13. Mulai Melunak
Hai, maaf ya lama. Agak sibuk akhir-akhir ini. Kalau lupa
Bisa baca dulu chapter sebelumnya ☺️
***
Di kafe yang cukup ramai itu, terlihat semua pegawai tampak bekerja dengan keras. Entah kenapa sore ini pengunjung menjadi berkali-kali lipat banyaknya. Bahkan tidak ada waktu bagi Olin untuk bersandar sebentar. Kakinya dengan aktif berjalan ke sana ke mari untuk mencatat dan mengantar pesanan.
Meskipun lelah, tapi Olin juga senang. Jika kafe ramai maka sudah dipastikan Tama akan memberikan bonus di akhir bulan. Meskipun Tama adalah tipe atasan yang acuh tak acuh tapi dia selalu peduli dengan para pegawainya. Olin adalah contohnya, tak jarang Tama memberikan gaji di awal bulan untuk Olin untuk membayar hutang-hutangnya terlebih dulu. Oleh karena itu Olin membalasnya dengan cara bekerja dengan keras dan serius.
Suara lonceng pintu kafe yang berbunyi menandakan jika ada pengunjung yang datang.
"Selamat datang," ucap Olin yang kebetulan berdiri di dekat pintu masuk.
Senyum Olin luntur saat melihat siapa yang datang. Perlahan dia menghela napas pelan dan kembali tersenyum masam.
"Berapa orang, Kak?" tanya Olin berusaha profesional karena melihat jika pria di hadapannya itu tidak datang sendiri.
Gevan tersenyum dan melirik teman-temannya, "Tiga orang."
"Mau outdoor atau indoor?"
Gevan tampak berpikir, "Kamu lebih suka indoor atau outdoor?"
Olin mengkerutkan dahinya bingung, "Outdoor aja ya, Om? Enak nanti malem ada live musik."
Gevan kembali tersenyum dan mengangguk, "Oke, kalau gitu saya mau indoor."
Olin berdecak dan menghentakkan kakinya kesal. Dia memang bekerja di bagian dalam ruangan saat ini. Niat ingin menghindari Gevan tidak jadi terlaksana karena ternyata pria itu jauh lebih pintar. Tentu saja, dia adalah seorang dokter!
Olin memilih untuk mengantar Gevan dan teman-temannya ke salah satu meja yang kosong. Sepertinya tempat itu spot yang pas untuk melihat seisi kafe, dalam artian Gevan bisa dengan puas melihat Olin bekerja.
"Jadi, dia yang namanya Olin?" tanya Martin setelah Olin pergi dengan pesanan mereka.
"Iya."
"Ternyata tipenya Gevan kayak gitu, Ton."
Anton mengangguk mengerti. "Mungil, imut, gemesin."
Gevan menatap tajam Anton yang masih memperhatikan Olin, "Jaga mata lo!"
"Dih, santai kali. Istri gue lebih cakep," cibir Anton.
"Kalau dilihat-lihat jalan lo buat nikahin Olin susah, Van."
"Kok bisa?" Gevan menatap Martin tidak suka.
"Karena dia keliatan nggak suka sama lo." Anton tertawa mengejek.
"Gue bisa bikin Olin suka sama gue," ucap Gevan penuh tekat.
"Kayaknya bakal susah. Gue yakin Olin bukan tipe cewek yang mudah dideketin."
Gevan menghela napas lelah, "Lo bener."
Sejenak Gevan kembali berpikir bagaimana caranya untuk memikat hati Olin. Bahkan dengan uang dan wajah tampannya pun dia tidal bisa meluluhkan hati wanita itu. Benar kata Martin, Olin adalah wanita yang sulit untuk didekati. Sudah lama hidupnya berjalan dengan penuh tantangan dan cinta bukanlah hal yang Olin pikirkan di dalam hidupnya. Masih banyak hal yang lebih penting dan cinta adalah nomor kesekian.
"Kalian udah liat Olin kan? Jadi kira-kita gimana cara gue bisa deketin dia?
"Udah gue kasih tau kemarin."
Gevan menatap Anton lekat, "Apa itu?"
"Hamilin dia."
"Bego!" umpat Martin memukul kepala Anton keras.
"Wah, jadi pasien lo kemarin udah sadar, Van?" Tiba-tiba Anton berbicara dengan aneh. Bahkan suaranya semakin keras dan bisa didengar oleh banyak orang.
Gevan dan Martin menatapnya bingung. Tak lama tiba-tiba tiga cangkir kopi sudah berada di hadapan mereka. Ternyata Olin datang mengantar pesanan mereka.
"Pasti lo capek banget habis operasi banyak orang kemarin. Gue salut sama lo, nggak heran kalau banyak pasien yang lebih percaya sama lo. Jam terbang lo emang udah tinggi."
Martin berdehan pelan dan mengangguk, "Bener juga. Ada enam pasien kan ya kemarin? Gevan aja sampe nginep di rumah sakit."
"Serius?" Anton pura-pura terkejut, "Kalau aja nggak gantiin gue mungkin dia udah samperin pacarnya."
Gevan terbatuk mendengar itu. Dia mengusap tengkuk lehernya pelan melihat tingkah sahabat-sahabatnya yang tampak mempromosikan dirinya di depan Olin.
"Silakan, Kak."
"Makasih ya," ucap Anton.
"Saya permisi."
"Tunggu." Gevan menarik tangan Olin, "Kenalan dulu. Ini temen-temen saya."
Olin terkejut tapi akhirnya dia mengangguk dan tersenyum, "Perkenalkan saya Olin."
