih bisa dihilangkan dengan detergen, nggak seperti kotoran di pikiran Kevin pas berada dekat dengan si Seksi Mita, yang mungkin bisa hilang setelah disapu pakai Firebolt-nya Harry Potter. Berdoa aja cuma kotorannya yang keangkat, nggak sekalian otaknya.

Seorang wanita berparas cantik berambut lurus panjang sepinggang yang sedang duduk di samping Raffa, mendadak berdiri dengan mimik wajah memerah menahan kesal.

"Raffa! Hati-hati dong, Sayang! Tuh baju Om Kevin jadi kotor, 'kan?" seru Nadia--Mama Raffa--sambil mengalihkan tangan mungil si Bocah dari lengan Kevin.

Kevin reflek beranjak mundur berjingkat membersihkan kemejanya. "Udah, nggak papa, Nad. Jangan dimarahin Raffa, kasihan," kata Kevin sambil kembali mendekat pada Raffa sebelum selesai membersihkan kemejanya.

Wajah sang Bocah sudah memerah, air mata tinggal menunggu kedipan akan segera jatuh ke pipi mulusnya. Bibirnya mencebik membentuk lengkungan ke bawah. Kalau saja bocah ini tak segera dipeluk oleh Kevin, pasti akan sangat fatal akibatnya.

Raffa memiliki penyakit kelainan jantung dipersulit dengan asma. Jika ia menangis, asmanya akan segera datang dan akan berakibat buruk bagi jantungnya. Sudah sejak setahun belakangan ini Kevin mendampingi Raffa untuk pengobatan penyakitnya, padahal sudah ada Dokter Frans sebagai dokter spesialis jantung yang menangani Raffa. Namun Raffa sudah begitu dekat dengan Kevin sejak pertama kali mereka bertemu saat visit Kevin menggantikan Dokter Frans.

"Om kan nggak bisa tiap hari ke sini, Sayang. Katanya Raffa mau sehat, jadi harus banyak makan! Om janji nanti bawa Raffa jalan-jalan kalau udah sehat, oke, jagoan?" kata Kevin sambil mengacungkan ibu jarinya ke arah Raffa dan menarik sudut bibirnya membentuk senyum lebar.

Walaupun tak selebar senyum Kevin saat permintaan dinner-nya ke Mita ditolak mentah-mentah tempo hari. Dada selapangan milik Kevin masih bisa menampung sakitnya dikecewakan oleh seorang Mita.

"Janji?" Bocah laki-laki kurus dengan rambut cepak ini menyodorkan kelingkingnya ke arah Kevin sambil tersenyum penuh harap.

"Janji!" Kevin menyambut kelingking mungil Raffa dengan menautkan kelingkingnya tanda janji telah diikrarkan. Entah, Kevin bahkan tak tahu akan bisa menepati kesepakatan ini atau tidak, tapi yang jelas saat ini yang terpenting bagi Kevin adalah menentramkan hati pasiennya.

"Sorry ya, Kev! Aku nggak tau harus gimana kalo Raffa mulai rewel pengen ketemu kamu."

Nadia mengantarkan Kevin ke pintu rumah setelah membujuk Raffa agar membiarkan Kevin kembali bekerja. Kevin tersenyum kecut, tak tahu harus menjawab apa.

Di satu sisi, Kevin tidak ingin Raffa kenapa-kenapa, tapi di sisi lain, sikap Tante Sarah--Oma Raffa--yang sangat bersemangat menjodohkan Nadia dengannya membuat Kevin sulit berpikir positif. Ia nggak ingin Raffa dijadikan alat bagi Tante Sarah untuk mendekatkannya dengan Nadia.

"Anak tante itu cantik lho, Kev, walaupun janda, lagipula mantan suaminya udah beristri lagi, jadi nggak bakal rujuk." Itu kata Tante Sarah ketika berkunjung ke flat Kevin, karena kebetulan Tante Sarah adalah teman Mama Kevin, dan waktu itu Kevin rasa mereka sengaja berkonspirasi, janjian di flat Kevin dengan alasan bayar arisan. Alasan macam apa ini?

Kevin akui, Nadia memang cantik, bahkan sangat cantik untuk ukuran mama muda beranak satu. Namun cantik saja tak cukup bagi Kevin untuk tertarik pada seseorang.

"Mama nggak keberatan kok, kalau kamu suka sama Nadia, lagian Raffa juga udah lengket banget sama kamu." Tanggapan Mama Kevinpun tak kalah resenya, membuat Kevin semakin galau, karena--untuk saat ini--Kevin memang nggak ingin memulai hubungan serius dengan wanita manapun.

