15. Bidadari Surga
Di sebuah supermarket yang cukup besar, Gevan mendorong troli belanjanya sambil memainkan ponsel. Di depannya Olin tampak berjalan santai sambil melihat ke sekelilingnya. Beruntung jadwal Gevan masih dua jam lagi, sehingga dia bisa menemani Olin untuk mengisi kebutuhan dapurnya terlebih dahulu. Hitung-hitung dia ingin berterima kasih pada wanita itu karena sudah membuat tidurnya nyenyak semalam.
Gevan masih fokus pada ponselnya karena menerima pesan menggelikan dari ibunya. Pasti wanita itu mencarinya semalam karena tidak pulang ke rumah. Hal itu sedikit mengganggu Gevan yang sudah dewasa, akan tetapi dia kembali teringat jika ibunya hanya memiliki dirinya di dunia ini. Tentu wanita itu sangat khawatir.
"Kamu di mana, Van? Jangan sampe Mama obrak-abrik semua hotel buat cari kamu. Kalau udah ketemu, Mama bakal potong titit kamu!"
Lagi-lagi Gevan tertawa membaca pesan ibunya. Kadang wanita itu berkata dan bertingkah sesuka hati.
"Lagi sama Ayang, Ma. Jangan khawatir."
Gevan membalas pesan ibunya dengan jujur. Meskipun begitu, dia yakin jika ibunya akan mengangganya sebagai lelucon.
"Coba pap ayang kamu, Mama mau liat!"
Gevan berdecak dan berhenti berjalan. Dia menatap Olin yang masih berjalan santai di depannya.
"Olin?" panggil Gevan.
Olin menoleh dan tanpa aba-aba Gevan langsung mengambil foto dirinya. Olin terkejut dan menatap Gevan kesal.
"Om Gevan ngapain foto saya?"
"Mau laporan sama Ratu."
"Tante Ajeng?" tanya Olin bingung.
"Iya, mertua kamu."
Olin mendengkus dan segera berbalik. Entah kenapa wajahnya memanas saat mendengar itu. Dengan cepat Olin mengambil gula dan meletakkannya di troli yang masih kosong.
"Udah, ayo bayar."
Gevan terdiam seperti oramg bodoh. Dia menatap Olin dan troli secara bergantian. Dia mulai bertanya-tanya, apa wanita di hadapannya itu serius?
"Cuma gula?"
Olin mengangguk pelan, "Yang habis kan cuma gula."
"Terus saya ngapain bawa troli gede, Lin?"
"Ya nggak tau, kok tanya saya."
Gevan menggeram dan menarik pipi Olin gemas. Jika tidak berada di tempat umum, entah apa yang sudah dia lakukan pada Olin. Hasrat ingin menyalurkan rasa gemasnya pada Olin benar-benar sudah memuncak.
"Nggak mau tau, kamu harus penuhin troli ini."
Olin mengelus pipinya yang memerah, "Kan yang habis cuma gula, Om. Jangan boros deh."
Tanpa menjawab ucapan Olin, Gevan mulai berjalan lebih dulu sambil mendoromg trolinya. Tanpa bertanya dia mulai memasukkan barang-barang yang ia lihat secara acak ke dalam troli. Mulai dari keperluan dapur, keperluan mencuci, bahkan hingga keperluan untuk mandi.
"Om Gevan ngapain beli alat cukur?" Olin dengan kesal mengembalikan barang yang Gevan ambil.
"Emang kamu nggak nyukur?"
"Hah?"
Tanpa menjawab, Gevan melirik bagian bawah Olin. Satu detik kemudian sebuah tas melayang di wajahnya.
"Om Gevan mesum banget sih?!" geram
Olin pelan.
"Mesum apanya? Kan saya cuma tanya, emang kamu nggak cukur? Oh atau kamu pakai yang krim?" Gevan mulai mencari krim yang ia cari.
"Om!"
Gevan berdecak dan mengangkat kedua tangannya menyerah, "Oke, beli dua-duanya aja," ucapnya kembali berlalu.