"Oh jadi ini pacar lo, Van?" Anton kembali berakting, "Perkenalkan saya Anton, temen curhat Gevan. Dia sering banget cerita tentang kamu, Lin."
Olin hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis, tidak tahu harus berbuat apa. Dia baru tahu jika dia cukup populer di kalangan teman-teman Gevan. Olin jadi waspada, apa saja yang Gevan ceritakan pada sahabat-sahabatnya.
"Kalau saya Martin." Martin tersenyum manis, "Maaf ya, karena harus gantiin saya, Gevan jadi sibuk dan nggak bisa ketemu kamu kemarin."
"Nggak papa kok, Kak. Kalau gitu saya kerja lagi ya. Permisi." Olin menunduk sebentar dan langsung berbalik pergi.
Ketiga pria itu menatap punggung Olin dengan pandangan yang berbeda. Bahkan Anton harus menggelengkan kepalanya berkali-kali. Sepertinya Gevan mendapatkan karmanya karena tertarik dengan wanita berdinding besi seperti Olin.
"Susah, Van." Anton masih menggelengkan kepalanya, "Hamilin aja udah."
***
Gevan dan teman-temannya tidak bisa lama berada di kafe. Mereka harus segera kembali ke rumah sakit. Hanya demi ingin melihat Olin, mereka rela meluangkan waktu senggang di sore hari untuk melihat wanita seperti apa yang ingin dinikahi Gevan. Tak heran jika pria itu tampak frustrasi akhir-akhir ini, ternyata Olin memang wanita tak tersentuh.
"Balik yok," ajak Martin.
"Bentar dulu."
"Macet nanti, Van. Ayo balik. Lagian mau ngapain di sini terus? Liatin Olin kerja?"
Anton mendengkus, "Percuma. Gue aja sampe jijik muji lo terus tapi tetep nggak digubris sama dia."
"Itu yang bikin gue gemes." Gevan menggeran dan masih memperhatikan Olin, "Susah banget dapetin Olin."
"Udah gue bilang hami—"
"Jangan tonjok muka gue kalo gue beneran hamilin dia." Gevan menatap tajam Anton.
Anton menyengir polos, "Bukan gue, tapi Tante Ajeng yang tonjok muka lo."
Gevan menarik napas dalam dan mulai berdiri, "Kalian ke mobil dulu. Gue mau ketemu Olin."
Setelah itu Gevan pergi dan menghampiri Olin yang tengah bekerja. Saat Olin ingin mengambil piring kotor, dengan cepat Gevan menarik tangannya dan membawanya ke belakang kafe, tempat kesukaan Olin. Beruntung tempat ini terlihat sepi.
"Om Gevan ngapain? Saya lagi kerja."
Diam. Gevan sendiri tidak tahu kenapa dia menarik Olin. Dia hanya ingin berdua dengan wanita itu.
"Saya kangen." Akhirnya kata-kata itu keluar dari bibir Gevan. Bukannya takut dia malah merasa lega.
Ternyata Gevan memang merindukan Olin. Sudah hampir lima hari mereka tidak bertemu karena kesibukan masing-masing.
"Kan udah ketemu sekarang." Olin mendadak gugup.
"Tapi kita belum ngobrol."
"Saya harus kerja, Om."
"Saya juga harus balik kerja." Gevan tampak kecewa dengan kesibukan mereka saat ini.
Hening. Tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Gevan memilih untuk menatap Olin lekat. Seolah tengah menyerap energi wanita itu agar bisa ia gunakan jika sedang rindu.
"Boleh saya ke rumah kamu nanti?"
"Buat apa?"
"Ngobrol." Gevan mengedikkan bahunya pelan.
"Om Gevan nggak capek?"
"Capek, tapi cuma itu waktu luang saya."
Cukup lama Olin berpikir sampai akhirnya dia mengangguk, "Oke."
Gevan tersenyum mendengar itu. Dia memang lelah tapi dia rela menukar waktu istirahat demi bertemu dengan Olin. Menikmati waktu berdua tanpa ada gangguan.
"Kalau gitu sampai jumpa nanti malam. Saya kerja dulu." Gevan menepuk pelan kepala Olin.
Olin hanya mengangangguk saat Gevan mulai berlalu pergi.
"Om?" panggilnya tiba-tiba. Olin mengumpat dalam hati. Dia tidak menyangka jika akan memanggil pria itu.
"Ya?"
"Semangat kerjanya. Tetep jaga kesehatan, jangan sampe sakit."
Mendengar itu, senyum Gevan langsung merekah. Tangannya mengepal karena menahan rasa gemas. Perlahan dia kembali berjalan menghampiri Olin.
"Makasih udah perhatiin saya."
Olin mengangguk, "Tugas seorang dokter memang membatu pasien untuk sembuh, tapi jangan sampe Om Gevan yang kelelahan sampai sakit."
"Saya ngerti."
Dengan reflek, Gevan menarik kepala Olin dan mencium keningnya cepat.
"Saya berangkat dulu."
Olin menatap punggung Gevan dengan tubuh yang mematung. Dia memeluk nampan di tangannya dengan erat. Napasnya tercekat saat kembali mengingat ciuman Gevan di keningnya. Masih terasa hangat.
"Bahaya! Kok gue nggak marah?"
***
TBC
Gevan pinter, pelan-pelan tapi pasti. Untung sabar kalo enggak saran Anton mungkin udah dipake 😭
Sibuk mikirin kamu kalo kata buaya.
Follow ig viallynn.story
Jangan lupa vote dan commentnya ya 😘
Viallynn
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top