12. Pisang Tanduk
Sedikit info yess..
Maaf banget kalau kalian masih belum bisa beli ebook cerita Viallynn di google. Om google belum terketuk hatinya 😂
Sekarang kalian bisa baca cerita Viallynn di aplikasi Karyakarsa yes. Sudah ada cerita Okay Boss, Harta Tahta Kesayangan Duda, Perfect Secret, Untouchable Man, Untouchable Man Special Edition, dan The Guardian Devil. Yang lain menyusul yak. Di sana tersedia lengkap + ekstra chapternya ☺️
***
Hari Sabtu adalah hari bebas untuk Gevan. Tidak ada jadwal operasi untuknya hari ini karena Anton juga sudah kembali dari cuti bulan madunya. Di sinilah dia sekarang, tidur di kasur nyamannya setelah baru kembali dari rumah sakit jam dua dini hari. Entah kenapa Gevan menyambut hari sabtu ini dengan kebahagiaan karena pada akhirnya ibunya berhenti membuat kencan buta untuknya.
Olin, ingatkan Gevan berterima kasih pada wanita itu. Mengingat Olin, Gevan membuka matanya dan mengeratkan guling yang ia peluk. Dia tersenyum sambil meraih ponselnya. Dengan cepat jarinya mengetikkan pesan untuk wanita itu.
"Pagi, Sayang."
Gevan kembali memejamkan matanya setelah berhasil mengirimkan pesan yang cukup menggelikan. Sejak pertemuannya dengan Olin di kafe saat itu, mereka tidak lagi bertemu. Selain kesibukan Gevan, sepertinya Olin juga tidak berniat bertemu dengannya.
"Udah siang, Om."
Gevan mengerutkan dahinya saat melihat balasan dari Olin. Perlahan dia melihat jam dinding dan terkekeh. Benar juga, ternyata jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.
Entah kenapa jari Gevan mulai menekan panggilan video di ponselnya. Dia ingin melihat apa yang dilakukan Olin saat ini. Apa wanita itu masih berada di rumah? Dengan pakaian tidurnya?
Gevan ingin melihat itu!
Harapan Gevan pupus. Saat panggilan telah diterima, pemandangan dapur kafe yang pertama kali ia lihat.
"Kamu di kafe?" tanya Gevan mulai duduk.
"Iya, Om. Di mana lagi?"
"Ini akhir pekan, Olin. Kenapa masih kerja?"
"Kalau nggak kerja gimana saya bisa bayar hutang ke Om Gevan?" Olin menggerutu sambil tetap fokus mengupas satu kantonh bawang putih di hadapannya.
"Padahal saya mau ajak kamu kencan."
"Nggak bisa, saya sibuk."
Gevan terkekeh dan bersandar di kepala ranjang. Ada rasa menggelitik di perutnya. Dia masih tidak menyangka jika hubungannya dengan Olin bisa sejauh ini. Meskipun Olin selalu menolaknya, tapi Gevan tidak akan menyerah. Dia akan tetap berusaha mendapatkan wanita itu. Selain menjadi kandidat terbaik sebagai calon istri, Olin adalah wanita yang mampu mengetuk hatinya dan membuatnya benar-benar tertarik. Entah apa daya pikat yang wanita itu gunakan, Gevan sendiri tidak tahu. Justru dia yang bertanya-tanya, kenapa Olin tidak tertarik padanya?
"Om Gevan nggak ke rumah sakit?"
Gevan tersenyum mendengar itu. Meskipun Olin masih tak acuh padanya, tapi setidaknya dia sudah mulai membuka diri.
"Saya bolos hari ini biar bisa kencan sama kamu, tapi ternyata kamu malah kerja."
Olin terkejut mendengar itu. Dia menatap Gevan tajam dengan pisau kecil di tangannya, "Om Gevan jangan ngadi-ngadi. Urus pasien lebih penting dari pada ajak saya kencan. Lagian saya nggak punya waktu buat itu."
"Bercanda, Olin. Saya memang nggak ada jadwal operasi hari ini."
Olin mendengkus di seberang sana. Dia kembali fokus pada kegiatannya.
"Kamu udah sarapan?"
Tanpa menjawab, Olin menunjukkan satu buah pisang yang ia makan setengah di sampingnya.
"Cuma pisang? Emang kenyang?"
"Udah bisa ganjel perut kok."
"Kalau belum kenyang kamu bisa makan pisang punya saya."
Mata Olin membulat mendengar itu. Tanpa menjawab dia menatap Gevan tajam dan memutus panggilan video secara sepihak.
Tawa Gevan langsung pecah. Dia meraih bantal untuk meredam tawanya. Olin selalu bisa membuatnya tertawa. Wanita itu benar-benar polos dan menggemaskan. Gevan semakin yakin jika Olin adalah wanita yang tepat untuk mengisi kekosongan ranjang miliknya.
"Gevan! Bangun, Nak. Ayo sarapan."
Suara ibunya membuat Gevan kembali tersadar pada dunia nyata. Dengan semangat dia membuka pintu dan tersenyum pada ibunya.
"Kenapa senyum-senyum? Ayo, sarapan."
"Aku sarapan di kafe nanti, Ma."
"Kafe?"
"Iya, sama Olin. Katanya dia mau makan pisang." Gevan masih terkekeh geli.
"Itu ada pisang di dapur, kamu bawa aja. Tapi apa kenyang cuma makan pisang? Mama bungkusin makanan ya?"
Gevan kembali menggeleng, "Olin maunya pisang punyaku, Ma."
Setelah itu, Gevan menutup pintu kamarnya rapat, meninggalkan ibunya yang masih berpikir dengan bingung.