Di belakangnya, Olin tampak menghela napas kasar. Dia bisa gila jika terus berdekatan dengan Gevan. Kesabarannya benar-benar diuji sejak pria itu datang ke dalam hidupnya. Mulai dari sifat tak mau dibantah, pantang menyerah, hingga sikap sesuka hatinya benar-benar membuat Olin frustrasi. Namun sialnya dia sudah mulai terbisa dengan itu.
Olin kembali mengikuti Gevan dengan pasrah. Saat ini mereka sampai di area makanan beku.
"Suka ayam, kan?" tanya Gevan.
"Nggak suka."
Gevan menatap Olin lama dan kemudian mengangguk, "Beli tiga ekor ya?"
Olin memejamkan matanya mendengar itu. Entah kenapa Gevan selalu tahu kapan dia berbohong. Apa pria itu bisa membaca pikirannya?
"Tiga ekor buat apa, Om? Saya nggak lagi hajatan."
"Simpan di kulkas."
Olin mendekat dan meraih lengan Gevan, "Beli sedikit aja ya? Kan cuma saya yang makan."
Gevan terpana selama beberapa detik. Untuk pertama kalinya dia melihat Olin bersikap manis dan tenang seperti ini.
"Yakin?" tanya Gevan ragu
Olin tersenyum dan mengangguk. Dia masih menggenggam lengan Gevan untuk mencegah pria itu mengambil ayam potong.
"Oke, kalau gitu ayam satu ekor sama daging juga."
Senyum Olin luntur. Dia melepas lengan Gevan dengan kasar. Apapun yang ia lakukan seolah sia-sia. Gevan akan tetap pada pendiriannya.
"Gevan?"
Suara panggilan lembut itu membuat perdebatan Olin dan Gevan berhenti. Mereka menoleh ke arah sumber suara dan mendapati seorang wanita cantik yang terlihat anggun dengan rambut panjang bergelombangnya.
"Bianca? Kamu di sini?" tanya Gevan terkejut.
"Ternyata bener kamu, Van. Beli apa?" Bianca tersenyum manis.
"Lagi beli kebutuhan dapur."
Bianca mengangguk dan mulai menatap Olin, "Adiknya Gevan ya?"
Belum sempat Gevan menjawab. Olin dengan cepat mengangguk. Dia mengulurkan tangannya dan tersenyum lebar.
"Iya, Mbak. Perkenalkan, saya Olin."
"Wah, nggak nyangka ketemu adik kamu di sini, Van. Cantik ternyata."
Olin tersenyum malu. "Makasih, Mbak."
Gevan hanya bisa mencibir dalam hati. Ingin sekali dia membantah tapi Gevan takut jika hubungannya dengan Olin akan memburuk.
"Aku udah jarang liat kamu kumpul sekarang, Van. Kata Martin kamu lagi sibuk. Apa iya?"
"Iya, kalau ada waktu kosong aku lebih milih buat tidur." Gevan melirik Olin gelisah.
"Tumben. Biasanya langsung main." Bianca tertawa dan mendorong pelan bahu Gevan.
Gevan hanya bisa tersenyum tipis. Dia kembali menatap Olin yang wajahnya mulai berubah kaku. Dia bisa melihat tatapan tajam wanita itu untuknya.
"Oh, iya. Kebetulan kita nanti ada jadwal operasi bareng."
Gevan lagi-lagi hanya bisa mengangguk. Dia mulai tidak fokus saat raut wajah Olin berubah menakutkan.
"Kalau gitu kita duluan ya, Bi. Sampai ketemu di rumah sakit."
"Oke, Van. Nanti kalau lagi kosong kabarin ya, kita main bareng."
Tanpa menjawab, Gevan langsung menarik Olin dan mendorong trolinya. Saat ini mereka sudah berada di area buah-buahan.
"Tajem ya, Om?" Olin tiba-tiba berbicara sambil menyentuh buah durian. "Kalau saya lempar ke kepala Om Gevan sakit nggak?"
Gevan meringis dan mengusap lehernya pelan, "Dia Bianca, dokter anestesi," jelasnya.
"Maksudnya main tadi itu apa?" tanya Olin dengan wajah datar.
"Main itu—main sama anak-anak."