"Kev, kamu mau duduk dulu atau langsung pergi?" Pertanyaan Nadia membuat Kevin tersentak, tertarik kembali ke dunia nyata setelah pikiran tentang persekongkolan Mamanya dan Tante Sarah berkecamuk menguasai otaknya.

"Aku langsung balik ke klinik, Nad! Pamit, ya! Salam buat Tante Sarah," ucap Kevin menutup pembicaraan yang ditanggapi dengan anggukan dan ucapan terima kasih oleh Nadia. Kemudian Kevin segera bergegas mengendarai Ninja hijaunya menuju klinik. Beruntung Nadia nggak begitu menanggapi perjodohan di antara mereka, jadi Kevin sedikit bisa bernapas lega.

Entah, pada Lina, Mita, dan gadis lain yang dia pikir tak berpotensi menanggapinya serius, Kevin bisa bersikap--teramat--manis, tapi pada wanita yang jelas-jelas dijodohkan padanya, malah membuat Kevin takut bersikap layaknya Kevin yang biasa.

Lagipula, reputasinya sebagai dokter di kalangan teman-teman Mamanya memang sangat terjaga, jadi Kevin serasa mengenakan topeng jika menghadapi keluarga Tante Sarah, maupun teman-teman Mamanya yang lain.

🍭🍭🍭

Tiga puluh dua menit lebihnya dari pukul delapan malam, Kevin baru saja tiba di flatnya setelah menyelesaikan catatan rekam medis pasiennya yang menumpuk. Dibantu oleh Lina tentu saja. Entah, Kevin nggak peduli atau memang nggak tahu, kalau sikapnya yang manis pada semua gadis akan membawanya pada sebutan tukang PHP.

Yang jelas, disadari atau tidak Kevin bersikap seperti itu karena suatu alasan yang ia sendiri tak pernah utarakan. Menurutnya, memang suatu sebab akibat, terkadang ada untuk sekedar dipahami, tidak untuk disampaikan.

Setelah membersihkan diri, Kevin merebahkan tubuhnya di kamar flat, di atas bed dengan sprei dan selimut bergambar karakter doraemon--kartun favorit Mita.

Badannya serasa remuk redam, bagaimana enggak? Setelah jaga dua malam berturut-turut--karena bertukar jadwal dengan El--disambung dengan dinas pagi hari ini, membuat Kevin bagai zombie.

Untung ia masih diberi kewarasan sehingga mampu menangani pasien dengan baik. Kalau tidak, bisa-bisa Kevin akan dituntut dengan kasus mal praktek.

Kalau ada yang bertanya sedekat apa hubungan Mita dan Kevin, mereka memang sudah lama berteman baik, dari SMA. Merekapun kuliah di kampus yang sama, hanya saja Kevin memilih kuliah kedokteran dan Mita memilih Manajemen. Semua tentang Kevin diketahui Mita dan sebaliknya, bahkan sampai ukuran celana dalam Kevinpun Mita mengetahuinya.

Ups! Jangan berpikiran macam-macam, itu bisa terjadi karena Mitalah yang selalu membelanjakan semua kebutuhan Kevin. Dari mulai keperluan bulanan untuk isi kulkas di flat Kevin, keperluan untuk bersih-bersih, parfum badan, parfum ruangan, dan tentu saja pakaian dari luar ke dalam.

Lalu bagaimana dengan Mita? Semua kegalauan Mita sedari SMA, Kevin tahu. Cinta pertama Mita, mantan-mantan Mita, bahkan semua laki-laki yang berusaha mendekati Mita, Kevin tahu. Seperti saat ini, Mita sedang dikejar-kejar lelaki bernama Darren. Keagresifan Darren kerap kali membuat Mita kabur ke klinik atau ke flat Kevin. Seperti tempo hari saat Mita berkunjung ke klinik, lalu diantar pulang oleh Kevin karena sedang kurang sehat.

Kevin membalikkan tubuhnya, pandangannya tertumpu pada sebuah pigura kecil yang terbuat dari acrylic berbentuk kucing. Di dalamnya terdapat gambar seorang wanita sedang berdiri dengan background Menara Eiffel, tersenyum bahagia dengan syal merah yang melambai tertiup angin. Kevin meraih pigura itu lalu kembali menelentangkan tubuhnya.

"Kamu lagi ngapain, Tha? Inget nggak sama aku?" lirih Kevin sambil melempar pandangan sendu ke wanita dalam pigura--Agatha.

"Aku masih nungguin kamu, Tha, sampai kapanpun," bisik Kevin sambil meletakkan Agatha-nya di dada, berharap dapat mencairkan sebongkah besar es kerinduannya yang tertahan, tertawan oleh wanita ini.