"Emang kamu beli pisang, Van? Kan di rumah ada. Kenapa beli lag—" Ibu Gevan mendadak terdiam, "Owalahh bocah sableng!" teriaknya setelah sadar.
Sepertinya dia harus segera menikahkan Gevan dan Olin. Dia takut jika cucunya keluar lebih dulu sebelum penghulu beraksi.
***
Sambil bersiul, Gevan mulai memasuki kafe Tama. Sudah ada beberapa karyawan yang tengah membersihkan meja sebelum kafe benar-benar dibuka. Mereka sudah mengenal Gevan karena sering mengunjungi kafe akhir-akhir ini. Selain itu, Fika juga sudah menyebarkan kabar jika Gevan memiliki hubungan khusus dengan Olin.
"Pagi, Mas Gevan," sapa Sasya.
"Pagi," balas Gevan tersenyum tipis dan mulai memasuki dapur.
Langkah Gevan terhenti saat melihat Olin yang tengah tertawa bersama seorang pria. Tangannya terangkat untuk menyentuh dadanya. Kenapa rasanya tidak nyaman?
"Olin?" panggil Gevan.
"Loh, Om Gevan kok di sini?"
"Saya bawain kamu pis— maksud saya sarapan."
Olin meletakkan pisaunya dan menatap pria di sampingnya tidak enak. Okta, pria itu yang membantunya menyiapkan keperluan dapur. Kebetulan Okta adalah asisten chef.
"Tapi saya udah sarapan pisang tadi, Om."
Gevan menggeleng tegas, "Itu bukan sarapan. Lagian ini Mama yang bawain."
"Tante Ajeng?" Olin dengan semangat menghampiri Gevan.
Setelah makan malam bersama Tante Ajeng dulu, Olin mulai ketagihan dengan rasa makanan rumah Gevan. Sudah lama dia tidak menikmati makanan rumahan yang sangat ia rindukan.
"Tante Ajeng bawain apa?" tanya Olin dengan senyum merekah. Tangannya mulai jahil mengintip kantong makanan yang Gevan bawa.
Rasa kesal Gevan perlahan mulai menghilang. Dia senang melihat Olin yang sangat menggemaskan saat ini.
"Cuma nasi goreng. Nggak papa kan?"
"Nggak papa dong. Ayo makan!" Dengan cepat Olin menarik tangan Gevan dan membawanya ke markas kesukaannya, yaitu belakang kafe. "Okta, aku makan dulu ya?" teriaknya sebelum menutup pintu.
"Kita makan di sini?" tanya Gevan bingung sekaligus merasa aneh.
"Iya, nggak enak sama yang lain kalau makan di dalem. Om Gevan nggak mau?" tanya Olin yang sudah duduk beralaskan sandal.
"Kalau sama kamu saya mau."
Olin mencibir dan mulai mengeluarkan bekal makanan yang Gevan bawa. Senyum senang kembali terukir di wajah Olin. Dia masih memandangi nasi goreng di pangkuannya dengan haru.
"Kok nangis?" Gevan mulai panik.
Olin mengusap hidungnya dan menatap Gevan dengan senyuman, "Udah lama saya nggak dibuatin sarapan kayak gini, Om. Saya terharu."
Gevan membuka mulutnya tidak percaya. Dia tidak menyangka jika Olin sangat sensitif. Lagi-lagi hati Gevan terketuk. Dia harus lebih bersyukur karena bisa merasakan hal yang ingin Olin rasakan setiap harinya, yaitu kasih sayang dari seorang Ibu.
"Udah jangan nangis. Habisin makanannya." Dengan lembut Gevan mulai mengusap wajah basah Olin.
Dengan polosnya Olin mengangguk dan mulai memakan nasi gorengnya. "Enak banget, Om," ucapnya kembali menangis haru.
Melihat itu, Gevan menarik napas dalam dan menghembuskannya. Olin benar-benar menggemaskan. Gevan yakin dia tidak akan kuat melihat Olin terus bertingkah konyol dan polos seperti ini.
"Kalau kamu mau, nanti saya minta Mama bikinin sarapan terus buat kamu."
"Serius, Om?"
Gevan mengangguk dengan senyuman, "Tapi ada syaratnya."
Olin meletakkan kotak makannya dan menghadap Gevan dengan serius, "Apa syaratnya?"
"Jadi istri saya." Gevan menyeringai.
Olin tersedak mendengar itu. Dia menepuk dadanya dengan wajah yang memerah. Lagi-lagi Gevan membahas hal ini.
Dasar jomblo tua!
"Hati-hati makannya. Minum dulu." Gevan mengambil sebuah botol minum dari tas makan.
Olin menerimanya dengan cepat. Dia masih berusaha menenangkan jantungnya yang kembali berdetak kencang saat mendengar permintaan Gevan. Sepertinya pria itu tidak akan pernah jera.
"Makasih."
"Udah enakan?" tanya Gevan sambil mengelus punggung Olin.
Olin mengangguk dan meletakkan botol minumnya. Gerakannya terhenti saat melihat sebuah buah berwarna kuning di dalam tas makan.
"Pisang?" gumam Olin pelan.
Perlahan Gevan kembali menyeringai, "Iya, katanya kamu mau pisang saya?"
"Om!" Olin menatap Gevan kesal.
"Kenapa, Lin? Nggak salah kan? Oh atau kamu mau pisang saya yang lain?"
"Om Gevan!" teriak Olin lagi sambil menutup telinganya.
Gevan tertawa senang melihat itu, "Bercanda, Sayang."
***
TBC
Pisang jenis apa ya kira-kira? Pisang mas kah? 🙂
Follow ig viallynn.story
Jangan lupa vote dan commentnya ya 😘
Viallynn
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top