Mata Olin menyipit saat melihat raut gugup di wajah Gevan, "Katanya udah tobat!" ucapnya memukul Gevan dengan tasnya lagi. Entah kenapa Olin merasa kesal saat ini.
"Saya beneran udah berhenti." Gevan meraih tangan Olin untuk menenangkannya, "Itu dulu sebelum saya kenal kamu."
Olin menatap Gevan dengan kesal. Dia berusa untuk mencari kebohongan di mata pria itu. Terlihat meyakinkan tapi entah kenapa Olin masih belum percaya.
"Tau ah, males." Dengan cepat Olin mendorong trolinya menuju kasir dan menjauh dari Gevan.
Kesan pertama saat bertemu Bianca sangatlah menyenangkan. Wanita itu begitu cantik dan anggun seperti bidadari. Namun saat mendengar percakapannya bersama Gevan, entah kenapa Olin merasa ada sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka. Olin memang tahu jika Gevan adalah pemain wanita. Bahkan dia pernah bertemu dengan pria itu beberapa kali dengan wanita yang berbeda. Namun entah kenapa kali ini rasanya berbeda. Olin merasa sangat kesal.
Saat menunggu antrian, Olin dikejutkan dengan satu bungkus permen kesukaannya yang masuk ke troli belanjanya. Dia menoleh dan melihat Gevan yang tersenyum manis padanya.
"Kamu lupa ambil permen. Kesukaan kamu kan?"
Olin mengalihkan pandangannya. Tidak berniat menjawab pertanyaan Gevan.
"Olin, saya minta maaf." Gevan mulai memohon. Setelah itu dia meletakkan satu bungkus lagi permen ke dalam troli.
"Om Gevan suap saya?" Mata Olin menyipit.
Gevan menghela napas kasar dan meraih bahu Olin, "Saya udah janji untuk berubah, Lin. Kamu harus percaya. Nggak ada apa-apa antara saya sama Bianca, itu cuma masa lalu."
"Om Gevan pernah pacaran sama Mbak
Bianca?"
Gevan menggeleng tegas, "Cuma temen."
"Temen tidur," gumam Olin kesal dan kembali menatap depan.
Gevan mengusap wajahnya frustrasi. Ini pertama kalinya dia melihat Olin semarah ini dan ternyata rasanya menyesakkan. Apalagi saat wanita itu tidak mempercayainya.
"Saya minta maaf. Saya janji nggak akan berhubungan lagi sama Bianca kalau itu yang kamu mau. Kamu bisa hapus nomer dia sekarang dari HP saya."
"Dih, siapa juga yang ngelarang." Olin melipat kedua tangannya di dada.
Gevan tersenyum tipis mendengar itu. Dia mulai sadar dengan apa yang terjadi pada Olin.
"Maaf," bisik Gevan yang kembali meletakkan tiga bungkus permen ke dalam troli.
Olin melihat itu dengan kesal. Dia beralih pada Gevan yang masih tersenyum menatapnya.
"Nggak usah cemburu. Saya maunya cuma sama kamu," bisik Gevan lagi yang langsung mencium pipi Olin cepat.
Tubuh Olin mematung. Dia meremas pegangan troli dengan sekuat tenaga. Dia menahan rasa ingin meledak di hatinya.
"Dasar gila!" rutuk Olin pada akhirnya dan mulai berjalan maju untuk membayar belanjaannya.
Gevan terkekeh dan menggelengkan kepalanya pelan. Dia membuka dompetnya dan memberikan sebuah kartu pada Olin. Dengan cepat wanita itu menerimanya tanpa menoleh. Melihat itu, lagi-lagi Gevan dibuat gemas. Tanpa bisa menahan, dia mulai mengacak rambut Olin.
Ini adalah pertengkaran pertama mereka yang seperti sepasang kekasih. Bisakah Gevan menyebutnya seperti itu? Meskipun terasa tidak enak, tapi setidaknya Gevan sadar jika Olin memang cemburu.
Apa wanita itu sudah mulai tertarik padanya?
***
TBC
Olin harus mulai hati-hati, Gevan udah gemes akut sama dia 🤧
Follow ig viallynn.story
Jangan lupa vote dan commentnya ya 😘
Viallynn
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top