Entah, Kevin tak ingat kapan terakhir ia bertemu Agatha. Pikiran Kevin seketika merangkai kenangan yang ia lalui bersama Agatha sesaat setelah dinyatakan lulus dari sekolah menengah.

"Apa rencana kamu setelah ini, Kev?" Kala itu mereka berdua sedang duduk di taman sekolah, di kursi panjang, memandang sorak sorai kelulusan teman-teman mereka. Kevin bersandar santai di punggung kursi sambil merentangkan tangannya lebar-lebar, sedangkan Agatha duduk manis di sampingnya.

"Aku pengen dapet gelar Sp. OG di belakang namaku secepetnya terus nikahin kamu, Tha! Kalau kamu?" Kevin menunjuk Agatha dengan dagunya sambil tersenyum jahil, menggoda gadis cantik bermata hazel di sampingnya. Sesekali ia meniup permen karet di mulut membentuk balon lalu meletuskannya.

"Aduh, Kev, kita tuh masih muda, masih banyak hal yang bisa kita lakukan sebelum berkomitmen menjadi sejoli. Kamu tau 'kan, aku pengen banget kuliah desain di Paris!" ujar gadis berbehel biru ini sambil menerawangkan pandangannya serong ke atas, manik matanya berbinar, bersemangat.

Senyum tipis--setipis rontokan bulu ketek Kevin--tersungging di bibir Agatha menambah cantik parasnya.

"Nggak di FIT aja? Itu MIT-nya dunia fashion lho," tanya Kevin sambil sibuk mengunyah permen karetnya.

"No! Aku udah belajar bahasa Perancis, buat prepare kuliah di Paris," cebik Agatha sambil menggoyang-goyangkan jari telunjuk di depan hidung Kevin, seirama dengan gelengan kepalanya.

"Aku nggak percaya! Coba bilang aku cinta kamu pake bahasa Perancis!" goda Kevin yang mengandung umpan, ia menangkap telunjuk Agatha lalu menggenggam jemari gadis ini erat-erat.

"Je t'aime (aku cinta kamu)!" Dan Agatha menyambar umpan dari Kevin, strike!

"Je t'aime aussi (aku juga cinta kamu), Tha!" Kevinpun menjawab pernyataan cinta Agatha yang nggak sengaja terlontar dengan senyum penuh kemenangan.

"Aaaaaaa, Kevin, vous êtes si doux (kamu manis sekali)!" Agatha menggosok-gosok pipi Kevin dengan telapak tangannya, gemas. Yakalik, masa pakai kreweng yang buat cuci piring!

"Bien sûr (tentu saja), Kevin!" ujar Kevin sambil menepuk dadanya bangga.

"Kok kamu pinter bahasa Perancis, sih? Tau gitu kemarin aku les di kamu aja." Agatha kembali mencebikkan bibirnya, kecewa karena ia harus mengambil uang tabungan pribadinya untuk kursus bahasa Perancis. Ia ingin menunjukkan pada Ayahnya bahwa ia pantas mendapat beasiswa penuh untuk mewujudkan keinginannya kuliah fashion design di Paris.

"Aku cuma siap-siap aja kalau nanti harus nemenin kamu di Paris, Tha!" jawab Kevin santai, senyum masih tersisa di sudut bibirnya. Manik matanya menatap intens gadis sintal di sampingnya dengan pandangan serius, sangat berbeda dengan Kevin yang sekarang.

"Aaaaaa, je vous remercie (terima kasih), Kev!" ucap Agatha tulus sambil menopang dagu dengan tangannya, dan tersenyum manis ke arah Kevin.

Bunyi notifikasi ponsel yang tergeletak di nakas membuyarkan lamunan Kevin tentang Agatha. Kevinpun beranjak mengambil ponsel lalu senyum terbit di sudut bibirnya ketika membaca salah satu pengirim pesan di aplikasi whatsapp. Segera ia menyentuh ikon untuk videocall, dan sepersekian detik kemudian ponselnya memperlihatkan gambar gadis manis berkacamata elips tengah tersenyum.

"Suka nggak sama bedcover-nya?" Mita sedang duduk bersila di atas tempat tidurnya, lipatan kakinya--lengkap dengan rambut halus khas Mita--terlihat dari layar ponsel Kevin.

Mita mengenakan kaus oblong tipis warna abu-abu yang lengannya dinaikkan sampai ujung bahu, lengkap dengan celana pendek sepuluh centi di atas lutut, seragam favoritnya untuk tidur.

Rambutnya yang ikal ia jepit asal ke atas, menampakkan leher jenjang yang menarik siapapun yang melihat. Seperti biasa, ia menyambungkan aplikasi whatsapp-nya dengan laptop, sekalian membalas chat dan email dari klien.

"Bagus, kok. Besok gue request yang gambar Frozen, ya!" canda Kevin dengan ekspresi sebal artifisial, bagaimana enggak? Seorang dokter ganteng berpredikat jomlo bermartabat, dengan usia mature, yang seharusnya menghias kamarnya dengan hal-hal maskulin, yaaa paling enggak gambar Ade Rai pakai jas Lab, lah ini malah tokoh kartun unyu kesukaan Raffa.

Mita tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi sebal Kevin sekaligus mendengar permintaan sableng sahabatnya itu. Pikiran Mita langsung terdeskripsi badan cowok doyan nge-gym yang atletis, namun kepalanya diganti dengan kepala doraemon bersanding dengan Black Widow berambut putih seperti Elsa Frozen.

"Sumpeh loh, Kev? Oke, langsung gue ganti besok, terus pas lo tidur, gue potret, gue upload ke instagram, gue tag elo, gimana?" Bukan Mita namanya kalau nggak punya ide yang lebih gila daripada Kevin.

"Mit, lo jadi kaya Mak Lampir, deh! Apalagi pas tereak-tereak macem gini!" dengkus Kevin, masih dengan sisa kekesalannya dengan sprei doraemon. Kevin nggak bisa membayangkan, kalau El tiba-tiba inspeksi ke flatnya dan menemukan sprei unyu begitu di kamarnya, mau dikemanakan muka Kevin yang sama unyu-nya ini?

"Abisnya lo request-nya aneh-aneh! Besok sekalian tuh pengharum ruangan lo gue ganti yang bau pesing!" Mita kembali terpingkal, menertawakan idenya sendiri. Ternyata Mita punya gagasan yang lebih sableng lagi dibanding selimut Frozen untuk Kevin.

"Iya, boleh! Tapi lo temenin gue tidur di kamar tiap malem, mau 'kaaaaan?" Kevin menaikturunkan alisnya, seperti yang biasa ia lakukan untuk menggoda Mita.

"Ogaaaaaah!"

Sambungan videocall diputus sepihak oleh Mita. Tanpa Kevin ketahui, Mita menjatuhkan punggungnya, beradu dengan empuknya springbed, tersipu malu membayangkan momen menemani Kevin tidur di kamar flatnya. Sepanjang malam menikmati aroma musky yang terendus dari tub--

Stop!

Harum green tea seketika menyeruak ketika pengharum ruangan otomatis, bekerja di kamar Kevin. Kevin tersenyum membayangkan Mita yang entah kapan mengganti sprei dan juga refill pengharum ruangannya.

Ada sesuatu yang terasa bergetar saat Kevin membayangkan tubuh mungil Mita, yang meloncat-loncat untuk meraih pengharum ruangan di atas almari.

Jangan ngeres dulu! Maksud Kevin almarinya yang bergetar, beruntung Mita nggak berujung dengan jatuh tertimpa almari, kalau iya pasti bakal lebih epic ceritanya.

Tak lama kemudian Kevin mengetik pesan whatsapp pada Mita sambil masih tersenyum. Entah, sepertinya memikirkan gadis manis ini jadi sedikit energi bagi Kevin untuk mengisi baterai kehidupannya.

Thank's ya Mita-nya Aa' Kevin,
Mimpiin gue ya Mit
Kecup 😘😘

Kevinpun segera beranjak ke alam mimpi setelah memastikan pesan yang dikirimnya ke Mita centang dua dan berubah biru. Kecupan fake dari Kevin juga mengantarkan Mita terpejam, beranjak dari kamarnya, menuju awang-awang lalu berakhir dengan delusi yang dalam.






Originally Posted,
SoloCity, December, 16th, 2017
At 14.46 WIB
Best Regards,
Natha 💝






Sampe sini, gimana?
Masih mau lanjut, nggak?
Pengennya bikin cerita ini ringan, dengan bumbu humor biar bacanya pada ketawa-ketiwi.
Tapi, nggak tahu berhasil atau enggak.

Cuma ntar kalau udah masuk konflik, sepertinya agak sulit menyelipkan humor.

Ah, belagu lu Nath!
Ada yang baca juga udah bersyukur!
Muehehehehe.... 😂 😂

Makasih ya yang udah mau baca!

Komen yang buanyak dong, buat semangat Nath kelarin cerita!
Tuh, bintangnya klik juga, dong!

Okey!

Luv. 😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top